Senin, 06 Maret 2017
32
Minggu, 21 Agustus 2016
Meditasi Audial dan Karl Marx
Selasa, 12 Januari 2016
Dylan Carlson
Sebelum memulai pertunjukan langsung lagu The Bees Made Honey In The Lion Skulls, secara singkat Dylan Carlson berbicara mengenai musik yang dimainkannya kini. Gospel menjadi musik yang banyak dia bicarakan saat itu.
Senin, 24 Desember 2012
Music Is My Altar
Jumat, 09 September 2011
silumantulen mixtape vol 1: midnight folks

Heup ah. Saatnya untuk sedikit kata pengantar buat ‘bingkisan’ dari silumantulen.
Di postingan kali ini, saya hanya ingin sedikit memberi ‘bingkisan’ berupa lagu-lagu yang sering didengarkan akhir-akhir ini. Lagu-lagunya itu sendiri dikompilasi dan diberi titel ‘silumantulen mixtape vol 1’. Khusus untuk kompilasi volume pertama ini, lagu-lagu yang ada di dalamnya merupakan lagu-lagu yang memiliki genre yang spesifik, yakni folk. Mungkin lebih tepatnya adalah lagu yang bergenre folk bernuansa ballad, country, dan blues (semenjak varian dari folk itu sendiri beragam).
Pertama kali saya menyukai musik-musik bergenre folk ini adalah ketika menonton film Elizabethtown. Kalau kalian sudah ada yang pernah menonton film itu, mungkin kalian ingat adegan di akhir-akhir film, ketika Drew Baylore (Orlando Bloom) mengendarai mobil untuk pulang ke kotanya seusai acara pemakaman ayahnya sambil mendengarkan kompilasi lagu yang diberikan oleh Claire Colburn (Kirsten Dunst). Di setiap tempat baru yang dilewati, Baylore mendengarkan lagu sesuai dengan yang diinstruksikan oleh Colburn dalam sebuah catatan yang ada di bungkus kompilasi lagunya. Nah, di adegan itu, lagu-lagu yang diputar oleh Baylore langsung masuk ke telinga saya. Apalagi visual-visual yang ditampilkan dalam adegan itu juga bagus; seputar hal-hal yang ada dalam sebuah perjalanan, seperti jalan raya, kota, suasana alam di Amerika. Antara visual dan lagu terasa saling mendukung.
Bermula dari film itulah kemudian saya mencari album soundtracknya.Album soundtrack Elizabethtown ini sebagian besar diisi oleh artis-artis yang membawakan musik folk. Mulai dari Patty Griffin hingga Jeff Finlin. Bahkan Elton John pun ada di album ini membawakan ‘My Fathers Gun’ dari album Tumbleweed Connection (1970). Mungkin kalian juga bisa googling album Ost. Elizabethtown kalau berminat. Link downloadnya juga berserakan di mana-mana di dunia maya ini. Nah, bermula dari mendengarkan album soundtrack Elizabethtown inilah kemudian saya tertarik untuk mencari-cari lagi musik folk hingga saat ini.
Di silumantulen mixtape vol 1 ini ada tiga artis yang saya ambil dari album Ost. Elizabethtown, yakni Patty Griffin, I Nine dan Eastmountainsouth. Selebihnya adalah artis-artis dari hasil pencarian musik folk selama ini. Artis-artis itu dipilih berdasarkan pilihan personal belaka: lagu mereka memberi soundtrack dalam keseharian. Ada masa-masanya ketika lagu-lagu itu mengiringi di saat kehidupan lagi terasa apeu (seperti sekarang-sekarang ini), ada masanya juga ketika lagu-lagu itu mengiringi di saat kehidupan lagi woles. Pastinya, lagu-lagu yang ada di mixtape ini berkesan secara personal.
Okelah, tanpa berbasa-basi lebih lanjut lagi. Saya mengucapkan selamat mendengarkan. Pastinya mixtape ini saya dedikasikan kepada mereka para penikmat musik yang berpikiran terbuka, mereka yang selalu terinspirasi oleh musik, dan mereka yang berusaha menikmati hidup betapa pun berat tantangan yang ada di dalamnya. Mudah-mudahan mixtape ini bisa menjadi pelipur lara, atau minimal mengiringi, ketika kamu beristirahat pada malam hari sesudah menjalani fase-fase hidup yang sedang ditempuh, baik itu fase yang menyebalkan ataupun sebaliknya.
Memelintir kata AC/DC: for those about to rock…I salute you! Cheersh :)
============================================================================
SILUMANTULEN MIX TAPE VOl 1: MIDNIGHT FOLKS track list:
01. Heirlooms of August - A Flower My Love Grows
02. Mark Kozelek - Celebrated Summer
03. Patty Griffin - Long Ride Home
04. Corrosion of Conformity - Stare Too Long
05. Sun Kil Moon - Lost Verses
06. Sleepy Sun - Ooh Boy
07. Jesse Sykes and the Sweet Hereafter - Morning It Comes
08. Hindi Zahra - Fascination
09. I Nine - Same In Any Language
10. Eastmountainsouth - Winter
Minggu, 26 Juni 2011
Mark McGuire
"This is an album about youth and memory, family and nostalgia-- it's a deeply personal, even autobiographical work."
-Joe Colly, October 19, 2010-
Jumat, 25 Februari 2011
m e m o r y h o u s e
"lately. i'm not sleeping. i'm not breathing...without machine. lately. my heart is breaking through the seam. aaahh...shut me off"
Senin, 07 Februari 2011
Angels of Darkness, Demon of Light I

Rating: | ★★★★ |
Category: | Music |
Genre: | Other |
Artist: | Earth |
Selebihnya, album ini ditata dengan pola yang sama sebagaimana Earth seperti biasanya: dark 'n slow country, western cowboy gospel, dan drone. Faktor itulah yang saya suka dari Earth ini. Dibawah bimbingan Dylan Carlson: rasa-rasanya membuat pemandangan seperti yang ada di film 'No Country for Old Men' hadir di depan pelupuk mata. Membuat perumpamaan seorang koboi seperti Clint Eastwood dalam film 'the Good, the Bad, and the Ugly' terampil menggunakan Bong ketimbang menembak dari kejauhan seutas tali gantungan yang melingkar di leher 'partner in crime'-nya.
Bagi anda seorang koboi yang sedang berkuda sambil menggiring hewan ternak ke tempat tujuan melewati gurun nestapa...this is the shit. nuff said.
Kamis, 20 Januari 2011
Wherever the Sun Sets

Rating: | ★★★ |
Category: | Music |
Genre: | Pop |
Artist: | Anoraak |
Membaca beberapa review tentang album Whereever the Sun Sets, album ini ternyata mencoba mengeksplor tentang suasana pantai saat senja. Tentunya suasana yang kental dengan paradigma tahun '80an (coba lihat kovernya? anjir, gayanya lawas pisan!). Damn, ini album lawas...atau ga tau terjebak masa lalu. Pastinya, musiknya buat saya sangat menyenangkan. Lucu, gitu.
Kebayang jalan-jalan di pantai, pake jas yang bahunya lebar kaya saint saiya. Terus rambut dibuat kaya vokalis Duran-Duran, Simon Le Bon. Udah gitu, Jalan sama cewe yang pake baju gombrang motif garis-garis merah kaya tawanan. Terus rambut si cewenya itu pendek, dan ditata elegan layaknya Cynthia Rothrock! What a view.
Saya ga tau, apakah ini album yang cheesy atau bagus. Tapi saya mengetik sambil tidak berhenti bergoyang. Ow yeah, let's dance all day long, brother and sister...
Oya, Anoraak ini adalah nama pseudo dari Frederic Riviere. Scenester elektronik dari Prancis. Saya tidak terlalu mengetahui seluk-beluk musik elektronik. Tapi bila melihat aktivitas Riviere di situsnya, dia telah cukup banyak mengeluarkan rilisan Anoraak ini (termasuk kompilasi, EP, dan LP). Dan untuk album Whereever the Sun Sets ini merupakan LP yang ke dua dikeluarkan pada tahun 2009, setelah LP pertama pada tahun 2008 bertitel 'Nightdrive With You'.
Sudah ah. Cukup reviewnya. I'm gonna dance again...with http://www.filestube.com/8K8LW5nUik6hThlXraXCUd/Anoraak-Wherever-the-Sun-Sets-2010-JUST.html
Selasa, 11 Januari 2011
Never Cross the Dead

Rating: | ★★★★ |
Category: | Music |
Genre: | Childrens Music |
Artist: | Hooded Menace |
Apalagi Hooded Menace ini datang dari daratan Finlandia. Di negara itu, band-band yang berkarakter old skool death metal berhamburan dimana-mana. Sepertinya memainkan old skool death metal menjadi kegemaran mayoritas metalhead di negara itu. Dan diantara band-band yang berhamburan dengan karakter old skool death metal di Finlandia, nampaknya Hooded Menace yang cukup stand out. Dalam artian dikenal luas oleh publik metal.
Stand out itu juga bisa dilihat dari bagaimana rilisan album teranyar Hooded Menace ini. Dalam rilisan tahun 2010 kemarin, mereka bekerja sama dengan label Profound Lore. Sebuah label berbahaya dan disegani dalam ranah metal. Profound Lore pernah mengeluarkan rilisan dari band-band cadas yang mendapat sorotan positif dari publik metal, seperti Altar of Plagues, Salome, Cobalt, dan Krallice.
Bila melihat dari lagu-lagu yang dipasang di album Never Cross the Dead, saat masuk track pertama, pikiran saya melayang kepada Obituary era '90an akhir. Dalam track yang berjudul sama dengan titel albumnya itu, musik berkarakter old skool death metal, namun dengan gaya mid tempo membuka 'gempuran' pertama dari band asal Finlandia ini. Riff-riffnya groovy, dan terdengar Sabbathical dengan versi yang lebih harsh dan berat. Mau tidak mau membuat saya terus menyimak band ini, sambil pikiran tetap saja teringat akan Obituary. Dan yang berkesan adalah, ketika vokal masuk. Karakter vokalis Hooded Menace, Lasse, terdengar growling dengan nuansa growling Lee Dorian era Cathedral dalam album Forrest of Equilibrium. Wah, this record is fun as hell, pikir saya. Setidaknya beat yang groovy, pas untuk menjadi pemancing perhatian di track pertama ini.
Masuk ke track kedua, Terror Castle, komposisi menjadi lebih doom, namun dengan feel yang metal, tidak bluesy seperti doom/stoner. Saya pikir, seperti funeral doom dengan tempo yang tidak 'selambat' band funeral doom pada umumnya. Sehingga masih ada groovy yang bisa membuatmu mengangguk-anggukkan kepala. Dari track dua hingga track akhir, yakni track delapan, hentakan doom metal yang berdentum dan berat sangat mendominasi. Selama 52 menit, atmosfir dipenuhi oleh gempuran sound yang berat, harsh dan bernuansa 'horror' dengan tempo dilevel middle.
Saya pikir Hooded Menace masih tetap berada di tataran doom metal. Walaupun memang unsur death metalnya tidak bisa diremehkan juga. 'Feel' dan 'vibe'-nya sangat terasa. Dan saya pikir, Hooded Menace akan menjadi band favorit saya tahun ini. Album yang awesome dengan kover yang juga awesome, cocok dengan atmosfir lagu-lagu yang ada di album 'Never Cross the Dead': horrifying!
========================================================
Track Listing:
01. Never Cross the Dead (08:30)
02. Terror Castle (06:59)
03. Night of the Deathcult (06:47)
04. the House of Hammer (06:53)
05. Rituals of Mortal Cremation (06:19)
06. As the Creatures Ascend (05:49)
07. From their Coffined Slumber (07.00)
08. Theme From Return of the Evil Dead (03:06)
========================================================
Horrifying Terror:
http://www.megaupload.com/?d=CUCR6A4E
Senin, 10 Januari 2011
Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone

Rating: | ★★★★ |
Category: | Music |
Genre: | Childrens Music |
Artist: | Ackercocke |
Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone ini sebenarnya rilisan lama. Dikeluarkan pertama kali di Eropa pada tahun 2005, dan di Amerika Serikat pada 2006 melalui Earache. Bagaimana dengan di Indonesia? Tahun berapa dikeluarkannya? Ah, kami-kami di Indonesia mah meureun cukup mendonlod weh nyak. Sebagai...third world order, teu boga duit meuli cd nu make kurs dollar...duitna mending dibeulikeun rokok. Bisa leuwih ti tilu pak na meureun..
Heup ah.
Sekarang coba mari lihat-dilihat bagaimana secara audial...ada apakah dengan album ini secara audial? Tidak bisa tidak, urusan audial mah sudah termasuk wilayah personal kami. Secara audial, album ini seperti mengingatkan lagai bagaimana kami menyenangi musik metal. Ada groove, ada speed, dan ada agresi di dalam Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone ini.
Satu hal yang menjadi kelebihan dari Ackercocke ini adalah bagaimana mereka mengaransemen lagu. Buat kami, aransemen mereka terdengar sangat bagus. Mungkin julukan progresif metal buat mereka selama ini tepat. Mereka mengaransemen lagu dengan memasukkan kombinasi antara agresifitas dan melodi yang harmonis. Sehingga hasilnya, dalam perjalanan mendengarkan album ini, kamu akan menemukan bagaimana brutalnya death metal, tiba-tiba saja bertabrakan dan lalu berubah menjadi sebuah komposisi yang lebih harmonis.
Pergantian-pergantian 'mood', dari yang death metal hingga yang harmonis seperti itu, tidak membuat pengalaman mendengarkan kesepuluh lagu yang ada di album ini terdengar monoton. Sehingga dalam mendengarkan kesepuluh lagu yang berdurasi hampir 49 menit ini, kamu akan disuguhkan gaya bermain yang bervariatif. Tidak hanya metal, namun eksplorasi ke dalam ranah musikalitas klasik rock melalui melodi-melodinya. Top Notch.
Setelah album Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone, album teranyar Ackercocke adalah Anti-Christ, yang dikeluarkan pada tahun 2007. Sedangkan bila melihat diskografi band yang berasal dari Inggris ini, ternyata sudah cukup banyak rilisan yang dikeluarkan oleh mereka. Terdapat empat album yang sudah dirilis sebelum album Words that Go Unspoken, Deeds that Go Undone keluar. Well, mungkin akan lebih menarik apabila keempat album itu mulai dicari, dan dicermati bagaimana perkembangannya dari album ke album.
Kamis, 30 Desember 2010
White Rainbow (2007)

Rating: | ★★★ |
Category: | Music |
Genre: | Childrens Music |
Artist: | Prism of Eternal Now |
Dalam dimensi White Rainbow, mungkin sudah saatnya manusia menjadi penjelajah dari imajinasinya sendiri. Mengarungi jagat kekacauan yang melodius. Terbawa larut dalam tabla, synth, delay, string dan layer-layer tebal dari sebuah ambiens...untuk kemudian mengarungi galaksi psikadelik seorang diri secara eksistensial. Ada baiknya juga bila asap herbal hijau itu dibiarkan mengepul dan memasuki otak. Biarkan urat syarat mengendur karenanya, dan mulai rasakan sensitifitas inderawi mencoba menyentuh tepian alam semesta.
Di sini, White Rainbow ibarat menjadi sebuah perjalanan meditatif yang berdurasi 71 menit. Bahkan menjadi perjalanan meditatif yang juga memiliki makna spirituil, bila dibekali oleh asap herbal hijau. Dengan begitu, mungkin akan lebih terasa seperti apa struktur rohani dari sembilan lagu yang ada di White Rainbow.
====================================================
Prism of Eternal Now merupakan proyek solo dari Adam Forkner. Seorang 'scenester' dari Portland, AS, yang bergulat dengan musik-musik beraroma 'spacey psych'. Sebelumnya beliau pernah aktif juga di band Yume Bitsu dan Surface of Eceon. Lalu, pernah juga menjadi engineer dan produser dari artis-artis yang berada di bawah perusahaan rekaman bertitel K Records Dub Narcotic Studio. Salah satu artis yang pernah ditangani oleh Forkner adalah Kinski, sebuah band psychedelic/noise/ambient yang berasal dari Seattle.
White Rainbow ini merupakan rilisan Forkner yang ketiga dibawah nama pseudo Prism of Eternal Now. Dan entah proyek apalagi yang diprakarsai oleh beliau...
===================================================
Track List:
1. Pulses - 7:48
2. Middle - 5:02
3. For Terry - 6:22
4. Mystic Prism - 5:14
5. April 25th 11:14PM - 14:45
6. Warm Clicked Fruit - 9:07
7. Guitars - 6:29
8. Waves - 6:44
9. Awakening - 9:38
===================================================
i promise will let my self floating in the great sky with shitload of green herbal smoke fullfil my heart: http://www.megaupload.com/?d=G6PJ9NN1
Selasa, 14 Desember 2010
Suarasama - Fajar di Atas Awan
2008/07/08 - It begins with a flutter of guitar, a dusting of cymbals. Then a female, faintly ethereal vocal arrives, accompanied by bells. At first, it sounds like she might be distant kin to the acid folk scene which still percolates away in the US; there’s a very vague resemblance to Meg Baird and Espers, perhaps. But then again, she’s not singing in English, and there’s something discreetly exotic about the song, “Dawn Over The Clouds”.
That’s the English translation of the song’s title, I should say. Actually, it – and its parent album – are called “Fajar Di Atas Awan” – and they are the work of a bunch of ethnomusicologists from Sumatra called Suarasama. Since it turned up about a week ago, I’ve been obsessing over “Fajar Di Atas Awan”, and also wondering how I would describe this incredible, tranquil, deep record on Wild Mercury Sound.
Given my dilettante-ish knowledge of global music, I can’t pretend to have much experience of the sounds of Indonesia, let alone the specific ones of Sumatra. I could say, in a generally rather crude way, that the beauty of this record is that it has a mystique, a spiritual imperative, that aligns it to other ‘world music’ (rotten patronising phrase, but you know what I mean) which can be appreciated by fans of psychedelia; I’m thinking of Tinariwen here, for a start.
According to the sleevenotes, “Irwansyah Harahap is the main composer in the group. In his compositions he has explored various different musical concepts and aesthetics in world music, such as African, Middle Eastern, Indian, Sufi Pakistani, Eastern European, Southeast Asian, as well as North Sumatran (the Bataks and Malay) traditional music.”
Again, I’m struggling to parse this. I can spot a little of the Sufi Pakistani tradition in there – if that refers to qawwali singers like Nusrat Fateh Ali Khan. But the acoustic guitar leads, the graceful melodies and so on, seem incredibly close to Western folk tradition, at times, though it’s impossible to tell whether that’s by accident or design.
But in general, the whole thing blends so harmoniously that trying to separate the trace elements seems not only unnecessary, but even a little vulgar. The Drag City press release references Sandy Bull (who we’ve been listening to a lot of late), John Fahey and the collaborations of Ravi Shankar and Andre Previn, which all make certain sense: there’s that same elegant elision of Eastern and Western scales and techniques, providing a really enveloping, devotional music. I’m reminded, too, of some of the Anatolian psych collected on the Turkish edition of the “Love, Peace And Poetry” compilation series; artists who delicately adjust Eastern melodic and rhythmic strategies, rather than the appropriation of them that we’re more used to.
The press release also references Ghost and Six Organs Of Admittance, and I can definitely see affinities with the latter. It should be noted, though, that “Fajar Di Atas Awan” was first released ten years ago, and that this reissue is coming out on the same label as Six Organs. Knowing Ben Chasny’s voracious appetite for music, it’s certainly plausible that Suarasama might have been a potent, semi-secret influence on the whole generation of fingerpickers, underground mystics and so on in the free folk/psych world.
But I can’t recommend this record enough. I’ve just taken a cursory trip round the web to try and find anywhere where you can hear Suarasama, with no joy. But if you do manage to track it down (the reissue isn’t due ‘til August), let me know what you think, as ever.
(Sumber lihat di sini)
Kamis, 09 Desember 2010
the Pains of Being Pure at Heart

Rating: | ★★★ |
Category: | Music |
Genre: | Indie Music |
Artist: | the Pains of Being Pure at Heart |
The Pains of Being Pure at Heart (TPOBPAH) adalah band yang datang dari New York scene dan didirikan pada tahun 2007. Mereka terdiri dari Kip Berman (guitar vocals), Peggy Wang (vocals keyboards), Alex Naidus (bass), dan Kurt Feldman (drums). Album self-titled ini sendiri keluar di tahun 2009, setelah sebelumnya mereka mengeluarkan EP bertitel Higher Than the Stars di tahun yang sama. Di album self-titled ini ada sepuluh lagu yang ditawarkan. Seperti yang kamu harapkan dari band-band tipikal indie-pop/shoegaze, tentu ada melankoli dan noise disana-sini. Dan gaya-gaya seperti inilah yang bagi saya jadi kelebihan dari TPOBPAH (terlepas dari tipikalitasnya). Saya kira, saya tidak perlu mendeskripsikan satu persatu dari setiap lagu yang ada di album ini. Hoream. Tapi, secara umum, bolehlah saya katakan, kalau musiknya bisa dikategorikan bagus, dan layak didengarkan. Indie pop that blend with shoegazing noise and raw distortion.
With TPOBPAH all you have to do is just relax and shine :D
========================================================
the Pains of Being Pure at Heart song title:
1. Contender 2:40
2. Come Saturday 3:17
3. Young Adult Friction 4:08
4. This Love Is Fucking Right! 3:15
5. The Tenure Itch 3:46
6. Stay Alive 4:56
7. Everything With You 2:59
8. A Teenager In Love 3:24
9. Hey Paul 2:03
10. Gentle Sons 4.32
you can visit: http://www.mediafire.com/?tnngzjmwmmy
Jumat, 26 November 2010
GET A REAL JOB!

AND GET A REAL JOB
GET A REAL JOB
You get a little older. Your bones are brittle and weak. Dizzy in the morning. Your pulse is sounding weak. You hate to go to work. Just living for a job. Wake up and smell the coffee. And get a real job!
GET A REAL JOB
GET A REAL JOB
GET A REAL JOB
GET A REAL JOB
Soon you will retire. Or maybe have a stroke. You cannot feel your finger tips. Because some veins have closed. But still you drive a hack or push a hotdog cart. Now it's too late for you. To get a real job!
(Get A Real Job by Method of Destruction)
***
Waktu sekolah dulu memang suasananya berbeda. Di jaman itu, ketika mendengarkan Method of Destruction (MOD) yang berjudul Get a Real Job ini, saya tidak memiliki perasaan apa-apa. Saya hanya senang dengan tempo lagunya yang agresif. Tempo yang memacu adrenalin saya sebagai seseorang yang berada dalam fase pubersitas dan cinta mati pada thrash metal. Tetapi, perasaan mendengarkan band yang berasal dari New York ini menjadi berbeda, ketika saya berada di umur yang ke-25 seperti sekarang.
Saya hanya bisa ketawa masam pagi ini. Ketawa masam, ketika mengingat bagaimana perawakan tambun sang vokalis MOD Billy Milano. Saya membayangkan, mungkin saja Billy Milano sekarang tertawa terkekeh-kekeh sambil memegang bir melihat saya mendengarkan kembali lagunya setelah kurang lebih delapan tahun terlupakan. Mungkin dia akan berkata, "Now you get the point? I'm sure now you understand exactly what i was singing about!"
Hahah. The man...Billy Milano.
Dialah vokalis dengan selera humor paling sinis dan sarkastis yang pernah saya tahu selama ini. Di album "Loved by Thousand...Hated by Millions", dia menghina dan menertawakan peristiwa bunuh dirinya vokalis Nirvana, Kurt Cobain. Dia menulis catatan eksplanasi sinis dan sarkas yang ditujukan kepada Cobain dalam lagu berjudul 'Buckshot Blues':
Dia menyinggung tentang puncak karir Cobain yang penuh gelimangan harta dan pujian dengan kondisi keterasingan manusia modern yang kepuasan batinnya tetap berkarat, tidak perduli seberapa banyak dia telah mengumpulkan kekayaan dan kesuksesan. Life isn't cruel when you have ten million fucking dollars.
Billy Milano adalah seorang trasher komedian yang paling tidak pernah tedeng aling-aling bila menghina orang lain. Dan saya rasa, saat ini lawakannya telah tertuju tepat ke kehidupan saya yang terlalu lama berada di kampus, dan tidak punya pekerjaan apa-apa selain merokok di kamar dan bakar weed.
Mendengarkan lagu 'Get A Real Job' ini sepertinya telah merubah pagi saya menjadi sebuah komedi :D
***
Mungkin bila tertarik mengetahui lagu 'Get A Real Job' bisa unduh lagunya di sini.
Senin, 22 November 2010
Heart Ache and Dethroned

Rating: | ★★★ |
Category: | Music |
Genre: | Childrens Music |
Artist: | Jesu |
===========================
Lullabies to heavily heaven:
http://www.tinydl.com/musics-and-clips/1059178980-jesu-heartache-dethroned-2010.html
Selasa, 19 Oktober 2010
Tentang, ehm, "Bermusik Alternatif"
Mungkin, bila dipikir-pikir lagi, bermusik saat ini bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dan relatif lebih mudah. Maksudnya, bila kita lihat berbagai macam kecanggihan software yang ada sekarang, misalnya; mulai dari software untuk membuat sampul cd, memperbanyak cd, hingga software untuk merekam lagu yang kita buat. Lalu melihat juga sarana upload maupun download yang tersebar di dunia maya, sepertinya jalur untuk memproduksi karya musik semakin mudah. Software-software serta sarana di dunia maya itu sepertinya telah membuat hambatan produksi hingga distribusi karya musik menjadi lebih ringan.
Berbeda dengan tahun-tahun terdahulu. Tahun-tahun sebelum pertengahan 90an, ketika dunia digital belum menyentuh banyak kalangan. Bermusik masih merupakan sesuatu yang dipandang mewah. Mungkin bila kita ingin serius bermusik di era itu, yang terpikirkan dalam benak, biasanya adalah masalah merekam lagu. Kebanyakan mereka yang hidup di era itu pasti tidak membayangkan akan ada suatu alat yang memungkinkan seorang musisi untuk bisa memproduksi lagunya sendiri dan menyebarkan kepada khalayak dengan sendiri pula. Oleh sebab itu, mengapa hingga pertengahan 90'an, industri rekaman komersial dipandang sebagai kebutuhan bagi mereka yang memiliki hasrat untuk bermusik; karena industri rekamanlah pihak yang memiliki kemampuan untuk masalah produksi dan distribusi. Selain itu, cara kerja industri musik yang khas kapitalisme juga menawarkan sebuah tawaran yang menggiurkan: yakni kekayaan dari hasil profit penjualan sebuah album (bagaimanapun juga, porsi kekayaan yang didapat sang musisi masih jauh lebih kecil daripada kekayaan yang masuk ke pihak industri rekaman itu).
Namun, sekarang sepertinya sudah berbeda. Kita bisa melihat akhir-akhir ini begitu berlimpah musisi-musisi yang memproduksi karyanya dengan usaha sendiri. Sebutlah, mulai dari Sindentosca, Kekal, Koil, Bongripper, dan lain-lain. Kualitas rekaman dari band yang berusaha sendiri itu pun tidak buruk-buruk amat. Malah bisa dikatakan sangat baik untuk sesuatu yang diusahakan sendiri. Lalu, untuk masalah distribusi pun setidaknya mereka bisa atasi sendiri. Mereka bisa mengopi karya kedalam cd dengan mudah, dan juga mencetak sampul albumnya dengan usaha sendiri, lalu menyebarkannya ke khalayak. Walaupun, misalnya ada juga diantara band-band independen itu tidak mengeluarkan bentuk fisik berupa cd karena masalah pendanaan misalnya, tetapi mereka masih bisa menyebarkan versi mp3nya di dunia maya (dan terkadang, menjadi dikenal karenanya). Mereka bisa menyebarkan lagunya yang berbentuk mp3 sekaligus sampul albumnya yang berbentuk file semacam jpeg. Cara seperti itu relatif meminimalkan biaya produksi serendah-rendahnya bagi musisi/band yang bersangkutan.
Selain itu, di dunia maya sendiri, banyak situs-situs yang memuat fitur untuk mengupload dan mendownload sebuah lagu. Belum lagi situs-situs berbasis komunitas, khususnya komunitas musik, yang juga menyediakan review dan download sebuah karya lagu. Hal seperti itu juga membuat distribusi musik menjadi lebih ringan.
Musisi didalam Industri Musik
Diatas segala kemudahan-kemudahan yang disediakan oleh software-software itu, ada satu hal yang penting, yakni hubungan antara musisi dan produser sebagai agen industri rekaman. Ketika seorang musisi atau band memutuskan untuk merilis karyanya sendiri, maka hubungan antara musisi dan produser menghilang. Mungkin bisa dibilang juga, itu berarti hubungan ketergantungan antara musisi kepada industri rekaman komersial menjadi hilang. Sebelumnya, hubungan antara musisi dan produser industri musik ini merupakan hubungan yang esensial sekaligus 'panas' dalam sebuah proses bermusik. Khususnya dalam konteks industri musik yang berbasiskan kapitalisme.
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, ketika produksi dan distribusi masih menjadi hambatan yang besar bagi musisi dalam berkarya saat itu, maka bergabung dengan industri rekaman komersial menjadi pilihan utama. Seketika pilihan ditetapkan oleh musisi untuk bergabung kedalam industri rekaman, maka ada beberapa konsekuensi yang harus diterima. Konsekuensi itu diantaranya, dan yang paling 'panas', adalah masalah yang biasa disebut 'kompromi' antara keinginan musisi dan industri rekaman yang berbasiskan kapitalisme. Seperti yang sudah diketahui oleh khalayak, industri rekaman di era kapitalisme tidak semata-mata bermurah hati memproduksi dan mendistribusikan sebuah karya lagu dari suatu musisi/band saja, tetapi juga berusaha meraih laba. Dan meraih laba ini diambil dari komponen variabelnya, yaitu dari curahan kerja para musisi yang direkrutnya, dan juga curahan kerja pihak yang berada di sektor-sektor lainnya, seperti sektor packaging dan distribusi. Musisi itu menjadi sekadar 'alat' bersama-sama dengan pekerja di sektor lainnya, menjadi kendaraan untuk mengatasi pencarian laba.
Khusus untuk curahan kerja pihak musisi, pihak industri biasanya memberi jatah sekian jam bagi band untuk merampungkan karyanya, yakni dengan memberi jatah sekian jam untuk bisa merekam lagu. Oleh karena itu, tekanan waktu rekaman bisa menjadi hal yang frustratif baik bagi musisi, dan produser pihak rekaman. Di satu sisi, dalam sekian jam sang musisi dituntut untuk bisa merampungkan karyanya sekaligus memutar otak bila ternyata ada lagu yang harus dirombak atas permintaan produser, di sisi yang lain, produser pun harus mempertimbangkan lagu yang bisa dijual dan tekanan batas-waktu yang ada untuk merampungkan karya tersebut. Dari kondisi itu, kita akan melihat ada dua kepentingan yang bertolak bertolak belakang, namun selalu bersatu dalam ketegangan-ketegangan di dalam sebuah proses pembentukan komoditi; disatu sisi kita akan melihat musisi yang berurusan dengan karyanya, yakni membuat lagu, dan kita juga akan melihat bagaimana produser mempertimbangkan karya musisi itu tidak semata-mata demi kualitas musik semata, tetapi juga untuk tujuan nilai-tukarnya di pasaran.
Dalam hal mempertimbangkan lagu inilah seringkali musisi harus mengalah kepada produser. Bagaimanapun juga, yang memiliki kuasa tentunya adalah industri rekaman yang telah membiayai ongkos produksi dan distribusi para musisi itu (sekaligus merubah musisi itu menjadi alat utamanya dalam skema pencarian laba). Belum lagi tekanan-tekanan seperti target penjualan sebuah album yang harus dipenuhi oleh musisi/band tersebut bila mereka ingin terus bertahan di perusahaan rekaman itu. Oleh sebab itu juga mengapa bergabung dengan industri rekaman berbasis kapitalisme memiliki konsekuensi berupa tidak bebasnya para musisi untuk berkreatifitas. Pertentangan-pertentangan kepentingan seperti itu biasanya 'memanasi' proses kreativitas sebuah musisi dalam industri musik.
Menghindari Keterasingan Dengan Menjadi Produser Independen
Hubungan-hubungan yang selalu berada dalam ketegangan seperti itu, dan dalam banyak kasus, seringkali membuat banyak musisi/band harus mengalah, sepertinya tidak ditemui, ketika sebuah musisi/band memutuskan merilis karyanya sendiri melalui sarana-sarana produksi dan distribusi bermusik yang mudah didapatkan akhir-akhir ini. Tidak ada tekanan waktu akibat ketegangan dengan kepentingan nilai-tukar, bila si musisi/band merekam karyanya melalui software semacam cube. Bahkan, bila misalnya musisi/band bersangkutan memutuskan untuk tidak merekam sendiri melalui software, melainkan memutuskan untuk merekam di studio tertentu dengan biaya sendiri, tekanan yang ada juga bukan dalam konteks pertentangan dengan kepentingan penjualan seperti yang ada dalam industri musik komersial itu. Melainkan sekadar tekanan batas waktu yang tersedia sesuai dengan kemampuan finansial si musisi/band tersebut dalam menyediakan waktu untuk merekam karya mereka di studio.
Lalu untuk masalah distribusi pun, saat ini sudah banyak tersedia situs-situs komunitas musik di internet yang menyediakan review sebuah karya musisi, dan sarana untuk mengunduh karya-karyanya tersebut. Atau bila tidak menyebarkannya melalui internet, sang musisi/band bisa membuat albumnya sendiri dengan menyediakan kepingan cd sendiri dan mencetak kovernya dengan swadaya pula. Bahan baku untuk membuat cd seperti itu saat ini bisa didapatkan dengan mudah.
Bila dulu, sebelum kemudahan yang dibawa akibat perkembangan digital hadir, salah satu pikiran kenapa sang musisi ingin bergabung dalam industri rekaman komersial adalah, bahwa industri rekaman itu sanggup untuk menyebarkan karya mereka seluas mungkin. Maka, sepertinya dengan perkembangan teknologi distribusi musik yang mudah didapatkan seperti sekarang juga sanggup untuk membuat pola distribusi musik seperti layaknya yang pernah dilakukan oleh industri rekaman itu. Dalam artian tersebar ke khalayak luas, asalkan kita mengetahui tempat yang tepat, dan memiliki relasi dalam komunitas-komunitas tertentu.
Intinya adalah, dengan adanya kemudahan teknologi produksi dan distribusi musik sekarang ini, menurut saya, memungkinkan seorang musisi/band menjadi seorang produser independen. Seseorang yang memiliki bahan baku dan alat produksinya sendiri. Dan dengan begitu, seseorang yang bisa menjalani dan mengetahui keseluruhan proses berkarya mereka mulai dari pembuatan lagu, pengemasan lagu, hingga distribusi lagu.
Mungkin menjalani keseluruhan proses itu akan membutuhkan waktu yang lebih lama, ketimbang ketika kita menyerahkan urusan produksi dan distribusi itu kepada pihak industri rekaman. Bila ditangani oleh pihak industri rekaman, semua proses itu memang bisa dipersingkat, bahkan kuantitas karya yang dihasilkan juga bisa lebih besar. Tetapi intinya bukan masalah cepat-lambat atau kecil-besar. Intinya adalah bagaimana kita tidak menjadi suatu alat belaka yang bisa ditunggangi untuk kerakusan orang lain akan laba. Dengan menghindarkan diri menjadi hanya sekadar alat dalam cara kerja industri rekaman berbasiskan kapitalisme, berarti juga berusaha untuk meminimalisir keterasingan dalam berkarya. Keterasingan seperti, salah satunya adalah, ketika sebuah karya tiba-tiba saja harus dirombak total, karena bukan demi kualitas musik itu sendiri, tetapi pertimbangan abstrak yang seringkali diterjemahkan dengan nama: kepentingan pasar. Sedangkan musisi tidak mempunyai kuasa untuk menolak masukannya itu, karena seketika karya itu nantinya dikemas untuk dijual, karya itu bukan menjadi milik mereka seutuhnya, tetapi juga industri rekaman yang telah bermurah hati "membantu" mereka berkarya.
Atau keterasingan, ketika seseorang disekat-sekat dalam pembagian kerja yang memotong-motong "roh" mereka dalam sebuah hubungan sosial, sehingga nampak tidak berhubungan satu sama lainnya. Musisi hanya tahu beberapa hal: membuat musik dan merombaknya atas permintaan produser (bukan diri musisi sendiri), pergi ke sana atau ke sini untuk urusan tur. Untuk urusan pengemasan, distribusi, dsb: biarkan pihak lain yang mengurusnya, karena itu bukan urusan musisi. Dengan kata lain, nantinya produk yang mereka hasilkan pun bukan seutuhnya dalam kendali mereka, tetapi sebagian besar beralih ke pihak industri rekaman itu.
Dengan terbukanya kemungkinan menjadi produser independen, maka penyekatan seperti itu nampaknya menjadi hilang. Mereka menghasilkan sesuatu dengan jerih payah mereka sendiri, dan mereka mengetahui secara tepat seperti apa jerih payah yang mereka alami itu dalam proses berkaryanya itu. Dengan begitu, karya yang dihasilkan, tidak serta-merta menjadi sesuatu yang berada di luar mereka, dan oleh karenanya menjadi asing bagi diri mereka sendiri. Karya mereka menjadi curahan jiwa-raga sang musisi/band seutuhnya. Karya itu menyatu dengan pembuatnya.
Catatan:
Keadaan musisi dan cara produksi independen yang dilukiskan diatas, terlepas dari masalah pemenuhan kebutuhan hidup pokok setiap musisi. Biasanya, konsekuensi yang seringkali dihadapi bagi musisi independen adalah mereka harus mencari kerja utama untuk menafkahi dirinya sendiri (dan keluarganya bila ada). Seringkali kerja utamanya itu di dunia yang sangat berjauhan dengan musik, dan pada saat yang bersamaan, menyita hampir seluruh waktu si musisi yang bersangkutan. Berbeda dengan mereka yang bergabung kedalam industri musik. Biasanya mereka dapat memenuhi nafkahnya dengan total berkonsentrasi di dunia itu. Masing-masing memiliki konsekuensinya sendiri. Namun demikian, itu bukan berarti tidak ada juga musisi yang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya dari produksi musik independen seperti itu. Dan tulisan ini bukan mengarah ke arah itu (mungkin di kesempatan yang lain). Intinya, tulisan ini ingin berkutat dalam pikiran, bahwa sebenarnya masih ada cara lain untuk bisa berkarya tanpa berlandaskan kepada cara produksi yang bergantung kepada eksploitasi kerja orang lain. Tidak tertutup kemungkinan, cara lain dalam bermusik itu bisa menjadi cara yang umum digunakan nantinya, seketika cara produksi kapitalisme saat ini mulai rapuh karena kontradiksi-kontradiksi yang menjadi pembawaannya sejak lahir semakin menguat dan akhirnya pecah.
Kamis, 23 September 2010
Warp Riders

Rating: | ★★★★★ |
Category: | Music |
Genre: | Childrens Music |
Artist: | the Sword |
Goddammit. Absurd!
Itulah garis besar cerita yang ada dibalik album ketiga the Sword, "Warp Riders". Dalam album barunya ini, mereka melakukan perubahan yang cukup besar. Dimulai dari album yang digarap secara konseptual dengan memfokuskan tema pada genre fiksi, seperti cerita Ereth diatas. Dan pola kesepuluh lagu yang ada di "Warp Riders" , dimana polanya disetting untuk menggambarkan cerita mengenai perjalanan Ereth dalam menyelamatkan planetnya.
Sejauh ini, "Warp Riders" memang album yang absurd bila dilihat dari konsep. Coba saja kamu bayangkan, bagaimana jadinya perpaduan antara musik heavy metal, dan cerita fiksi yang berlatar luar angkasa. Belum lagi makhluk-makhluk absurd yang diceritakan di "Warp Riders" yang, bila dilihat dari logika ruang dan waktu sejarah, sangat-sangat absurd (mana ada Android di jaman purba?). Tetapi, mungkin fiksi memang begitu. Khalayan bebas, bung!
Walau absurd, tetapi dari segi musik, the Sword semakin berkembang dan berkualitas sangat baik. Dimulai dari sentuhan hard rock '70an lengkap dengan lick, groove, dan, tentu saja, heaviness! Kesemua unsur itu tertata dengan baik di album ini. Kamu akan merasakan musik yang memompa adrenalin, dan sound yang membuatmu serasa ingin bertingkah edan-edanan. Enerjik! Sejauh ini, "Warp Riders" merupakan rilisan yang terbaik dari the Sword. Riff-riffnya unik, agresif, dan sangat catchy untuk ukuran heavy metal. Sangat direkomendasikan bila kamu ingin mencari semangat yang dibungkus dengan sentuhan heavy metal, hard rock, dan riff-riff yang mematikan.
Aaaarrggghhh, i dig "Warp Riders" very much! nuff said.
===========================================================
Silahkan menuju link dibawah ini bila tertarik:
http://www.megaupload.com/?d=XQMS1CG8
Rabu, 15 September 2010
Flood

Rating: | ★★★★ |
Category: | Music |
Genre: | Other |
Artist: | Boris |
Begitu tenang laut ini setelah hantaman demi hantaman air laut dihadapi dalam badai semalam.
Kuingat-ingat lagi tentang kejadian semalam, tentang betapa alam dengan sekali gerak nyatanya dengan mudah menghancurkan kapal yang katanya kokoh itu. Dengan satu hempasan ombak yang menggila, kreasi umat manusia yang telah turun-temurun dilestarikan itu hancur dalam sekejap. Betapa ironis. Demi negara...demi keagungan nama raja dan ratu, kapal itu sedianya harus memberi bukti akan pencapaian kuasa manusia. Dengan ekspansi yang ditempuh kapal melintasi laut yang liar menuju teritori yang tak diketahui. Dengan mengangkut awak manusia yang sebelumnya telah diberkati utusan Tuhan yang menjelma dalam insan raja dan ratu untuk pencarian harta kekayaan di dunia yang gelap gulita...semuanya remuk dalam sekejap. Dalam satu hempasan badai laut gila. Bukti pencapaian manusia itu, dengan miris, sekarang hanya berupa serpihan-serpihan kayu yang terserak di berbagai penjuru laut...
Dari sekian kayu yang terserak, yang terpencar dilautan luas itu...pecahan kayu kapal ini, yang sekarang ku bergantung padanya, adalah salah satu bukti betapa buasnya laut dalam badai di kegelapan. Sekarang, kayu ini seumpama serpihan yang retak...dan juga rapuh...namun kayu ini juga yang menyelamatkanku, dan oleh dorongan arus laut, sekarang membawaku menuju teluk pantai yang sepi dan tak menentu itu....
Oh, betapa tenangnya ku terombang-ambing, walaupun rasa remuk disekujur tubuh dan haus tak terhingga menyelimuti diri ini...pecahan kayu kupeluk semakin erat. Tak ingin kuberpisah dengannya hingga ku bisa menepi. Ku mulai membayangkan bagaimana nanti aku di tepi pantai itu...apa yang kulakukan nanti, apa yang mungkin kutemui nanti?
Oh, betapa tenangnya alur air ini...kubersyukur kuterhindar dari badai laut gila itu...oh, laut...fantasi mulai muncul didalam kepala...tentang sesuatu yang indah...tentang sesuatu yang serupa denganmu...yang juga menghanyutkan sepertimu...Oh, laut...aku mulai membayangkan sesuatu menyerupaimu...sesuatu bernama...Boris.
========================================================
terbawa hanyut menuju bibir pantai:
http://www.megaupload.com/?d=ngedi81h
Kamis, 02 September 2010
Hell is Full of Musical Amateurs

Bagaimana tidak. Perawakannya sungguh sintal. Langsing teramat sangat. Lekukan tubuhnya...amboi. La Guitarra Espanola. Membuat pikiran ini bergerak liar ke arah yang tak menentu.
Siang itu dia berjalan dengan santai. Melenggok begitu halusnya. Soenggoehpoen. Para lelaki yang siang itu terlihat tenggelam dalam pekerjaan kantornya, mau tidak mau, harus mengalihkan pandangan pada perempuan itu. Kalau bisa, mengalihkan pandangannya selama mungkin. Begitupun dengan saya. Saya tidak ingin melepaskan pandangan saya kepada perempuan itu sedikitpun. Dia yang telah susah payah berdandan, akan mubazir bila tidak dinikmati olehku.
"Temenku juga ada tuh yang lebih kurus dari dia," tiba-tiba temanku, dia perempuan, nyeletuk.
Cukup kaget juga mendengar temanku berbicara seperti itu. Dari apa yang kulihat siang itu, tubuh perempuan yang kulihat itu sudah tergolong sangat "tipis". Tak terbayang lagi bila ternyata ada perempuan yang lebih "tipis" darinya.
"Temenku itu sama perusahaan rekamannya dikasih semacam treatment gitu. Buat ngelangsingin badan. Pokonya buat treatment tubuh. Termasuk dikasih suntikan pemutih wajah kaya gitu," ujar temanku lagi.
Dari sini, perhatian saya untuk perempuan sintal itu menjadi teralihkan kepada apa yang temanku itu bicarakan. Obrolannya menarik. "Wah, perusahaan rekaman temen kamu sampai segitunya? Terus temen kamu itu gimana, ngerasa terkekang ga jadinya?" tanyaku kemudian.
"Ya enggalah. Mereka sih seneng-seneng aja. Namanya juga cewek. Dibuat cantik, pasti seneng," jawab temanku lagi.
Pikiran saya langsung campur aduk disitu. Suntikan pemutih wajah, treatment untuk melangsingkan tubuh...semuanya berputar-putar didalam kepala. Waw, bukannya itu tugas orang-orang salon? Apa urusannya perusahaan rekaman yang harusnya mengurus musik, hingga harus mengkhawatirkan tubuh para musisinya? Lalu kenapa para musisi itu juga rela saja tubuhnya diperlakukan sedemikian rupa hanya untuk mengikuti strategi perusahaan rekaman demi meningkatkan penjualan sebuah album? Semua pertanyaan itu bermunculan di kepala.
Temannya temanku ini berada dalam sebuah band. Seluruh personilnya adalah kaum hawa. Nama bandnya kurasa tidak perlu disebut disini. Pastinya, setelah lebaran usai, band temannya temanku itu dijadwalkan akan melakukan launching album perdananya. Nah, dalam kepentingan launching itulah, perusahaan rekamannya mengeluarkan dana tambahan untuk treatment para personilnya agar terlihat lebih kurus, terawat, dan cantik. Setidaknya menurut temanku begitu.
"Mereka sekarang sudah berubah banyak sih," kata temanku melanjutkan, "sekarang lagi banyak gaul sama artis yang sudah terkenal. Soalnya kalau ga gitu, mereka ga akan diliat ma orang."
Disini saya tak bisa menahan ketawa. Sungguh puas saya ketawa. Bersamaan dengan itu, saya teringat dengan band saya sendiri. Saya bersyukur selama ini tidak perlu mengkhawatirkan masalah tetek bengek penjualan seperti itu. Saya bersyukur bisa bermain musik dengan kawan-kawan band saya dengan lepas. Aku beruntung bisa menemukan orang-orang yang memiliki visi yang sama. Semenjak awal, kami tidak berencana memperkaya diri sendiri dengan uang dari band ini. Kami tidak berniat menjadi 'musisi profesional'. Jadinya tidak ada tuntutan yang aneh dan macam-macam seperti itu. Kami hanya ingin memainkan doom metal sekeras mungkin, hingga batas kemampuan diri kami sendiri. Walaupun, ritme bermusik kami tidak intens, tetapi kami masih memiliki hasrat. Karena yang terpenting dari musik memang itu, hasrat.
Ini bukan berarti menghakimi, bahwa band temannya temanku itu adalah band yang personilnya tidak memiliki hasrat semua. Ya, mungkin mereka memiliki hasrat. Bisa juga mereka hanya 'merasa' memiliki hasrat. Tetapi, sejujurnya, masalah hasrat itu akan selalu kuragukan. Masalahnya, beberapa temanku yang 'go pro' dalam bermusik dengan cara masuk ke dunia industri, selalu mengeluh dan mengeluh tentang cara kerja industri musik. Selalu saja mengeluh bila mereka berkunjung ke tempatku. Sampai bosan aku dibuatnya. Keluhan mereka terutama berkutat di masalah bagaimana pihak label rekaman terlalu mencampuri urusan aransemen lagu. Bahkan hingga reffrain pun diotak-atik sedemikian rupa dengan satu tujuan: mencari bagian yang gampang diingat oleh pendengar. Karena dengan begitu, diharapkan nama band akan teringat juga, dan selanjutnya, bisa mendongkrak penjualan album.
