Selasa, 29 September 2009

Planets of Old

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Imports
Artist:Cave In
Yup, rilisan pertama di tahun 2009 semenjak band dari Boston ini vakum pada tahun 2006. Sekarang, masih dibawah label yang menaungi mereka selama ini, yaitu Hydra Head, Cave In hadir lagi dengan mengeluarkan album EP bertitel Planets of Old. Ada empat lagu di EP ini. Bila Anda yang sebelumnya telah mendengarkan album mereka sebelum hiatus, yakni Perfect Pitch Black, maka Planets of Old ini bisa dikatakan sebagai album perpanjangan dari Perfect Pitch Black dengan versi yang lebih brutal (walaupun belum sebrutal album Untill Your Hearts Stop).

Di album Perfect Pitch Black, terdapat perubahan yang drastis dibandingkan album Jupiter dan Antenna. Karakter Hardcore dan metalnya lebih terasa. Ditambah lagi dengan adanya vokal basis Caleb Scofield yang harsh, sehingga atmosfir hardcore lebih terasa. Begitu juga di album Planets of Old. Vokal Caleb masih tetap ada. Seperti biasa, terkadang bersahut-sahutan dengan vokal Stephen Brodsky yang melodius dan bernyanyi.

Namun demikian, dari sisi musikalitas, perubahan yang terjadi cukup signifikan. Terasa kembali lagi ke era awal, seperti album Untill Your Heart Stops, dan Beyond Hypotermia. Bila di Perfect Pitch Black aroma rocknya masih cukup kental, walaupun mereka kembali musik hardcore,sehingga musiknya bagaimanapun juga masih terasa ‘soft’. Di Planets of Old, karakter hardcore maupun metalnya lebih kuat terasa, sedangkan karakter space rocknya tidak sekental dulu. Jadi lebih harsh…dan chaotic.

Perumpamaannya, seperti kembali lagi ke “roots” asli. Good ol fashion hardcore/punk with a little bit chaotic metal influences.

Seperti di track ketiga, yakni The Red Trail, pengaruh hc/punk nya sangat kental. Sesuatu yang tidak akan kamu temui di album Jupiter atau Antenna sekalipun. Fast hc/punk chaotic metal, seperti Converge: harsh dan brutal.
Tetapi atmosfir itu berubah, ketika masuk ke track terakhir, yakni Air Escape. Bila di lagu The Red Trail, Caleb Scofield mengeluarkan growlnya, di track ini adalah Stephen Brodsky giliran bernyanyi, dengan diiringi musik yang bertempo up beat (walaupun tidak secepat The Red Trail). Dari sisi sound pun, Air Escape, tak kalah beratnya. Alih-alih terdengar rock, dengan sound yang berat itu, komposisi lagu malah terasa lebih hardcore.

Sejak dulu Cave In memang jarang menghasilkan sound maupun gaya yang sama di tiap albumnya. Selalu berubah-rubah. Begitu pun di album ini. Malah, tiap lagunya menyajikan karakter-karakter tersendiri yang membuatnya tidak sama antara satu dengan yang lainnya.

Masuk track pertama, Cayman Tongue, karakter lagu yang bernuansa rock dengan sound yang heavy membuat komposisi lagu secara keseluruhan terdengar brutal. Apalagi ketika growl Scofield seakan-akan menyahuti Brodsky yang sedang bernyanyi. Seperti mendengarkan track The World is In Your Way di album Perfect Pitch Black. Lalu, musik tiba-tiba berhenti dipertengahan lagu. Menyisakan feedback dan noise, ketika track mau habis, tiba-tiba musik kembali lagi digeber. Heavy, dan cukup membingungkan, ketika pertama kali mendengarkannya.

Sedangkan track kedua, yakni Retina Sees Rewind, komposisi lagu berubah. Cukup drastis perubahannya. Diawali dengan melodi pada intro. Retina Sees Rewind terasa lebih punk rock, dengan tempo yang juga ikut naik dibandingkan track Cayman Tongue. Intensitasnya semakin naik dari tiap lagu ke lagunya.

Bagi mereka yang menyenangi Cave In era awal yang masih kental atmosfir hc/punk/metalnya mungkin akan senang mendengarkan album ini. Mereka kembali brutal. Tetapi, bagi mereka yang telah terbiasa mendengarkan Cave In di album, seperti Jupiter, Tides of Tomorrow atau Antenna, mungkin akan mendapat “tantangan”, ketika mendengarkan album ini. Anda sendiri yang menentukan.



Ngariung Mungpulung Sareng Baraya.




Sedikit dokumentasi ketika lebaran kemarin, ketika berkumpul kembali bersama keluarga besar. Dan saya tidak sabar untuk ke Tanjung Lesung menjelang tahun baru bersama mereka nanti. :D

Minggu, 27 September 2009

The Great Cessation

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:YOB
Epik. Itulah kesan pertama kali saat mendengarkan album teranyar, sekaligus yang pertama semenjak band asal Oregon ini sempat bubar pada tahun 2005. Komposisi musik YOB yang pada dasarnya berkarakter sludge/doom ini terdengar megah dan membuatnya menjadi terkesan epik. Tetapi, kesan epik ini, tidak membuatnya jatuh kedalam teritori funeral doom (dimana teritori ini, bagi saya, merupakan teritori yang paling membosankan diantara varian musik bergenre doom). Cukup berbeda ketika mendengarkan pertama kali YOB di album Elaboration of Carbon keluaran tahun 2002 (dimana pada album ini, soundnya masih raw dan kental dengan hawa stonernya).

Di album Great Cessation, ciri kental doom/stoner metal YOB masih kental. Tetapi terasa ada progress juga. Riff-riffnya terasa menjadi atmospheric, seperti Neurosis. Walaupun begitu, tidak membuatnya jatuh juga menjadi semacam post-metal. Sound YOB, bagaimanapun juga, masih terdengar primitif. Dan itulah yang membuat album ini saya nikmati.

Ada lima lagu dalam The Great Cessation ini. Dengan durasi keseluruhan berkisar enam puluh menit. Cukup panjang, memang. Lagu paling pendek durasinya adalah Breathing From the Shallows, yakni selama tujuh menit, dan terpanjang adalah The Great Cessation itu sendiri yang berdurasi hingga dua puluh menit. Tapi, tenang ko. Perjalanan di album YOB ini tidak akan terasa melelahkan. Asalkan ada waktu luang, musiknya masih bisa dinikmati. Bagaimanapun, durasi yang panjang tersebut tidak akan terasa panjang benar, ketika komposisi-komposisi lagu yang disusun didalamnya memang bagus.

Jumat, 25 September 2009

Boys of Summer '02

Tahun 2006 kemarin sudah berikhtiar sama diri-sendiri perihal masalah perut sama lambung: pokoknya mulai berhenti konsumsi alkohol. Ikhtiar itu juga datangnya bukan tiba-tiba turun dari langit seperti wahyu. Ada pemicunya: seharian perut kosong, tapi si Iya datang menawarkan alkohol di siang hari. Malamnya langsung tepar. Kerasa demam dan muntah-muntah. Dibawa ke dokter, eh, ternyata liver. Harus bedrest sebulan penuh. Waktu itu alkohol jadi pemantiknya, dan dampaknya kemana-mana. Mulai dari aktivitas akademik yang kacau, hingga ketinggalan aksi bermain bersama kawan-kawan. Dari situ mulai kapok.

Di tahun 2009, baru saja pulang dari kampung halaman, si Bina nelepon. Super dadakan. Mengajak bertemu di Dago. Teman-teman lama ngumpul lagi, katanya. Waktu itu sudah malam sekitar jam sembilan.  Barang-barang warisan mudik belum sempat dibongkar-bongkar. Belum diurus sama sekali, tapi malah langsung menyalakan motor. Ibu langsung marah-marah: baru nyampe, udah main ga jelas lagi. Tapi motor sudah keburu panas. Kagok. “Mau silaturahmi sama teman-teman lama,” kata saya buat alasan.

 Waktu selalu tidak pernah tepat bila main bersama teman-teman sekolah dulu. Tidak pernah. Seperti saat itu, ketika Bina menelepon. Tapi bodohnya, saya selalu “iya-iya” saja ikut. Dan konyolnya, walaupun waktu tidak pernah tepat, setiap acara bisa berlangsung sampai tuntas. Saya mengira-ngira, bila ada orang yang hidupnya selalu di-‘maintain’ dengan serius dan penuh perencanaan pasti tidak akan ‘mix’ berkumpul dengan mereka. Orang-orang spontanitas itu. Mereka tidak pernah menekuni perencanaan, apalagi keteraturan organisasional yang kaku dan terpatok pada garis otoritas. Dasar sinting. Contohnya saja si Ciblo. Jam dua pagi di telepon untuk ngumpul bareng. Dia ngeluh. Kenapa baru dikabari sekarang, karena dia sudah mau tidur, katanya. Tapi, eh, datang juga akhirnya.

Orang-orang serba dadakan, dan spontan itu….

Begitulah. Dalam perjalanan untuk menyambangi mereka, sebelumnya tidak berpikiran apa-apa, kecuali sekadar bertemu-kangen setelah lama tidak bertemu. Tapi, tidak lama kemudian jadi teringat Jalan Cikapayang, Jalan Supratman, dan Jalan Bawean. Wah, disitu asli langsung nyadar. Siapa yang pura-pura sholat di Pusdai, karena ketakutan dipergok Dalmas, sementara dirinya mabuk berat? Siapa yang makan nasi goreng langsung jackpot, gara-gara mabuk terlalu parah? Siapa yang tidur di trotoar Cikapayang tengah malam gara-gara kebanyakan minum Catuas? Siapa yang digebukin satpam gara-gara secara tidak sadar merusak palang properti jembatan Pasupati sewaktu jembatan itu masih belum beres? Siapa yang bawa awug tengah malam, dan bukannya awug itu dimakan, tapi malah dilempar-lemparkan ke orang-orang? Jawabannya ada pada mereka yang akan saya temui malam itu.

