Waktu rata-rata yang diperlukan secara sosial menjadi ukuran nilai sebuah produk saat dikeluarkan di pasar. Itu menurut konsepsi Marx. Dengan kata lain, bila si Mbok Bariah hanya bisa membuat lima sorabi disaat ‘tren’ sorabi yang dihasilkan pada saat itu adalah sepuluh sorabi, maka Si Mbok mau tidak mau harus pulang lagi ke kampung halamannya. Memikirkan kembali strategi apa yang harus dilakukan agar hidup tak bangkar terus-menerus. Karena atas nama hukum efisiensi dan persaingan yang melatari “trend” tersebut, sorabi Mbok Bariah tidak akan termasuk golongan didalamnya. Kecuali Mbok Bariah memiliki teknologi yang bisa membuat produksi sorabinya menjadi sepuluh, seperti rata-rata “trend” produksi sorabi saat itu.
Begitupun dengan omong-kosong beberapa orang yang berkoar kembali ke 'budaya azali'. Semacam bullshit tentang 'revitalizing cultural heritage' thing ini. Apalagi sambil mengangung-agungkan bahwa budaya lokal jaman dulu lebih arif dari budaya modern saat ini. Omong-kosong. Perbudakan dan mentalitas feodal zaman lampau sama brutalnya dengan penghisapan di moda produksi kapital sekarang. Jadi, jangan berbicara moral dan etika dalam kaitannya 'kearifan manusia jaman dulu yang tertuang dalam budaya lokal' dihadapan muka saya. Tolong, sudah cukup saya dipusingkan oleh bau kentut kalian yang apek.
Ketika orang-orang lebih menyenangi memakai baju jas, ketimbang mengenakan busana lokal yang memakan waktu berjam-jam untuk memakainya, sudah barang tentu menjadi lumrah bila kemudian jas itu menjadi digemari. Karena, dengan moda produksi saat ini, efisiensi dan persaingan adalah hukum. Tentu adalah hukum. Dan hukum itu jugalah yang membuat sesuatu yang kamu sebut budaya lokal dan Mbok Bariah harus terbengong-bengong di pinggir jalan menyaksikan segala sesuatunya hilir mudik sangat cepat dan brutal di hadapannya. Setiap orang harus patuh dalam hukumnya, bila ingin bertahan di kehidupan seperti sekarang ini.
Ketika ada kebudayaan yang hilang dari peredaran, tentunya manusia yang hidup saat itu bukanlah yang harus disalahkan tok. Tetapi ada hal lain yang tentunya harus juga dilihat dan berpengaruh cukup besar: jenis moda produksi seperti apa yang berlaku di sebuah masyarakat. Mau tidak mau harus dilihat, karena moda produksi itu sudah barang tentu berpengaruh kepada gaya hidup masyarakat didalamnya.
Kamu kira kenapa harus muncul kata-kata, seperti “karyawan”, “pekerja profesional”, bahkan “pegawai”, bila sistem produksi yang berlaku adalah sistem yang memunculkan pembagian kerja yang memicu munculnya pembagian kelompok sosial berdasarkan prestise seperti itu. Walaupun, pada dasarnya kata-kata “karyawan”, “pekerja profesional”, dan “pegawai” itu tiada bedanya dengan “buruh”: tergolong mereka yang tidak punya apapun, kecuali tubuhnya sendiri yang dijual untuk keuntungan pribadi yang membelinya. Untuk mengatakan lebih jelas: pembagian kelompok sosial seperti itu hanya pelipur lara dari kenyataan, bahwa dalam hal penghasilan dirimu lebih baik dari ‘mereka’, tidak perduli realitas betapa besarnya derajat penghisapan atas tubuhmu sendiri oleh moda produksi yang berlaku dan dominan saat ini.
