Minggu, 29 Juni 2008

defective epitaph

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:xasthur
Untuk beberapa hal, mendengarkan sebuah band black metal-khususnya U.S. Black Metal-tidak akan pernah menjadi pengalaman yang menyenangkan. Black metal bukanlah hanya tentang mendengarkan musik yang renyah dan mudah di cerna. Black metal tidak akan pernah menjadi musik yang easy listening. Sebaliknya, black metal selalu menyajikan atmosfir-atmosfir gelap dan suram. Terlalu banyak kesedihan dan melankolia tentang alienasi dari sebuah kehidupan di dalamnya.

sekarang mari kita berbicara tentang Xasthur dan album barunya yang keluar di tahun 2007 kemarin, yaitu Defective Epitaph. Xasthur adalah sebuah band black metal berasal dari California Selatan, AS. Membernya hanya satu orang, yaitu Scott Conner alias 'Malefic'. Dialah, Malefic, yang mengurus 'semuanya' dari Xasthur. Mulai dari penulisan hingga eksekusi lagu semua ditangani olehnya. Untuk urusan instrumen, dalam Defective Epitaph, Malefic memainkan gitar, bas, synth/keyboard, akustik dan drum mesin, cello sampai vokal.

Menurut Malefic, Xasthur adalah sebuah band yang tidak akan melakukan live apapun. Dia juga jarang sekali melakukan sesi foto atau wawancara atau apapun yang tujuannya untuk mempromosikan dirinya. Alasan kenapa Xasthur tidak menginginkan sebuah live adalah karena, menurut Malefic, dalam live musik yang disajikan tidak akan sama dengan yang ada dalam sebuah rekaman dan hal itu bisa membuatnya 'pissed off'. "If one ingredient was missing or lacking, I would be very upset. Too many things would have to go right for that, [and] most important, it never seemed like something that could be re-created live," begitu katanya di situs decibelmagazine.

Malefic benar-benar autis. Bila di setiap lirik Xasthur selalu berbicara mengenai keterasingan atau alienasi dari dunia luar (masyarakat), maka Malefic benar-benar menjalaninya. Seperti yang pernah diutarakan oleh Judd, seorang pemilik rekord label khusus black metal, Battle Kommand. Suatu waktu ia pernah dimintai pendapatnya tentang Malefic. Judd berkata, "ia (Malefic) adalah orang yang sangat jujur. Musik yang ia buat benar-benar menrefleksikan dirinya yang sesungguhnya. Malefic adalah orang yang sangat negatif dan itu bukan hanya kepura-puraan demi 'entertainment' saja. Dia bukan tipe orang yang hidup normal dalam masyarakat pada umumnya. Mempunyai rutinitas dalam kesehariannya. Dia tidak pernah meninggalkan rumahnya dan dia, sejauh yang aku tahu, tidak mempunyai pekerjaan apapun." (www.decibelmagazine.com)

Lalul, coba baca lagi pernyataan sikap Malefic tentang kreatifitasnya selama ini. Dalam kolom yang sama di situs Decibel Magazine, ia mengatakan, “I mainly spend as much time alone as possible working on music. This matters most to me. The things that amuse most typical humans don’t mean much to me.”

Lalu berbicara tentang albumnya yang baru, yaitu Defective Epitaph. Pertama-tama yang perlu diketahui, ini bukan rekaman yang mudah didengarkan begitu saja. Kualitas rekamannya bisa dibilang low-fi dan low-budget. Sehingga bila Anda mengharapkan 'kejernihan' dalam mendengarkan album ini, maka harapan Anda terlalu jauh. Kualitas rekaman ini sepertinya merujuk pada 'aturan primitif' sebuah rilisan black metal awal, seperti era Mayhem, Burzum, Gorgoroth dan black metal apapun yang berasal dari Norwegia di tahun 90-an. Kualitasnya bisa dibilang di bawah rata-rata. Dengan drum yang tidak terdengar, sound gitar yang menderu-deru seperti angin yang terdengar saat hujan badai, lalu vokal yang nampaknya sengaja dikecilkan sedemikian rupa volumenya, sehingga hampir tidak terdengar. Kacau balau dalam segi sound, ketika pertama kali mendengarnya. Namun, sebenarnya itu adalah sebuah penyajian epik dari sebuah kefrustrasian dan kegelapan. Tempo yang naik-turun dan intensitas yang mengambang, membuat Defective Epitaph menjadi sebuah album yang depresif. Ada sebuah lagu yang saya sukai di album ini, yaitu "A Memorial to the Waste of Life". Coba dengarkan.

