Pak Jok pernah terlihat menggerutu. Sebagai orang yang mengelola
sebuah negara, ia meyakini negara yang dikelolanya itu memiliki kekuatan yang
tidak bisa diremehkan. Keyakinan itu sering ia ucapkan dengan menyodorkan
berbagai data, mulai dari angka produk domestik bruto, pertumbuhan ekonomi per
tahun, sampai rating dari lembaga pemeringkat internasional. Namun masalahnya,
ia menganggap, selama ini bangsanya masih merasa hidup di negara kecil dan
terbelakang.
Ia gusar dan ingin mengubah anggapan itu. Satu cara dicoba diupayakannya.
Cara yang, sepintas lalu, terlihat remeh-temeh. Misalnya, ia meminta menterinya
yang biasa berurusan dengan hubungan luar negeri agar mengatur posisi interaksi
antara dirinya dengan kepala negara lain dalam pertemuan kenegaraan. Bila ada
sebuah acara internasional dan terdapat jamuan makan malam, Pak Jok menuntut
menterinya itu agar mengatur posisi tempat duduknya tidak berjauhan dengan kepala
negara yang menjadi tuan rumah. Pak Jok tidak mau duduk di ujung meja makan
yang jauh dengan tuan rumah, ia menuntut agar tempat makannya bisa bersebelahan
dengan sang tuan rumah.
Begitu juga ketika ada sesi foto bersama antar kepala negara
dalam sebuah acara, ia menuntut menterinya itu bisa membuat posisi Pak Jok
bersebelahan dengan sang tuan rumah. “Ini bukan untuk saya, tetapi untuk
menunjukkan bahwa bangsa kita adalah bangsa besar,” katanya menjelaskan
permintaan itu.
Entah bagaimana menterinya itu menindaklanjuti permintaan Pak
Jok. Mungkin ada cara-cara khusus dalam protokoler hubungan kenegaraan yang
bisa memungkinkan keinginan Pak Jok itu. Mungkin juga tidak dan sang menteri
harus pandai-pandai melobi urusan rumah tangga kenegaraan sang tuan rumah untuk
memuluskan keinginan atasannya itu. Pastinya, keinginan Pak Jok menjadi kerja
ekstra yang harus dituntaskan oleh menterinya yang perempuan itu.
Keinginan Pak Jok dalam adab pertemuan antar kepala negara itu
menarik disimak. Permainan simbolik dalam hubungan antar kepala negara
tampaknya perlu serius diperhatikan, diantisipasi dan dikelola bagi segenap
staf-staf istana negara beserta seluruh kabinet Pak Jok.
Kepala negara yang saling berinteraksi tidak sekadar dipandang
orang-orang yang berkerumun dan ngobrol ngaler-ngidul dengan sesamanya tanpa
beban. Mereka diperlakukan sebagai orang yang mengelola urusan sehari-hari
sebuah negara dengan luas geografis tertentu, dengan jutaan orang hidup di
dalamnya, dan memutuskan apa-apa saja untuk wilayah dan nasib orang-orang yang
diurusinya itu. Kuasa bersemayam di tubuh mereka karena hal itu dan sebagai
implikasinya, kepala negara-kepala negara itu tidak saja dipandang individu
belaka yang terdiri dari tubuh, darah, dan kehendak, namun mewujud jadi segenap
wilayah dan orang-orang yang diurusnya itu. Menjadi hal yang masuk akal pula bila Pak Jok
kemudian bisa menuntut adanya keharusan tertentu dalam pertemuan sesama kepala
negara.
Realitas ganda
Keinginan Pak Jok itu seperti menunjukan secuil pencapaian
manusia dalam perjalanan yang telah berlangsung jutaan tahun. Sampai detik
terakhir, manusia telah merasakan berbagai evolusi dan revolusi. Termasuk dalam
hal hubungan antar sesamanya yang mengalami perkembangan dan lompatan-lompatan
yang signifikan, mulai dari hubungan komunal dalam era berburu dan meramu
sampai dengan hubungan yang berlapis strata dalam era kapitalisme global
seperti saat ini. Era dimana Pak Jok menggerutu tentang rasa rendah diri yang
menyelimuti orang-orang dibawah kuasanya itu karena tidak memberikan negara
kekuatan untuk berkompetisi di ranah persaingan bebas.