Begitupun bila kamu ingin berbicara tentang menggali “kearifan budaya lokal” di jaman moda produksi kapital seperti sekarang. Okelah, kearifan adalah sesuatu yang mulia dan luhur, sehingga pantas untuk ditiru. Tetapi moda produksi kapital tidak akan perduli yang namanya kemuliaan atau kearifan yang luhur, selain ejakulasi tanpa batas bernama akumulasi modal. Tidak akan pernah. Kecuali kearifan atau kemuliaan itu memang bisa mendatangkan profit, berupa kekayaan berbentuk penumpukan uang. Kenyataannya, bila kearifan atau kemuliaan budaya lokal itu adalah sesuatu yang tidak efisien, menjadi hal yang percuma bila terus-menerus dipertahankan. Karena moda produksi saat ini, lebih menyenangi kopi instan di starbuck yang bisa tersaji secara cepat dalam waktu kurang lebih lima menit, daripada racikan kopi nenek moyangmu yang harus memakan waktu hingga setengah jam untuk menyajikannya. Lima menit untuk membuat kopi di mode produksi seperti saat ini tentu adalah rata-rata secara sosial, dan dua puluh lima menit yang dihabiskan artinya sama saja dengan tidak efisien. Dan itu berarti kalah persaingan. Dengan kalah persaingan, tentu tidak akan ada keuntungan apa-apa.
Begitu juga, misalnya ketika kamu mengeluhkan tidak ada orang yang mau lagi membaca atau mengucapkan bahasa nenek-moyang jadul di “jaman modern” ini. Kamu mengira hal seperti itu adalah semacam gejala mulai “murtad dan berdosa”-nya suatu masyarakat. Iyalah, wajar bahasa nenek-moyang kamu itu tidak ada yang mau memakainya, semenjak bahasa dan aksara yang berlaku di moda produksi sekarang lebih efisien dan mudah dimengerti. Apalagi bila dipakai untuk berbisnis.
Jadi, bila kamu ingin menggali atau membangkitkan “budaya lokal” dari kuburannya, lebih baik tidak memakai motif demi embel-embel romantisme atau mencari nilai kemuliaan belaka. Apalagi bila budaya lokal yang ingin kamu hidupkan itu pada dasarnya tidak efisien untuk diterapkan di moda produksi seperti sekarang. Karena pada akhirnya, budaya lokalmu itu akan tetap mati juga. Kecuali dengan akal-bulus pedagangmu itu, kamu mengutak-atik budaya lokal tersebut dan menjualnya ke pasar. Masih ada kesempatan, bila memang caranya seperti itu. Lihat saja tren batik sekarang ini, atau scarf ala timur tengah itu. Entahlah apa namanya.
Eskapisme dari kehidupan urban yang semakin mengalienasi ini memang sah-sah saja dicurahkan ke berbagai tempat dan saluran oleh individu atau kelompok: mau itu menjalani eksperimen seks-bondage dengan munding, misalnya, atau kembali ke “kearifan manusia dan kebudayaan masa lampau” ini. Tetapi, saya kira akan lebih menyenangkan bila eskapisme itu dicurahkan dengan melemparkan batu ke roda-roda mesin yang berputar cepat. Roda-roda mesin yang membuat kekasihmu terus berada di kantor hingga larut malam ketimbang berada di sisi mu. Roda-roda mesin yang merenggut kegemaran mu akan sorabi ala Mbok Bariah, karena si Mbok pulang kampung dan tidak kembali lagi jualan seperti biasanya. Tentu akan menyenangkan, karena tidak pada tempatnya kehidupan harus terasing dari diri sendiri.
Begitupun dengan omong-kosong beberapa orang yang berkoar kembali ke 'budaya azali'. Semacam bullshit tentang 'revitalizing cultural heritage' thing ini. Apalagi sambil mengangung-agungkan bahwa budaya lokal jaman dulu lebih arif dari budaya modern saat ini. Omong-kosong. Perbudakan dan mentalitas feodal zaman lampau sama brutalnya dengan penghisapan di moda produksi kapital sekarang. Jadi, jangan berbicara moral dan etika dalam kaitannya 'kearifan manusia jaman dulu yang tertuang dalam budaya lokal' dihadapan muka saya. Tolong, sudah cukup saya dipusingkan oleh bau kentut kalian yang apek.
Ketika orang-orang lebih menyenangi memakai baju jas, ketimbang mengenakan busana lokal yang memakan waktu berjam-jam untuk memakainya, sudah barang tentu menjadi lumrah bila kemudian jas itu menjadi digemari. Karena, dengan moda produksi saat ini, efisiensi dan persaingan adalah hukum. Tentu adalah hukum. Dan hukum itu jugalah yang membuat sesuatu yang kamu sebut budaya lokal dan Mbok Bariah harus terbengong-bengong di pinggir jalan menyaksikan segala sesuatunya hilir mudik sangat cepat dan brutal di hadapannya. Setiap orang harus patuh dalam hukumnya, bila ingin bertahan di kehidupan seperti sekarang ini.