Bukan album yang bisa dengarkan dengan satu kali 'play' saja. Tapi, bila berbicara tentang kepedihan, penderitaan dan depresi, maka album ini bisa dibilang memiliki semuanya.


Kamis, 26 Juni 2008

the machinations of dementia

Rating:★★★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:blotted science
Ok, akhir-akhir ini saya jarang sekali mendengarkan 'metal konvensional'. Bila saya mengatakan 'metal konvensional' kurang lebih berarti band metal yang...seperti band-band metal lainnya di muka bumi: musiknya gitu-gitu aja. Bukan salah bandnya juga, sih, hanya saja, akhir-akhir ini mungkin saya memang jenuh dengan pattern metal yang kecenderungannya saat ini, ya, gitu-gitu aja: geber memetalkoran (ah, mudah-mudahan kalian mengerti dengan istilah ini, karena sulit juga mendeskripsikannya!he).

Tapi, seperti biasa, ada tapinya. Suatu saat ada band ini, namanya Blotted Science, yang memainkan tipe musik progresive metal. Artinya band ini di atas rata-rata secara teknikal. Tahun 2007 kemarin mereka mengeluarkan sebuah album bertitel The Machinations of Dementia. Album inilah yang saat ini bertengger massive di kamar dan telinga saya. Mendengarkan album ini, ehm, 'jiwa muda' saya benar-benar dipancing edan-edanan. The Machinations kembali mengingatkan saya kenapa musik metal harus didengarkan dengan volume maksimum: karena dengan groove dan temponya yang cepat, ia bisa membuat Anda headbanging sekeras-kerasnya di kamar sendirian.

The Machinations...adalah sebuah album prog metal instrumental yang berisi 16 lagu berhawa agitasi. Ia mengangkat heavy/speed metal ke tingkat langit yang paling tinggi. Coba saja bayangkan bagaimana Messhuggah nongkrong bareng sama Spastic Ink dengan ditemani catuas pemberian Aghora. Hasilnya adalah kerusuhan.

Blotted Science diisi oleh tiga orang dan ketiga orang itu sudah cukup malang melintang juga di dunia musik progresive/metaltech. Jadi, mereka bukan orang sembarangan (coba saja perhatikan bagaimana ketiga orang itu memainkan instrumennya di album ini). Sebut saja Ron Jarzombek, pemain gitar sekaligus frontman Blotted Science. Sebelumnya ia pernah bermain di band yang cukup anjing edan juga secara teknikalitas, seperti Watchtower (trash metal teknikal), Spastic Ink (prog metal yang super abstrak buat saya) dan, band fav saya juga, Gordian Knot (prog rock/metal). Lalu pemain bas, Alex Webster. Ia juga dikenal sebagai pemain bass dari band death metal bangkai bernama Cannibal Corpse. Pemain drum, Charlie Zeleny, ia juga seringkali jamming bersama keyboardis Dream Theatre, Jordan Rudess. Selain itu, Zeleny juga sempat di band teknikal metal Behold dan The Arctopus.

Mungkin bila kalian ada yang pernah mendengar band-band semacam Messhuggah, Divine Heresy, Gordian Knot ataupun Aghora, mungkin bisa membayangkan musiknya seperti apa. Walaupun tidak otentik sepenuhnya, namun ada yang patut diwaspadai dari album The Machinations.... Hal yang perlu diwaspadai itu adalah keagresifan dan hawa agitasinya yang kental.

Horns Up. Heavy fukkin metal.


Sabtu, 07 Juni 2008

P.W. People




i don't know why we doing like this also strange. hanging out every time to reach the end. you never know how anything will change. feeling guilty all the time. useless. oh, no...
i don't know how we spent the time for more. i can't go...all this things surround me just like before. i never really SURE and it's never been PURE. i am sinking so deep in my frightening sleep. oh, no...

- pathetic waltz by pure saturday -

Selasa, 03 Juni 2008

Dewa 19

Pertamanya lagi di Lembah Kasih. Pagi-pagi nongkrong di teras, sehabis begadang semalaman ngurus jurve. Waktu itu lagi stres-stresnya. Udah jam 9 pagi, tapi editing gambar belum beres-beres. Daripada pusing ga puguh, pikir saya waktu itu, lebih baik ngelamun di teras sambil ngeroko sama nunggu pesenan teh manis anget buatan si teteh warung.

    Lagi ngelamun, si Opick nyanyi – atau teriak – nyanyiin lagu Dewa 19 di kamarnya. Suaranya keras juga, sampe kedengeran keluar. Bagus, sih, suaranya. Yah, lumayanlah buat karaokean. Hell, haha, Dewa 19. Itu band emang bagus, sih. Terlepas dari kelakukan Ahmad Dhani yang rada takabur, ya. Musiknya, kalo kata saya mah, lumayan punya ‘kelas’ juga.

    Saya inget, pertama ‘kena’ dengerin lagu-lagunya Dewa 19 tuh pas jaman-jamannya SMA. Waktu itu lagi musimnya album Bintang 5. Sebelumnya, waktu jaman SMP, saya juga udah denger musik-musiknya Dewa 19. cuman, waktu SMP ga terlalu sering ngedengerin juga. Paling-paling hits-hitsnya aja, kaya Kirana, Kamulah Satu-Satunya, dll. Nah, pas di album Bintang 5, baru ‘intens’ dengerin Dewa 19.

    Pas album Bintang 5 keluar, mungkin ada yang masih inget, gimana album itu laku keras. Videoklipnya lumayan sering diputer di tivi-tivi. Terus, kalo ga salah, waktu itu videoklip-nya juga dibikin hingga lebih dari dua buah.  Nah, di album Bintang 5 ini, buat Dewa 19, merupakan titik yang krusial juga bagi kelangsungan karir (kariripuh?) nya. Karena di album ini banyak juga perubahan yang terjadi.

    Perubahan pertama dan paling krusial, yaitu pergantian vokalis dari Ari Lasso ke Once. Siapapun tahu, vokalis memegang peranan penting bagi sebuah band. Vokalis dengan suara khas-nya akan memberi ruh bagi sebuah band. Seorang vokalis akan memberi kontribusi bagi sebuah band agar bisa dikenal dan diidentifikasi oleh khalayak. Seseorang akan mengenal ini adalah band ‘anu’ atau itu adalah band ‘anu’, pertama-tama setelah mendengar vokal yang keluar saat musik sudah mulai dimainkan.

    Nah, masalahnya, publik musik Indonesia saat itu sudah melekatkan diri kepada ‘imej’ Ari Lasso sebagai Dewa 19. Pastinya dengan pergantian vokalis yang sudah melekat imej-nya seperti Ari Lasso itu, bisa menjadi riskan juga bagi perkembangan band. Reaksi pertama publik pasti akan skeptis (sekarang coba bayangin kalo misalnya Bim-Bim tiba-tiba keluar dari Slank?).  sisi parahnya, Dewa bisa ditinggalkan oleh penggemarnya.
 

    Gobloknya, Ahmad Dhani waktu itu, termasuk jenius atau beruntung bisa menemukan vokalis seperti Once. Keputusan si Dhani untuk memakai Once sebagai vokalis Dewa yang baru bisa dikatakan tepat juga. Buktinya, penjualan album Bintang 5 laku keras. Dari segi musik pun, bagi saya, album Bintang 5 itu mengalami peningkatan secara kualitas. Dengan pengaruh dari Queen yang cukup terasa di album ini, setidaknya Bintang 5 bisa menghasilkan musik yang bisa dibilang klasik: nadanya unik dan termasuk otentik juga, ia bisa cukup lama bertahan. Coba aja kalo dibandingin dengan band hardrock mancanegara, seperti Inxs, misalnya. Walaupun udah keluar biaya untuk audisi mencari vokalis hingga ke penjuru dunia, tetep aja Inxs kitu-kitu wae, malah makin tidak terdengar gaungnya. Beda sama Dewa.

    Dengan hadirnya Once di formasi Dewa yang baru, ia bisa mengikis habis ‘pengkultusan’ publik atas sosok Ari Lasso sebagai vokalis Dewa yang lama. Malah, karakter vokal Once yang unik itu, menurut saya, memberi warna yang baru dan kaya bagi Dewa. Untuk ini, nilai tambah terutama disematkan pada Dhani sebagai pengambil keputusan dalam Dewa.

    Perubahan-perubahan yang terjadi lagi adalah perubahan nama. Dimana sebelumnya ada angka ‘19’, tetapi ketika album Bintang 5 keluar, mereka hanya memakai nama Dewa saja. Tanpa ada nomornya. Entahlah, apa alasannya mereka melakukan hal seperti itu. Mungkin hanya menandakan identitas atau imej yang baru saja. Setelah itu pergantian drummer, yang dulunya Wong Aksan, diganti dengan eks-Getah, yaitu Tyo Nugros. Lalu basisnya juga di keluarin (pas album Cintailah Cinta keluar), diganti dengan basis (saya gatau namanya) eks-The Groove (RIP).  Waw, cukup banyak juga, sih, perubahan-perubahan yang terjadi. Dan, seperti apa yang telah saya tulis sebelumnya, perubahan-perubahan itu cukup riskan juga bagi Dewa.

    Sesudah album Cintailah Cinta, saya sudah tidak lagi mengikuti perkembangan Dewa. Entahlah, setelah album Cintailah Cinta itu, saya pikir Dhani Dkk. menjadi terlalu bereksperimen secara berlebihan dan hasilnya malah menjadi norak. Saya sendiri jadi males dengerinnya. Bagi saya, hingga saat ini, album Dewa yang layak didengarkan itu mulai dari album Kangen hingga Cintailah Cinta. Itu album-album yang top secara kualitas musik. Selain itu, hanya kumpulan musik-musik yang terasa ‘maksa’, ketika didengarkan. 

    Nah, sedikit bernostalgia, album Cintailah Cinta cukup punya kenangannya juga buat saya. Tiap saya dengerin album itu, saya suka inget gapleh. Haha, ya, gapleh. Pernah saya dan beberapa kawan di rumah, untuk beberapa bulan lamanya main gapleh sambil di-soundtrack-i oleh Dewa album Cintailah Cinta itu. Bila lagu sudah diputar habis sealbum penuh, maka kami akan merewind dan memutarnya dari lagu pertama hingga habis. Begitu seterusnya. Cukup enek juga, tapi emang musiknya enak-enak, sih, haha. Makanya, ketika sekarang-sekarang memutar kembali album Cintailah Cinta, terasa aroma kamar sumpek-lusuh dan permainan gapleh semalam suntuk! Yah, jaman-jaman pengangguran akut. Saat itu, kalo ga salah, sekitar tahun 2003. Sekarang 2008…well, time flies so fast.

    Gara-gara si Opick teriak-teriak nyanyiin Dewa waktu itu di Lembah Kasih, akhir-akhir ini saya jadi dengerin lagi rekaman-rekamannya Dewa. Hell, lagu favorit sepanjang masa dan paling klasik yang wajib di dengar tuh ini, ‘Aku Disini Untukmu’. Haha, ni lagu mantep. Lirik masuk, nada-nadanya juga aneh tapi tetep renyah. Chord-chordnya juga unik dan asik untuk didengarkan. Damn, jadi pengen SMP lagi!haha.