Senin, 15 Desember 2008

Lagu Apa yang Bisa Didengarkan Ketika Anda Patah Hati?

Baiklah. Anda jatuh cinta. Tiba-tiba saja hari Anda cerah terang benderang. Anda terus teringat tentang hari kemarin, ketika si do’i ternyata mengklaim menyimpan rasa suka juga kepada Anda. O, ya, ya…Anda pikir ini semua sudah sempurna. Timbal-baliknya bagus, Anda berpikir dalam hati sambil senyam-senyum sendiri di angkot. Kenek yang berasal dari Tapanuli yang tadinya mau nagih ongkos jalan pun jadinya urung menagih, karena mengira Anda adalah orgil yang salah masuk angkot. Si kenek sudah curi-curi pandang kepada Marpaung, sopir angkot Cicaheum-Cibaduyut yang Anda tumpangi itu. Si Marpaung tidak melihat ke kenek, karena Marpaung melihat ke jalan. Sedangkan kenek ada di ‘lawang panto’ belakang. Jadi, tidak mungkin bila Marpaung terus-terusan melihat ke ‘lawang panto’ belakang, karena bila begitu, siapa yang akan lihat ke jalan di depan?


Nah, sudahlah, pikir kenek itu. Biarkan saja orang yang senyam-senyum itu sendirian di pojok. Lalu, ketika angkot berada di daerah Kiaracondong…what the fuck? Anda melihat si do’i yang kemarin mengklaim menyimpan rasa suka juga terhadap Anda ternyata sedang berduaan sama ‘the other’. Ekspresi cengar-cengir Anda itu tiba-tiba berubah jadi raut wajah yang masam. Mereka sedang melihat-lihat ular sanca yang digelar di sisi jalan. Uh, tau gak apa yang bikin Anda panas? Mereka terlihat sangat mesra sekali. Saling melingkarkan lengan ke arah pinggul (itu berarti beberapa inci lagi mendekati pantat). Bluah….Anda panas. Anda berharap Anda adalah ular sanca yang ada di pinggir jalan itu, sehingga Anda bisa menerkam mereka berdua. Tapi, Anda bukan ular sanca. Anda adalah penumpang angkot jurusan Cicaheum-Cibaduyut yang disupiri oleh Marpaung dan dikeneki oleh Sirajagukguk. Anda cemburu buta disitu. Pacaran yang telah berjalan selama satu hari, ternyata sia-sia belaka. Bagian yang paling parahnya adalah: fakta bahwa Anda dipermainkan sekaligus diduakan oleh si do’i. Sudah, cukup. Ini brutal, saudara. Bila gelap mata, dunia pasti tidak kelihatan.


Ada baiknya, saudara-saudara, bila Anda patah hati, Anda bersikap tenang. Akan lebih baik, bila Anda mendengarkan beberapa lagu yang bisa mengendurkan syaraf, sehingga pada gilirannya pikiran Anda akan menjadi lebih rileks. Nih, saya kasih tau soundtrack bagi mereka yang sedang patah hati. Mau didenger, mangga. Ga juga ga apa-apa. Saya mah ga peduli. Hehe. Lagipula, ini mah keisengan belaka. Bukan sesuatu yang serius. Cheersh.



Judul Lagu :
Evil Woman (Don’t Play Your Games With Me)
Band :
BLACK SABBATH
Album :
Self Titled

Lirik
I see the look of evil in your eyes / women filling me is full of lies / sorrow will not change your shameful deals / you will pass someone else instead of me / evil woman don’t you play your games with me /
Komentar
No-no-no…saya turut prihatin mendengar kabar, bahwa Anda telah dipermainkan secara fisik dan batin oleh wanita yang Anda puja-puja selama ini. Tapi tetaplah tenang, karena Ozzy Osbourne pun pernah merasakan hal yang sama dengan Anda. Coba perhatikan lagu Evil Woman. Setidaknya Anda tidak sendirian dalam menjalani penderitaan cinta ini (oouuwww, ahahaha, penderitaan, bow!).


Lagu Evil Woman ini diambil dari album perdananya Black Sabbath yang keluar di tahun 1970. Album perdana Black Sabbath ini pada perkembangannya banyak mempengaruhi musisi-musisi, terutama heavy metal, yang datang sesudahnya, hingga saat ini. Riff bluesy rock and roll horornya memberi dampak yang bisa dibilang tidak kecil. Coba perhatikan riff-riff yang ada pada band rock n roll ataupun heavy metal saat ini, pasti saja ada pattern yang bermuara ke Black Sabbath. Seperti yang dikatakan oleh Rob Zombie, band heavy metal berjenis apapun, yang cepat ataupun lambat, mempunyai utang yang tidak akan bisa terlunasi pada Black Sabbath.


Bila wajah musik heavy metal bisa berubah dan banyak musisi heavy metal saat ini begitu terpenngaruh karena Black Sabbath, mungkin hal itu juga bisa terjadi pada Anda, seseorang yang sedang patah hati. Setelah mendengarkan Black Sabbath, bukan tidak mungkin Anda menjadi seseorang yang tangguh menanggung yang namanya ‘penderitaan cinta’. Ahahaha, saya make kata penderitaan cinta lagi. Kamana ateuh derita!heuheu.