Keluhan yang didasari oleh gagasan yang absurd buat saya sejujurnya, dan sangat jauh dari kata berhasrat...
Walaupun demikian, temanku itu parahnya tidak ada yang mencoba memikirkan, bahwa ada yang tidak beres dari cara kerja industri seperti itu. Mereka menganggapnya, bahwa hal seperti itu sudah selayaknya diterima bagi mereka yang ingin 'concern' di dunia musik profesional. Bagiku, parahnya mereka seakan-akan dimakan oleh mitos-mitos seperti 'tenggang rasa'. Bahwa, dalam membikin musik kita tidak boleh egois, tetapi kita juga harus memikirkan selera pendengar.
Ini omong kosong. Logika seperti ini adalah logika bagian pemasaran, bukan musisi.
Dari jaman Viking pun, musik hadir sebagai ekspresi jiwa seseorang. Bukan masalah tenggang rasa dari pedagang kepada selera konsumen. Untuk masalah pendengar, mereka akan mengikuti dengan sendirinya. Bila pendengar merasa ada 'hubungan' dengan musik yang dibuat oleh musisi, mereka juga akan mengikutinya.
Terlepas dari banyak atau sedikit kuantitas pendengar.
Masalahnya, 'musisi-musisi profesional' itu selalu membayangkan dalam pikiran mereka, bahwa pendengar adalah sekelompok orang dengan kuantitas yang besar. Selalu saja dikejar-kejar oleh fantasi akan keberhasilan dan kesuksesan. Karena dengan kuantitas pendengar yang banyak, itu berarti musik mereka diterima luas. Padahal, saya yakin, dibalik alasan itu, adalah kekayaan berupa uang yang mereka cari.
Memang apa sih sukses? apa berhasil? Saya yakin, jawaban yang utama adalah menimbun uang, uang, dan uang lebih banyak lagi.
Manggung dalam sebuah tempat parkir kecil yang hanya dihadiri oleh sekitar 20 orang pengunjung, pasti bukan kriteria kesukesan para musisi. Manggung di sebuah studio kecil di daerah buah batu dengan penonton sekitar 15 orang juga pasti akan jauh dari definisi sukses dalam bermusik. Setidaknya begitu yang ada di benak musisi profesional. Tetapi, bagiku lebih baik seperti itu. Tidak ada yang lebih menyenangkan, ketika kamu memainkan lagumu sendiri dengan ditonton oleh mereka yang mengetahui kita selayaknya seorang teman lama. Karena penonton bukan sekadar angka statistik, penonton adalah mereka yang mengapresiasi cara kerja kamu. Terhubung dengan karya kamu. Merekalah yang akan melebur bersama dirimu di tempat konser. Karena merekalah, keakraban tercipta. Dan pertemanan baru tumbuh.
Manggung gratisan di sebuah studio kecil dengan dihadiri orang yang tidak lebih dari angka dua puluh, memang dekat dengan kemiskinan. Dalam artian, tidak ada uang yang didulang dalam jumlah besar disini. Menjalani hidup dengan cara seperti itu menjadi suatu siksaan tersendiri bila tidak diiringi dengan pemasukan di wilayah lainnya. Dan ini juga yang sering dikeluhkan teman-temanku yang ingin menjadi musisi profesional. Selain memikirkan selera pendengar, mereka juga harus memikirkan perut sendiri, dan orang-orang didekatnya. Oleh sebab itulah mereka manut-manut didikte oleh orang-orang label rekaman. Untuk cari kerjaan lain, sudah tidak bisa. Karena mereka harus total di musik. Sudah terikat kontrak. Atau alasan lain lagi, mereka tidak punya ijazah kuliah untuk bisa masuk ke dalam sebuah perusahaan bonafid. Macam-macamlah alasannya. Namun poinnya, mereka harus memikirkan bagaimana bertahan hidup. Untuk alasan ini, saya tidak akan berkata apa-apa. Toh, dari pernyataan itu juga, saya mengaku kalah duluan. Ngotot memaksa mereka untuk jadi musisi independen juga pada akhirnya menjadi tiran bila sudah begini.
Lagipula, saya bukanlah orang yang akan membayar seluruh tagihan mereka.
Hanya saja, ini semua ironis dan menyedihkan buatku. Melihat bagaimana kehidupan kita dibentuk oleh suatu cara yang berorientasi hanya kepada peningkatan kekayaan melalui angka statistik dengan menihilkan sisi kreatifitas manusia. Nilai-tukar menjadi prioritas utama, dibandingkan nilai-guna. Dan parahnya, kita semua menganggapnya sebagai sebuah kewajaran. Sebuah batu ujian bila kita ingin 'sukses'. Sebuah pembuktian dari mitos mengenai kerja keras...yeah right, kerja keras untuk memperkaya bos mu. Pada akhirnya, kita yang tidak memiliki kuasa, dengan terpaksa dan ikhlas harus menerima apa-apa yang didiktekan oleh yang memiliki akses. Kita menjadi pion yang bisa digerakan oleh mereka yang telah berbaik hati menampung kita agar kita bisa makan, dan mereka bisa memperkaya diri sendiri. Dan kitapun larut: "sedari dulu dunia memang sudah berjalan seperti ini."
Well, terserahlah.
Bila melihat lagi ke kehidupanku akhir-akhir ini...yah, saya masih sangat miskin dalam artian yang sebenarnya, dan saya juga masih bermain musik dengan gaya bermusik yang buruk. Gitarku juga masih gitar murah, dan senarnya sudah karatan. Tidak ada pencari talenta yang tertarik dengan musik yang kumainkan. Tidak ada perempuan juga yang tertarik melihat band kami. Tetapi semuanya masih berjalan. All is well. Kami masih datang kedalam studio. Menghidupi musik kami, walaupun pada akhirnya kami tidak akan mendapatkan apa-apa bila dikaitkan dengan kesuksesan dalam bentuk kekayaan timbunan uang Tetapi, setidaknya untuk hal ini saya merasa beruntung. Masih bisa bertemu kawan-kawan yang memiliki visi sama. Menikmati momen bermusik, walaupun hanya sebentar. Tetapi, karena sebentar itulah kami menikmatinya. Bagaimanapun, semuanya tidak akan abadi. Oleh sebab itulah, semuanya perlu dinikmati. Carpe diem, seize the day.
Aku juga sepertinya harus bersyukur dengan keadaan bandku yang jauh dari kata profesional. Karena aku tidak perlu memikirkan bentuk tubuhku yang tidak enak dilihat ini. Bagaimanapun juga, bentuk tubuhku yang tidak enak dilihat ini bisa menurunkan tingkat penjualan album.
[1] diambil dari Budi Darma, Olenka, Jakarta: Balai Pustaka, 2009.