Waktu itu saya dengan teman-teman komplek sedang nongkrong di depan masjid sambil menunggu sholat Jumat. Tak beberapa lama, datanglah orang ini, temannya teman kami, Rizki. Sebut saja temannya teman kami itu dengan nama ‘Maman’. Si Maman ini postur tubuhnya besar, tegap, dan kekar. Rambutnya cepak seperti tentara.
Begitu mendatangi tempat kami nongkrong, dan menyapa teman saya, Maman lantas menyalami saya dan yang lainnya yang sedang nongkrong saat itu. Saat giliran saya bersalaman dengan Maman, saya hampir mau menjerit. Cengkraman tangan si Maman ini amit-amit kerasnya. Waktu itu saya lihat mukanya si Maman ini. Dia hanya tersenyum kecil. Kelihatan angkuh.
Itu orang memang sepertinya mau show off. Mau pamer kekuatan. Tapi jadinya malah menyebalkan. Kenal saja belum, tapi gayanya sudah mengintimidasi.
Teman saya yang lainnya pun sama. Tangan mereka jadi korban semua ketika salaman. Diremas keras sama si Maman. Saya dan teman-teman lainnya hanya bisa saling pandang. Merasa satu pemahaman dan penderitaan, tanpa berani protes terhadap kelakuan si Maman ini.
Setelah berbasa-basi dan nongkrong sebentar, Maman lantas masuk kedalam mesjid. Sedangkan kami tetap diluar. Merokok sambil menunggu sholat.
Selepas Maman masuk ke mesjid itu, yang tadinya suasana ‘tegang’, berubah jadi sedikit ramai oleh rasa kepenasaran. Kami mulai berani bertanya tentang orang yang punya cengkraman maut nan menyebalkan itu ke Rizki.
Ternyata si Maman ini adalah kepala staf sekuriti di salah satu ruko dekat rumah kami. Semacam kepala satpam. Pantas saja tangannya ‘besar’ dan keras berotot seperti itu. Tubuhnya juga tegap. Sepertinya tidak cukup kalau harus dipukuli oleh satu orang dengan standar fisik dan mental seperti kami yang lemah dan terlalu teracuni asap rokok.
Terus, setelah ngobrol ngaler-ngidul lagi, ternyata ada sisi yang menggelikan dari Maman. Jadi, sebelum bekerja sebagai kepala satpam, Maman terlebih dulu bergabung dengan TNI. Tentu saja ini aneh. Kalau dilihat dari sisi ‘karir’, perpindahan dari anggota TNI menjadi kepala satpam malah kelihatan seperti penurunan derajat.
“Enya, jadi baheula na pas di TNI, si Maman bobogohan jeung polwan. Apekteh pegat. Nah, tidinya si Maman jadi teu baleg di TNI na. Jadi we si eta (Maman) dikaluarkeun ti TNI. Terus weh jadi kepala satpam nepi ka ayeuna [Iya, jadi dulunya pas di TNI, si Maman pacaran sama polwan. Ga tau nya putus. Nah, dari situ si Maman jadi ga bener di TNI nya. Jadi aja si Maman dikeluarin dari TNI. Terus jadi kepala satpam sampai sekarang]” cerita si Rizki.
“Si Anjing! Hahaha!” Si Apo, teman saya yang juga mendengarkan cerita Rizki, mengumpat dan tertawa keras.
Pastinya Jumatan waktu itu adalah Jumatan yang berisik oleh kami yang mentertawai si Maman. Perduli Imam berkhotbah apa waktu itu. Pastinya, di waktu Jumatan itu kami menemukan orang yang menyebalkan sekaligus konyol. Dan orang itu adalah Maman sang kepala sekuriti ruko. He’s the man!
Dibalik sikapnya yang angkuh dan mengintimidasi. Dibalik otot-ototnya yang liat dan tubuhnya yang tegap seperti Rambo, ternyata Maman punya cerita yang menggelikan juga.
“Bener euy, satangguh-tangguh na tentara, pasti takluk ku awewe mah! Hahah! [Bener, setangguh-tangguhnya tentara, pasti takluk sama perempuan],” kata si Apo yang diamini oleh tawa kami yang puas.
Terus, masih dari cerita Rizki, ternyata saat ini Maman telah menikah. Tak tanggung-tanggung, dua perempuan telah dia nikahi. Kami berspekulasi saat itu, bahwa pernikahannya dengan dua perempuan itu adalah salah satu wujud ‘balas dendam’ dari kisah cintanya yang kandas dengan si Polwan. Spekulasi yang pastinya belum tentu benar. Tapi, cocok sebagai bahan tertawaan bagi kami waktu itu.
Hah. Maman-Maman…sang kepala sekuriti…he’s the man.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar