Minggu, 27 Juni 2010

Aftertaste

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:Helmet
"It always feels good to be right /And if it helps you sleep at night /Ill tell you what you want to hear /And act like I care" -Like I Care, HELMET-


Sebenarnya ini rilisan lama...tahun 1996. Tapi rasanya masih tepat didengarkan sekarang. Helmet membawakan musik yang berkarakter alternative, tetapi mereka memasukkan juga elemen hardcore, metal, dan juga grunge. Media massa kadang melabelkan musik mereka dengan sebutan "alt-metal"...alternatif metal? entahlah.

Saat saya dulu pertama kali beli albumnya sekitar tahun 1997 (saya masih SMP), saya kurang begitu menikmati album ini. Karakter vokalnya buat saya saat itu cukup mengganggu. Seperti mendengarkan orang berbicara dengan hidung tersumbat. Tetapi, ketika didengarkan lagi sekarang, semua kesan berubah dibandingkan dulu. Sekarang, tiap pagi saya selalu mendengarkan kembali Helmet. Hanya untuk memompa semangat. Vokalnya tidak terasa mengganggu lagi seperti pertama kali saya mendengarkannya dulu. Anehnya, saya rasa vokal sang frontman, Page Hamilton, memang cocok dengan musiknya.

Beberapa hal yang saya senangi dari Helmet ini, selain karakter vokal Page Hamilton, adalah komposisi musiknya yang simpel. Tidak berusaha untuk pamer teknik segala macam. Komposisi yang simpel itu tetapi tidak membuat lagu jelek. Justru riff-riff yang dijalin oleh Hamilton, dkk, bisa dibilang groovy dan enerjik. Dan itulah yang membuat Helmet selalu diputar setiap kali saya bangun tidur. Sambil menikmati secangkir kopi dan beberapa batang rokok, saya selalu headbang sendirian di kamar mendengarkan musik mereka. Lumayan. Olah raga pagi. Ha :D

Dari tiga belas lagu yang disajikan di album Aftertase, lagu 'Like I Care' adalah lagu favorit saya. Lagu ini memiliki riff yang bahaya (groovy dan enerjik), serta cukup 'tricky' juga. Saya mencoba ngulik lagu ini...secara chord dasar, lagu ini sangat sederhana. Dimulai dari nada G, dengan senar yang dituning menjadi drop D. Tetapi yang membuatnya sulit, adalah cara memainkannya. Kagok.

Selain riff yang simpel namun enerjik, lirik lagu 'Like I Care' juga bagus menurut saya. ada semacam romantisme, tetapi dengan cara yang sinis. Coba saja lihat liriknya:

"Im paralyzed Just listening to you/Now I am receptive/I know you sleep /So sound every night/ And you are deceptive /It always feels good to be right /And if it helps you sleep at night /Ill tell you what you want to hear /And act like I care"

Entah apa yang dimaksud oleh Hamilton ketika menyanyikan lagu ini. Apakah lirik itu menegaskan ketidakpeduliannya? Entahlah. Tetapi apa pun yang dimaksud dalam lirik itu, yang pasti liriknya berpotensi menampar orang-orang yang berbicara terlalu banyak. Menampar dengan pilihan kata yang sesantun mungkin, tetapi bisa menyakitkan bila kata per kata itu diamati dengan seksama.

Dalam lagu 'Like I Care' dan juga lagu Helmet lainnya di album Aftertaste, musik dan lirik berjalan bersama: its all about rage and anger. Sangat khas musik-musik rock era '90an. Ada kemarahan dalam raungan distorsi, dan keresahan dalam teriakan-teriakannya.

Selasa, 22 Juni 2010

damn, i found my mixtape!

Dijaman belum ada blogspot2an yang nyedian jasa download musik. Dijaman belum ada google search. Dijaman Soundgarden masih kedengeran. Dijaman Aquarius Dago masih jaya a.k.a. belum bangkrut. Dijaman pita kaset yang sering kusut. Dijaman ngerekam lagu di tape deck. Dijaman telunjuk masih sering neken tombol play atau rewind dari tape deck. Dijaman barter kaset kompilasi buatan sendiri dengan teman-teman...hell. Salah satu "golden moment mid '90's": bikin kompilasi musik sendiri via kaset dan saling tukeran kaset kompilasi dengan teman.

