Selasa, 27 Desember 2011

Kematian


Bila dipikir-pikir, kehidupan itu terasa nampak sangat kacau dan seolah-olah nihilistik. Kehidupan seolah-olah ada dan berjalan begitu saja, namun entah maksud apa yang ada didalamnya. Seolah-olah kamu tiba-tiba saja berada di dunia ini, lalu menjalankan sesuatu yang kamu pikir seharusnya kamu kerjakan untuk melangsungkan hidup. 

Minggu, 04 Desember 2011

Roesli Lahani Yunus

Sewaktu sekolah dulu, Bapak sering memaksa untuk berangkat ke masjid tiap Minggu pagi. Mesjidnya terletak di Jl. Citarum, Bandung. Istiqamah nama masjidnya. Tiap akhir pekan, Masjid Istiqamah memang sering  mengadakan semacam ceramah keagamaan.

Selasa, 29 November 2011

Tentara Vs. Polwan

Waktu itu saya dengan teman-teman komplek sedang nongkrong di depan masjid sambil menunggu sholat Jumat. Tak beberapa lama, datanglah orang ini, temannya teman kami, Rizki. Sebut saja temannya teman kami itu dengan nama ‘Maman’. Si Maman ini postur tubuhnya besar, tegap, dan kekar. Rambutnya cepak seperti tentara.

Begitu mendatangi tempat kami nongkrong, dan menyapa teman saya, Maman lantas menyalami saya dan yang lainnya yang sedang nongkrong saat itu. Saat giliran saya bersalaman dengan Maman, saya hampir mau menjerit. Cengkraman tangan si Maman ini amit-amit kerasnya. Waktu itu saya lihat mukanya si Maman ini. Dia hanya tersenyum kecil. Kelihatan angkuh.

Itu orang memang sepertinya mau show off. Mau pamer kekuatan. Tapi jadinya malah menyebalkan. Kenal saja belum, tapi gayanya sudah mengintimidasi.

Teman saya yang lainnya pun sama. Tangan mereka jadi korban semua ketika salaman. Diremas keras sama si Maman. Saya dan teman-teman lainnya hanya bisa saling pandang. Merasa satu pemahaman dan penderitaan, tanpa berani protes terhadap kelakuan si Maman ini.

Setelah berbasa-basi dan nongkrong sebentar, Maman lantas masuk kedalam mesjid. Sedangkan kami tetap diluar. Merokok sambil menunggu sholat.

Selepas Maman masuk ke mesjid itu, yang tadinya suasana ‘tegang’, berubah jadi sedikit ramai oleh rasa kepenasaran. Kami mulai berani bertanya tentang orang yang punya cengkraman maut nan menyebalkan itu ke Rizki.

Ternyata si Maman ini adalah kepala staf sekuriti di salah satu ruko dekat rumah kami. Semacam kepala satpam. Pantas saja tangannya ‘besar’ dan keras berotot seperti itu. Tubuhnya juga tegap. Sepertinya tidak cukup kalau harus dipukuli oleh satu orang dengan standar fisik dan mental seperti kami yang lemah dan terlalu teracuni asap rokok.

Terus, setelah ngobrol ngaler-ngidul lagi, ternyata ada sisi yang menggelikan dari Maman. Jadi, sebelum bekerja sebagai kepala satpam, Maman terlebih dulu bergabung dengan TNI. Tentu saja ini aneh. Kalau dilihat dari sisi ‘karir’, perpindahan dari anggota TNI menjadi kepala satpam malah kelihatan seperti penurunan derajat.

Enya, jadi baheula na pas di TNI, si Maman bobogohan jeung polwan. Apekteh pegat. Nah, tidinya si Maman jadi teu baleg di TNI na. Jadi we si eta (Maman) dikaluarkeun ti TNI. Terus weh jadi kepala satpam nepi ka ayeuna [Iya, jadi dulunya pas di TNI, si Maman pacaran sama polwan. Ga tau nya putus. Nah, dari situ si Maman jadi ga bener di TNI nya. Jadi aja si Maman dikeluarin dari TNI. Terus jadi kepala satpam sampai sekarang]” cerita si Rizki.

“Si Anjing! Hahaha!” Si Apo, teman saya yang juga mendengarkan cerita Rizki, mengumpat dan tertawa keras.

Pastinya Jumatan waktu itu adalah Jumatan yang berisik oleh kami yang mentertawai si Maman. Perduli Imam berkhotbah apa waktu itu. Pastinya, di waktu Jumatan itu kami menemukan orang yang menyebalkan sekaligus konyol. Dan orang itu adalah Maman sang kepala sekuriti ruko. He’s the man!

Dibalik sikapnya yang angkuh dan mengintimidasi. Dibalik otot-ototnya yang liat dan tubuhnya yang tegap seperti Rambo, ternyata Maman punya cerita yang menggelikan juga.

Bener euy, satangguh-tangguh na tentara, pasti takluk ku awewe mah! Hahah! [Bener, setangguh-tangguhnya tentara, pasti takluk sama perempuan],” kata si Apo yang diamini oleh tawa kami yang puas.

Terus, masih dari cerita Rizki, ternyata saat ini Maman telah menikah. Tak tanggung-tanggung, dua perempuan telah dia nikahi. Kami berspekulasi saat itu, bahwa pernikahannya dengan dua perempuan itu adalah salah satu wujud ‘balas dendam’ dari kisah cintanya yang kandas dengan si Polwan. Spekulasi yang pastinya belum tentu benar. Tapi, cocok sebagai bahan tertawaan bagi kami waktu itu.

Hah. Maman-Maman…sang kepala sekuriti…he’s the man.

Minggu, 27 November 2011

Let Me In

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Horror
Setidaknya ada dua hikmah yang bisa dipetik dari film ini:

Pertama, bila dilingkungan kamu ada tetangga yang baru pindah, dan kebetulan si tetangga baru itu ternyata adalah cowok/cewek yang cantik atau ganteng, kamu jangan buru-buru bernapsu pengen kenalan atau nyantronin rumahnya. Setidaknya cek dulu latar belakangnya: siapakah gerangan? Sebelumnya tinggal dimanakah gerangan? Bagaimana silsilah keluarga besarnya? Apakah sang gerangan itu punya kasus atau engga sama aparat keamanan? Setelah kamu cek-ricek latarbelakangnya, dan ternyata latarbelakangnya itu bersih, maka kamu bolehlah menjalin hubungan dengan tetangga baru itu. Kalau tidak, lebih baik kamu menghindar dari si gerangan, atau kalau perlu, lapor aparat keamanan. Bilang ada yang mencurigakan dari si gerangan. Ini penting, karena siapa tau tetangga baru itu adalah seorang vampir penghisap darah yang tak pernah puas, danjuga sudah membunuh begitu banyak manusia, sehingga membuatnya harus sering pindah rumah agar tidak diketahui oleh aparat keamanan.

Kedua, jangan pernah menjalin hubungan asmara dengan vampir. Ini juga tak kalah penting. Ibaratnya, menjalin hubungan asmara dengan sesama manusia saja seringkali sudah menyita banyak hal, mulai dari waktu, tenaga, pikiran, mental, uang, dsb, dsb. Begitu banyak yang harus disita dari hubungan asmara sesama spesies. Nah, apalagi kalau menjalin hubungan asmara dengan vampir. Tidak saja waktu, tenaga, pikiran, mental, uang, dan sebagainya yang tersita, tapi juga nyawa, dan darah kamu sendiri yang bisa ilang gara-gara alasan ‘for the love of…’ yang absurd itu. Udahlah. Pasangan yang terbaik bagi kita memang berasal dari spesies sendiri. Biarpun vampir bisa hidup selamanya (bayangin kalau vampir itu adalah cewek berumur 19 yang masih perawan, itu artinya seumur hidup dia bakal terus perawan dan berumur 19. hihihi), dan juga bisa terbang, tapi vampir ga bisa keluar siang hari, dan vampir hanya senang darah sebagai sumber makanan dan minumannya. Itu artinya, kamu ga bisa pacaran siang hari sambil nyobain makanan dan minuman terenak yang ada di kota kamu. Kamu pengen kencan sambil makan cuanki, tapi pacar kamu yang vampir itu cuman pengen darah manusia. Kamu pengen kencan sambil minum bandrek, tapi pacar kamu yang vampir itu cuman pengen darah manusia. Ah, ribet.

Tapi…kalau kamu memang sudah terlanjur menjalin hubungan asmara sama vampir, mungkin kamu bisa nonton film ini. Lumayan buat sesi grup terapi ala alkohol anonymous itu. Semacam bercerminlah dari film.

Let Me In ini bercerita tentang seorang bocah penyendiri bernama Owen yang selalu di bully sama teman-teman di sekolahnya. Suatu hari, Owen tiba-tiba kedatangan tetangga baru. Nah, tetangga barunya ini ada dua orang. Yang satu adalah laki-laki tua, yang satunya lagi perempuan yang seumuran dengan Owen. Perempuan ini ternyata cantik gitu. Nah, lama-kelamaan si Owen mulai akrab sama si perempuan bernama Abby ini. Hubungan yang akrab itu teruslah berlanjut ke hubungan yang lebih ‘emo’ a.k.a. emosional, nyerempet-nyerempet asmara, hingga akhirnya berpacaranlah mereka berdua ini.

Tetapi, oh, tetapi, ternyata ada ternyatanya…setelah menjalin hubungan asmara dengan Abby, Owen ternyata menemukan rahasia yang amit-amit dari diri Abby, yaitu si Abby ini ternyata vampir dan pelaku dari serentetan pembunuhan sadis yang terjadi di kota Owen. Dari situlah muncul semacam pertentangan batin dalam diri Owen. Pertentangan batin ala coretan di bak truk pasir itu: pulang malu tak pulang rindu. Seperti itu lah. Owen jadi bingung dan perasaannya campur aduk: antara benci tapi sayang, takut tapi kasihan, pengen diputusin tapi terlanjur sayang, dsb, dsb.

Di sisi lain, keberadaan Abby ini perlahan-lahan terendus oleh seorang detektif (ini tokoh favorit saya) yang amat yakin, bahwa serentetan pembunuhan di Los Alamos, New Mexico, itu adalah ulahnya sekelompok satanists kvlt a.k.a. pemuja setan.

Ini film kalau kata saya unik sih, dan cukup keren. Isi ceritanya yang bikin unik, nyampurin antara drama, thriller, gore, dan horor. Bisa dibilang eklektiklah. Tapi di sisi lain, film ini juga ga ngilangin elemen-elemen tradisional vampir: seperti ga bisa keluar siang, atau kalau mau masuk ke rumah orang harus diundang dulu baru dia bisa masuk (ini yang jarang dimasukin ke film-film vampir).

Cukup kerenlah.

Senin, 17 Oktober 2011

Mathias

Suatu waktu datang orang itu. Mathias namanya. Kedatangannya sungguh seperti pejabat. Dia datang menggunakan mobil sedan bermerk Mercedez Benz. Entah tipe apa, tapi dilihat dari bentuknya pastilah mobil mahal. Sedan itu tidak dikendarai sendiri oleh Mathias, tetapi oleh supirnya. Supir Mathias ini berambut cepak dan memakai baju setelan safari berwarna biru tua. Tubuh supirnya itu tegap, atletis, dan mirip-mirip awak Kopassus. Nampaklah betul si Mathias ini seperti pejabat: datang dengan sedan yang biasa dikendarai oleh petinggi-petinggi dan dikawal pula.

Minggu, 16 Oktober 2011

Mathias

Suatu waktu datang orang itu. Mathias namanya. Kedatangannya sungguh seperti pejabat. Dia datang menggunakan mobil sedan bermerk Mercedez Benz. Entah tipe apa, tapi dilihat dari bentuknya pastilah mobil mahal. Sedan itu tidak dikendarai sendiri oleh Mathias, tetapi oleh supirnya. Supir Mathias ini berambut cepak dan memakai baju setelan safari berwarna biru tua. Tubuh supirnya itu tegap, atletis, dan mirip-mirip awak Kopassus. Nampaklah betul si Mathias ini seperti pejabat: datang dengan sedan yang biasa dikendarai oleh petinggi-petinggi dan dikawal pula.

Kedatangan Mathias waktu itu disambut dengan perasaan segan oleh para bawahannya. Setiap kali para bawahan itu menyalami Mathias, mereka membungkuk dengan sangat khidmat. Betapa penting Mathias ini.

Tidak beberapa lama, Mathias beserta seluruh bawahannya telah berkumpul di Aula. Saat itu Mathias akan memberikan kata sambutan tentang usaha yang baru dirintisnya. Sebagai seseorang yang telah mengeluarkan modal yang begitu banyak, Mathias memang perlu untuk berpidato. Memberi wejangan kepada para bawahannya yang telah diupah untuk menggerakan bisnis yang sedang dirintisnya itu. Mewanti-wanti mereka agar bisnisnya itu tidak dikerjakan dengan asal-asalan.

Cukup lama mata Mathias menyusuri para bawahannya yang hadir di Aula itu. Seolah-olah dia mencoba menyusuri isi hati bawahannya hingga lapisan yang paling dalam. Kemudian dia berbicara.

"Menjalankan usaha ini diperlukan tekad yang kuat dan kegigihan yang lebih. Namun begitu, dalam menjalankan usaha ini janganlah hanya sekadar bekerja. Setelah itu sudah. Tetapi diperlukan juga semangat kebersamaan dan kerja sama yang kuat," katanya.

Oh Mathias, Mathias.

Berbicara tentang kerja sama kepada karyawan.... Bagaimana bila konsep kerja sama itu dibicarakan dengan cara begini: laba bersih atau profit yang terakumulasi pada akhir tahun dibuat terbuka bagi karyawan. Kemudian diputuskan secara bersama-sama dengan seluruh karyawan mengenai penggunaan profit itu kedepannya. Selain itu, diputuskan juga dengan kesepakatan bersama bagaimana sebagian dari profit itu dikembalikan kepada para karyawan sebagai pihak yang telah menghasilkannya melalui kerja selama setahun penuh, sehingga akan tercipta kondisi yang seperti kata pepatah dari bahasa Anglo-Saxon itu: from each according to his ability, to each according to his need.

Itulah kebersamaan dan kerja sama.

Tetapi sepertinya Mathias akan tertawa mendengarnya. Dia ingin berbisnis, bukan membuat semacam koperasi. Buat apa berkorban uang banyak hanya untuk berbagi-bagi dengan yang lainnya? Dalam hukum bisnis, profit adalah bagiannya. Hasil atas pengorbanannya menggelontorkan uang dalam jumlah yang amit-amit banyaknya. Tentu semua orang harus maklum, dia susah-payah berkorban menggelontorkan uang untuk membeli infrastruktur dan mengupah bawahannya. Sungguh keterlaluan bila ternyata pengorbanannya itu tidak menghasilkan apa-apa.

Toh, bila ada bawahannya yang tetap membandel dan mencoba-coba untuk menuntut pembagian profit yang lebih adil, mungkin kasus yang terjadi di Freeport akhir-akhir ini bisa dijadikan contoh oleh Mathias untuk memperingatkan para bawahannya. Tuntutan para pekerja Freeport untuk mendapatkan pembagian profit yang lebih adil harus diwarnai aksi kekerasan oleh aparat keamanan. Hasilnya, satu orang pekerja Freeport tewas ditembus peluru dan lainnya menderita luka-luka, ketika para pekerja itu mencoba menduduki terminal Gorong-Gorong di Timika untuk memblokir angkutan kendaraan yang akan ke Freeport. Setidaknya Mathias dapat memperingati para bawahannya bila nanti ternyata ada yang membangkang: aparat keamanan di zaman ini adalah aparatusnya penguasa kapital, bukan bawahan yang manja dan banyak maunya.

Atas nama kemakluman...dan mitos, profit tidak perlulah dicari asal-muasalnya dari mana. Cukuplah dikatakan, itu adalah bagian dari yang empunya modal awal atas pengorbanan yang telah dilakukannya. Bukanlah bagian karyawan memusingkan perkara asal-muasal yang asal-asalan seperti itu. Cukuplah bagi karyawan untuk bekerja tekun, karena kerja itu sendiri adalah fitrah. Dengan bekerja, manusia dapat berfungsi. Dengan bekerja, kebudayaan dibangun. Dengan bekerja, kesehatan keluarga di rumah dapat terjaga. Dengan bekerja, manusia mampu meraih kesejahteraan.

Tidaklah perlu dipikirkan kerja sebagai fitrah manusia yang selalu berada dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Cukuplah dipahami bahwa kebersamaan dan kerja sama perlu ditingkatkan ketika dalam kondisi kerja, agar yang bekerja nyaman, dan pada akhirnya, profit dapat didongkrak dengan lebih tinggi lagi.

Mathias, Mathias. Kau sungguh orang penting.

Minggu, 09 Oktober 2011

The Dead

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Cult
Sebagian besar film zombie selalu mengambil latar belakang sebuah perkotaan. Biasanya, dalam latar belakang ruang perkotaan seperti itu, "pandangan" seolah-olah "disempitkan". Maksudnya, Kamu hanya akan melihat sekelompok orang bertahan atau bergerak dalam sebuah ruang yang sudah bisa diprediksi: jalan raya (Zombieland, Resident Evil) atau bersembunyi di dalam gedung (Shaun of the Dead, Dawn of the Dead, dan banyak lagi).

Tetapi bagaimana bila sebuah film Zombie mengambil latar belakang suatu tempat yang kita kenal sebagai tempat yang luas, seperti padang pasir di Afrika, dimana tidak ada jalan raya, gedung, ataupun fasilitas-fasilitas lainnya yang bisa dipakai sebagai tempat untuk bersembunyi atau sekadar membuat pertahanan untuk menghalau serangan zombie? Bagaimana bila daratan dan padang pasir yang gersang, dan luas seperti afrika dipenuhi oleh zombie? Di sinilah keunikan film The Dead arahan Howard J. Ford. Kamu pikir dengan leganya daratan seperti Afrika, kamu bisa berlarian ke sana-kemari dengan leluasa dan memiliki pandangan yang luas juga tentang keberadaan zombie. Kamu salah. Zombie tetaplah zombie. Dimanapun mereka ditempatkan, mereka menggigit.

Jumat, 09 September 2011

silumantulen mixtape vol 1: midnight folks

Mungkin kalau mau ngomong secara ‘ketat’, tulisan ‘Mixtape’ di atas harusnya diganti menjadi ‘Mixmp3’. Soalnya, ya, karena bentuk file yang diunggah di sini berbentuk file digital, bukan pita kaset. Tapi, masa bodohlah. Soalnya, terasa tak enak dilidah kalau melafalkan ‘Mixmp3’. Kagok. Terus, seperti keliatan kurang keren gitu…. Jadi, ya, kagok negro juga. Mending sebut dengan istilah ‘Mixtape’ saja. Istilah di jaman ketika kaset masih jaya-jayanya di era 90an. Istilah ketika antara teman masih sering tukeran kaset kompilasinya sendiri. Istilah ketika jari-jemari masih merasakan sedikit nyeri, karena sering menekan tombol fast forward dan rewind yang keras di pemutar kaset. Istilah ketika masih ada rasa kesal dan marah yang muncul, karena melihat pita kaset pabaliut gara-gara head nya sudah butut. Yup, good ol’ times never dies.

Heup ah. Saatnya untuk sedikit kata pengantar buat ‘bingkisan’ dari silumantulen.

Di postingan kali ini, saya hanya ingin sedikit memberi ‘bingkisan’ berupa lagu-lagu yang sering didengarkan akhir-akhir ini. Lagu-lagunya itu sendiri dikompilasi dan diberi titel ‘silumantulen mixtape vol 1’.  Khusus untuk kompilasi volume pertama ini, lagu-lagu yang  ada di dalamnya merupakan lagu-lagu yang memiliki genre yang spesifik, yakni folk. Mungkin lebih tepatnya adalah lagu yang bergenre folk bernuansa ballad, country, dan blues (semenjak varian dari folk itu sendiri beragam). 

Pertama kali saya menyukai musik-musik bergenre folk ini adalah ketika menonton film Elizabethtown. Kalau kalian sudah ada yang pernah menonton film itu, mungkin kalian ingat adegan di akhir-akhir film, ketika Drew Baylore (Orlando Bloom) mengendarai mobil untuk pulang ke kotanya seusai acara pemakaman ayahnya sambil mendengarkan kompilasi lagu yang diberikan oleh Claire Colburn (Kirsten Dunst). Di setiap tempat baru yang dilewati, Baylore mendengarkan lagu sesuai dengan yang diinstruksikan oleh Colburn dalam sebuah catatan yang ada di bungkus kompilasi lagunya. Nah, di adegan itu, lagu-lagu yang diputar oleh Baylore langsung masuk ke telinga saya. Apalagi visual-visual yang ditampilkan dalam adegan itu juga bagus; seputar hal-hal yang ada dalam sebuah perjalanan, seperti jalan raya, kota, suasana alam di Amerika. Antara visual dan lagu terasa saling mendukung.

Bermula dari film itulah kemudian saya mencari album soundtracknya.Album soundtrack Elizabethtown ini sebagian besar diisi oleh artis-artis yang membawakan musik folk. Mulai dari Patty Griffin hingga Jeff Finlin. Bahkan Elton John pun ada di album ini membawakan ‘My Fathers Gun’ dari album Tumbleweed Connection (1970). Mungkin kalian juga bisa googling album Ost. Elizabethtown kalau berminat. Link downloadnya juga berserakan di mana-mana di dunia maya ini. Nah, bermula dari mendengarkan album soundtrack Elizabethtown inilah kemudian saya tertarik untuk mencari-cari lagi musik folk hingga saat ini.

Di silumantulen mixtape vol 1 ini ada tiga artis yang saya ambil dari album Ost. Elizabethtown, yakni Patty Griffin, I Nine dan Eastmountainsouth. Selebihnya adalah artis-artis dari hasil pencarian musik folk selama ini. Artis-artis itu dipilih berdasarkan pilihan personal belaka: lagu mereka memberi soundtrack dalam keseharian. Ada masa-masanya ketika lagu-lagu itu mengiringi di saat kehidupan lagi terasa apeu (seperti sekarang-sekarang ini), ada masanya juga ketika lagu-lagu itu mengiringi di saat kehidupan lagi woles. Pastinya, lagu-lagu yang ada di mixtape ini berkesan secara personal.

Okelah, tanpa berbasa-basi lebih lanjut lagi. Saya mengucapkan selamat mendengarkan. Pastinya mixtape ini saya dedikasikan kepada mereka para penikmat musik yang berpikiran terbuka, mereka yang selalu terinspirasi oleh musik, dan mereka yang berusaha menikmati hidup betapa pun berat tantangan yang ada di dalamnya. Mudah-mudahan mixtape ini bisa menjadi pelipur lara, atau minimal mengiringi, ketika kamu beristirahat pada malam hari sesudah menjalani fase-fase hidup yang sedang ditempuh, baik itu fase yang menyebalkan ataupun sebaliknya.

Memelintir kata AC/DC: for those about to rock…I salute you! Cheersh :)

============================================================================

SILUMANTULEN MIX TAPE VOl 1: MIDNIGHT FOLKS track list:

01. Heirlooms of August - A Flower My Love Grows

02. Mark Kozelek - Celebrated Summer

03. Patty Griffin - Long Ride Home

04. Corrosion of Conformity - Stare Too Long

05. Sun Kil Moon - Lost Verses

06. Sleepy Sun - Ooh Boy

07. Jesse Sykes and the Sweet Hereafter - Morning It Comes

08. Hindi Zahra - Fascination

09. I Nine - Same In Any Language

10. Eastmountainsouth - Winter


Selasa, 06 September 2011

Ngaler-Ngidul: Ramadhan Tahun Ini

Secara personal, Ramadhan tahun ini terasa sedikit menenangkan bagiku. Bisa berada jauh dari rumah dan beraktivitas tanpa risau akan hal-hal mengenai pekerjaan yang belum kunjung didapat. Saban siang membaca buku Martin tentang Alan Badiou, nonton film sepuasnya dari laptop, ngobrol dengan saudara-saudara yang lama tak bersua, menghisap ganja sendirian di kamar pada malam hari, menunggu siaran bola Indonesia vs Iran bareng keluarga besar (berikut tidak jadi nonton, karena sinyalnya terganggu), bercanda dengan keponakan yang lucu-lucu. Semuanya terasa menyenangkan. Rumah almarhum Amih dan Apih di Tasikmalaya, tempatku tinggal selama Ramadhan, memang juara.

Berkunjung ke rumah di Tasikmalaya sudah seperti ritual yang wajib dilakukan setiap tahunnya bagi keluarga besar kami. Tanpa hadir ke Tasikmalaya setiap Ramadhan, rasa-rasanya seperti ada yang kosong saja. Entahlah, mungkin memang sudah faktor kebiasaan saja semenjak ‘kami’ kecil dulu. Selain itu, rumah almarhum nenek dan kakekku di Tasikmalaya itu juga bagiku selalu terasa nyaman. Rumahnya bergaya arsitektur jaman Belanda. Cukup besar ukurannya. Bahkan terdapat hingga dua puluh kamar kosan yang berjejer dari mulai bagian samping rumah hingga ke bagian belakangnya. Mungkin karena gaya arsitekturnya yang berasal dari jaman kolonial itulah mengapa rumah itu bisa nyaman. Biasanya rumah bergaya jadul seperti itu, hawa-hawanya selalu bikin adem. Walaupun siang hari terasa menyengat, tetapi bila berada di dalam rumah tetap saja terasa dingin. Entahlah, mungkin itu gara-gara pengaruh teknik membangun rumahnya. Tak tahu juga. 

Salah satu bagian dari rumah itu yang paling kusenangi adalah teras depannya. Sangat nikmat bila sore-sore kamu diam di teras depan rumah sambil menyeduh kopi dan berbicara apa saja dengan saudara lainnya sambil mata tertuju ke arah jalan raya yang ada di depan. Orang-orang lalu lalang, pedagang hilir-mudik, dan perempuan cantik kadang melenggang. Atau bila malam hari tiba, ketika jalanan kota sudah mulai sepi, dan keluargaku yang lain sudah terlelap tidur, aku menghisap ganja di teras itu. Mengambang lambat bersama asap herbal diantara senyapnya kota yang tertidur…

Aku teringat ucapan Mas Dede mengenai pengaruh hubungan kekeluargaan dan budaya mudik (pulang ke kampung halaman) di Indonesia ini bagi buruh-buruh. Dengan masih adanya hubungan kekeluargaan yang cukup mengikat, dan ikatan ini salah satunya tercermin dari budaya pulang ke kampung halaman setahun sekali, membuat kondisi buruh di Indonesia setidaknya lebih mending daripada kondisi buruh di sebagian besar daratan anglo-saxon sana. 

“Setidaknya kalau buruh-buruh itu dipecat, mereka punya tempat pelarian agar tidak menjadi depresi. Setidaknya memberi jeda atas rentetan masalah yang dihadapi. Ikatan keluarga yang masih kental cukup membantu dalam hal ini. Berbeda dengan orang-orang anglo-saxon yang ikatan keluarganya tidak seerat Indonesia. Rentan stress dan depresi bila ada buruh sana (Eropa) yang dipecat, karena tidak memiliki tempat pelarian, seperti kampung halaman dan ikatan keluarga yang kental,” katanya kepadaku suatu waktu.

Aku belum pernah ke luar Indonesia, dan sejauh ini belum merasakan seperti apa PHK itu. Bahkan akupun masih belum bekerja. Selain itu, ucapan Mas Dede mengenai kadar depresi antara buruh Eropa dan Indonesia terkait PHK dan ikatan keluarga itu pun perlu dibuktikan lebih lanjut kebenarannya. Hanya saja, ketika aku meninggalkan Tasikmalaya, dan berada kembali di Bandung, aku teringat ucapan temanku itu. Terutama mengenai pulang kampung yang memberikan jeda atas permasalahan yang sedang di hadapi. Kupikir memang terdapat perbedaan setibanya aku di Bandung: beberapa urusan menjadi terpikirkan kembali untuk segera dibereskan agar tidak menjadi kegelisahan yang terus berlanjut. Ini tidak seperti seminggu kemarin di Tasikmalaya, ketika berada di tempat dimana rasa-rasanya --- mengutip E.S Ito --- “tidak ada kemalangan, kesusahan, dan kesedihan."

Ramadhan Tahun Ini

Secara personal, Ramadhan tahun ini terasa sedikit menenangkan bagiku. Bisa berada jauh dari rumah dan beraktivitas tanpa risau akan hal-hal mengenai pekerjaan yang belum kunjung didapat. Saban siang membaca buku Martin tentang Alan Badiou, nonton film sepuasnya dari laptop, ngobrol dengan saudara-saudara yang lama tak bersua, menghisap ganja sendirian di kamar pada malam hari, menunggu siaran bola Indonesia vs Iran bareng keluarga besar (berikut tidak jadi nonton, karena sinyalnya terganggu), bercanda dengan keponakan yang lucu-lucu. Semuanya terasa menyenangkan. Rumah almarhum Amih dan Apih di Tasikmalaya, tempatku tinggal selama Ramadhan, memang juara.

Enter The Void

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Cult
“[..] it's the story of someone who is stoned when he gets shot and who has an intonation of his own dream.” –Gaspar Noe, sutradara Enter the Void-

Oscar adalah semacam pedestrian di Jepang yang berasal dari Amerika. Sehari-harinya Oscar menjual narkoba untuk menopang kehidupan di negeri matahari terbit itu. Suatu saat teman Oscar yang juga tinggal di Jepang, yakni Victor, ingin membeli narkoba darinya. Lalu bertemulah mereka di suatu bar kecil di Tokyo. Namun tak disangka, pertemuan itu ternyata adalah jebakan. Tiba-tiba saja polisi berhamburan masuk ke dalam bar. Rupanya Victor menjadi informan bagi pihak kepolisian Jepang.

Panik mengetahui dirinya dijebak, Oscar lantas berlari ke arah toilet untuk membuang narkoba di kloset. Berharap bisa menghilangkan barang bukti. Namun upaya menghilangkan barang bukti itu ternyata gagal, karena Oscar keburu ditembak di dalam toilet tersebut oleh polisi yang berusaha untuk menangkapnya.

Adegan penembakan Oscar di sebuah toilet bar kecil bernama “The Void” itu menjadi titik awal dimulainya film Enter the Void ini. Tema besar film ini memang berusaha untuk menggambarkan mengenai pengalaman seseorang ketika jiwanya lepas dari tubuh dan mulai bergentayangan. Selama hampir lebih dua jam setengah (!), kita akan disuguhi oleh visualisasi mengenai bagaimana ‘arwah’ Oscar ini gentayangan.

Mula-mula, setelah Oscar ditembak dan arwahnya mulai bergentayangan, kita akan dibawa mengembara ke potongan-potongan masa kecil Oscar. Kemudian pengembaraan arwah Oscar berlanjut dengan menggentayangi orang-orang terdekatnya. Maksud ‘menggentayangi orang-orang terdekat’ ini sebenarnya lebih kepada upaya penggambaran tentang bagaimana kematian Oscar memberi dampak terhadap orang-orang terdekatnya.

Di film ini kita akan melihat bagaimana kehidupan Linda, adik perempuan Oscar, yang hancur, karena di tinggalkan keluarga satu-satunya itu. Apalagi Linda hidup di negeri yang jauh dari negeri asalnya. Lalu kita juga akan melihat bagaimana sobat karib Oscar, Alex, yang juga ikut terkena imbas akibat kematian Oscar. Dia terpaksa harus sembunyi dan menghindari kejaran polisi Jepang, karena hubungannya antara Oscar dengan pemasok narkoba utama di Jepang. Semuanya dilihat dari kacamata orang-pertama ---dalam film ini, artinya dari sudut pandang Oscar sebagai arwah gentayangan.

***
Saya pikir setidaknya terdapat empat poin yang membuat film ini menarik. Keempat poin itu adalah kematian, psikedelik, narkoba, dan seks. Di sini saya akan mencoba menjabarkan mengenai empat poin tersebut.

Untuk poin pertama, kematian. Oke. Inilah rahasia umum umat manusia yang masih mengandung misteri (setidaknya buat mereka yang masih hidup). Dikarenakan misterinya, telah banyak orang yang berbuat sesuatu kepada kematian ini. Mulai dari mencoba menjelaskannya, hingga tergerakkan oleh nya. Tetapi, karena sebenarnya ‘sesuatu’ setelah kematian merupakan hal yang asing bagi kehidupan, maka manusia tentunya tidak dapat berbuat melebihi bayangannya sendiri. Dengan lain perkataan, imajinasi menjadi sesuatu hal yang penting di sini. Imajinasi dapat bergerak liar tanpa terkungkung bayangannya sendiri. Oleh sebab itulah, menjadi menarik melihat bagaimana imajinasi seseorang mengenai kematian divisualisasikan. Setidaknya kita bisa mengetahui ‘versi’ kematian seperti apakah yang diyakini seseorang itu. Mungkin setelah melihat film Enter the Void sampai habis, kamu bisa mendapatkan bayangan seperti apa konsep kematian yang divisualisasikan dalam film ini.

Poin kedua, psikedelik. Hoho, ok. Sebut saya jadul, tapi saya senang aroma tahun 60-70an. Terutama segala hal berbau psikadelik, mulai dari subkulturnya, fashionnya, musiknya, bahkan hingga rambut afro ala Gil Scott Heron saya ambil semua. Termasuk ‘warna’ yang bercirikan psikadelik (campuran warna-warna cerah yang seringkali bergerak secara spiral). Nah, dalam film Enter the Void ini kita akan disuguhkan oleh tatanan-tatanan warna psikadelik yang indah seperti itu. Bersamaan dengan arwah Oscar melayang dari satu tempat ke tempat lainnya, seringkali kali kita akan diselingi oleh gambaran-gambaran (mungkin metafora alam kematian) berbentuk absurd yang berwarnakan psikadelik. Gambaran-gambaran itu berputar-putar dan bertransformasi, sehingga komposisi warna di dalamnya pun turut terbentuk sedemikian rupa. Cukup menyenangkan melihatnya. Hal ini, warna-warna psikadelik ini, juga akan membawa kita pada poin ketiga, yakni narkoba.

Yup, narkoba. Satu hal yang membuat dunia ini menjadi sedikit woles dan penuh hiburan. Bila narkoba disebut di sini, itu berarti maksudnya adalah semacam ‘rokok herbal’. Bukan narkoba semacam etep, heroin, atau apa lah yang berbau kimia dan diinjeksi kedalam darah sendiri. Narkoba di sini maksudnya adalah segala hal yang bersifat halusinogen, entah itu rokok herbal atau mushroom.

Oke, lalu apa hubungannya ‘rokok herbal’ sebagai narkoba dengan film Enter the Void? Jawabannya juga simpel; dengan menghisap ‘rokok herbal’ sambil nonton Enter the Void akan membuat kamu stoned dengan sangat woles! Melihat bagaimana gambar, warna, hingga sudut pandang kamera yang bergerak liar ---nih, saya kasih tau --- akan membuat halusinasi kamu (sebagai dampak asap ‘rokok herbal’) juga bergerak lincah dan liar. Coba saja, ketika nonton film ini, lampu kamar kamu matikan, sehingga cahaya satu-satunya hanyalah berasal dari layar tivi dan api ‘rokok herbal’. Biarkan cahaya dan visual dari film Enter the Void mendominasi penerangan di kamar kamu yang sempit itu. Lalu kamu bakar itu beberapa linting ‘rokok herbal’, dan rasakan efek ‘pengembaraan-asap-herbal-karunia-alam’-nya. Saya pikir hal seperti itu seharusnya menjadi tripping yang sangat ‘psikedelik’. Yo man…

Nah, poin terakhir yang membuat film ini menarik: seks. Anjis, adegan seksnya lumayan banyak. Apalagi adegan perempuan telanjang...beuh. Cocoklah. Teknik flying-camera, warna-warni psikadelik kota Tokyo, gambar-gambar absurd, narkoba, get stoned, seks, perempuan telanjang…it’s a hell of a trip.

PS: oya, film ini durasinya minta ampun panjangnya. Sekitar dua jam setengah. Jadi…tontonlah dengan woles :)


Kamis, 18 Agustus 2011

Keterlambatan

Mufti berkata, momen itu harus kau raih. Melewati momen tersebut dengan sia-sia hanya akan berarti lampu merah yang menyala. Melewatinya dengan kesia-siaan hanya berarti suatu pertanda, bahwa kau harus mulai mencemaskan diri mu. Ucapan Mufti itu sudah bertahun-tahun lamanya kudengar. Dan ucapan Mufti suatu waktu itu, yang kuingat saat ini, nampaknya menjadi suatu pengingat tersendiri bagi diriku, bahwa aku sudah melewati momen itu terlalu lama. Dan ya, seperti yang Mufti telah wanti-wanti pada masa itu: kecemasan akan sesuatu yang sebenarnya masih menjadi potensi, ternyata begitu membuat risau saat ini. Betapa menyedihkannya bila kupikir-pikir, bahwa betapa banyak waktu yang saat ini kusadari, ternyata telah tersia-siakan begitu saja.

Jumat, 12 Agustus 2011

Mengenai Ketidakpastian dan Pikiran-pikiran yang Mengelilinginya

Beberapa minggu kemarin saudaraku pernah mengatakan, bahwa saat ini bukanlah masanya untuk menyepelekan segala sesuatu. Sekecil apapun permasalahan yang dihadapi, kita harus menghadapinya secara serius dan menyelesaikannya hingga tuntas.

Catatan Mengenai Proses Kerja Dalam Kapitalisme


Setiap orang sudah mahfum dan memahami, bahwa dalam dunia kerja saat ini tujuan satu-satunya adalah meraih penghargaan dalam bentuk bayaran. Katakan saja bayaran di sini adalah upah. Satu-satunya yang ingin diraih adalah uang yang didapat di akhir bulan, ketimbang proses dalam aktivitas kerja dalam rentang waktu sebulan. Tentu upah menjadi sesuatu yang esensial, karena upah merupakan perantara bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan mendasarnya: mencari makan, memakai busana yang pantas, dan membayar tagihan-tagihan lainnya yang menyangkut permasalahan “papan”.

Minggu, 17 Juli 2011

Penanaman Modal Asing di Indonesia

Ga sengaja nemuin catatan-catatan tugas masa kuliah dulu. Tulisan di bawah ini adalah salah satunya. Di foldernya di tulis 'semester 4'. Itu berarti tulisan ini dibuat sekitar tahun 2005-2006... Yah, walaupun waktu dibuat tulisannya tergolong dah lama, tapi pas diliat-liat lagi isinya, kaya nya masih bisa lah itu disebut "masih nyambung" sama sikon saat ini. Yah, silahkan saja dilihat.

Indonesia adalah negara yang kaya akan hasil buminya. Banyak kekayaan alam yang dihasilkan di negara ini, seperti batu bara, tembaga, perak dan emas. Namun sayangnya, dari sekian banyak kekayaan alam yang terdapat di Indonesia, negara ini masih belum dapat mengolahnya dengan baik. Hal itu terjadi karena Indonesia masih belum menguasai teknologi yang berkaitan dengan pengolahan sumber-sumber kekayaan alam tersebut, sehingga kekayaan-kekayaan alam itu belum bisa didistribusikan dan dinikmati secara merata kepada seluruh rakyat Indonesia.

            Dalam hal ini contohnya adalah kekayaan alam Indonesia berupa emas yang terdapat di daerah Papua. Di daerah ini banyak terkandung emas, namun dikarenakan minimnya penguasaan teknologi yang berhubungan dengan pengelolaan sumber-sumber kekayaan alam tersebut, maka negara Indonesia masih belum bisa memanfaatkannya dengan baik. Maka dari itu, untuk mengatasi kelemahan tersebut, Indonesia mengadakan suatu kerja sama ekonomi dengan negara yang memiliki penguasaan teknologi yang sanggup mengelola sumber-sumber kekayaan alam tersebut agar kelak dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.

            Negara lain yang mempunyai penguasaan atas teknologi tersebut adalah Amerika Serikat (AS), melalui salah satu jajaran korporasi multinasionalnya yang bernama Freeport. Kerjasama yang dilakukan antara Indonesia dan Amerika ini ditujukan agar dapat menjadi suatu momentum yang baik bagi teraihnya keuntungan di kedua belah pihak.

            Pada dasarnya, ketika Indonesia melakukan kerjasama dengan AS, Indonesia telah mempraktekkan suatu teori yang dikeluarkan oleh Harrod-Domar, yaitu teori tentang tabungan dan investasi. Teori Harrod-Domar ini menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara akan meningkat apabila tabungan dan investasi dari pihak luar itu tinggi. Sebaliknya, apabila tabungan dan investasi suatu negara rendah, maka pertumbuhan ekonomi suatu negara akan berjalan lambat.

            Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa masalah pembangunan pada intinya merupakan masalah menambahkan investasi modal. Dalam hal ini, penanaman modal adalah inti dari permbangunan ekonomi suatu negara. Bila suatu negara mengalami keterbelakangan ekonomi, maka hal itu disebabkan karena kurangnya  penanaman modal di suatu negara yang mengalami keterbelakangan ekonomi itu. Kalau ada modal dan modal itu diinvestasikan, maka hasilnya adalah pembangunan ekonomi.

            Investasi yang dilakukan pemerintah AS melalui korporasinya bernama Freeport kepada Indonesia untuk mengelola emas di Papua, merupakan modal bagi Indonesia untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Dengan penguasaan teknologi AS, diharapkan emas yang terkubur di wilayah Papua akan dapat diolah dengan baik dan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Papua. Sehingga hal tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

            Dalam teori Harrod-Domar, ketika investasi atau penanaman modal di suatu negara itu meningkat, maka pertumbuhan ekonomi suatu negara itu juga akan naik. Akan tetapi, akhir-akhir ini di media massa sering diekspos bagaimana masyarakat Papua tidak merasa puas dengan kehadiran Freeport di wilayah tersebut. Masyarakat Papua yang protes itu pada intinya menyuarakan bahwa kehadiran Freeport tidak memberikan kontribusi apa-apa terhadap perkembangan ekonomi di wilayah sekitarnya. Protes masyarakat Papua itu sebenarnya telah berlangsung lama, namun baru-baru ini saja terekspos besar-besaran setelah terjadi insiden pengrusakan kantor perwakilan Freeport di Jakarta dan kerusuhan di Universitas Cenderawasi Papua yang mengakibatkan empat orang aparat kepolisian dan empat orang lagi rakyat sipil tewas.

            Lalu, sebenarnya apa yang terjadi? Berdasarkan teori Harrod-Domar, penanaman modal yang tinggi dalam suatu negara akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia, khususnya daerah Papua, malah sebaliknya. Ketika ada investor asing, seperti Freeport, yang menanamkan modalnya di Indonesia, masyarakat Papua malah memprotesnya dengan keras dan menuntut agar korporasi multinasional itu segera ditutup dengan alasan tidak banyak memberi kontribusi bagi masyarakat di sekitarnya. Setelah Freeport berdiri sekian lama, nyatanya wilayah tersebut masih saja berada dalam situasi keterbelakangan. Masih banyak masyarakat Papua yang berada di bawah garis kemisikinan dan banyak pula masyarakat Papua yang meninggal karenanya. Wilayah disekitar Freeport seperti tidak tersentuh oleh kehadiran korporasi multinasional tersebut.

Maka bisa dibilang suatu hal yang wajar apabila akhir-akhir ini masyarakat Papua marah kepada pemerintah Indonesia dan Freeport, karena hak-hak masyarakat Papua atas kekayaan alamnya sendiri seolah-olah dicampakkan begitu saja. Kehadiran Freeport seakan-akan hanya menguntungkan negara induknya saja, yaitu AS, tapi tidak dengan Indonesia itu sendiri. Hal tersebut merupakan kenyataan ironis, mengingat Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan alamnya itu.