Ketika ada kebudayaan yang hilang dari peredaran, tentunya manusia yang hidup saat itu bukanlah yang harus disalahkan tok. Tetapi ada hal lain yang tentunya harus juga dilihat dan berpengaruh cukup besar: jenis moda produksi seperti apa yang berlaku di sebuah masyarakat. Mau tidak mau harus dilihat, karena moda produksi itu sudah barang tentu berpengaruh kepada gaya hidup masyarakat didalamnya.
Kamu kira kenapa harus muncul kata-kata, seperti “karyawan”, “pekerja profesional”, bahkan “pegawai”, bila sistem produksi yang berlaku adalah sistem yang memunculkan pembagian kerja yang memicu munculnya pembagian kelompok sosial berdasarkan prestise seperti itu. Walaupun, pada dasarnya kata-kata “karyawan”, “pekerja profesional”, dan “pegawai” itu tiada bedanya dengan “buruh”: tergolong mereka yang tidak punya apapun, kecuali tubuhnya sendiri yang dijual untuk keuntungan pribadi yang membelinya. Untuk mengatakan lebih jelas: pembagian kelompok sosial seperti itu hanya pelipur lara dari kenyataan, bahwa dalam hal penghasilan dirimu lebih baik dari ‘mereka’, tidak perduli realitas betapa besarnya derajat penghisapan atas tubuhmu sendiri oleh moda produksi yang berlaku dan dominan saat ini.
Begitupun bila kamu ingin berbicara tentang menggali “kearifan budaya lokal” di jaman moda produksi kapital seperti sekarang. Okelah, kearifan adalah sesuatu yang mulia dan luhur, sehingga pantas untuk ditiru. Tetapi moda produksi kapital tidak akan perduli yang namanya kemuliaan atau kearifan yang luhur, selain ejakulasi tanpa batas bernama akumulasi modal. Tidak akan pernah. Kecuali kearifan atau kemuliaan itu memang bisa mendatangkan profit, berupa kekayaan berbentuk penumpukan uang. Kenyataannya, bila kearifan atau kemuliaan budaya lokal itu adalah sesuatu yang tidak efisien, menjadi hal yang percuma bila terus-menerus dipertahankan. Karena moda produksi saat ini, lebih menyenangi kopi instan di starbuck yang bisa tersaji secara cepat dalam waktu kurang lebih lima menit, daripada racikan kopi nenek moyangmu yang harus memakan waktu hingga setengah jam untuk menyajikannya. Lima menit untuk membuat kopi di mode produksi seperti saat ini tentu adalah rata-rata secara sosial, dan dua puluh lima menit yang dihabiskan artinya sama saja dengan tidak efisien. Dan itu berarti kalah persaingan. Dengan kalah persaingan, tentu tidak akan ada keuntungan apa-apa.
Begitu juga, misalnya ketika kamu mengeluhkan tidak ada orang yang mau lagi membaca atau mengucapkan bahasa nenek-moyang jadul di “jaman modern” ini. Kamu mengira hal seperti itu adalah semacam gejala mulai “murtad dan berdosa”-nya suatu masyarakat. Iyalah, wajar bahasa nenek-moyang kamu itu tidak ada yang mau memakainya, semenjak bahasa dan aksara yang berlaku di moda produksi sekarang lebih efisien dan mudah dimengerti. Apalagi bila dipakai untuk berbisnis.
Jadi, bila kamu ingin menggali atau membangkitkan “budaya lokal” dari kuburannya, lebih baik tidak memakai motif demi embel-embel romantisme atau mencari nilai kemuliaan belaka. Apalagi bila budaya lokal yang ingin kamu hidupkan itu pada dasarnya tidak efisien untuk diterapkan di moda produksi seperti sekarang. Karena pada akhirnya, budaya lokalmu itu akan tetap mati juga. Kecuali dengan akal-bulus pedagangmu itu, kamu mengutak-atik budaya lokal tersebut dan menjualnya ke pasar. Masih ada kesempatan, bila memang caranya seperti itu. Lihat saja tren batik sekarang ini, atau scarf ala timur tengah itu. Entahlah apa namanya.
Eskapisme dari kehidupan urban yang semakin mengalienasi ini memang sah-sah saja dicurahkan ke berbagai tempat dan saluran oleh individu atau kelompok: mau itu menjalani eksperimen seks-bondage dengan munding, misalnya, atau kembali ke “kearifan manusia dan kebudayaan masa lampau” ini. Tetapi, saya kira akan lebih menyenangkan bila eskapisme itu dicurahkan dengan melemparkan batu ke roda-roda mesin yang berputar cepat. Roda-roda mesin yang membuat kekasihmu terus berada di kantor hingga larut malam ketimbang berada di sisi mu. Roda-roda mesin yang merenggut kegemaran mu akan sorabi ala Mbok Bariah, karena si Mbok pulang kampung dan tidak kembali lagi jualan seperti biasanya. Tentu akan menyenangkan, karena tidak pada tempatnya kehidupan harus terasing dari diri sendiri.
4 komentar:
Bo, perihal mode produksi, urang sepakat,,eta nu ngarana kapitalisme, hadena fleksibel,bisa adaptif di tiap jaman kajeun pernah si eta rek kojor gara2 ulahna sorangan. tapi ai soal warisan budaya jeung sajabana, baleg euy, eta bisa karek bisa dimumule mun compatible jeung mode produksi nu ajeg, yen kapitalisme. jadi nu ngarana warisan budaya jsb teh bakal lestari mun dijual.
para budayawan bangkotan, urang ningalina mereka menyalahi "hukum perubahan". nu ngarana budaya, moal aya nu orisinal, kabeh ge hasil akulturasi (ceuk kang Ira dosen antrop). si budayawan bangkotan jigana boga orientasi glorifikasi,,hayang asli/orisinal,status quo,teu ciples jeung perkembangan jaman.
kumaha carana meh menjual eta warisan budaya? turisme ceuk urang mah,,budaya urang pitontonkeun weh ka deungeun. barina, perkembangan kontemporer, ngarahna kadinya, jadi sekularisasi, enterteint. seren taun di Cigugur ge kitu, loba nu lalajo ti mamana..
aing maca postingan ieu bari seuri gugulingan,,hahaha,,pilihana nya aya dua jigana, hiji, nu ceuk maneh, nimbuk mesin2 produksi. kadua, kompromi jeung sistem eta, jual budaya urang ka deungeun. kabeh ge ayeuna mah marketing, boh pendidikan, boh politik, boh agama. rek ngadua, rek ngabandungan ceramah ustad ge bisa lewat hp. diajar ngaji, teu kudu ka masigit atau ka majlis taklim, meuli weh hape esia hidayah..hahaha..marketing jeung simbol jigana na nu jadi pangeran jaman kiwari mah...ageman anyar abad 21 monotheisme postmodern meureun...hahahaha
tapi bo, urang nulis komen ieu, make bahasa nu jiga kieu, meureun salah sahiji cara meh ngamumule budaya..meureun,,politik dengan "p" alit lah, teu kudu sloganistis ba bi bu...hahaha...
Rivki Proletariawan Priatna
terinsipirasi oleh Ribka Tjiptaning Proletariati,,Anggota DPR dari PDIP, penulis buku "Aku Bangga Jadi Anak PKI"...urang kajeun keneh manajer dengan gaji berlimpah, anger statusna proletar kumargi teu miboga alat produksi, boga ge alat reproduksi..:))
Tah, matakna ilmu ekonomi, manajemen, jeung sajabana (termasuk urang di fikom) payu teh, meh baraya salerea akur jeung sistem! haha.
Teu langkung, kumaha didinya...bade jualan atanapi nimpukan mesin. Tapi, dina pengalaman nu atos2 mah, jualan teh (di konteks moda produksi kapital nya) lolobana mah motif akumulasi tea...jarang nu mulia jualan mah (apal iklan bakrie di kompas?).
wuih bo...
mantaf euy...
msh ada gitu kearifan budaya lokal saat ini?
pencitraan mendukung penjualan..urang kan nyebutna, budaya lokal sebagai produk aja yang biasa dijual, sebagai komoditi lah..hahaha, kudu aya diferensiasi produk jeung pintar membaca pasar lah. mun trend na resep ka nu berbau alam dan tradisional, tah geuning loba resto anu menyajikan gaya tradisional..hehe..jadi nu aya reduksi budaya eta sorangan, katakanlah nya,,nu tadina tuntunan, ayeuna mah jadi tontonan. cilakana, beberapa aspek budaya lokal mah, jadi tontonan ge henteu (soalna ges teu enterteint meureun), komo jadi tuntunan.
ai soal pendidikan, nya inilah pabrik tenaga kerja,,paradigma pendidikan liberal,,leres, matak fikom laku, keur trend..
Posting Komentar