Ngomong-ngomong mixtape...lagi bongkar-bongkar lemari jadul, ga sengaja nemu salah satu kaset kompilasi buatan sendiri waktu jaman sekolah dulu. Kaset kompilasi yang saya kasih title: "HC Lives". Yup, kompilasi musik-musik hardcore akhir sembilan puluhan. Damn, i miss the moment. Inilah dia salah satu artefak 'mixtape' waktu jaman sekolah dulu:



Tidak diragukan lagi, layout mixtape ini memang kampring. Kovernya adalah gitaris Slipknot. Gambarnya saya gunting dari majalah, dan ditempel begitu saja ke kertas hvs. List lagunya langsung ditulis tangan. Kampring memang. Waktu itu memang belum kenal adobe photoshop atau corel draw. Pure manual. Cut and paste to the core!!!



List-list band dan lagu di kompilasi HC Lives:

SIDE A:
01. Himsa - "Black Out"
02. the Great Deceiver - "Cornered Art"
03. Grade - "The Worst Lie are Told in Silence"
04. Noise Ear - "Remained Nameless"
05. Paura - "the Same Road"
06. Jane - "Ich-Spielzerg Des Todes"
07. for the Love of - "Your Infinity (Buried Alive)"
08. Disrespect - "Swallow"
09. Subterannean Kids - "Una Nooche Cualqiera"
10. 7 Seconds - "One Big Guessing Game"

SIDE B
01. Aero Bitch - "We Can Do It Better"
02. Retalliation - "Retributtion"
03. NJ Bloodline - "Six Feet Deep"
04. Nyari - "War is Means to an End"
05. Sendal Jepit - "Memo"
06. Sendal Jepit - "Stupid Love Song"
07. Sendal Jepit - "My Altercation"
08. Sendal Jepit - "Nina"
09. Sendal Jepit - "the Sun"
10. Sendal Jepit - "Nothing"
11. Puppen - "Hijau"
12. Pure Saturday - "Coklat"

...hmm, ko nyelip Pure Saturday, ya? he.


===================================================================

Selain nemu kaset kompilasi buatan sendiri, nemu juga kaset Closeminded. Band rock/industrial/noise dari Bandung. Albumnya keluar tahun 1996. Waktu itu, buat telinga saya, band ini aneh. Super aneh. Vokal ada dibelakang musik, dan terdengar seperti berteriak dan memelas tidak karuan. Bisa dibilang nanyi tanpa nada. Seperti ngelantur. Raungan-raungan gitarnya juga terdengar absurd. Ah, anehlah. Surealis! Di Bandung saat itu, sepengetahuan saya, musik-musik yang bergenre seperti Closeminded tergolong jarang. Jadi, yah, cukup bikin 'shock' untuk ukuran bocah ingusan yang kebanyakan dicekok musik-musik catchy di album kompilasi Pesta Alternatif, seperti saya. hehe.

Nah, untuk ukuran musik underground lokal di pertengahan '90...kover album Closeminded tergolong unik. Bila dibuka lipatannya, nampak seperti salib. Layoutnya cukup keren. Imej-imejnya juga terkesan 'gelap' dan 'misterius'. Hahah. Apalagi ada kata-kata yang berbau depresif. Cocok buat adrenalin anak muda yang resah, seperti "i lost everything", atau "now would be dying".

                                                                 (bagian depan)

                                                                (bagian belakang)

Dan imej tengkorak kepala kambing yang ada di didalam kovernya, cukup membuat saya merinding saat itu. Saya kira band ini adalah pemuja setan. Saya bayangkan bila setiap manggung, personelnya akan memotong kepala kambing dan meminum darahnya. Hahah, Tapi sayang, sampai sekarang saya belum melihat Closeminded manggung. Jadi ga tau apakah mereka pemuja setan atau bukan :D

                                                         (imej tengkorak kepala kambing)


                              i lost everything (depresif-depresifan ala yang muda dan resah. he)


                                                  (kover album Closeminded bila dilipat)

Minggu, 20 Juni 2010

Lonely Planet: Road Less Travelled Ethiophia Initienary

Eksotism. Katharsism. Mistitism. All in Ethiophia.



As Shown by Lonely Planet author: Katharina Kane.
(http://www.lonelyplanet.com/ethiopia/travel-tips-and-articles/42/16535)

Sabtu, 19 Juni 2010

Steve Vai - For the Love of God

Biasanya saya keburu ill fill bila mendengar nama orang-orang yang berbau "guitar god". Sebutlah, seperti Yngwie Malmsteen, Joe Satriani, Paul Gilbert atau Steve Vai. Menurut saya mereka semua berlebihan, apalagi kalau melihat dandanannya...ugh, ga deh. Terlalu Glam Rock. Apalagi, saya juga senang memainkan gitar, dan melihat mereka main, selalu saja ada perasaan putus asa. Terlebih bila membandingkan permainan mereka dengan permainan saya; hasilnya jomplang. Jadi, lebih baik tidak mendengarkan permainan mereka. Para bajingan yang selalu membuat saya putus asa.

Tetapi...untuk sekarang-sekarang saya menelan ludah sendiri. Setidaknya toleransi diberikan untuk Steve Vai (walaupun gayanya tetap tidak bisa ditoleransi). Album
Passion and Warfare yang keluar tahun 1990 seharian ini bercokol di komputer. Yah, pertama kali mendengarkan lumayan juga; heavy metal dengan sentuhan progressive. Terlebih lagi lagu For the Love of God. Cocok sekali didengarkan tengah malam begini. Solonya meraung dan merintih, seperti raungan hati ini yang selalu melolong kesepian bila malam tiba...melolong untuk mencari kapan bisa dapat pacar atau minimal bisa hidup bahagia. Apapun bentuk kebahagiaan itu.

Tak Jelas dan Tak Sehat

Di satu titik, saya merasa menjalani hidup yang tak jelas dan tak sehat.

ah teori (bag. 1)

"The rational society subverts the idea of Reason."
Herbert Marcuse (1964)

Bila teori berangkat dari pengalaman di kehidupan nyata, kenapa dalam setiap perbincangan masih sering terdengar ucapan "ah, teori!", seperti itu? Ucapan tersebut secara tidak langsung, seperti menjelaskan kegagalan teori dalam menjelaskan kehidupan nyata. Tujuan utama dari teori untuk menjelaskan suatu fenomena kehidupan, dan juga berfungsi sebagai pemandu aktivitas manusia untuk mencapai "kebaikan tertinggi"-nya, berarti turut gagal pula. Lalu, ada apa dalam teori? Mengapa term tersebut begitu dipandang sinis oleh kebanyakan orang? Apakah kesinisan tersebut merupakan pertanda dari gagalnya sebuah teori dalam kehidupan sehari-hari? Bila teori memang gagal, berarti selama ini institusi pendidikan, seperti sekolah yang bergumul dengan dunia ide seperti teori, tidak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat? Bila memang begitu, buat apa sekolah?

Pertanyaan itu akhir-akhir ini seringkali hinggap di benak saya.

Konon, sebelum muncul istilah teori, kaum pengangguran yang hidupnya ditopang oleh budak-budak dan sering dilabelkan sebagai filsuf di jaman Yunani kuno dahulu, mengidentifikasi adanya tata-tertib yang bersifat tetap dan tidak berubah dalam dinamika alam semesta. Tata tertib yang bersifat tetap dan tidak berubah-ubah itu disebutnya sebagai makrokosmos. Sang filsuf lalu beranggapan, bila tata-tertib itu diikuti, maka pengetahuan sejati bisa diperoleh. Pada gilirannya, pengetahuan yang sejati itu akan memandu kepada tingkah-laku yang sejati (baca: baik, tertib, dsb) pula. Oleh sebab itu, agar bisa berperilaku baik, maka manusia harus mencari pengetahuan yang sejati dengan cara mengikuti atau menyesuaikan diri dengan makrokosmos. Penyesuaian diri dengan makrokosmos itu ditempuh melalui cara yang disebut sebagai kontemplasi atas kosmos. Dalam istilah filasafat, kontemplasi atas kosmos itulah yang kemudian disebut sebagai teori.

Jadi, teori dalam pengertian filsafat itu saya pahami sebagai penemuan akan suatu hakikat yang sifatnya tidak berubah dan menjadi esensi dari perubahan-perubahan suatu alam semesta. Hakikat menjadi semacam 'sebab' dari akibat-akibat yang ada di alam semesta. Dalam pengertian ini, penemuan suatu hakikat, sudah sepantasnya dapat menjelaskan dinamika yang terjadi di alam semesta.

Namun demikian, konon, bersamaan dengan pengertian teori sebagai suatu hakikat yang tidak berubah-ubah itu, filsafat telah menarik garis batas antara 'ada' dan 'waktu', atau batas antara yang tetap dan yang berubah-ubah. Hakikat mengandaikan suatu ruang yang tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan diluarnya oleh karena sifatnya yang tetap tersebut. Dalam hal ini, maka teori harus bebas dari unsur-unsur yang berubah-rubah, seperti dorongan-dorongan, perasaan subyektif, dan kepentingan-kepentingan manusia sendiri. Sikap mengambil jarak dan membersihkan pengetahuan dari unsur-unsur yang berubah itu kemudian disebut sebagai sikap teorietis murni. Dari sini, konon, kontemplasi atas kosmos kemudian berubah menjadi kontemplasi bebas-kepentingan.

Dalam perkembangannya, teori yang bebas-kepentingan itu menempuh dua jalur. Jalur pertama disebut sebagai rasionalisme. Pada jalur ini, pengetahuan sejati dianggap terdapat dalam rasio manusia, maka untuk menemukan pengetahuan, manusia harus menemukan kembali pengetahuan yang sudah ada didalam rasionya. Bagi rasionalisme, pengetahuan adalah pikiran manusia sendiri, dan alam adalah refleksi dari pikiran manusia itu.

Jalur lainnya, yakni empirisme. Pada jalur ini, pengetahuan sejati diperoleh melalui pengamatan terhadap objek pengetahuan. Untuk menemukan pengetahuan sejati, maka tugas manusia adalah mengamati unsur-unsur yang berubah-ubah dan melakukan abstraksi atas unsur-unsur itu sehingga mendapatkan suatu inti atas perubahan-perubahan yang sifatnya tetap. Bersebrangan dengan rasionalisme, bagi empirisme, pikiran manusia adalah refleksi dari keadaan disekitar diri manusia.

Kedua jalur tersebut, walaupun berbeda titik pangkal, tetapi keduanya sama-sama berkeyakinan bahwa suatu teori murni diperoleh melalui pembebasan dari unsur-unsur yang berubah, seperti dorongan-dorongan dan kepentingan-kepentingan manusiawi.

Perumusan teori dengan cara menarik diri dari unsur-unsur yang berubah seperti itu hingga saat ini masih berpengaruh, khususnya terhadap ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan dikenal sebuah paradigma bernama paradigma positivis.

Anthony Giddens memaparkan tentang tiga pengandaian yang ada dalam paradigma positivis. Pertama, bahwa prosedur-prosedur metodologis dari ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu sosial. Kedua, hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk 'hukum-hukum' seperti dalam ilmu-ilmu alam. Ketiga, ilmu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis manusia.

Dalam paradigma ini, penemuan akan hakikat suatu realitas diandaikan menjadi suatu 'hukum' tersendiri yang dapat menjelaskan dinamika realitas. Cara pandang ini, dalam realitas sosial, membawa dampak pada tidak diperhitungkannya gerak subjektivitas, kepentingan, ataupun kehendak manusiawi.  Karena pandangannya tentang hakikat yang 'baku' itulah, paradigma ini disebut sebagai paradigma yang memisahkan praxis hidup manusia (F. Budi Hardiman, 1990, hlm. 23). 'Hukum' itu seakan menara gading yang tak bergeming ditengah-tengah gerak historikal yang dinamis.

Semacam Curhat

Bila iseng-iseng melacak tentang asal muasal teori itu, khususnya dari paradigma positivis, sepertinya bisa dilihat sebab kesinisan orang-orang terhadap teori. Berdasarkan karakter paradigma positivis, setidaknya saya rasa ada dua hal yang membuat teori selalu dianggap remeh. Pertama, sifat positivis yang instrumentalis, dan kedua, terlepasnya praxis kehidupan manusia dari pengetahuan.

Pada dasarnya, 'niat' positivis mungkin masuk akal juga: untuk memudahkan kehidupan manusia, maka kenapa setiap metode pengetahuan harus bisa dipakai untuk keperluan manusia. Namun, dengan sifatnya yang menihilkan dinamika gerak manusia, maka pengetahuan bisa kehilangan konteksnya. Ketika pengetahuan kehilangan konteks, maka dua sumber kritik langsung muncul: pengetahuan menjadi instrumentalis, dan terlepas dari praxis manusia.

Salah satu efek dari sifat pengetahuan yang instrumentalis ini adalah, bahwa manusia terbiasa berpikir teknis. Tanpa diimbangi dengan kerangka konseptual yang kuat. Bila terbiasa berpikir teknis, saya jamin, untuk hal yang berbau kontemplatif (teori, filsafat, dll) bakal keburu muak duluan. Maka dari itu, kenapa teori-teori yang abstrak langsung dipandang remeh. Saya rasa, hal ini juga sebenarnya tidak terlepas dari tuntutan pola masyarakat industri kapitalisme sekarang ini. Teknologi industri yang canggih, membuat pembagian kerja makin kompleks, tetapi disisi lain, kecakapan manusia semakin rendah. Karena dengan teknologi industri yang canggih itu, yang dibutuhkan hanyalah semacam 'operator': mereka yang mengurus bidang yang sesuai dengan pembagian kerjanya itu. Dengan kata lain, manusia berkemampuan teknis.

Hal ini juga membawa kepada kritikan yang selanjutnya: terpisah dari praxis hidup manusia. Dengan ilmu yang bersifat instrumentalis, membawa dampak pada tindak manusia yang teknis. Hal itu erat kaitannya dengan kebutuhan industri akan pekerja teknis. Dengan begitu, maka ilmu pengetahuan yang diperoleh di bangku pendidikan itu sendiri terpisah dari kehidupan manusia. Ilmu itu didapat bukan untuk keperluan dirinya, untuk pengembangan dirinya, untuk pemahaman terhadap dirinya sendiri dan alam semesta dimana yang bersangkutan adalah satu bagian yang utuh. Tetapi, pengetahuan itu sendiri ditujukan untuk dipersembahkan kepada altar suci bernama tempat kerja. Sebuah tempat, dimana pengetahuan itu dipakai sebagai bekal untuk berproduksi, namun produknya itu sendiri pada akhirnya terpisah dari pembuatnya. Ketika wartawan menulis berita, pada akhirnya berita itu bukan lagi menjadi milik wartawan seutuhnya, tetapi menjadi bagian dari sebuah mata rantai produksi berita yang berangkai, mulai dari editing, hingga marketing.

Pada akhirnya pengetahuan menjadi 'sekadar' alat untuk bisa diterima dalam dunia industri, bukan sarana pemahaman diri sendiri tentang hidup. Herbert Marcuse berpendapat, ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang sebenarnya dapat membebaskan manusia, dalam mode produksi kapitalis, menjadi sistem penguasaan yang total di dalam masyarakat. Pengetahuan dan teknologi tidak mengabdi pada manusia, tetapi justru manusia yang dikendalikan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.

Referensi:
Francisco Budi Hardiman. Kritik Ideologi.
Jan Hendrik Rapar. Pengantar Filsafat.



===========================================================================
16 Juni 2010. Kecil-kecilan melacak tentang teori, karena muak mendengarkan gerutuan orang yang menggampangkan teori...dan muak juga sama kuliah.     

Minggu, 13 Juni 2010

Di Bawah Bayang-Bayang Peradaban

Coba minggir, bang. Ini kepala oyag. Ada genangan wiski murah dalam otak, takutnya abang tiba-tiba kena muntahan odading sama gehu. Abang tau sendiri, ini gang sempit. Kita ribut, bisa-bisa keluar semua warga. Kerumunan warga, dengan atau tanpa kepala RT, sama aja, bang, kalau lagi beringas: bisa-bisa kita gosong dibakar api.

Jumat, 04 Juni 2010

ngacapruk: a global tribe called metal

Ada antusiasme dan juga haru, ketika menonton film dokumenter mengenai kondisi metalhead dari dunia ketiga berjudul Global Metal (2008). Sebabnya, metal itu sendiri adalah kesenangan yang saya nikmati selama kurang lebih empat belas tahun ini. Melihat bagaimana metalhead secara eksistensial di negara-negara yang terdengar 'kaku' dan selintas tidak akan nyambung dengan metal, seperti Cina, India, dan Arab Saudi, memberikan semacam rasa 'sepenanggungan' juga. Terbayang, bagaimana mereka - para metalheads itu - akan dilihat secara aneh oleh orang-orang, ketika memasuki tempat ibadah, karena dandanan mereka begitu 'mengerikan': rambut gondrong, kucel, dan baju Slayer bertuliskan 'God Hates Us All'.

"kegamangan adat-istiadat", dalam beberapa hal, pastinya akan terdengar sama untuk metalheads yang dilingkupi tradisi 'timur' seperti itu: bagaimana dalam suatu masyarakat religius, kamu malah mengamini ide-ide mengenai satanisme; atau dalam sebuah keluarga yang menjunjung tinggi kesopanan, kamu malah memakai kaos yang gambarnya perempuan telanjang berdarah-darah dengan usus terburai dari perutnya, dan di atas gambar itu ada sebuah tulisan: Cannibal Corpse. Hell. Pasti saja ada 'persinggungan' disitu. Dan bagusnya, terlepas dari segala keabsurdan yang ada dalam metal, 'gaya hidup' yang berbeda dengan 'mayoritas' itulah yang selalu membuat metal terus saja hadir. 

Suku Global

Dalam dokumenter yang menyoroti kondisi serta perkembangan metalheads dari tujuh negara (Brazil, Jepang, India, Cina, UEA, Indonesia, Israel), ada sebuah pernyataan menarik yang keluar dari Sam Dunn, sang kreator Global Metal. Menurutnya, metal saat ini telah menjadi sebuah suku global (global tribe). Metal telah dan terus menyebar ke luar dunia aslinya, seperti Eropa, dan AS. Metal telah menjangkau wilayah-wilayah yang selama ini justru terdengar asing dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Metal melabrak batas kebudayaan yang dalam hal tertentu kontradiktif dengan originnya, namun sekaligus identik dengan originnya itu. Dunn lantas mengaitkan penyebaran metal ini dengan ungkapan yang seringkali didengungkan: sebagai efek globalisasi.

Pernyataan Dunn itu menarik untuk disimak, karena penyebaran metal itu sendiri, dalam konteks dunia ketiga, tidak serta merta muncul seperti sulap. Setidaknya ada kesempatan-kesempatan struktural, serta interaksi agensi yang membuat metal menjangkau wilayah-wilayah dunia ketiga. Dalam hal ini, terliberalisasinya perekonomian suatu negara, beserta investasi kapital yang segera menyusul, seringkali menjadi alasan bagaimana metal di suatu negara bisa eksis.

Lihat saja contoh mengenai perkembangan metal di Brazil. Satu sumber metalhead dari Brazil dalam dokumenter Global Metal, mengatakan, bahwa heavy metal lahir begitu kediktatoran militer di negara Samba tersebut usai. Sumber itu juga menyebutkan, bahwa kebebasan, serta akses informasi menjadi terbuka pasca 1985. Dengan begitu, segera menyusul dampak kultural dari kebebasan serta akses informasi yang terbuka lebar tersebut; seperti bagaimana metalheads lokal mulai merilis albumnya secara underground, dan dalam tataran yang lebih mainstream, diselenggarakannya festival musik Rock in Rio pada Desember 1985 yang menyedot penonton hingga satu juta orang.

Selain Brazil, kondisi metalheads di Cina juga menunjukkan fenomena yang unik. Baru pertengahan 90an, Cina terbuka secara perekonomian dengan dunia luar. Untuk urusan metal, seorang metalheads dari Cina mengatakan, bahwa baru sepuluh tahun perjalanan Heavy Metal di Cina. Hal itu berbarengan dengan mulai terbukanya perekonomian Cina terhadap perekonomian kapitalisme global.

Lalu, melihat perkembangan scene metal di Cina, dapat dilihat juga bagaimana interaksi orang lokal Cina yang bersentuhan dengan dunia luar memberi dampak pada perkembangan scene heavy metal. Seperti Kaiser Kuo, pentolan dari dedengkot band heavy metal Cina, yaitu Tang Dynasty (konon, 89% anak muda Cina mengetahui metal, karena sebelumnya mendengarkan Tang Dynasty). Masa kecil Kuo dihabiskan di New York. Pada masa remaja, sekitar tahun 1988, Kuo kembali ke Cina. Dari situ kemudian dia membentuk Tang Dynasty. Kuo juga mengatakan, informasi mengenai metal pada era '80 akhir seringkali datang dari anak-anak  pejabat duta besar di Cina, atau anak pengusaha perusahaan multinasional yang bertempat di Cina. Disini kita melihat, bahwa metal, dalam konteks dunia ketiga, datang juga dari mereka yang memiliki akses kekuasaan yang telah mapan; yang biasa tinggal di luar negeri, atau anak pejabat/pengusaha.

Bila melihat kedua kasus di Brazil serta Cina, setidaknya ada dua faktor yang mensyaratkan perkembangan metal di suatu negara dunia ketiga. Pertama, faktor struktur perekonomian negara yang terintegrasi dengan perekonomian kapitalisme global, serta kedua, adanya suatu kelas masyarakat yang mapan dan memiliki akses terhadap informasi dunia luar. Berbeda dengan bagaimana perkembangan heavy metal di Eropa serta Amerika sendiri, dimana awal mula kehadiran heavy metal tidak datang dari kelas yang mapan secara sosial. Seperti Black Sabbath, contohnya. Band ini lahir dari kelas pekerja. Semua personil awal band ini pada mulanya adalah pekerja pabrik.

Subsuku Metal Global: Bandung, Indonesia.

Melihat perkembangan metal di kedua negara itu, membuat saya berpikir tentang negara saya sendiri; Indonesia. Dibandingkan kedua negara itu, saya kira Indonesia memiliki tradisi musik populer yang panjang. Artefak yang berharga dari hal itu mungkin bisa dilihat majalah Aktuil yang lahir pada tahun 1967. Tepat dua tahun setelah kondisi ekonomi dan politik negara menjadi lebih berpaling pada kapitalisme global.

Namun saya kira untuk melihat perkembangan heavy metal underground di Indonesia, khususnya di Bandung, titik pentingnya ada di era '90an. Alasannya, pada era inilah musik heavy metal mulai menggeliat. Bagaimanapun juga Aktuil belum pernah mengangkat mengenai isu heavy metal yang benar-benar ekstrim. Lagipula, pada jaman awal mula Aktuil lahir, genre heavy metal ekstrim seperti itu belum lahir. Musik paling ekstrim pada jamannya, paling hanya 'hard rock' atau 'prog-rock' bila dikategorikan pada jaman sekarang. Sebaliknya pada era sembilan puluhan, nama-nama seperti Slayer, Sepultura, Metallica, Anthrax, sudah mulai berkibar dan sangat-sangat, ekstrim secara musikal.

Saya berpikir, bila ada penelitian yang menyangkut bagaimana ide-ide seperti heavy metal bisa masuk ke Indonesia, khususnya Bandung, sepertinya menarik. Terutama penelitian yang merefleksikan kekuatan produksi serta komposisi kelas suatu masyarakat (Bandung) kala itu. Bagaimana pun juga, bagi dunia ketiga, heavy metal bukanlah barang yang berasal dari 'masyarakat pada umumnya'. Tetapi ia adalah semacam cangkokan dari luar negeri. Mereka yang pada jaman itu bisa mengakses informasi mengenai heavy metal, kemungkinan besar adalah mereka yang berasal dari kelas yang mapan secara ekonomi. Jadi kemungkinan besar, pada saat itu heavy metal bersifat elitis, alih-alih 'merakyat'. Bayangkan saja, era '90an, TVRI jaya pisan, radio RRI pisan, internet belum sefamiliar seperti sekarang. Istilah sok indonesia, seperti 'unduh' atau 'unggah' - yeuh, keureut ceuli urang!- pasti belum sepopuler sekarang. Sebaliknya, Pak Pos masih sering berkeluyuran di sekitar komplek untuk membagi-bagikan surat. Melihat keterbatasan-keterbatasan seperti itu, kemungkinan besar mereka yang bersentuhan dengan dunia heavy metal, minimal pernah merasakan, bagaimana naik pesawat terbang ke luar negeri.

Dengan penelitian mengenai heavy metal yang dilihat dari kekuatan produksi dan komposisi kelas masyarakat pada saat itu, saya kira akan berguna bagi metalheads lokal untuk meredefinisikan kembali heavy metal yang seringkali dianggap sebagai "perlawanan individual terhadap norma-norma mainstream" itu.

Soalnya, bagi dunia ketiga, heavy metal bisa dikatakan sebagai 'anak kandung kapitalisme', dan disisi lain, bentuk perlawanan dari heavy metal itu sendiri yang sering didengung-dengungkan, tiada lain hanya "pertunjukkan" belaka. Dimana layaknya sebuah pertunjukkan, setelah usai, mereka boleh melanjutkan hidupnya kembali seperti semula. Dibahasakan lebih simpel; bentuk perlawanan dari heavy metal adalah bentuk perlawanan yang kontraproduktif dan melulu konsumtif.  

Kontraproduktif, dilihat dari bagaimana bentuk perlawanan heavy metal pada akhirnya selalu menjadi bagian dari kapitalisme, dan hanya eksis di atas panggung. Konsumtif, karena kita semua tahu, metal akan selalu terkait dengan komoditi. Mulai dari band itu sendiri, rilisan-rilisan, t-shirt, hingga pernak-pernik omong kosong lainnya. Kita semua tahu sama tahu, terkait masalah komoditi, kita seringkali terjebak pada masalah 'pride', semacam unjuk kekuatan siapa yang paling metal dilihat dari kaos band yang dikenakannya, atau musik dari band apa saja yang sudah didengarkannya. Dimana, cara seperti itu, pada titik yang satu membuat kita malah semakin terekstraksi kedalam pola konsumtif. 'Konsumsi komoditi metal'. Walaupun, pada titik yang lain, berhenti mengkonsumsi 'komoditi metal' juga sama dengan omong kosong, karena dengan mengkonsumsi band yang kita cintai, adalah salah satu cara menikmati metal. Kita senang membeli cd band yang kita sukai, begitupun dengan kaosnya, emblemnya, atau pernak-pernik lainnya. Dari situ seringkali kita mempunyai pemahaman tersendiri tentang siapa kita dan bagaimana kita memandang diri kita dalam dunia profan ini.

Dari poin ini, saya pikir bila ada sebuah dokumen yang menunjukkan konteks historis heavy metal yang merefleksikan pola produksi serta komposisi susunan kelas masyarakat yang menopangnya, kita mempunyai semacam cermin yang menunjukkan dari mana kita berasal. Dengan bekal cermin itu, konteks perlawanan yang ada dalam heavy metal setidaknya bisa diperbaharui dan dibawa ke level lain. Level yang tidak sekadar menjadikan perlawanan seperti pertunjukan sirkus saja, tetapi perlawanan yang riil; dalam tataran ide dan praksis yang berorientasi perubahan ke tataran sistem yang lebih humanis.   

Ya, heavy metal hanyalah musik dan kesenangan belaka, buat apa muluk-muluk ngomongin perubahan segala...

Tapi benarkah hanyalah musik dan kesenangan belaka?