            Mungkin kasus Freeport diatas dapat dijelaskan melalui pendapat yang dikemukakan oleh Paul Baran tentang teori hasil pemikirannya yang dinamakan dengan teori “Sentuhan yang Mematikan” dan Sinkretisme. Menurutnya, adanya intervensi negara kapitalis maju seperti AS dalam bentuk penanaman modal di negara-negara, meminjam istilah Prebisch, kapitalis pinggiran, seperti salah satunya Indonesia, akan mengakibatkan negara-negara kapitalis pinggiran tersebut terhambat kemajuannya dan akan terus hidup dalam keterbelakangan.

            Baran menyatakan, perkembangan kapitalisme di negara-negara pinggiran, sistem kapitalisme seperti terkena penyakit sinkretisme. Orang yang dihinggapi penyakit ini tetap kerdil dan tidak bisa tumbuh besar. Hal itu bisa terjadi karena disebabkan karakteristik perkembangan kapitalisme di negara maju dan negara pinggiran. Perkembangan kapitalisme di negara maju tidak akan sama dengan perkembangan kapitalisme di negara pinggiran. Menurut Baran, mapannya sistem kapitalisme di negara-negara maju dimungkinkan terjadi, karena harta yang terakumulasi berada di tangan para pedagang dan tuan tanah kemudian diinvestasikan ke bidang industri.

            Berbeda halnya dengan yang terjadi di negara-negara kapitalis pinggiran seperti Indonesia. Yang terjadi di negara-negara kapitalis pinggiran ini justru sebaliknya. Munculnya kekuatan ekonomi asing telah membuat terhambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara ini. Dengan kehadiran kekuatan ekonomi asing dalam bentuk modal kuat dari negara kapitalis maju ke negara-negara dunia ketiga (negara-negara kapitalis pinggiran), membuat surplus yang terjadi disana, diambil oleh kaum pendatang, melalu berbagai macam cara. Ketika surplus yang terjadi di negara kapitalis pinggiran diambil oleh kaum pendatang, maka yang terjadi di negara tersebut bukanlah akumulasi modal, melainkan penyusutan modal.

            Teori Paul Baran tersebut mungkin dapat menjelaskan kenapa kekayaan alam yang begitu melimpah ruahnya di Papua tidak dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Papua itu sendiri. Hal itu terjadi karena kekayaan alam Papua yang melimpah ruah tersebut, sebagian besar ditarik ke negara asal Freeport itu berdiri, yaitu AS. Apabila ada rakyat Indonesia yang memang merasakan dampak dari kehadiran Freeport tersebut, saya yakin, dari keseluruhan populasi rakyat Indonesia, hanya segelintir orang saja yang dapat merasakan manfaatnya. Bila memang kekayaan alam Papua sebagian besarnya ditarik ke negara kapitalis maju benar, maka secara tidak langsung Indonesia ini sedang dirampas kekayaan alamnya oleh negara kapitalis maju tersebut. Bisa dibilang juga Indonesia ini mengalami suatu bentuk imperialisme gaya baru. Suatu penjajahan dalam bentuk yang lebih halus, yaitu penjajahan dalam bentuk kerjasama ekonomi. 

Selasa, 05 Juli 2011

Capruk: Shitlist Reviews

Musik mungkin ga bisa menyelesaikan masalah personal atau sosial, tapi setidaknya bisa lah itu kalau sekadar dijadiin soundtrack dalam keseharian. Sekadar pengiring di saat saat santai atau sedang tetirah. Yah, sekadar iseng, sekadar capruk…saat ini saya hanya ingin menulis tentang artis yang saya sering dengarkan akhir-akhir ini. Here we go…

Minggu, 26 Juni 2011

Mark McGuire


"This is an album about youth and memory, family and nostalgia-- it's a deeply personal, even autobiographical work."
-Joe Colly, October 19, 2010- 

Sabtu, 18 Juni 2011

Cerita Lama

Tulisan di bawah adalah semacam cerita lama yang tidak sengaja ditemukan ketika saya "mengembara" secara ngalor-ngidul di dunia maya. Cerita ini diambil dari blog saya sendiri yang password maupun namanya sudah terlupakan (sehingga saya tidak bisa masuk ke akunnya). Di blog tersebut tertulis tanggal postingannya 23 Agustus 2007. Lumayan lama juga. Tapi, ketika melihat-lihat isinya, lucu juga. Semacam permasalahan-permasalahan romantika apeu jaman pertengahan kuliah...yah, lihat saja sendiri. Semacam gumaman orang linglung ketika saya melihat lagi tulisan itu sekarang. 

Banyak hal yang berubah semenjak itu, memang.


   Terlibat dalam Permainan Bodoh yang Tidak Pernah Ingin di Mainkan


Sinarnya menembus melalui jendela. Kelas sungguh terang karenanya. Dibelakang terdapat beberapa orang yang bercanda. Tawa mereka sungguh keras betul. Sedikit tidak nyaman sebenarnya. Konsentrasi jadi terganggu ketika mengerjakan soal ujian. Tetapi untunglah. Bersyukur kepada Tuhan, bahwa ini menjadi ujian terakhir. Soal-soalnya lumayan susah dan di siang ini, semuanya menjadi terasa berat juga. Mengingat tentang seorang teman yang dua bulan kemarin kuberi sesuatu.

Dua bulan yang lalu kuberi ia apa yang kukubur selama setahun ini. Setelah itu aku tidak pernah melihatnya lagi. Begitu menerima, ia pergi dari hadapanku tanpa mengucapkan beberapa patah kata, kecuali keterkejutan yang tergambar dari raut mukanya. Syukurlah ia tidak marah, buktinya pagi-pagi mengirimkan pesan singkat. Sekedar mengucapkan terima kasih atas sesuatu yang telah kuberi itu. Ada perasaan lega kala itu. Lega karena, untunglah, ia tidak marah. Terbayang dalam benakku bagaimana manisnya ia saat tersenyum.

Sebentar lagi aku akan melihatnya kembali. Ada perasaan takut, bagaimana reaksi dia saat bertemu nanti. Dalam benakku terbayang situasinya tidak akan jauh seperti dulu. Canggung luar biasa. Tetapi mudah-mudahan semua itu akan berubah. Hati masih memeluk harapan. Salah juga diri ini dari dulu, terlalu takut untuk bergerak. Seperti yang sudah-sudah. Kebiasaan yang luar biasa susah untuk dirubah. Saya ingat seorang teman yang mengirim pesan singkat ketika perayaan tujuhbelasan kemarin: sudah 63 tahun Indonesia merdeka, tetapi apakah selama 23 tahun ini anda sudah merdeka? Bebaskeun atuh euy, tong tolangan wae!hehehe….

Pesan singkat itu tidak kubalas. Tetapi pesannya sudah pasti kuterima. Menancap hingga tak bisa hilang dalam pikiranku. Merdeka…saya belum merdeka. Saya belum bebas. Keparat kau, teman. Sekali lagi kenyataan pahit harus kutelan mentah-mentah. Semuanya karena pesan bodoh itu. Sesuatu yang baik tidak selalu manis. Ia bisa menelanjangimu, mempermalukan dirimu sendiri. Dan itu sakit. Perih. Sesuatu yang baik itu bisa membuat luka.

****
Disebelah kananku ada perempuan ini, namanya Nu. Ia baru kukenal ketika memasuki kelas ini. Angkatan 2003, sedang menyusun skripsi. Ia memakai kacamata. Rambutnya panjang diikat. Cocok sekali. Matanya runcing, sedikit terlihat seperti orang Cina. Secara keseluruhan ia cantik. Lebih cantik lagi tatkala kulihat ia dikelas itu, ketika cahaya matahari menembus melalui jendela dan menyentuh wajahnya. Terang sekali. Sepertinya halus bila kusentuh. Dalam benakku terbayang wajah temanku itu, yang pernah kuberi sesuatu dua bulan yang lalu. Sedang apa dia saat ini? Oh, aku ingin bertemu dengannya.

Nu kebingungan mengerjakan soal ujian. Dia bertanya kepadaku dan kuberi tahu cara mengerjakannya…dengan pengetahuan saya yang minim tentunya. Ya, ia sungguh manis. Nyaman pula ngobrol dengannya. Ia menggerutu dengan manjanya. Mengetahui jawaban ujian yang dia kerjakan tidak tepat dengan rumus yang kuberikan. Lalu ia bertanya kepadaku apakah aku mempunyai type-x. Kujawab tidak punya. Ia melihat-lihat kebelakang, mencari-cari orang yang mempunyai type-x. Tidak ada, nampaknya. Lagipula orang-orang yang duduk dibelakang tidak ada yang dia kenal. Sepertinya malas juga dia untuk bertanya. Ia kemudian mengeluarkan handphone dari dalam tasnya dan mulai menghubungi seseorang. Mesra dan manja sekali terdengar pembicaraan Nu dengan seseorang yang ia hubungi itu. Pasti pacarnya, pikir saya. “Yang, ambilin alat tulis aku dong. Bawa ke atas, ya? Nanti kita makan-makan, deh, abis ini. Yah-yah…mau kan, Yang?”, kata Nu setengah berbisik dan…manja.

Waktu ujian sebentar lagi usai, saya sendiri sedikit panik karenanya. Rokok kunyalakan sebagai pereda stress. Ujian kali ini berbeda dengan yang sebelumnya. Tidak ada yang mengawasi. Dosennya sendiri tidak hadir, karena pergi ke luar kota. Ada urusan, katanya. Mahasiswa bebas untuk membuka buku dan nyontek. Walaupun begitu, soalnya minta ampun susah! 45 menit mengerjakan, baru dua soal yang selesai. Masih ada tiga lagi yang harus dikerjakan. Isinya panjang-panjang. Saya sendiri tidak yakin bisa mengisi ketiga soal itu dengan tuntas.

Tidak lama kemudian, ada seseorang diluar yang melihat ke arahku. Ia menunjuk-nunjuk ke orang disebelahku yang tidak lain adalah Nu. Ah, ini sepertinya pacar Nu. Ku senggol tangan Nu, memberitahukan ada seseorang yang mencarinya. Nu melongok ke arah pintu dan tersenyum, lalu menghampiri orang tersebut. Pacarnya botak dan nampak subur sekali. Tentram lahir-batin, tidak heran bila tubuhnya sangat subur, pikir saya. Nu kembali ke tempat duduknya sembari membawa cepuk. Saya menundukkan kepala, menghisap rokok dan pura-pura serius mengerjakan soal ketika ia lewat kehadapanku. Padahal saya tidak ingin ketahuan oleh Nu, bahwa saya memperhatikan ia dan pacarnya. Canggung juga.

Waktu terus bergulir dan terasa lama. Tetapi saya merasa hanya mengerjakan soal yang itu-itu saja. Berkutat di situ-situ saja. Sialan, kenapa rumusnya harus begini panjang? Sudahlah lebih baik nyontek saja untuk masalah perhitungan seperti ini. Ada temanku duduk dibelakang, namanya Annel. Ia gadis yang baik. Ia menawarkan kertas jawabannya kepada ku. “Ini, mau liat ga,” katanya sembari tersenyum. Saya senang bila melihat wanita tersenyum. Mereka selalu terlihat manis.

“Makasih ya,” kubalas senyumnya dan mengambil kertas jawaban dari tangannya. Saat itu siang menjelang sore, tetapi kelas terasa makin terang oleh sinar mentari. Orang-orang terlihat jelas di kelas itu.

“Gimana mau nyontek ga? Nih, mumpung ada yang nawarin kertas jawaban?” saya berkata pada Nu.

“Terserah lo aja, deh. Pokoknya gua nyontek dari lo,” jawabnya.

Waktu ujian sudah jelas habis dan seharusnya sudah saatnya jawaban ini untuk dikumpulkan. Benar saja, tidak lama kemudian, datang orang SBA. Mengumumkan bahwa waktu ujian telah habis dan bagi mereka yang tidak cepat-cepat mengumpulkan tidak akan diterima kertas jawabannya. Orang SBA itu mengambil aba-aba untuk keluar kelas, meninggalkan kami. Beberapa mahasiswa mulai mengejarnya. Betapa brengsek orang itu. Bahkan saya belum sempat mencontek jawabannya Annel. Saya dan Nu hanya bertatapan. Kami berdua sudah pasrah. Biarlah hanya dua soal yang terjawab. Saya pun mengejar orang SBA itu dan mengumpulkan kertas jawaban saya berikut kertas jawaban Nu.

Brengsek. Dari kelima ujian yang kuhadapi, ujian yang terakhir inilah yang paling menyita pikiran. Semua yang ada di dalam benak berseliweran. Rumus, teman yang sangat kurindukan kehadirannya, Nu dan betapa menyebalkannya menjadi diri sendiri; semuanya berputar-putar di otak.

Di luar kelas kunyalakan rokok. Terasa lemas tubuh ini melangkah. Benar kata orang-orang, bila tenaga pikiran yang terkuras, maka pengaruhnya bisa terasa ke seluruh tubuh. Kuperhatikan Nu, masih cantik. Dengan gontai kuberjalan menuju tangga bersama Nu. Ada seorang teman yang mengatakan kalau Nu ini mirip seorang teman yang sejurusan denganku, namanya Imeh. Saya perhatikan wajahnya. Mirip darimana? Jauh gitu. Dandannya jurnal banget, sih, kata temen saya lagi. Saya perhatikan cara dia berdandan. Ah, biasa saja. Lebih bronx si Imeh malah kalau kata saya.

“Berarti si Imeh itu beruntung bisa dimiripin sama gue,” katanya sembari tertawa lepas. Ceria sekali perempuan ini. Saya ingin sekali bisa ceria seperti dia.

Saya hanya tersenyum tidak berkata apa-apa mendengar jawabannya, karena saya sendiri tidak tahu harus menjawab dengan kata apa yang lebih pantas.

Di bawah tangga terlihat pacarnya yang botak dan bertubuh subur itu duduk menunggu kedatangan Nu. Melihatnya, Nu langsung menghampiri lelaki itu lalu memeluknya dengan mesra. Saya sendiri mendadak canggung. Mau pamitan, tapi tak tahu caranya harus gimana? Mereka berdua asyik ngobrol dan tetekbengek lainnya yang biasa dilakukan orang saat pacaran. Sudahlah, tinggalkan saja mereka berdua tanpa basa-basi, pikirku. Tetapi, ketika ku akan menuruni tangga lantai dua, Nu memanggilku dan mengucapkan terima kasih. Saya pun tersenyum dan menjawab, “sama-sama.”

Sampai diluar gedung, sudah tidak ada siapa-siapa lagi di kampus. Sepi. Seperti yang sudah-sudah, pikirku. Bingung sendiri jadinya. Harus kemana lagi dari sini? Pulang ke rumah malas. Ingin nongkrong sebentar, tapi sudah tidak ada siapa-siapa lagi. Rokok ku sambung lagi dan kuputuskan untuk pulang ke rumah. Tidur dan berusaha melupakan kehidupan ku yang sebelumnya, walaupun itu adalah hal yang mustahil. Dari arah gedung kuliah, Nu dan pacarnya baru saja keluar. Sekilas Nu menatapku dan aku cepat-cepat mengalihkan pandangan darinya. Pura-pura tidak melihat. Langkah ini kuteruskan menuju tempat parkir motor di depan.

Ah, Nu, di kelas tadi mungkin seperti pertemuan terakhir. Perkenalan yang tergolong singkat juga. Semester yang baru nanti mungkin tidak akan pernah berjumpa lagi. Beda dunia lagi. Ketika kau mau melihatnya lagi, ia sudah tidak ada. Orang yang menyenangkan kamu itu, Nu.

Lalu temanku ini…yang sangat kurindukan kehadirannya. Bagaimana pikiran dia terhadapku? Apakah ia masih ingat? Lalu apa yang akan dia lakukan nanti? Sebaiknya sikapku harus bagaimana? Jadi ini yang dinamakan putus asa. Patah arang. Saya sendiri sudah mulai kehilangan kepercayaan dan keyakinan terhadap diriku sendiri. Sudah tidak tersisa apa-apa. Hal apa yang bisa ditonjolkan dari diriku selama ini? Tidak ada. Ah, aku ingin pergi sejauh-jauhnya. Melupakan apa yang sudah pernah kujalani selama ini. Menghapus wajah teman-teman yang pernah melintas dalam pikiranku. Menghapus dia yang kusukai selama ini. Menjalani kembali semua dari titik nol.

Sungguh aku merindukannya. Tetapi disisi lain, sungguh takut juga bila aku memikirkan orang yang satu itu. Tentang reaksinya nanti saat bertemu denganku lah yang sangat ku takutkan. Teringat-ingat ketika bertemu ia di kantin dahulu. Tatapannya itu maut. Di satu sisi membuatku merinding. Tetapi disisi lain, kedua mata itu sungguh indah. Tidak akan pernah kulupakan. Kini kau sudah mengetahuinya, teman. Aku menunggumu.

==========================================================

This entry was posted on Thursday, August 23rd, 2007 at 11:00 pm and is filed under Uncategorized. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not allowed.


Rabu, 08 Juni 2011

My Mom Is The Best

Aing      : Mah, beli garpit setengah.... *nyorongin uang Rp 5.000

Mamah  : Nih, ambil aja sebungkus...

Aing      : ;) *dalem hati.

Selasa, 07 Juni 2011

Kehendak



“Oh so strange...hanging out everytime to reach the end. You never know how anything will change.”

-Pathetic Waltz, PS-


Kamis, 26 Mei 2011

"Saatnya idealisme disanguan"

Pelepasan Wisudawan

"...Of the endless trains of the faithless--of cities filled with the foolish; what good amid these, O me, O life? Answer. That you are here - that life exists, and identity; that the powerful play goes on and you may contribute a verse." (John Keating). 

***
Mungkin satu-satunya yang akan kukenang dari acara wisuda tadi adalah ketika pengambilan ijazah dari dekan fakultas (Fakultas Ilmu Komunikasi) dan peresmian dari rektor universitasku (Universitas Padjadjaran). Bagaimana tidak, sesaat setelah nama fakultas kami disebut oleh protokoler, suasana langsung terdengar riuh oleh sorak-sorai wisudawan yang berasal dari fakultasku itu. Sorak-sorainya tergolong tarkam juga bila dibandingkan fakultas lainnya yang ada di dalam ruangan itu. Buatku momen seperti itu lucu dan menyenangkan. Setidaknya fakultas ku menjadi sedikit eksis dan kelakuannya cukup ‘urakan’, kalau tak mau disebut tarkam :D

Pelepasan

"...Of the endless trains of the faithless--of cities filled with the foolish; what good amid these, O me, O life? Answer. That you are here - that life exists, and identity; that the powerful play goes on and you may contribute a verse." (John Keating).

***

Senin, 23 Mei 2011

Jagat Maya

Jagat maya. Suatu dunia yang menjadi bagian diriku kini. Berjuta-juta bit yang membentuk gugusan informasi tersaji didepan pelupuk mataku setiap harinya. Dan entah apakah jagat ini merupakan hal yang baik atau buruk bila berada di tataran individu, seperti diriku. Namun seringkali beragam wacana berkembang dikumandangkan oleh para pengkhotbah dunia baru: ini adalah cahaya terang bernama efisiensi yang akan membuat lonceng kematian bergema bagi dunia lama yang selalu berjalan lambat karena kotoran tikus-tikus koruptor di dalam birokrasi. Jagat maya pada saatnya akan membasmi tikus-tikus korup yang menggerayangi gedung kumuh birokrasi dan selalu menjadi penyumbat dalam kanal arus kapital. “Tidak ada alternatif bagi dunia lama, kecuali membuka tangan pada satu-satunya keniscayaan dalam hidup. Suatu keniscayaan yang akan menguapkan negara-bangsa, ras, teritorial, hingga waktu!” ujar sang Pengkhotbah.

Seseorang yang penuh semangat, Thomas L. Friedman (2006), memaparkan kasus yang berkaitan dengan jagat maya ini. Friedman menggambarkan mengenai suatu pelayanan jasa yang disebut dengan “pelayanan asisten pribadi” di Bangalore, India, bagi para eksekutif perusahaan global yang bertempat di Amerika. Pelayanan jasa yang digambarkan Friedman ini mengacu pada salah satu keunggulan dari jagat maya, yakni penekanannya atas daya dobrak terhadap batas ruang dan waktu. Seperti telah diketahui, terdapat perbedaan waktu yang tajam antara Amerika dengan India. Bila di Amerika waktu sudah larut malam, maka di India sebaliknya, dan vice versa. Dan jagat maya, pada gilirannya, mengatasi hambatan ruang dan waktu tersebut.

“Katakanlah sementara memimpin perusahaan, Anda dalam waktu dua hari diminta untuk memberikan pidato dan presentasi Power Point. Dalam waktu satu malam ‘asisten eksekutif jarak jauh’ Anda di India yang disediakan oleh Brickwork akan melakukan pencarian bahan, menyusun presentasi Power Point, dan meng-email semuanya, hingga siap tersedia di atas meja kerja Anda saat akan disampaikan,” papar Friedman, “sebelum meninggalkan kantor pada sore hari di New York City, Anda bisa memberikan tugas kepada asisten eksekutif jarak jauh Anda. Keesokan harinya bahan presentasi sudah siap.”

Jagat yang efisien, memang.

Friedman lantas memaparkan pandangannya mengenai jagat maya yang turut membentuk perubahan pada cara kerja masyarakat ini dengan nama “Globalisasi 3.0”. Penamaan itu dibuat oleh Friedman (2006: 10) untuk menggambarkan sebuah “dunia konvergensi antara komputer pribadi yang memungkinkan setiap individu dalam waktu singkat menjadi penulis materi mereka sendiri secara digital, serat optik yang memungkinkan mereka untuk mengakses lebih banyak materi di seluruh dunia dengan murah juga secara digital, serta perangkat lunak alur kerja yang memungkinkan individu-individu di seluruh dunia untuk bersama-sama mengerjakan suatu materi digital dari manapun, tanpa menghiraukan jarak antar mereka”.

Pada intinya, Friedman melihat, bahwa berkembangnya jagat maya telah merubah wajah dunia saat ini menjadi lebih datar. Penggambaran ‘datar’ dalam konteks ini lebih kepada penggambaran mengenai bagaimana sekat-sekat (seperti birokrasi, tapal batas geografis, negara-bangsa) yang sebelumnya eksis diandaikan menghilang, dan sebagai konsekuensinya, kegiatan perekonomian, seperti bisnis antar perusahaan akan semakin fleksibel dan efisien. Dengan dunia yang datar ini pula, Friedman beranggapan, bahwa setiap individu maupun kelompok dari beragam suku bangsa dapat berpartisipasi di dalamnya. Dari titik ini, Friedman terlihat menaruh harapan akan suatu benih pemberdayaan bagi individu-individu.

Jagat maya ramai diperbincangkan terkait dengan dampaknya dalam merubah struktur yang ada di masyarakat, dan bagaimana pola kehidupan di level individu berubah karenanya. Mike Wayne (2003), tanpa meremehkan perubahan yang diakibatkan oleh jagat maya terkait pemberdayaan bagi individu maupun kelompok, memiliki pandangan, bahwa jagat maya memiliki posisi didalam kapitalisme itu sendiri. Dalam artian, kemunculannya merupakan bagian dari logika kapitalisme yang terkait dengan krisis overproduksi.

Dalam hal ini Wayne merunut ke masa awal jagat maya mulai diperkenalkan dan berkembang pada awal dekade ‘90an. Setelah browser komersial pertama,  Netscape, diluncurkan di AS, terjadilah suatu investasi besar-besaran dari industri telekomunikasi swasta di AS. Dan mengiringi tingginya skala investasi itu, maka kapasitas serat optik internet pun semakin bertambah. Namun, di sisi lain, investasi dengan skala yang besar itu justru menimbulkan suatu paradoks yang dikenal dengan krisis bernama “dot.com crash” pada pertengahan tahun ‘90an. Ini adalah suatu keadaan dimana suatu tingkat laba yang dihasilkan dari investasi dengan skala besar dari industri-industri telekomunikasi swasta itu terus-menerus mengalami penurunan secara drastis, sehingga menyebabkan banyak perusahaan telekomunikasi yang berinvestasi mengalami kebangkrutan. Tingkat laba menjadi berbanding terbalik dengan tingginya tingkat skala investasi.

Selain itu, Wayne juga memiliki pandangan, bahwa krisis ‘investasi’ ini pula berkaitan dengan tidak selarasnya aktivitas di level produksi dengan level konsumsi. Maksudnya, ketika semua perusahaan telekomunikasi yang berinvestasi dalam bisnis internet ini masing-masing menawarkan layanan telekomunikasi dengan membangun infrastrukturnya sendiri sehingga terjadi keberlimpahan kapasitas internet, namun pada saat bersamaan, tingkat “konsumen on-line” tidak meningkat secara selaras dengan peningkatan di level produksi tersebut.

Turunnya tingkat laba tentu merupakan suatu malapetaka bagi perusahaan yang mengalaminya. Namun dalam beberapa hal, krisis dot.com crash itu justru membawa berkah tersendiri bagi perusahaan-perusahaan yang datang kemudian. Berkah itu berkaitan dengan keunikan kabel serat optik dari internet yang bersifat permanen. Dalam artian, sekali serat optik itu terpasang, maka tidak ada yang membongkarnya kembali, sehingga kelebihan kapasitas dari hasil investasi massif yang sebelumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan telekomunikasi yang telah bangkrut itu tidak akan hilang.

Pada saat yang bersamaan, aset-aset yang berasal dari perusahaan-perusahaan telekomunikasi yang mengalami kebangkrutan itu dijual kembali dengan harga yang murah oleh bank. Dengan begini, ibaratnya perusahaan baru yang akan memberi aset dari perusahaan yang sudah bangkrut itu tentu akan mengalami keuntungan berlipat.

Dari titik ini aku berpandangan, bahwa mungkin inilah yang dimaksud oleh Wayne dengan keberadaan jagat maya yang berposisi di dalam kapitalisme; bahwa segala proses yang digambarkan oleh Wayne menunjukan bagaimana populernya internet di masyarakat didahului dulu oleh sebuah proses krisis yang menjadi ciri kapitalisme, yakni semacam kelebihan ‘beban’ akibat investasi yang terlalu massif dalam sarana kekuatan produksi baru. Dan juga disebut berada di dalam kapitalisme, karena pada gilirannya krisis dot.com crash dapat memberi kemungkinan menuju konsentrasi maupun sentralisasi kapital. Dalam artian, seketika terdapat banyak perusahaan-perusahaan berguguran, pada saat bersamaan pula, berkembang suatu perusahaan yang memiliki sumber daya terkuat dan mampu melebarkan sayapnya tanpa kenal batas ruang maupun waktu demi meraup kapital yang tiada habisnya. Pada intinya, alur perkembangan internet dilihat masih berada dalam dinamika perputaran kapital. Kehadirannya belum mendobrak struktur fundamental kapitalisme secara radikal.

Keseharian: Jagat Maya dalam Sudut Mikro

Akhir-akhir ini aku sering mendengarkan lagu dari band bernama Scale the Summit. Mereka merupakan band yang berasal dari Texas, AS, yang memainkan musik sejenis progresif metal. Seluruh lagu Scale the Summit dimainkan tanpa adanya vokal. Total instrumental. 

Mengapa saya menulis tentang mereka? Karena sudah hampir dua minggu ini saya selalu intens mendengarkan musik yang mereka tawarkan dalam albumnya yang ketiga, the Collective (2011). Pada suatu waktu, saat mendengarkan Scale the Summit, aku mengalami suatu perasaan sentimental yang mungkin terdengar sangat tidak perlu. Suatu perasaan yang terasa hangat sekaligus haru, ketika melodi-melodi megah dan syahdu dari Scale the Summit mampu kutangkap dan kuikuti seolah-olah dengan gerakan lambat. Nadanya yang menyedihkan dibalik tampilan soundnya yang gahar, yang seolah-olah memancarkan suatu ketenangan, ternyata masih mampu kucerna secara jernih. Bahkan setelah kudengarkan berulang-ulang, aku masih tetap menikmati musik mereka. Sesuatu yang jarang sekali kuperoleh akhir-akhir ini dibalik berlimpahnya timbunan mp3 dan informasi lainnya dalam jagat maya.   

Buatku, intensitas dalam mendengarkan musik di jaman sekarang merupakan sesuatu yang istimewa. Dari sekian banyak musik yang bergelimangan di dunia maya dan siap untuk di unduh sebanyak mungkin, mengandaikan pula suatu kelimpahan informasi yang tidak akan bisa diimbangi oleh kemampuan manusia untuk menyerap semua kelimpahan itu sekaligus. Tentu saja semua ini bukan berarti aku menyalahkan tiap band yang ada dalam jagat maya, hanya saja ini semua hanyalah masalah kebingunganku atas jagat maya itu sendiri. 

Sudah menjadi umum sekarang ini bagaimana suatu musik didengarkan secara sambil lalu, karena pada saat bersamaan, begitu banyak sekaligus cepatnya sebuah band muncul dan tenggelam dimungkinkan dalam jagat maya ini. Kondisi seperti ini juga membuatku berpikir mengenai cita-cita seorang musisi pada masa lampau yang memimpikan karyanya bisa dikenal seluas mungkin. Bagaimana perasaan musisi itu sekarang bila melihat kehidupan saat ini, ketika suatu album dapat dengan mudah diproduksi melalui perangkat lundak dan di unduh dari situs yang terdapat dalam internet? Karena industri musik di jaman sekarang kupikir sedang berada di titik terendahnya bersamaan dengan meluasnya penggunaan internet; toko cd/kaset banyak yang ambruk, lagu banyak yang dibajak, bahkan musisi-musisi itu sendiri banyak yang protes terkait masalah pembajakan karya.

Perubahan wajah dunia musik ini membuat pikiranku mengira-ngira tentang wajah jagat maya yang sesungguhnya. Kupikir jagat maya merupakan jagat yang penuh ketidakjelasan didalamnya. Di satu sisi seseorang seperti Friedman menaruh harapan terhadap pemberdayaan individu maupun kelompok, serta efisiensi dalam aktivitas bisnis. Namun kupikir pandangan Friedman tersebut merupakan pandangan yang cocok diterapkan bagi mereka yang saat ini duduk dalam level setingkat CEO. Belum lagi, ketika seringkali kumerasa Friedman hanya melihat peranan internet dalam mengakomodasi perusahaan agar dapat berekspansi ke negara yang masih memiliki tingkat upah rendah sebagai hal nomor dua ketimbang penekanannya terhadap bagaimana internet yang dapat  membebaskan manusia dan menyumbangkan kekayaan pada suatu masyarakat (baca: perusahaan). Mungkinkah Friedman seseorang yang tergolong sebagai determinis-teknologi? Entahlah. Pastinya dia wartawan.

Hanya saja, aku masih mengalami kebingungan ketika memikirkan dunia seperti apa yang kualami saat ini. Seolah-olah semuanya berputar sangat cepat, dan tahu-tahu, segalanya telah hilang dan  digantikan dengan sesuatu yang baru. Sesuatu yang bahkan prosesnya tak kuketahui sedikit pun.  Pada suatu momen, kadang aku merasa seperti kehilangan diriku sendiri. Tidak mengetahui apakah sesuatu itu baik ataukah sebaliknya.

Senin, 02 Mei 2011

Kegagalan

"My eyes blurry, my minds heavy..I left Billbao and went to Rome" 
(Sunkilmoon - Tonight in Bilbao)

Satu pertanyaan sempat kulontarkan, "Apa sih maksudnya hidup dimulai pada umur 40 tahun?"

 Beliau lantas menjelaskan, bahwa ungkapan itu dimaksudkan bagi mereka yang telah memasuki fase kemapanan. "Mereka yang biasanya telah memiliki harta yang cukup atau berlebih, memiliki keluarga yang lengkap, dan kondisi dimana segala yang dimiliki atas hasil usaha sebelumnya itu dapat mulai dinikmati oleh yang bersangkutan," jelasnya.

Selasa, 26 April 2011

Spiritual

Suatu kehidupan digerakan oleh tindak-tanduk manusia dalam dunianya, bukan sesuatu yang lain disana yang tak terjangkau, dan tiba-tiba ada begitu saja tanpa sabab-musabab yang jelas. 

*** 
Sebetulnya saya tidak terlalu fasih membicarakan hal-hal berbau spiritualitas. Terlebih karena sebenarnya saya memang tidak berminat mendalaminya betul. Benar apa yang dikatakan orang-orang suatu waktu, bahwa dunia spiritual merupakan dunia yang berkabut.

Sabtu, 12 Maret 2011

Dengan Rasa Takut


Seringkali aku berjalan bersama rasa takut. Dan itu seringkali membuatku tidak pernah berjalan ke arah manapun.

Jumat, 25 Februari 2011

m e m o r y h o u s e


"lately. i'm not sleeping. i'm not breathing...without machine. lately. my heart is breaking through the seam. aaahh...shut me off" 

...ambiens is real, ambiens is infinite...