Siapapun juga pasti tau rasanya bagaimana bertemu dengan teman terbaik yang telah lama tidak bertatap-muka. Ingatan-ingatan tentang kekonyolan dan kegilaan masa muda yang dikoreh-koreh lagi seperti menemukan kanalnya. Dan berbicara masalah ingatan, dibandingkan jaman SMP, ingatan masa SMA memang benar-benar memuakkan. Biasalah, gap-gapan yang terlalu besar telah mengkotak-kotakan angkatan kami. Tetapi saya yakin diri saya harus bersyukur, karena kotak yang saya masuki saat itu sedikitnya bisa menghibur saya dari kejenuhan rutinitas sekolah yang memuakkan. Karena didalam kotak ada orang-orang yang, menurutku, humoris dan low profile. Bukan tipikal mereka yang petantang-petenteng membanggakan kekayaan orang tuanya atau identitasnya sebagai sebuah anggota geng motor. Hanya orang-orang biasa yang gemar nongkrong, dan down to earth. Dan hingga sekarang, ingatan bermain bersama mereka yang masih terkenang, sedangkan yang lain-lainnya, buram.

Dengan alasan ingatan itulah juga, mengapa undangan jam 9 malam itu diamini juga, walau Ibu harus kukulutus. Tetapi masalahnya, ingatan-ingatan kegemaran anak-anak akan minum-minuman keras baru teringat di tengah perjalanan. Di perjalanan saya benar-benar yakin pasti ujung-ujungnya minum-minum lagi. Dan memang benar saja, sekitar jam 1 pagi si Toples melemparkan uangnya ke trotoar di taman depan toko musik Aquarius. Ketika anak-anak sedang nongkrong di taman itu. Lemparan pertama itu juga pastinya mengundang yang lainnya untuk ikut udunan buat beli minum. Berikut saya juga. Kira-kira Rp 125 ribu terkumpul waktu itu dari hasil udunan sebanyak sepuluh orang.

Uang sudah terkumpul, tapi toko-toko minuman keras sudah tutup, sehingga Boker dan Dongo ngebela-belain ke Dago pakar buat beli minuman black market di salah satu kenalannya. Saya tidak begitu hapal daftar harga minuman, tetapi kata si Boker, Chivas Regal yang harga pasarnya mencapai Rp 175 ribu, bisa di nego menjadi hanya Rp 100 ribu di kenalannya itu.

Sebagian besar anak-anak saat itu sebenarnya sudah tidak mengkonsumsi lagi minuman alkohol. Seperti si Toples, yang pertama kali melemparkan uang buat udunan beli minum. Dia sudah tidak pernah mabuk-mabuk lagi, bahkan untuk mabuk yang paling ringan sekalipun. Sebelumnya saya juga bertanya padanya perihal kebiasaan minum-minum ini. Dia bilang, sudah tidak pernah lagi. Hidup Toples saat ini bisa dikatakan mapan bila dibandingkan dengan anak-anak lainnya yang hadir saat itu. Dia sudah punya pekerjaan di Jakarta, dan sedang mencicil agar bisa memiliki fondasi kehidupannya sendiri. Tetapi, saya kaget ketika dia menjadi orang pertama yang melemparkan uang udunan.  

Saya juga tolol, dan sama plin-plannya. Sebelum bertemu anak-anak, saya sudah berikhtiar: tidak ada mabuk-mabukan, tidak ada alkohol. Hanya nongkrong saja. Tapi, dasar bodoh, uang dari saku akhirnya dilempar juga ke trotoar buat udunan beli minuman. Dan yang lebih bodohnya lagi, sebelum nongkrong di taman, saya ngomong ke si Con-Con, “Lur, geus peuting yeuh. Jigana beuki tiris. Tapi di 34 mah moal tiris jigana.”

Omongan itu ternyata memicu anak-anak lainnya buat pindah ke taman, setelah sebelumnya kami nongkrong di pelataran Dago Plaza. Saat pindah itu jam sudah bertengger di angka 01.00 WIB. Kalau mau mengikuti norma sosial, jam satu pagi seharusnya kami ada di rumah dan tidur. Mengistirahatkan badan agar bugar esok harinya. Tetapi, ini malah pindah tempat tongkrongan. Benar-benar sinting. Entah apa juga sebenarnya yang dicari dari nongkrong ini, selain ngobrol ngalor-ngidul, dan dalam kasus ini, ditambah pula dengan minum minuman keras.

Kami nongkrong di taman hingga pukul empat pagi. Dua botol minuman dihabiskan oleh sepuluh orang. Terlepas dari aktivitas nihilistik dari nongkrong dan minum-minum ini, saya pikir, bertemu teman-teman yang selama kurang lebih tujuh tahun tidak bertatap muka merupakan hal yang jarang bisa didapatkan akhir-akhir ini.

Setelah saya tiba di rumah, dan tidak bertatap muka dengan mereka lagi, saya juga jadi tidak ingin mempertanyakan untung-rugi apa yang bisa didapatkan dari sekadar nongkrong dan mabuk sampai subuh dengan mereka. Saya pun tidak ingin mengira-ngira kelakuan Toples yang mengaku sudah berhenti minum, tapi nyatanya dia yang melemparkan ‘huru-hara’ pertama dengan mengeluarkan uang udunan ke trotoar. Terlalu banyak hal-hal yang telah dilewati selama ini, dan dari sekian banyak hal yang terlewati, ada sebuah fase yang dilewati bersama mereka. Dan mengetahui waktu bergulir hingga seperti sekarang, pada satu titik, membuat sedih juga.  

Terlalu banyak cerita, dan untuk menuturkannya lagi tidaklah mungkin. Rasanya tidak akan sama. Walaupun sebenarnya saya ingin sekali mengulang cerita itu. Mengulang apa yang Oz tumpahkan di kamar saat dia terlalu banyak minum Intisari. Mengulang berjalan kaki tengah malam di Kota Bandung. Mengulang nongkrong di Jalan Supratman tengah malam, dan tiba-tiba Dalmas datang menggerebek, lalu kami lari terbirit-birit. Mengulang nongkrong di sepinya Jalan Bawean dengan ditemani oleh sajian berupa Awug yang dibuat oleh teman kami. Mengulang mengacak-acak rumah Bina selama sebulan  penuh, hingga rumah si Bina dinobatkan sebagai ‘panti asuhan barudak’.

Tapi nyatanya semua itu memang tidak bisa diulang. Dan sampai sejauh ini, mungkin hanya nongkrong dan minum kembali yang bisa dilakukan, seperti malam itu di taman. Hanya berusaha mendekati, dan bukan untuk diulang. Dan aku tidak ingin mempertanyakan lagi segala ikhtiar yang kulanggar, karena untuk ini, saya rasa orang-oranglah, yakni mereka, yang terpenting. Bukan ikhtiar pribadi, bukan obrolan ngalor-ngidul, bukan juga botol minuman keras selundupan. Tapi kehadiran.



      
 

Selasa, 15 September 2009

Hanya Omongan Kosong Tentang Warisan Budaya

Waktu rata-rata yang diperlukan secara sosial menjadi ukuran nilai sebuah produk saat dikeluarkan di pasar. Itu menurut konsepsi Marx. Dengan kata lain, bila si Mbok Bariah hanya bisa membuat lima sorabi disaat ‘tren’ sorabi yang dihasilkan pada saat itu adalah sepuluh sorabi, maka Si Mbok mau tidak mau harus pulang lagi ke kampung halamannya. Memikirkan kembali strategi apa yang harus dilakukan agar hidup tak bangkar terus-menerus. Karena atas nama hukum efisiensi dan persaingan yang melatari “trend” tersebut, sorabi Mbok Bariah tidak akan termasuk golongan didalamnya. Kecuali Mbok Bariah memiliki teknologi yang bisa membuat produksi sorabinya menjadi sepuluh, seperti rata-rata “trend” produksi sorabi saat itu. 

Begitupun dengan omong-kosong beberapa orang yang berkoar kembali ke 'budaya azali'. Semacam bullshit tentang 'revitalizing cultural heritage' thing ini. Apalagi sambil mengangung-agungkan bahwa budaya lokal jaman dulu lebih arif dari budaya modern saat ini. Omong-kosong. Perbudakan dan mentalitas feodal zaman lampau sama brutalnya dengan penghisapan di moda produksi kapital sekarang. Jadi, jangan berbicara moral dan etika dalam kaitannya 'kearifan manusia jaman dulu yang tertuang dalam budaya lokal' dihadapan muka saya. Tolong, sudah cukup saya dipusingkan oleh bau kentut kalian yang apek.

Ketika orang-orang lebih menyenangi memakai baju jas, ketimbang mengenakan busana lokal yang memakan waktu berjam-jam untuk memakainya, sudah barang tentu menjadi lumrah bila kemudian jas itu menjadi digemari. Karena, dengan moda produksi saat ini, efisiensi dan persaingan adalah hukum. Tentu adalah hukum. Dan hukum itu jugalah yang membuat sesuatu yang kamu sebut budaya lokal dan Mbok Bariah harus terbengong-bengong di pinggir jalan menyaksikan segala sesuatunya hilir mudik sangat cepat dan brutal di hadapannya. Setiap orang harus patuh dalam hukumnya, bila ingin bertahan di kehidupan seperti sekarang ini.

Ketika ada kebudayaan yang hilang dari peredaran, tentunya manusia yang hidup saat itu bukanlah yang harus disalahkan tok. Tetapi ada hal lain yang tentunya harus juga dilihat dan berpengaruh cukup besar: jenis moda produksi seperti apa yang berlaku di sebuah masyarakat. Mau tidak mau harus dilihat, karena moda produksi itu sudah barang tentu berpengaruh kepada gaya hidup masyarakat didalamnya.

Kamu kira kenapa harus muncul kata-kata, seperti “karyawan”, “pekerja profesional”, bahkan “pegawai”, bila sistem produksi yang berlaku adalah sistem yang memunculkan pembagian kerja yang memicu munculnya pembagian kelompok sosial berdasarkan prestise seperti itu. Walaupun, pada dasarnya kata-kata “karyawan”, “pekerja profesional”, dan “pegawai” itu tiada bedanya dengan “buruh”: tergolong mereka yang tidak punya apapun, kecuali tubuhnya sendiri yang dijual untuk keuntungan pribadi yang membelinya. Untuk mengatakan lebih jelas: pembagian kelompok sosial seperti itu hanya pelipur lara dari kenyataan, bahwa dalam hal penghasilan dirimu lebih baik dari ‘mereka’, tidak perduli realitas betapa besarnya derajat penghisapan atas tubuhmu sendiri oleh moda produksi yang berlaku dan dominan saat ini.

Begitupun bila kamu ingin berbicara tentang menggali “kearifan budaya lokal” di jaman moda produksi kapital seperti sekarang. Okelah, kearifan adalah sesuatu yang mulia dan luhur, sehingga pantas untuk ditiru. Tetapi moda produksi kapital tidak akan perduli yang namanya kemuliaan atau kearifan yang luhur, selain ejakulasi tanpa batas bernama akumulasi modal. Tidak akan pernah. Kecuali kearifan atau kemuliaan itu memang bisa mendatangkan profit, berupa kekayaan berbentuk penumpukan uang. Kenyataannya, bila kearifan atau kemuliaan budaya lokal itu adalah sesuatu yang tidak efisien, menjadi hal yang percuma bila terus-menerus dipertahankan. Karena moda produksi saat ini, lebih menyenangi kopi instan di starbuck yang bisa tersaji secara cepat dalam waktu kurang lebih lima menit, daripada racikan kopi nenek moyangmu yang harus memakan waktu hingga setengah jam untuk menyajikannya. Lima menit untuk membuat kopi di mode produksi seperti saat ini tentu adalah rata-rata secara sosial, dan dua puluh lima menit yang dihabiskan artinya sama saja dengan tidak efisien. Dan itu berarti kalah persaingan. Dengan kalah persaingan, tentu tidak akan ada keuntungan apa-apa.

Begitu juga, misalnya ketika kamu mengeluhkan tidak ada orang yang mau lagi membaca atau mengucapkan bahasa nenek-moyang jadul di “jaman modern” ini. Kamu mengira hal seperti itu adalah semacam gejala mulai “murtad dan berdosa”-nya suatu masyarakat. Iyalah, wajar bahasa nenek-moyang kamu itu tidak ada yang mau memakainya, semenjak bahasa dan aksara yang berlaku di moda produksi sekarang lebih efisien dan mudah dimengerti. Apalagi bila dipakai untuk berbisnis. 

Jadi, bila kamu ingin menggali atau membangkitkan “budaya lokal” dari kuburannya, lebih baik tidak memakai motif demi embel-embel romantisme atau mencari nilai kemuliaan belaka. Apalagi bila budaya lokal yang ingin kamu hidupkan itu pada dasarnya tidak efisien untuk diterapkan di moda produksi seperti sekarang. Karena pada akhirnya, budaya lokalmu itu akan tetap mati juga. Kecuali dengan akal-bulus pedagangmu itu, kamu mengutak-atik budaya lokal tersebut dan menjualnya ke pasar. Masih ada kesempatan, bila memang caranya seperti itu. Lihat saja tren batik sekarang ini, atau scarf ala timur tengah itu. Entahlah apa namanya.   

Eskapisme dari kehidupan urban yang semakin mengalienasi ini memang sah-sah saja dicurahkan ke berbagai tempat dan saluran oleh individu atau kelompok: mau itu menjalani eksperimen seks-bondage dengan munding, misalnya, atau kembali ke “kearifan manusia dan kebudayaan masa lampau” ini. Tetapi, saya kira akan lebih menyenangkan bila eskapisme itu dicurahkan dengan melemparkan batu ke roda-roda mesin yang berputar cepat. Roda-roda mesin yang membuat kekasihmu terus berada di kantor hingga larut malam ketimbang berada di sisi mu. Roda-roda mesin yang merenggut kegemaran mu akan sorabi ala Mbok Bariah, karena si Mbok pulang kampung dan tidak kembali lagi jualan seperti biasanya. Tentu akan menyenangkan, karena tidak pada tempatnya kehidupan harus terasing dari diri sendiri.

Hanya Omongan Kosong Tentang Kebudayaan

Waktu rata-rata yang diperlukan secara sosial menjadi ukuran nilai sebuah produk saat dikeluarkan di pasar. Itu menurut konsepsi Marx. Dengan kata lain, bila si Mbok Bariah hanya bisa membuat lima sorabi disaat ‘tren’ sorabi yang dihasilkan pada saat itu adalah sepuluh sorabi, maka Si Mbok mau tidak mau harus pulang lagi ke kampung halamannya. Memikirkan kembali strategi apa yang harus dilakukan agar hidup tak bangkar terus-menerus. Karena atas nama hukum efisiensi dan persaingan yang melatari “trend” tersebut, sorabi Mbok Bariah tidak akan termasuk golongan didalamnya. Kecuali Mbok Bariah memiliki teknologi yang bisa membuat produksi sorabinya menjadi sepuluh, seperti rata-rata “trend” produksi sorabi saat itu.

Begitupun dengan omong-kosong beberapa orang yang berkoar kembali ke 'budaya azali'. Semacam bullshit tentang 'revitalizing cultural heritage' thing ini. Apalagi sambil mengangung-agungkan bahwa budaya lokal jaman dulu lebih arif dari budaya modern saat ini. Omong-kosong. Perbudakan dan mentalitas feodal zaman lampau sama brutalnya dengan penghisapan di moda produksi kapital sekarang. Jadi, jangan berbicara moral dan etika dalam kaitannya 'kearifan manusia jaman dulu yang tertuang dalam budaya lokal' dihadapan muka saya. Tolong, sudah cukup saya dipusingkan oleh bau kentut kalian yang apek.

Ketika orang-orang lebih menyenangi memakai baju jas, ketimbang mengenakan busana lokal yang memakan waktu berjam-jam untuk memakainya, sudah barang tentu menjadi lumrah bila kemudian jas itu menjadi digemari. Karena, dengan moda produksi saat ini, efisiensi dan persaingan adalah hukum. Tentu adalah hukum. Dan hukum itu jugalah yang membuat sesuatu yang kamu sebut budaya lokal dan Mbok Bariah harus terbengong-bengong di pinggir jalan menyaksikan segala sesuatunya hilir mudik sangat cepat dan brutal di hadapannya. Setiap orang harus patuh dalam hukumnya, bila ingin bertahan di kehidupan seperti sekarang ini.

Ketika ada kebudayaan yang hilang dari peredaran, tentunya manusia yang hidup saat itu bukanlah yang harus disalahkan tok. Tetapi ada hal lain yang tentunya harus juga dilihat dan berpengaruh cukup besar: jenis moda produksi seperti apa yang berlaku di sebuah masyarakat. Mau tidak mau harus dilihat, karena moda produksi itu sudah barang tentu berpengaruh kepada gaya hidup masyarakat didalamnya.

Kamu kira kenapa harus muncul kata-kata, seperti “karyawan”, “pekerja profesional”, bahkan “pegawai”, bila sistem produksi yang berlaku adalah sistem yang memunculkan pembagian kerja yang memicu munculnya pembagian kelompok sosial berdasarkan prestise seperti itu. Walaupun, pada dasarnya kata-kata “karyawan”, “pekerja profesional”, dan “pegawai” itu tiada bedanya dengan “buruh”: tergolong mereka yang tidak punya apapun, kecuali tubuhnya sendiri yang dijual untuk keuntungan pribadi yang membelinya. Untuk mengatakan lebih jelas: pembagian kelompok sosial seperti itu hanya pelipur lara dari kenyataan, bahwa dalam hal penghasilan dirimu lebih baik dari ‘mereka’, tidak perduli realitas betapa besarnya derajat penghisapan atas tubuhmu sendiri oleh moda produksi yang berlaku dan dominan saat ini.

Begitupun bila kamu ingin berbicara tentang menggali “kearifan budaya lokal” di jaman moda produksi kapital seperti sekarang. Okelah, kearifan adalah sesuatu yang mulia dan luhur, sehingga pantas untuk ditiru. Tetapi moda produksi kapital tidak akan perduli yang namanya kemuliaan atau kearifan yang luhur, selain ejakulasi tanpa batas bernama akumulasi modal. Tidak akan pernah. Kecuali kearifan atau kemuliaan itu memang bisa mendatangkan profit, berupa kekayaan berbentuk penumpukan uang. Kenyataannya, bila kearifan atau kemuliaan budaya lokal itu adalah sesuatu yang tidak efisien, menjadi hal yang percuma bila terus-menerus dipertahankan. Karena moda produksi saat ini, lebih menyenangi kopi instan di starbuck yang bisa tersaji secara cepat dalam waktu kurang lebih lima menit, daripada racikan kopi nenek moyangmu yang harus memakan waktu hingga setengah jam untuk menyajikannya. Lima menit untuk membuat kopi di mode produksi seperti saat ini tentu adalah rata-rata secara sosial, dan dua puluh lima menit yang dihabiskan artinya sama saja dengan tidak efisien. Dan itu berarti kalah persaingan. Dengan kalah persaingan, tentu tidak akan ada keuntungan apa-apa.

Begitu juga, misalnya ketika kamu mengeluhkan tidak ada orang yang mau lagi membaca atau mengucapkan bahasa nenek-moyang jadul di “jaman modern” ini. Kamu mengira hal seperti itu adalah semacam gejala mulai “murtad dan berdosa”-nya suatu masyarakat. Iyalah, wajar bahasa nenek-moyang kamu itu tidak ada yang mau memakainya, semenjak bahasa dan aksara yang berlaku di moda produksi sekarang lebih efisien dan mudah dimengerti. Apalagi bila dipakai untuk berbisnis.

Jadi, bila kamu ingin menggali atau membangkitkan “budaya lokal” dari kuburannya, lebih baik tidak memakai motif demi embel-embel romantisme atau mencari nilai kemuliaan belaka. Apalagi bila budaya lokal yang ingin kamu hidupkan itu pada dasarnya tidak efisien untuk diterapkan di moda produksi seperti sekarang. Karena pada akhirnya, budaya lokalmu itu akan tetap mati juga. Kecuali dengan akal-bulus pedagangmu itu, kamu mengutak-atik budaya lokal tersebut dan menjualnya ke pasar. Masih ada kesempatan, bila memang caranya seperti itu. Lihat saja tren batik sekarang ini, atau scarf ala timur tengah itu. Entahlah apa namanya.

Eskapisme dari kehidupan urban yang semakin mengalienasi ini memang sah-sah saja dicurahkan ke berbagai tempat dan saluran oleh individu atau kelompok: mau itu menjalani eksperimen seks-bondage dengan munding, misalnya, atau kembali ke “kearifan manusia dan kebudayaan masa lampau” ini. Tetapi, saya kira akan lebih menyenangkan bila eskapisme itu dicurahkan dengan melemparkan batu ke roda-roda mesin yang berputar cepat. Roda-roda mesin yang membuat kekasihmu terus berada di kantor hingga larut malam ketimbang berada di sisi mu. Roda-roda mesin yang merenggut kegemaran mu akan sorabi ala Mbok Bariah, karena si Mbok pulang kampung dan tidak kembali lagi jualan seperti biasanya. Tentu akan menyenangkan, karena tidak pada tempatnya kehidupan harus terasing dari diri sendiri.

Sabtu, 12 September 2009

Seperti Aku Mengenang, dan Pada Akhirnya Kita Menguap di Udara

Tapi apa yang telah kau lihat? Mungkin kau menyangka telah melihat segalanya yang tersaji di depan matamu. Seperti aku yang menyangka segalanya telah terhampar hingga sejauh mata memandang. Namun nyatanya kehidupan inilah yang kita rasakan...kesunyian yang bahkan mata sendiri tak sanggup meredefinisikannya. Namun itulah kebebasan, sayang. Lepas dari definisi, dan tak termasuk kategori apa pun.

Dan aku bebas, sayang, lepas dari horison universalitas yang coba kau definisikan. Eksistensi yang coba kau ukur dengan kedua matamu. Karena eksistensi dalam ukuranmu, bagiku hanya sekadar siluet manusia di sebuah senja. Tidak terlihat jelas dan jernih: bukan hanya letupan-letupan sesaat dari euphoria sebuah kerinduan. Eksistensi bagiku adalah sebuah dialektika yang tidak pernah mewujud kedalam sesuatu yang statis dan terjebak dalam ukuran-ukuran kuantitas, maupun fisik semata. Tidak ada bentuk yang sama, semenjak pertentangan demi pertentangan adalah hal sama yang mendasari kelahiran sebuah bentuk baru yang lain lagi di setiap fasenya.  

Dan kehidupan yang kujalani sudah barang tentu tidak termasuk dalam eksistensi yang coba kau ukur. Dan aku bebas, sayang, dalam anonimitas: lepas dari pengkategorisasian, bahkan pendefinisianmu.

Semoga kehidupan mengambil bentuk yang terbaiknya bagi dirimu.
    

Selasa, 08 September 2009

Fukken Pancaroba*

Tangguh benar kelihatannya perempuan itu. Sementara yang lainnya berlarian mencari bayangan pohon. Berusaha untuk menjauhi cakaran sinar matahari di jam dua siang. Melarikan diri mencari kenyamanan multi dimensi yang disuguhkan oleh kasur. Beda dengannya. Ia terus berlari. Ia berlari disaat matahari sedang garang-garangnya unjuk kekuatan, menunjukkan egonya yang paling tinggi. Menantang matahari, peluh pasti mengucur deras. Tangguh benar ia.

Ia berada di garda terdepan. Ia lari terdepan dan sendirian. Terdepan dan sendirian. Masih disorot sinar mentari di jam dua siang. Kalau saya nabi, saya minta sama Tuhan buat mindahin awan keatasnya. Saya minta sama Tuhan untuk menggeser awan agar menutupi matahari. Tapi sayang, zaman nabi sudah berakhir kira-kira dua ribu tahun yang lalu. Udah ga ada nabi lagi sekarang. Kalaupun ada pasti akan dicap penipu oleh MUI atau dipukulin sama tetangga sebelah, karena disangka menyebarkan ajaran sesat. Sempat terlintas pikiran untuk memayunginya, tapi pasti akan ditertawakan oleh orang-orang dibelakangnya. Ia pun mungkin akan lari terbirit-birit karenanya. Orang aneh. Begitu mungkin yang ada dalam pikirannya.

Walaupun mempunyai nama depan yang sama dengan nabi terakhir, tapi apa daya. Nama boleh sama, tapi tidak dengan orangnya. Nabi terakhir terkenal dengan dakwahnya yang sejuk. Lalu, bagaimana bisa berdakwah dengan sejuk, apabila untuk berpidato dihadapan 57 orang saja keringat dingin sudah bercucuran, logika ambruk dan penglihatan kabur?

Walaupun begitu, orang tua memberi nama pada anaknya disertai dengan harapan. Ayah menulis di buku “Catatan Masa Kecilku”; semoga menjadi anak yang berbudi pekerti seperti Nabi terakhir. Ya, mudah-mudahan anaknya tidak tumbuh jadi seseorang yang mudah melupakan sesuatu. Sok atuh, Ayah, do’ain juga. Biar nanti, sewaktu diwisuda, anaknya ditemani. Pas sesi foto, khususnya.

Bicara lagi tentang ketangguhan, teringat Riduan. Seorang tokoh dalam cerpennya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul ‘Jakarta’. Riduan adalah seorang nasionalis. Pejuang tulen yang pernah diciptakan oleh revolusi Indonesia. Cita-citanya tinggi, setinggi Himalaya. Idealis pula. Seseorang yang gigih memegang prinsipnya. Tapi, semuanya itu rontok seketika dihadapan Masrifah. Gadis perawan berumur enam belas tahun.

Sudah lama Riduan menginginkan Masrifah. Namun, Riduan harus menendang jauh-jauh perasaan itu dari hatinya. Gadis perawan itu mau dikawin dengan matros Nica – matros kelas satu dari Angkatan Laut Hindia Belanda.

"Selama ini ia menyangka, bahwa cita-cita itu akan menambah harga dirinya. Rupa-rupanya tidak demikian adanya. Kerap ia datang di rumah Masrifah, berbicara dengan bapaknya. Di medan catur inilah ia mencurahkan tujuan citanya, arti hidup, gerakan sosialisasi dan sebagainya. Semua itu dikiranya bisa memperlihatkan kepada bapak gadis dan perawan itu sendiri, bahwa ia kaya dalam batinnya. Salah, serba salah. Kini sadarlah ia akan untungnya. Baju cuma sesetel, itu-itu juga yang dipakainya dan belanja di warung kopi sekarang ini, bukan ia sendiri lagi yang membayar…."

Sudah pasti Riduan uring-uringan. Apalagi, calon suaminya Masrifah itu berpihak pada Belanda. Bukan pada tanah airnya. Tambah pusinglah ia. Lebih memusingkan lagi adalah bapaknya Masrifah. Seorang nasionalis tulen dan haus ilmu pengetahuan juga seperti dirinya. Bagaimana mungkin bapaknya itu mengijinkan anaknya untuk hidup bersama dengan seorang musuh revolusi? 

Galau. Malam hari sebelum kepergian Riduan ke luar kota Jakarta untuk menghindari rasa sakit hatinya, ia pergi berpamitan ke rumah Masrifah. Tapi ia datang bukan untuk berbicara dengan gadis perawan itu. Ia ingin mencurahkan segala isi hatinya kepada bapak gadis pujaannya itu. Bapak Masrifah itu hanya membalas curahan hatinya dengan mengusap dada sambil menundukkan kepala dan berkata:

“Yah, saya sendiri juga sudah mengetahui keadaan hati anak. Tapi apakah daya saya? Kami orang tua ini tidak boleh menguasai jiwa anak. Kami Cuma berkewajiban memasukkan faham merdeka dan kejujuran dalam jiwa yang masih bersih itu. Kami tidak boleh mempengaruhi dan menguasai batinnya. Dan cinta yang suci itu hanyalah bisa tumbuh bila batinnya merdeka….”

Riduan memahaminya. Walaupun, ketika Masrifah datang ke halaman menyuguhkan minuman, ia tidak berani memandang matanya.

Riduan pergi sejauh-jauhnya dari Kota Jakarta. Ia pergi hingga ke pedalaman. Mencari ketenangan.

“selamat tinggal, Jakarta,” keluhnya.

Riduan, invalide dalam perjuangan cinta!

“selamat tinggal, Jakarta.”

Ketangguhan…bahkan untuk seorang nasionalis dan patriotpun…semuanya menjadi berantakan. Rencana harus diubah, karena Jakarta sudah bukan lagi kota harapan. Tidak ada lagi tempat bagi cita-citanya yang idealis di kota ini. Semuanya mentah ketika dihadapkan oleh pertunangan.

“Ah, cinta mah jorok!” ujar seorang teman. Cinta bisa bersemi dimana saja. Benar-benar tak pandang bulu. ia bisa tumbuh dimana saja tanpa harus memakai pupuk. Seperti di dalam kamar; Kaos kaki bisa ada di atas speaker audio, celana dalam tiba-tiba bersemayam di kolong kasur dan abu rokokpun menumpuk di gelas bekas kopi semalam. Ya, cinta itu jorok. Bahkan seorang teman pun bisa mempunyai anak tanpa harus memakai status ‘suami-istri’.

Untuk terakhir kalinya kembali bicara soal ketangguhan. Pergantian musim, dari penghujan ke pancaroba, benar-benar membuat sengsara. Betapa tidak, seperti deretan bencana yang saling menyusul. Setelah tsunami, datang gunung meletus. Setelah hutang lunas, uang musnah untuk bayar angkot. Setelah keluar nilai D, keluar lagi nilai E. Sial beruntun. Lemah tidak berdaya. Memalukan. Baru saja keluar dari rumah, ingus mengalir deras drastis. Kepala pening nyut-nyutan. Batuk berdahak tanpa henti. Influenza. Seperti halnya cinta, sangat jorok.

Doktor Tomarere bilang harus banyak minum air putih, tapi sepertinya kopi lebih enak. Ibu bilang jangan banyak ngerokok, tapi ku bilang cerewet. “Makin gede, makin susah diatur. Bukannya mikir!” balasnya.

Jangar. melihat tulisan si Yogi yang judulnya ‘Galau…Saya Galau…Saya Multi Talented…Bukan Seniman’ waktu hajat seni VENTILASI bertajuk ‘DaripadaDARIPADA, kan…mendinganMENDINGAN’:

Ketika menggarap pameran ini saya sedang galau…karena dua masalah hidup, satu mengenai permasalahan perut. Kedua karena permasalahan kelamin…dan itu semua adalah inti masalah hidup…tapi karena ini sebuah penciptaan karya, saya menikmati segala kegalauan hidup.

Haha. Goblok.


* Pancaroba 2007.

Jumat, 04 September 2009

Iron Man


Artefak dari sebuah kebudayaan tercipta diatas penghisapan dan penindasan terhadap mereka yang tidak memiliki akses terhadap alat produksi: perbudakan atas mereka yang tidak memiliki apapun, kecuali tenaga yang terdapat dalam tubuh mereka sendiri. Selama masih ada manusia yang tidak memiliki akses terhadap alat produksi, tentu akan selalu ada ketergantungan kepada mereka yang memiliki akses lebih terhadap alat produksi. Dampaknya bagi kaum yang ‘memiliki akses’ itu sudah tentu adalah kekuasaan: kekuasaan terhadap alat produksinya sendiri, dan terhadap manusia lain yang tidak mempunyai apapun. Disinilah, dan diatas semua itu, kaum yang berlebih bisa melakukan apapun dengan waktu luang yang dimiliki oleh mereka, termasuk membuat sebuah artefak kebudayaan bertingkat tinggi.

Piramid yang ribuan tahun berdiri kokoh di Mesir sudah dipastikan bukan dikerjakan oleh Firaun seorang. Gurun pasir yang eksis ribuan tahun di sekitar piramid menjadi saksi, bagaimana ribuan orang yang harus menghamba kepada Firaun, karena tidak memiliki apapun, siang-malam menumpuk batu demi batu dibawah deraan cambuk. Bila Firaun seandainya hanya rakyat jelata, seperti mereka yang siang-malam menumpuk batu, tentu tidak akan berpikir untuk membuat piramid yang tidak memiliki korelasi langsung terhadap kehidupan sehari-harinya yang disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan hidup yang tidak gampang. Lebih baik menggembala domba agar bisa makan, daripada membuat piramida bodoh yang tidak bisa menciptakan sesuatu untuk dimakan. Dan dunia kenyataannya dibangun dengan tidak membuat semua orang senang: ada Firaun yang memiliki kekuasaan besar, dan ada mereka, ribuan orang yang tidak memiliki apapun, kecuali tenaga didalam tubuhnya sendiri.

Tony Stark, seorang pemimpin Stark Industries di film Iron Man ini, dalam beberapa hal mirip seperti Firaun. Walaupun, tidak sevulgar seperti Firaun di jamannya sendiri tentunya. Di jaman dimana Tony Stark hidup, tidak ada yang namanya perbudakan, karena perbudakan itu sendiri memang menjadi barang kuno. Mengesankan produk yang hanya ada dalam fase manusia primitif. Di masa dimana Tony Stark hidup, dunia hanya mengenal sebuah pola proses pertukaran komoditi yang tidak sekadar memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga akumulasi kapital.

Mereka yang memiliki uang, memasuki pasar untuk membeli semua alat produksi yang diperlukan agar sebuah komoditi bisa dibuat dan dijual kembali dengan harga yang lebih dari uang yang telah dikeluarkan untuk bahan produksi di pasar pertama kalinya. Di sini, yang berlaku bukanlah penghambaan seperti Firaun, tetapi kepemilikan. Siapa yang memiliki akses terhadap bahan produksi, maka mereka bisa memiliki semua bahan produksi, termasuk tenaga-kerja sebagai bahan produksi. Dan kepemilikan tersebut tentu saja bukan perbudakan. Tentu saja mereka bilang bukan, karena dibawah segalanya, mereka berkilah semata-mata tindakannya itu legal dibawah payung yang menggerakan aktivitas pasar bernama jual-beli. Di dalam pasar, tentu saja, yang bermain bukanlah ‘tuan yang berhadapan dengan budaknya’, tetapi semata-mata hanya pembeli yang bertransaksi dengan penjual. Aku yang ingin jualan sepatu, memiliki uang untuk membeli bahan mentah sepatu dan mereka yang memiliki keahlian membuat sepatu. Aku yang ingin jualan sepatu, menemukan bahan mentah sepatu dijual di pasar dan kumembelinya. Aku yang ingin jualan sepatu, menemukan ada orang yang memiliki keahlian sepatu, menjual keahliannya kepadaku di pasar dan kumembelinya. Sesimpel itu.

Aku yang ingin jualan sepatu, tentu saja tidak hanya ingin jualan sepatu. Tetapi aku juga ingin uang yang kutanamkan pada bahan mentah sepatu dan tenaga kerja ahli membuat sepatu itu kembali lagi dengan dibarengi keuntungan berlipat bersamanya. Dan proses pertukaran komoditi kapital seperti ini bukanlah sebuah proses yang akan menemukan titik akhir, dia akan terus melipatgandakan dirinya semaksimum mungkin. Uang yang beredar di pasar tentu tidak akan habis dikonsumsi, seperti pemakaian sepatu yang dalam beberapa tahun kemudian engkau yang memakainya akan merengek ke orang tua mu untuk dibelikan lagi sepatu yang baru. Uang akan terus beredar dipasaran dan melipatgandakan dirinya selama dalam proses produksi sepatu, aku yang memiliki uang dan ingin jualan sepatu memanfaatkan ribuan tenaga ahli sepatu agar bisa mendatangkan keuntungan bagi diriku. Seorang yang ingin jualan sepatu.


Hidup Glamour Sang Milyuner Tony Stark

Saat uang yang beredar dipasaran terus melipatgandakan dirinya, sudah tentu orang yang pertama kali memiliki uang tersebut dan melemparkannya ke pasaran adalah yang paling diuntungkan. Dengan begitu, tentu saja kekayaan adalah hal pertama yang akan dimilikinya. Dengan kekayaan, dia dapat melakukan apapun yang dia mau. Maka kita bisa melihat kenapa bisa muncul orang seperti Tony Stark di film Iron Man ini. Seorang milyuner muda nan cerdas yang dikagumi banyak orang.

Dengan kekayaannya yang berlipat, dia memilih judi di sebuah kasino elit, ketimbang menghadiri acara penghargaan yang menurutnya membosankan itu. Banyak pilihan terbuka lebar bagi dirinya. Dengan kekayaannya yang berlipat itu, tentu saja perusahaan yang dipimpinnya, Stark Industries, memiliki akses pula untuk memiliki perangkat keras yang menjadi bahan mentah senjata, dan terhadap teknologi perangkat lunak yang memungkinkan pengembangan teknologi yang terus-menerus.

Dan ketika kekayaan Tony Stark sudah begitu berlipatnya, tentu saja Tony dengan Stark Industriesnya dapat melenggang kemanapun: dari sekadar bermain-main dengan perempuan, membuka bisnis baru di bidang pertanian yang dananya disokong penuh oleh industri senjata beratnya, bertindak mulia dengan mendirikan badan-badan amal, hingga waktu luang yang memungkinkan Tony Stark dapat membuat robot perang bodoh yang bisa terbang menembus atmosfer bumi.

Belum lagi bila ada pesanan senjata dari Afghanistan, karena Taliban semakin menyebalkan, sudah tentu uang yang mengalir ke kantongnya lebih deras lagi. Itulah Tony Stark, sang milyuner yang jadi panutan.

Tetapi, tentu saja semenjak Tony Stark yang menjadi tokoh utama film Iron Man ini, ribuan orang yang bekerja untuknya di pabrik senjata Stark Industries tidak akan disorot. Lagipula, apa menariknya memfilmkan orang-orang menjemukan yang kerjaannya tiap hari memasang baut dan mur ke dalam senjata selama delapan jam (atau bila Stark Industries punya pabrik di Tangerang, memasang baut dan mur itu bisa sampai 14 jam)? Tentu saja tidak akan menarik. Hidup orang-orang yang bekerja di dalam pabrik Stark Industries tidak akan sedinamis para pemegang saham, seperti Tony Stark yang bisa terbang ke daerah Timur Tengah dengan robot bodohnya itu untuk menghancurkan teroris yang mengganggu kepentingan ekspansi bisnis Stark Industries. Tidak akan ada pesta semeriah dan semulia pestanya kaum filantropis yang bisa dihadiri oleh Stark sebagai seorang milyuner yang memimpin Stark Industries. Ribuan pekerja Stark Industries itu tentu saja tidak memiliki kehidupan semenarik seperti CEO-nya. Dan memfilmkan ribuan pekerja Stark Industries ke dalam film Iron Man juga tentu merupakan pemborosan dana dan buang-buang waktu saja.

Tetapi, walaupun pekerja pabrik Stark Industries itu tidak akan bisa masuk dalam film Iron Man ini, minimal mereka dapat menontonnya di bioskop bersama keluarga di akhir pekan. Teknologi canggih yang diperagakan dan betapa glamornya seorang Tony Stark di film ini menjadi salah satu tontotan yang bisa dinikmati di waktu senggang setelah sibuk seharian bekerja. Selain dinikmati, tentu saja melihat film ini bisa membuat kita berkhayal…seperti saya yang akhir-akhir ini menghayalkan seandainya Gwyneth Paltrow bisa saya bawa ke Tasikmalaya pas lebaran nanti untuk dikenalkan kepada keluarga besar di sana. “Kenalin, bapak-bapak-ibu-ibu, calon….”

Iron Man

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Education
Artefak dari sebuah kebudayaan tercipta diatas penghisapan dan penindasan terhadap mereka yang tidak memiliki akses terhadap alat produksi: perbudakan atas mereka yang tidak memiliki apapun, kecuali tenaga yang terdapat dalam tubuh mereka sendiri. Selama masih ada manusia yang tidak memiliki akses terhadap alat produksi, tentu akan selalu ada ketergantungan kepada mereka yang memiliki akses lebih terhadap alat produksi. Dampaknya bagi kaum yang ‘memiliki akses’ itu sudah tentu adalah kekuasaan: kekuasaan terhadap alat produksinya sendiri, dan terhadap manusia lain yang tidak mempunyai apapun. Disinilah, dan diatas semua itu, kaum yang berlebih bisa melakukan apapun dengan waktu luang yang dimiliki oleh mereka, termasuk membuat sebuah artefak kebudayaan bertingkat tinggi.

Piramid yang ribuan tahun berdiri kokoh di Mesir sudah dipastikan bukan dikerjakan oleh Firaun seorang. Gurun pasir yang eksis ribuan tahun di sekitar piramid menjadi saksi, bagaimana ribuan orang yang harus menghamba kepada Firaun, karena tidak memiliki apapun, siang-malam menumpuk batu demi batu dibawah deraan cambuk. Bila Firaun seandainya hanya rakyat jelata, seperti mereka yang siang-malam menumpuk batu, tentu tidak akan berpikir untuk membuat piramid yang tidak memiliki korelasi langsung terhadap kehidupan sehari-harinya yang disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan hidup yang tidak gampang. Lebih baik menggembala domba agar bisa makan, daripada membuat piramida bodoh yang tidak bisa menciptakan sesuatu untuk dimakan. Dan dunia kenyataannya dibangun dengan tidak membuat semua orang senang: ada Firaun yang memiliki kekuasaan besar, dan ada mereka, ribuan orang yang tidak memiliki apapun, kecuali tenaga didalam tubuhnya sendiri.

Tony Stark, seorang pemimpin Stark Industries di film Iron Man ini, dalam beberapa hal mirip seperti Firaun. Walaupun, tidak sevulgar seperti Firaun di jamannya sendiri tentunya. Di jaman dimana Tony Stark hidup, tidak ada yang namanya perbudakan, karena perbudakan itu sendiri memang menjadi barang kuno. Mengesankan produk yang hanya ada dalam fase manusia primitif. Di masa dimana Tony Stark hidup, dunia hanya mengenal sebuah pola proses pertukaran komoditi yang tidak sekadar memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga akumulasi kapital.

Mereka yang memiliki uang, memasuki pasar untuk membeli semua alat produksi yang diperlukan agar sebuah komoditi bisa dibuat dan dijual kembali dengan harga yang lebih dari uang yang telah dikeluarkan untuk bahan produksi di pasar pertama kalinya. Di sini, yang berlaku bukanlah penghambaan seperti Firaun, tetapi kepemilikan. Siapa yang memiliki akses terhadap bahan produksi, maka mereka bisa memiliki semua bahan produksi, termasuk tenaga-kerja sebagai bahan produksi. Dan kepemilikan tersebut tentu saja bukan perbudakan. Tentu saja mereka bilang bukan, karena dibawah segalanya, mereka berkilah semata-mata tindakannya itu legal dibawah payung yang menggerakan aktivitas pasar bernama jual-beli. Di dalam pasar, tentu saja, yang bermain bukanlah ‘tuan yang berhadapan dengan budaknya’, tetapi semata-mata hanya pembeli yang bertransaksi dengan penjual. Aku yang ingin jualan sepatu, memiliki uang untuk membeli bahan mentah sepatu dan mereka yang memiliki keahlian membuat sepatu. Aku yang ingin jualan sepatu, menemukan bahan mentah sepatu dijual di pasar dan kumembelinya. Aku yang ingin jualan sepatu, menemukan ada orang yang memiliki keahlian sepatu, menjual keahliannya kepadaku di pasar dan kumembelinya. Sesimpel itu.

Aku yang ingin jualan sepatu, tentu saja tidak hanya ingin jualan sepatu. Tetapi aku juga ingin uang yang kutanamkan pada bahan mentah sepatu dan tenaga kerja ahli membuat sepatu itu kembali lagi dengan dibarengi keuntungan berlipat bersamanya. Dan proses pertukaran komoditi kapital seperti ini bukanlah sebuah proses yang akan menemukan titik akhir, dia akan terus melipatgandakan dirinya semaksimum mungkin. Uang yang beredar di pasar tentu tidak akan habis dikonsumsi, seperti pemakaian sepatu yang dalam beberapa tahun kemudian engkau yang memakainya akan merengek ke orang tua mu untuk dibelikan lagi sepatu yang baru. Uang akan terus beredar dipasaran dan melipatgandakan dirinya selama dalam proses produksi sepatu, aku yang memiliki uang dan ingin jualan sepatu memanfaatkan ribuan tenaga ahli sepatu agar bisa mendatangkan keuntungan bagi diriku. Seorang yang ingin jualan sepatu.


Hidup Glamour Sang Milyuner Tony Stark

Saat uang yang beredar dipasaran terus melipatgandakan dirinya, sudah tentu orang yang pertama kali memiliki uang tersebut dan melemparkannya ke pasaran adalah yang paling diuntungkan. Dengan begitu, tentu saja kekayaan adalah hal pertama yang akan dimilikinya. Dengan kekayaan, dia dapat melakukan apapun yang dia mau. Maka kita bisa melihat kenapa bisa muncul orang seperti Tony Stark di film Iron Man ini. Seorang milyuner muda nan cerdas yang dikagumi banyak orang.

Dengan kekayaannya yang berlipat, dia memilih judi di sebuah kasino elit, ketimbang menghadiri acara penghargaan yang menurutnya membosankan itu. Banyak pilihan terbuka lebar bagi dirinya. Dengan kekayaannya yang berlipat itu, tentu saja perusahaan yang dipimpinnya, Stark Industries, memiliki akses pula untuk memiliki perangkat keras yang menjadi bahan mentah senjata, dan terhadap teknologi perangkat lunak yang memungkinkan pengembangan teknologi yang terus-menerus.

Dan ketika kekayaan Tony Stark sudah begitu berlipatnya, tentu saja Tony dengan Stark Industriesnya dapat melenggang kemanapun: dari sekadar bermain-main dengan perempuan, membuka bisnis baru di bidang pertanian yang dananya disokong penuh oleh industri senjata beratnya, bertindak mulia dengan mendirikan badan-badan amal, hingga waktu luang yang memungkinkan Tony Stark dapat membuat robot perang bodoh yang bisa terbang menembus atmosfer bumi.

Belum lagi bila ada pesanan senjata dari Afghanistan, karena Taliban semakin menyebalkan, sudah tentu uang yang mengalir ke kantongnya lebih deras lagi. Itulah Tony Stark, sang milyuner yang jadi panutan.

Tetapi, tentu saja semenjak Tony Stark yang menjadi tokoh utama film Iron Man ini, ribuan orang yang bekerja untuknya di pabrik senjata Stark Industries tidak akan disorot. Lagipula, apa menariknya memfilmkan orang-orang menjemukan yang kerjaannya tiap hari memasang baut dan mur ke dalam senjata selama delapan jam (atau bila Stark Industries punya pabrik di Tangerang, memasang baut dan mur itu bisa sampai 14 jam)? Tentu saja tidak akan menarik. Hidup orang-orang yang bekerja di dalam pabrik Stark Industries tidak akan sedinamis para pemegang saham, seperti Tony Stark yang bisa terbang ke daerah Timur Tengah dengan robot bodohnya itu untuk menghancurkan teroris yang mengganggu kepentingan ekspansi bisnis Stark Industries. Tidak akan ada pesta semeriah dan semulia pestanya kaum filantropis yang bisa dihadiri oleh Stark sebagai seorang milyuner yang memimpin Stark Industries. Ribuan pekerja Stark Industries itu tentu saja tidak memiliki kehidupan semenarik seperti CEO-nya. Dan memfilmkan ribuan pekerja Stark Industries ke dalam film Iron Man juga tentu merupakan pemborosan dana dan buang-buang waktu saja.

Tetapi, walaupun pekerja pabrik Stark Industries itu tidak akan bisa masuk dalam film Iron Man ini, minimal mereka dapat menontonnya di bioskop bersama keluarga di akhir pekan. Teknologi canggih yang diperagakan dan betapa glamornya seorang Tony Stark di film ini menjadi salah satu tontotan yang bisa dinikmati di waktu senggang setelah sibuk seharian bekerja. Selain dinikmati, tentu saja melihat film ini bisa membuat kita berkhayal…seperti saya yang akhir-akhir ini menghayalkan seandainya Gwyneth Paltrow bisa saya bawa ke Tasikmalaya pas lebaran nanti untuk dikenalkan kepada keluarga besar di sana. “Kenalin, bapak-bapak-ibu-ibu, calon….”


Holyshit, ternyata MP bisa chatting juga tohh...

Rabu, 02 September 2009

Untuk Teman-Teman Pencari Kabar

Pukul dua siang tadi, gempa berkekuatan sekitar 7,3 skala richter yang berpusat di Tasikmalaya, terasa hingga kampus Unpad Jatinangor. Seketika itu juga orang-orang yang berada di dalam gedung kampus berhamburan keluar. Menjauh dari bangunan-bangunan yang ada dan mencari tanah lapang. Mereka terkaget-kaget akan getaran yang cukup keras dan lama itu. Beberapa diantara mereka langsung menelepon orang-orang terdekat, mencari dan memberikan kabar.

Tidak lama kemudian, setelah yakin situasi akan berlangsung seperti sedia kala, orang-orang yang terkaget-kaget itu kembali tenang dan bisa tersenyum. Bahkan, kuli bangunan yang sedang bekerja pun kembali lagi ke dalam gedung. Mengerjakan aktivitas seperti sebelumnya. Begitu pun dengan saya dan beberapa teman. Kami kembali ke tempat kami berkumpul di depan gedung. Juga kembali tertawa dan saling melemparkan banyolan. Gempa tidak menjadi topik yang cukup penting saat itu. Setidaknya tidak sampai dibahas panjang lebar. Dikalahkan oleh bahasan-bahasan lainnya, seperti rutinitas akademik, keceng-mengeceng, dan gosip-gosip murahan.

Tetapi, sehabis magrib menjelang dan ku tetirah di kamar. Mampir beberapa kabar. Menceritakan bahwa dirimu yang sehari-harinya berada di Bandung Tengah, saat ini berada di Soreang. Bahwa dirimu tetap berada di RSHS untuk memantau efek gempa. Bahwa dirimu tidak jadi pulang ke rumah, tetapi malah merapat ke Pangalengan dan Ciwidey. Bahwa dirimu masih berada di jalan...masih mencari tahu mengenai apa yang baru saja terjadi. Tidak seperti diriku yang justru bermalas-malasan di kamar.

"Di MTC aya nu katinggang tembok...tapi teu luka parah...Hypermart retak-retak, Carefour tembokna ambruk...," begitu isi pesan singkat terakhir yang kudapat darimu.

Andai ku masih ada di jalan, daripada di dalam kamar seperti sekarang.

Untuk Teman-Teman Pencari Kabar

Pukul dua siang tadi, gempa berkekuatan sekitar 7,3 skala richter yang berpusat di Tasikmalaya, terasa hingga kampus Unpad Jatinangor. Seketika itu juga orang-orang yang berada di dalam gedung kampus berhamburan keluar. Menjauh dari bangunan-bangunan yang ada dan mencari tanah lapang. Mereka terkaget-kaget akan getaran yang cukup keras dan lama itu. Beberapa diantara mereka langsung menelepon orang-orang terdekat, mencari dan memberikan kabar.

Tidak lama kemudian, setelah yakin situasi akan berlangsung seperti sedia kala, orang-orang yang terkaget-kaget itu kembali tenang dan bisa tersenyum. Bahkan, kuli bangunan yang sedang bekerja pun kembali lagi ke dalam gedung. Mengerjakan aktivitas seperti sebelumnya. Begitu pun dengan saya dan beberapa teman. Kami kembali ke tempat kami berkumpul di depan gedung. Juga kembali tertawa dan saling melemparkan banyolan. Gempa tidak menjadi topik yang cukup penting saat itu. Setidaknya tidak sampai dibahas panjang lebar. Dikalahkan oleh bahasan-bahasan lainnya, seperti rutinitas akademik, keceng-mengeceng, dan gosip-gosip murahan.

Tetapi, sehabis magrib menjelang dan ku tetirah di kamar. Mampir beberapa kabar. Menceritakan bahwa dirimu yang sehari-harinya berada di Bandung Tengah, saat ini berada di Soreang. Bahwa dirimu tetap berada di RSHS untuk memantau efek gempa. Bahwa dirimu tidak jadi pulang ke rumah, tetapi malah merapat ke Pangalengan dan Ciwidey. Bahwa dirimu masih berada di jalan...masih mencari tahu mengenai apa yang baru saja terjadi. Tidak seperti diriku yang justru bermalas-malasan di kamar.

"Di MTC aya nu katinggang tembok...tapi teu luka parah...Hypermart retak-retak, Carefour tembokna ambruk...," begitu isi pesan singkat terakhir yang kudapat darimu.

Andai ku masih ada di jalan, daripada di dalam kamar seperti sekarang.

Everyone Shall Be Doomed*

Semua orang mungkin mengira bila membicarakan musik metal, berarti juga membicarakan musik yang penuh agresifitas. Dalam artian, di dalam kata ‘metal’ terdapat tempo yang cepat, gebukan drum yang berlari cepat dan riff-riff yang juga menggerinding tanpa ampun…pokoknya segalanya serba cepat dan brutal. Mungkin tidak semua orang mengira bahwa di dalam genre metal, dimana banyak orang mempersepsinya sebagai musik cepat itu, terdapat suatu subgenre dimana gaya bermusiknya jauh dari citra band-band yang memainkan metal pada umumnya.

Tempo yang mengalun lambat sekali (secara harfiah), riff-riffnya tidak sebrutal mereka yang memainkan death metal, sound yang berat, atmosfir yang cenderung membawa hawa putus asa bagi yang mendengarnya menjadi ciri khas dari subgenre metal ini. Di kalangan penggemar musik metal sendiri subgenre ini memang tidak popular. Mungkin hal itu disebabkan, karena cara bermainnya yang lambat itu sangat kontradiktif dengan pakem-pakem yang sudah berlaku di dunia per-‘metal’-an selama ini, sehingga jarang sekali dilirik. Untuk lebih mudahnya, kita sebut saja subgenre ini dengan sebutan “doom”.

Akhir-akhir ini saya sering - bahkan sepertinya sudah teracuni – oleh musik doom. Untuk hal ini, mungkin saya harus memberi kredit kepada band lokal bernama Komunal. Walaupun, pada dasarnya,  Komunal bukanlah band yang membawakan musik doom (Komunal lebih kepada thrash/stoner/metal). Namun, melalui Komunal, saya mengetahui band-band hebat lainnya seperti Grief, Warhorse, Goatsnake, Ocean dll. Band-band itu mempunyai kesamaan karakter: gaya bermainnya benar-benar pelan dan soundnya maha berat! Pertama kali mendengar band itu, seperti menemukan sensasi tersendiri bagi telinga yang renta ini. 

Bila sebelumnya, ketika mendengarkan gaya bermain band-band death metal dan thrash metal, saya selalu terkesima dengan skill para pemain gitarnya yang mampu bermain cepat dan brutal pada saat yang bersamaan. Sedangkan ketika mendengarkan musik doom ini, satu hal yang membuat saya selalu tertegun sendirian di kamar adalah sound yang dihasilkan oleh mereka, band-band doom itu. Hell, suaranya benar-benar berat dan kasar! Terkadang ada band doom yang riff-riffnya sangat “punk rock” (three chords way!), sangat kontradiktif dengan permainan musik death metal, misalnya. Tetapi dengan sound yang berat mereka malah tidak terdengar seperti band punk rock!  

Oke, untuk mengetahui tentang musik doom ini, saya telah mengkompilasi beberapa bahan dari situs internet yang membahas tentang sejarah dan perkembangan doom metal (terdengar seperti Septiawan Santana lakukan dengan buku-bukunya, eh?). Situs-situs yang saya kunjungi antara lain adalah doommetal dan wikipedia. Semua bahan itu saya campur-campur lagi dengan pengetahuan saya yang serba-sedikit tentang musik ini. Yah, selamat membaca!

Musik doom mulai tumbuh pada pertengahan tahun 1980. Lahirnya subgenre ini tidak bisa dilepaskan dari kehadiran Black Sabbath formasi awal (Ozzy, Tommi, Butler, dll) sebagai penanggungjawab utamanya. Salah satu track-nya yang berjudul “Black Sabbath” malah sering disebut-sebut sebagai embrio dari gaya bermusik doom metal yang hadir hingga saat ini. Secara musikalitas, doom metal sangat dipengaruhi oleh karya-karya awal Black Sabbath itu. Album ketiga Black Sabbath berjudul Master of Reality ( 1971) dengan lagu-lagunya, seperti “Sweet Leaf”, “Into the Void” dan “Children of the Grave” sering dianggap sebagai bidan yang bertanggungjawab melahirkan anak haram bernama doom metal. Kasarnya, setiap band yang memainkan gaya doom metal, mempunyai hutang yang tidak akan pernah bisa dilunasi kepada Black Sabbath. Walaupun begitu, ada juga mereka yang beranggapan, bahwa Black Sabbath bukanlah satu-satunya band yang mempengaruhi perkembangan subgenre doom metal. Ada yang beranggapan, bahwa banyak juga band-band yang memainkan jenis musik doom ini beberapa saat setelah Black Sabbath melakukan debut pertamanya, seperti band dari Amerika bernama Pentagram. Bahkan beberapa di antaranya berasal dari negara, dimana Black Sabbath sama sekali belum terdengar.

Ciri yang melekat dari musik doom metal ini adalah, bahwa permainan gitar mereka berakar dari musik blues (dengan style yang sangat heavy, tentunya) dan riff-riff Tommi Iomi di era Black Sabbath. Untuk yang terakhir, bila kalian mendengarkan band-band doom metal, pasti sangat terasa riff-riff Sabbath-nya. Coba cari dan dengarkan Warhorse, The Sword atau Goatsnake. Di beberapa lagunya, riff-riff dari Black Sabbath bertebaran di sana-sini. Lalu dari segi lirik, pada umumnya sering mengutarakan tema tentang keputus-asaan, tragedi, rasa kehilangan yang sangat dll. Musik dengan sound yang berat ditambah lirik yang gelap menjadi hal yang sempurna dalam hal ini, karena hasilnya adalah keterasingan total dan orgasme maksimum!!! Fukkyeah.

Sedikit Cerita Perkembangan Doom Metal

Di pertengahan tahun ’80-an, doom metal hanya eksis di kalangan tersendiri yang benar-benar bisa menikmati musiknya. Saat itu, di tahun ’80-an, dunia metal didominasi oleh band-band yang memainkan subgenre speed dan thrash metal. Dan di tataran yang lebih komersial, band-band ‘Glam’ dengan rambut-rambut rancung gondrong (liat Poison!) menguasai stadium yang luasnya segede gaban. Sedangkan gaya musik doom metal yang lambat, berat, pesimistis dan umumnya berdurasi sangat panjang itu tidak terlalu banyak mendapat perhatian besar dari kebanyakan fans metal. Selain gaya bermusiknya yang ‘nyeleneh’ itu, hal lain yang membuat para fans metal memandang sebelah mata pada subgenre ini adalah attitude dari beberapa band yang sedikit ‘tidak umum’ pada saat itu.

Contohnya adalah band bernama Trouble. Band ini dianggap aneh oleh kebanyakan fans metal saat itu dan beberapa di antaranya bahkan tidak bisa menerima kehadiran band ini dalam dunia metal. Hal itu disebabkan, karena tema-tema kristen sangat lekat dalam setiap lirik, imej dan aksi panggungnya. Pada saat itu, mengangkat tema relijius dalam band metal bukanlah hal yang biasa. Selain Trouble, band-band yang mengangkat tema relijius lainnya pada jaman itu adalah Candlemass dan Saint Vitus. Namun begitu, tidak semua band doom metal selalu mengangkat tema relijius. Ada  yang memuja daun hijau bernama ganja, seperti yang dilakukan oleh Weedeater. juga yang mengangkat tema yang menyentuh tataran politik, seperti yang dilakukan oleh band asal Jepang: Corrupted, dan ada juga

Doom metal mengalami perkembangannya yang paling pesat di tahun 1990. Band yang paling esensial dan berpengaruh di saat itu hingga kini adalah Cathedral. Mantan vokalis Napalm Death, Lee Dorian, adalah frontman-nya. Forrest of Equilibrium (1991) sering disebut sebagai album yang ‘penting’ bagi Cathedral dan perkembangan musik doom metal. Album itu telah melahirkan banyak pengikut dan, pada akhirnya, terjadi persilangan antara musik doom metal dengan genre lainnya. Musik doom metal pun menjadi lebih bervariasi. Melahirkan banyak gaya yang berbeda. Misalnya band yang berasal dari Eropa bernama Thergothon dan Funeral yang mengawin-silangkan antara musik doom dan death metal hingga ke titik yang paling ekstrem.

Pada saat yang sama, band yang berasal dari Amerika bernama Crowbar dan Eye Hate God mencampurkan antara gaya bermain doom metal dengan musik hardcore/punk yang ‘raw’. Crowbar dan Eye Hate God telah memunculkan istilah baru bagi musik doom metal saat itu, yakni “sludge doom”. Selain itu, band influental lainnya adalah Earth, berasal dari Amerika. Earth ini adalah pionir dari subgenre doom metal bernama “drone doom”. Tempo yang lebih lambat dari tempo band doom pada umumnya dan kekacauan-kekacauan noise menjadi ciri khas dari drone doom. Subgenre ini juga sering disebut sebagai bentuk yang paling minimalistik dari perkembangan doom.

Hingga saat ini, eksperimentasi dalam musik doom masih terus berlanjut. Banyak yang mencampurkan musik doom dengan genre lainnya, seperti psychedelic, ambient, black metal, punk, industrial, stoner rock dll. Dibalik lagu-lagunya yang sepintas terdengar membosankan dan monoton, sesungguhnya sangat terbuka ruang untuk berkreatifitas dan bereksperimentasi di dalam doom metal ini. Tentu saja semua itu mungkin bila Anda memang menyukai jenis musik ini. Bila tidak, jangan dipaksakan.



* Tulisan ini pernah dimuat di fanzine Newbornfire.

Foto: Ozma (kiri) dan Greg Anderson (kanan) dari band doom bernama Thorrs Hammer yang diambil dari
ideologic.

 

Selasa, 01 September 2009

We Are Above You

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Rock
Artist:Clouds (Hydra Head Records, 2008)
Clouds adalah band proyekannya salah satu personil Cave In, yakni Adam McGrath. Semenjak saya menyenangi setiap rilisan Cave In, sudah pasti saya selalu antusias mengetahui kabar mengenai personil dibelakangnya. Setiap personil Cave In memang memiliki banyak proyek sampingan, seperti Zozobra, Kid Kilowatt, Octave Museum, lalu proyek solonya vokalis Stephen Brodsky, dan terakhir ini, Clouds. Selain Adam McGrath, line-up Clouds lainnya adalah Johnny (bass), Jim (gitar), dan Q (drum).

Menurut saya, personil Cave In merupakan orang-orang yang kreatif dalam membuat musik. Setiap musik yang mereka buat, selalu bisa dibilang cukup out of the box. Walaupun dasarnya adalah hardcore, tetapi mereka tidak terpatok dalam ‘karakter musik hc ortodok’, tetapi mereka selalu berkembang. Begitu pun dengan Clouds. Bila didengarkan, jelas terasa bahwa mereka terpengaruh oleh musik hardcore, tetapi ada juga pengaruh-pengaruh rock, stoner, dan sedikit aroma psychedelic.

Mungkin buat kamu yang suka mendengar Doomrider, The Bronx, Black Flag, dan semacamnya, akan langsung ‘klik’, ketika mendengarkan Clouds. Ya, musik hardcore yang dibumbui oleh sentuhan rock n’ roll. Tetapi, jujur saja, bila membandingkan dengan proyek sampingan personil Cave In lainnya, Clouds masih dibilang belum signifikan. Dan menurut saya, Clouds memang biasa-biasa saja. Mungkin review ini akan terasa tidak adil, karena saya menilai hanya dari sisi proyek personil Cave In. Bukan dinilai berdasarkan Clouds, yang harus dinilai dengan sudut pandang tersendiri. Terlepas dari bayang-bayang adanya Adam McGrath yang merupakan personil Cave In. Dan ya, dalam review ini, posisi saya memang demikian. Semenjak awal niat mereview Clouds, titik tolak saya memang ingin menyoroti kiprah salah satu personil Cave In tersebut.

Baiklah, cukup bertele-tele. Pastinya, dalam sebelas lagu yang ada di album ini, secara musikalitas, mereka memainkan hardcore yang terpengaruh rock n’ roll semacam Black Flag, namun dengan sound yang modern dan lebih berat. Walaupun demikian, musik seperti ini, bukan tipe yang saya nikmati benar-benar. Malah, bila ingin dibanding-bandingkan, proyeknya Caleb Scofield (basis Cave In), yaitu Zozobra bahkan bisa disebut lebih baik. Tetapi tentunya, penilaian ini nantinya kembali lagi ke kamu.