Orang-orang zaman dulu yang hidup dalam era berburu dan meramu
mungkin tidak memusingkan persoalan-persoalan protokoler kenegaraan seperti
yang diurusi Pak Jok dan stafnya itu. Bila pada era orang purba itu bayangan
tentang protokoler kenegaraan memang sudah ada, mereka pasti menganggap
persoalan seperti itu sangat tidak penting ketimbang memburu binatang
sebanyak-banyaknya di saat makanan menjadi sesuatu yang langka. Namun demikian,
hubungan antar manusia yang semakin berkembang, pada gilirannya, menghasilkan
kompleksitas-kompleksitas baru.
Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Yuval Noah Harari,
sejarawan asal Israel itu, melalui bukunya yang berjudul Sapiens. Homo sapiens bisa berkembang jauh meninggalkan homo-homo
sesamanya setelah melewati fase Revolusi Kognitif. Sebuah fase yang
memungkinkan homo sapiens mengembangkan bentuk komunikasi yang kompleks.
Dari revolusi yang berlangsung antara 70.000-30.000 SM itu, homo
sapiens tidak saja mampu mengkomunikasikan hal-hal yang terlihat di dunia luar
melalui pandangan mata mereka. Misalnya, mengkomunikasikan kepada temannya
bahwa ada singa di balik bebatuan yang terletak di sebuah bukit. Namun homo
sapiens, dalam perkembangannya kemudian, mampu juga mengkomunikasikan hal-hal
yang abstrak, tidak terlihat, dan menjadikannya keyakinan bersama, seolah-olah
mewujud dalam dunia objektif di luar.
Begitu halnya ketika bicara tentang kemauan Pak Jok ketika
berinteraksi dengan kepala negara lain. Kemauan yang diklaimnya bertujuan untuk
menunjukkan posisi negara dan bangsanya. Bila Pak Jok secara gamblang memaparkan alasannya semata-mata demi keinginannya sendiri untuk bisa berdampingan dengan orang-orang penting tanpa embel-embel negara-bangsa, mungkin hasilnya akan berbeda. Namun ia memberikn penekanan bahwa kemauannya itu bukan untuk kepentingan sendiri, tetapi kepentingan yang lebih besar, yakni negara dan bangsanya.
Lihat, konsep-konsep seperti negara dan bangsa yang dibicarakan Pak Jok. Itu adalah konsep yang abstrak dan ia lebih banyak menjadi sebuah hal yang dibayangkan. Memang kita bisa melihat ada tanah, pemukiman, orang-orang, infrastruktur jalan dan semacamnya. Namun mengklaim semua itu dan meyakini sebagai bagian negara dan bangsa merupakan hasil pembicaraan yang dibayangkan oleh para manusia.
Lihat, konsep-konsep seperti negara dan bangsa yang dibicarakan Pak Jok. Itu adalah konsep yang abstrak dan ia lebih banyak menjadi sebuah hal yang dibayangkan. Memang kita bisa melihat ada tanah, pemukiman, orang-orang, infrastruktur jalan dan semacamnya. Namun mengklaim semua itu dan meyakini sebagai bagian negara dan bangsa merupakan hasil pembicaraan yang dibayangkan oleh para manusia.
Dan perbincangan yang dibayangkan itu tidak sekadar masturbasi,
namun menjadi kenyataan. Sebuah realitas yang dibayangkan dan mampu menggerakan
manusia. Demikianlah, kenyataan yang dibayangkan tentang negara-bangsa mendorong
manusia membuat patok sebagai batas wilayah yang kemudian dikukuhkan dalam regulasi
dan dipatuhi bersama, merekrut ribuan orang masuk tentara, bahkan menyatakan
perang dengan sesamanya, atau dalam kasus Pak Jok, menuntut menterinya membuat
dirinya duduk bersebelahan dengan tuan rumah negara lain, semua itu atas nama
negara. Nama yang diperbincangkan di langit-langit benak para manusia.
Ada kutipan dari Yuval yang menurutku menarik dan sekaligus
ironis tentang bagaimana kemampuan komunikasi manusia berkembang sedemikian
kompleks sehingga kita kini menjalani sebuah realitas ganda. Demikian Yuval (2017:37)
menulis:
“Sejak munculnya Revolusi Kognitif, Sapiens dengan demikian hidup dalam realitas ganda. Di satu sisi, realitas objektif sungai, pohon dan singa; dan di sisi lain, realitas yang dibayangkan tentang Tuhan, negara dan korporasi. Seiring berjalannya waktu, realitas yang dibayangkan menjadi semakin kuat, sehingga kini sungai-sungai, pohon, dan singa yang bertahan bergantung pada kemurahan entitas yang dibayangkan seperti Tuhan, negara dan korporasi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar