Kamis, 05 Maret 2009

dazed and confused

 Saya ga begitu ngerti dunia yang saya tinggali saat ini. Hal apa saja yang menjadikan dunia yang saya tinggali bisa menjadi seperti sekarang ini: ide-ide seperti liberalisme, persamaan didepan hukum, dan demokrasi... Semuanya menjadi hal yang lumrah dan seolah-olah demikian adanya. Saya melihat dan merasakannya setiap hari di media massa dan juga dari obrolah dengan orang-orang terdekat. Ide dan fenomena besar itu berseliweran dan tumpang tindih dalam kehidupan.

Dalam tataran lebih kecil pun demikian adanya: semua topik yang dibicarakan, semua perilaku, interaksi yang dilakukan saat ini seolah-olah hadir begitu saja dan menjadi sebuah common sense. Salah satu contoh kecil, misalnya ketika seseorang yang dicemooh hanya karena busana yang dikenakannya terlihat konyol. Orang yang dicemooh itu membalas secara defensif dengan mengatakan, “ah, bebas we lah, kumaha aing. Aing nu make baju ieu! (ah, bebaslah, suka-suka saya. Saya yang memakai baju ini!-terj.). Bagaimana ia bisa melontarkan suatu penentangan yang begitu menekankan pada sikap kemandirian individu dalam berekspresi  seperti demikian? Bagaimana orang yang dicemooh itu bisa mengatakan sesuatu mengenai kebebasan dan individualisme seperti demikian? Dan bagaimana pula ide dan sikap yang menekankan pada kebebasan dan individualisme itu menjadi pola pikir yang ‘lumrah’ dalam masyarakat dewasa ini?

Saya tidak tahu dan tidak mengerti. Bila ingin menengok sedikit ke masa lalu dimana tempat saya hidup saat ini, yakni nusantara, bisa dibilang, tidak ada ide dan pola pikir mengenai kebebasan dan individualisme seperti sekarang. Dulu, nusantara adalah wilayah yang dikuasai oleh kerajaan-kerajaan. Pola kehidupan dalam sebuah masyarakat yang berada dalam pengaruh kerajaan, sepertinya bukan tempat yang baik untuk tumbuhnya ide-ide, seperti kebebasan dan individualisme. Karena pola interaksi dalam kerajaan adalah pola interaksi yang mendasarkan hubungannya pada siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai. Istilah-istilah yang mencerminkan suasana kerajaan, seperti abdi istana, abdi dalem dan abdi-abdi lainnya, bagi saya, sangatlah tidak ‘bebas’ dan ‘individualistik’. Kata-kata seperti itu mengesankan adanya ketergantungan yang bersifat feodalistik terhadap pihak atau sesuatu diluar sana, dalam hal ini adalah raja atau sultan atau kaisar atau emperor atau apalah. Dengan sendirinya, pola kerajaan tidak memungkinkan bagi ide mengenai kebebasan dan individualisme menjadi sesuatu yang lumrah dalam masyarakatnya.

Lalu, bila begitu, dari mana masyarakat yang saya menjadi bagian didalamnya mengenal pola pikir kebebasan dan individualisme? Bagaimana bisa, masyarakat saya yang dulunya hidup dengan menganggap raja adalah titisan para dewa hingga mereka rela menyembahnya, menjadi masyarakat dimana seorang presiden bisa dijatuhkan dengan sebuah prosesi pemakzulan? Apa yang terjadi sebenarnya dengan masyarakat? Semua istilah-istilah besar, seperti hukum, hak azasi manusia, liberalisme, rasionalisme…sebenarnya itu tuh apa? Sebenarnya apa sih yang kita bicarakan dan lakukan selama ini?

Saya tidak tahu dan tidak mengerti. Saya bingung. Lalieur, kalo kata orang Sunda. Tapi, saya percaya kalo mau mencari jawabannya, ada di masa lalu. Selama ini, kebetulan saya selalu mendapatkan literatur-literatur yang tema besarnya mengenai masa lalu sebuah masyarakat. Dalam proses pembacaannya, saya merasakan adanya sebuah benang tipis yang berjalinkelindan antara satu dengan lainnya dan dalam suatu cara saling berhubungan dalam menjelaskan dunia saat ini. Namun begitu, semakin saya menelusuri benang tipis itu lebih jauh kebelakang, semakin kompleks pula benang-benang itu. Seolah-olah saya berada dalam sebuah penelusuran tanpa akhir dan dalam setiap perjalanannya, selalu ada saja benang-benang baru yang bermunculan dan semakin membuat masa lalu itu terasa luas sekaligus rumit. Dan mau tidak mau, saya harus menguraikannya agar menjadi lebih jelas. Ah, bingung.   

13 komentar:

Yurivito Nugroho mengatakan...

lieur siah bo...

mungkin saja istilah "kebebasan" itu di saat orang tidak ingin dianggap aneh..
kata itu juga menjadi sebuah cara agar tidak terlihat aneh..
atau mungkin....

kata itu muncul karena sudah terlalu banyak orang yang mengejeknya, menjadikan orang itu mencari cara pembenaran dengan dalih kebebasan kan milik semua orang...

kalo dihubungkan dari masa lalu, kebebasan, buat gw yah saat orang tidak ingin lagi terkekang..
ah jadi pusing....

abo si eta tea mengatakan...

urang ge jadi lieur, To. kumaha tah? hahaha

dyah nur'aini mengatakan...

ah, aku ikut lalieur lah Bo...

Yurivito Nugroho mengatakan...

ANJIS....lieur...bakar lah ini tulisan...*anjis anarki..

heru muthahari mengatakan...

" Semua istilah-istilah besar, seperti hukum, hak azasi manusia, liberalisme, rasionalisme…sebenarnya itu tuh apa?"
jadi apa pilihan mu bo?...
ke bejaan urang nyak!!!!

heru muthahari mengatakan...

selamat menguraikannya!...
selamat menyusun, memilih, memilah dan merumuskan...warisann peradaban dunia...sudah itu kau beritahulah kami tentang apa yang kau dapat!

dyah nur'aini mengatakan...

eh, ini teh usmas bukan Bo? ahahahahaa...

saya Imam mengatakan...

abdillah termasuk teu Bo..? hihi :D
sae sae Bo..

abo si eta tea mengatakan...

haha, si imam. maksud abdillah kumaha tah? he. geus kawin can Mam?

saya Imam mengatakan...

abdi Illah maksudna..heuheu. kawin jeung naon heula yeuh..?

abo si eta tea mengatakan...

jeung awewe atuh, maenya jeung munding! haha

saya Imam mengatakan...

wahahaha...jiganamah gampang jeung mundingmah ciah... :D
acan pernah urang Bo uiy.. kumaha atuh Bo?? aya saran...

abo si eta tea mengatakan...

teuing atuh, mam. urang ge blah-bloh. hehe