Senin, 07 Februari 2011

Angels of Darkness, Demon of Light I

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:Earth
Northwestern-cowboy in tame country wilderness...mungkin bisa dibilang tidak ada yang baru dari Earth kali ini. Kecuali struktur kelima lagunya yang bisa dibilang tidak se-'popular' dibandingkan album sebelumnya: the Bees Made Honey in Lions Skull. Bahkan lagu terakhir di album ini yang memiliki judul sama dengan titel albumnya memiliki durasi yang panjang, yakni dua puluh menit. Lagu Angels of Darkness, Demon of Light (Part I) ini lebih panjang dari lagu 'Plague of Angels' di album 'Hibernaculum'. Selain itu, di album ini, atmosfir yang gloomy lebih mendominasi. Menurut saya inilah yang membuat album Earth kali ini tidak sepopular album sebelumnya. Nada-nadanya tidak cerah, dan cenderung berat.

Selebihnya, album ini ditata dengan pola yang sama sebagaimana Earth seperti biasanya: dark 'n slow country, western cowboy gospel, dan drone. Faktor itulah yang saya suka dari Earth ini. Dibawah bimbingan Dylan Carlson: rasa-rasanya membuat pemandangan seperti yang ada di film 'No Country for Old Men' hadir di depan pelupuk mata. Membuat perumpamaan seorang koboi seperti Clint Eastwood dalam film 'the Good, the Bad, and the Ugly' terampil menggunakan Bong ketimbang menembak dari kejauhan seutas tali gantungan yang melingkar di leher 'partner in crime'-nya.

Bagi anda seorang koboi yang sedang berkuda sambil menggiring hewan ternak ke tempat tujuan melewati gurun nestapa...this is the shit. nuff said.

Kamis, 20 Januari 2011

Wherever the Sun Sets

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Pop
Artist:Anoraak
Mereka yang menyenangi musik-musik elektronik bertempo up-beat, atau dalam beberapa hal, terjebak dalam paradigma tahun '80an mungkin cocok mendengarkan Anoraak. Damn, album ini sangat '80an. Synthnya itu dong: khas musik-musik tahun '80an. Terus, karena temponya yang up beat, moodnya pun menjadi cerah. Enerjik.

Membaca beberapa review tentang album Whereever the Sun Sets, album ini ternyata mencoba mengeksplor tentang suasana pantai saat senja. Tentunya suasana yang kental dengan paradigma tahun '80an (coba lihat kovernya? anjir, gayanya lawas pisan!). Damn, ini album lawas...atau ga tau terjebak masa lalu. Pastinya, musiknya buat saya sangat menyenangkan. Lucu, gitu.

Kebayang jalan-jalan di pantai, pake jas yang bahunya lebar kaya saint saiya. Terus rambut dibuat kaya vokalis Duran-Duran, Simon Le Bon. Udah gitu, Jalan sama cewe yang pake baju gombrang motif garis-garis merah kaya tawanan. Terus rambut si cewenya itu pendek, dan ditata elegan layaknya Cynthia Rothrock! What a view.

Saya ga tau, apakah ini album yang cheesy atau bagus. Tapi saya mengetik sambil tidak berhenti bergoyang. Ow yeah, let's dance all day long, brother and sister...

Oya, Anoraak ini adalah nama pseudo dari Frederic Riviere. Scenester elektronik dari Prancis. Saya tidak terlalu mengetahui seluk-beluk musik elektronik. Tapi bila melihat aktivitas Riviere di situsnya, dia telah cukup banyak mengeluarkan rilisan Anoraak ini (termasuk kompilasi, EP, dan LP). Dan untuk album Whereever the Sun Sets ini merupakan LP yang ke dua dikeluarkan pada tahun 2009, setelah LP pertama pada tahun 2008 bertitel 'Nightdrive With You'.

Sudah ah. Cukup reviewnya. I'm gonna dance again...with http://www.filestube.com/8K8LW5nUik6hThlXraXCUd/Anoraak-Wherever-the-Sun-Sets-2010-JUST.html

Minggu, 16 Januari 2011

"subkultur"


Penampilan dia dalam memainkan musik saya kira cukup membuat mereka yang berada di Common Room malam itu terheran-heran. Bagaimana tidak, alat musik yang Justice Yieldham pakai tidaklah lazim. Dia menggunakan pecahan kaca sebagai instrumen utamanya. Potongan kaca yang cukup besar dan berbentuk seperti gergaji (namun tanpa gerigi) itu ditempeli semacam mikrofon. Kabel dari mikrofon itu lalu tersambung ke efek. Ada kira-kira empat efek yang digunakan. Saya tidak mengerti efek apa saja, karena saya menonton cukup jauh jaraknya dari dia.

Selasa, 11 Januari 2011

Never Cross the Dead

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Childrens Music
Artist:Hooded Menace
Dalam beberapa review yang saya baca, disebutkan, Hooded Menace memainkan musik semacam old skool death metal yang dimix lagi dengan funeral doom, seperti Winter dan Cathedral. Dalam pendengaran saya, bila Hooded Menace disebut old skool death metal, saya rasa saya harus setuju. Dalam beberapa hal, saya teringatkan kembali oleh elemen-elemen death metal yang pernah didengarkan di era 90an, seperti Asphyx, Autopsy, dan tentu saja, Obituary.

Apalagi Hooded Menace ini datang dari daratan Finlandia. Di negara itu, band-band yang berkarakter old skool death metal berhamburan dimana-mana. Sepertinya memainkan old skool death metal menjadi kegemaran mayoritas metalhead di negara itu. Dan diantara band-band yang berhamburan dengan karakter old skool death metal di Finlandia, nampaknya Hooded Menace yang cukup stand out. Dalam artian dikenal luas oleh publik metal.

Stand out itu juga bisa dilihat dari bagaimana rilisan album teranyar Hooded Menace ini. Dalam rilisan tahun 2010 kemarin, mereka bekerja sama dengan label Profound Lore. Sebuah label berbahaya dan disegani dalam ranah metal. Profound Lore pernah mengeluarkan rilisan dari band-band cadas yang mendapat sorotan positif dari publik metal, seperti Altar of Plagues, Salome, Cobalt, dan Krallice.

Bila melihat dari lagu-lagu yang dipasang di album Never Cross the Dead, saat masuk track pertama, pikiran saya melayang kepada Obituary era '90an akhir. Dalam track yang berjudul sama dengan titel albumnya itu, musik berkarakter old skool death metal, namun dengan gaya mid tempo membuka 'gempuran' pertama dari band asal Finlandia ini. Riff-riffnya groovy, dan terdengar Sabbathical dengan versi yang lebih harsh dan berat. Mau tidak mau membuat saya terus menyimak band ini, sambil pikiran tetap saja teringat akan Obituary. Dan yang berkesan adalah, ketika vokal masuk. Karakter vokalis Hooded Menace, Lasse, terdengar growling dengan nuansa growling Lee Dorian era Cathedral dalam album Forrest of Equilibrium. Wah, this record is fun as hell, pikir saya. Setidaknya beat yang groovy, pas untuk menjadi pemancing perhatian di track pertama ini.

Masuk ke track kedua, Terror Castle, komposisi menjadi lebih doom, namun dengan feel yang metal, tidak bluesy seperti doom/stoner. Saya pikir, seperti funeral doom dengan tempo yang tidak 'selambat' band funeral doom pada umumnya. Sehingga masih ada groovy yang bisa membuatmu mengangguk-anggukkan kepala. Dari track dua hingga track akhir, yakni track delapan, hentakan doom metal yang berdentum dan berat sangat mendominasi. Selama 52 menit, atmosfir dipenuhi oleh gempuran sound yang berat, harsh dan bernuansa 'horror' dengan tempo dilevel middle.

Saya pikir Hooded Menace masih tetap berada di tataran doom metal. Walaupun memang unsur death metalnya tidak bisa diremehkan juga. 'Feel' dan 'vibe'-nya sangat terasa. Dan saya pikir, Hooded Menace akan menjadi band favorit saya tahun ini. Album yang awesome dengan kover yang juga awesome, cocok dengan atmosfir lagu-lagu yang ada di album 'Never Cross the Dead': horrifying!

========================================================
Track Listing:
01. Never Cross the Dead (08:30)
02. Terror Castle (06:59)
03. Night of the Deathcult (06:47)
04. the House of Hammer (06:53)
05. Rituals of Mortal Cremation (06:19)
06. As the Creatures Ascend (05:49)
07. From their Coffined Slumber (07.00)
08. Theme From Return of the Evil Dead (03:06)

========================================================
Horrifying Terror:
http://www.megaupload.com/?d=CUCR6A4E

Senin, 10 Januari 2011

Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Childrens Music
Artist:Ackercocke
Ackercocke adalah perpaduan antara death metal dengan sentuhan melodi progresif yang terdengar seperti Enslaved di album Isa. Secara gampangan, mungkin saya akan menyebut karakter band yang berasal dari Inggris ini dengan 'melodic-progressive/ekstrem metal'.

Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone ini sebenarnya rilisan lama. Dikeluarkan pertama kali di Eropa pada tahun 2005, dan di Amerika Serikat pada 2006 melalui Earache. Bagaimana dengan di Indonesia? Tahun berapa dikeluarkannya? Ah, kami-kami di Indonesia mah meureun cukup mendonlod weh nyak. Sebagai...third world order, teu boga duit meuli cd nu make kurs dollar...duitna mending dibeulikeun rokok. Bisa leuwih ti tilu pak na meureun..

Heup ah.

Sekarang coba mari lihat-dilihat bagaimana secara audial...ada apakah dengan album ini secara audial? Tidak bisa tidak, urusan audial mah sudah termasuk wilayah personal kami. Secara audial, album ini seperti mengingatkan lagai bagaimana kami menyenangi musik metal. Ada groove, ada speed, dan ada agresi di dalam Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone ini.

Satu hal yang menjadi kelebihan dari Ackercocke ini adalah bagaimana mereka mengaransemen lagu. Buat kami, aransemen mereka terdengar sangat bagus. Mungkin julukan progresif metal buat mereka selama ini tepat. Mereka mengaransemen lagu dengan memasukkan kombinasi antara agresifitas dan melodi yang harmonis. Sehingga hasilnya, dalam perjalanan mendengarkan album ini, kamu akan menemukan bagaimana brutalnya death metal, tiba-tiba saja bertabrakan dan lalu berubah menjadi sebuah komposisi yang lebih harmonis.

Pergantian-pergantian 'mood', dari yang death metal hingga yang harmonis seperti itu, tidak membuat pengalaman mendengarkan kesepuluh lagu yang ada di album ini terdengar monoton. Sehingga dalam mendengarkan kesepuluh lagu yang berdurasi hampir 49 menit ini, kamu akan disuguhkan gaya bermain yang bervariatif. Tidak hanya metal, namun eksplorasi ke dalam ranah musikalitas klasik rock melalui melodi-melodinya. Top Notch.

Setelah album Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone, album teranyar Ackercocke adalah Anti-Christ, yang dikeluarkan pada tahun 2007. Sedangkan bila melihat diskografi band yang berasal dari Inggris ini, ternyata sudah cukup banyak rilisan yang dikeluarkan oleh mereka. Terdapat empat album yang sudah dirilis sebelum album Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone keluar. Well, mungkin akan lebih menarik apabila keempat album itu mulai dicari, dan dicermati bagaimana perkembangannya dari album ke album.