Judul Lagu :
Just Friends (Empty Love)
Band :
ST. VITUS
Album :
Hallows Victim
Lirik :

I don't want your empty love
Just leave me alone
I have done OK so far
Living on my own
You said you could give me shelter
Underneath your wing
But all I ever got from you
Was hate and misery


Komentar:
Tuhan Maha Mengetahui, bagaimana Anda susah payah berenang dari Pulau Samoa langsung menuju Cicadas, Bandung, hanya untuk menemui pujaan hati yang selama ini memenuhi hati Anda. Tapi, apa lacur, ketika Anda berhasil menemui pujaan hati dan memberikan boneka Panda yang yang sudah susah payah Anda buat dari kumpulan kulit orok selama sebulan lebih itu, sang Pujaan Hati menerimanya dengan cara yang mengingatkan pada rektor Anda di kampus: begitu formal dan resmi. Dan diatas segalanya, membuat patah hati. Begini kira-kira kata yang keluar dari sang Pujaan Hati, ehm (bersiap-siap ngemiripin suara kaya si Ganjar rektor Unpad itu), “Terima Kasih atas kadonya yang sungguh mengesankan ini. Bersamaan dengan ini juga saya terima kado yang Saudara berikan kepada saya di hari yang cerah ini pada tanggal bla-bla-bla, hari ‘anu’. Peristiwa ini juga kiranya menjadi sebuah momentum yang akan semakin mengeratkan ikatan pertemanan kita selama ini. Dan maaf, saya tidak bisa lama-lama memberi sambutan, karena hari ini sebenarnya saya ada kencan dengan Boneng, itu, yang anaknya dokter spesialis penyakit kelamin itu. Mari. Assalamualaikum.”
Sesunggguhnya Tuhan memang Maha Membalas.




Judul Lagu :
Black Wedding
Band :
SUNN O)))
Album :
The Grimmrobe Demos
Lirik
tidak ada lirik
Komentar

Misalnya Anda menyukai seseorang yang akan menikah dengan orang lain. Tentu Anda tidak bisa melakukan apa-apa, karena, toh, kartu undangan sudah menyebar kemana-mana. Tapi, jangan khawatir…ada satu hal terakhir yang masih bisa Anda lakukan. Ketika resepsi pernikahannya sudah dimulai, coba Anda datang sambil bawa cd player. Daripada mendengarkan lagu-lagu sunda yang membosankan itu, lebih baik Anda ganti playlistnya dengan lagu SUNN O))) berjudul ‘Black Wedding’. Putar dengan volume maksimum (ditambah speaker surround akan lebih bagus). Dijamin, saya jamin, hati Anda akan terhibur dan tenang melihat bagaimana para tamu undangan dan bahkan pengantinnya sendiri lari terbirit-birit karena aroma teror audio dari band ambient doom ini begitu kuat. Apabila sudah begitu, mungkin Anda dan teman-teman yang Anda ajak ke pernikahan itu bisa mencicipi hidangan yang tersedia di perkawinan dengan sepuasnya tanpa harus repot-repot antri. Setidaknya ada dua keuntungan disini, pertama, Anda bisa tertawa ngakak ngeliat orang-orang yang lari terbirit-birit dan kedua, perut Anda pun kenyang.



Judul Lagu :
I Wanna Be A Sex Symbol On My Own Terms
Band :
BOTCH
Album :
We Are the Romans












Lirik
All I know I've seen through a lens
All I feel
I've learned through pages
She's a perfect ten
Here's the supermodel for you to follow
She's
bringing something new
Worked her for so long and we've lost
Komentar

Uh, Anda begitu kesal pada sang do’I akhir-akhir ini. Dia terlalu banyak menuntut dan tuntutannya pun memang benar-benar tidak masuk akal. Do’I nuntut supaya tubuh kamu dibikin sintal kaya artis Novia Kolopaking atau dibuat berotot dan gagah seperti bintang laga Advent Bangun. Anda pun sudah balik berargumen, “perut Akang yang buncit mah emang udah gini dari dulu, Neng?!” atau untuk kaum Hawa, “Gimana lagi atuh Kang, Eneng mah da waktu lahir juga prematur. Jadi, mau digimana-manain juga tetep aja kerempeng.”
Do’I memang ngerti sama alasan Anda, tapi keesokan harinya do’I langsung memutuskan hubungan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun. Selang berapa hari juga do’I sudah punya pacar baru yang tubuhnya sintal kaya Novia Kolopaking atau gagah kaya Advent Bangun itu. Anda lemas dan galau. Salah apa coba Anda. Padahal, Tuhan pun Maha Mengetahui, bahwa Novia Kolopaking dan Advent Bangun pun mempunyai bahan material yang sama dengan Anda ketika diciptakan, yaitu sperma. Tapi, ah, jangan dipikirin kelakuan absurd si do’I itu, coy. Tinggalin aja.


Tapi, sebelum ditinggalin itu si do’I, lebih baik Anda dengarkan dulu Botch, band asal Boston yang jadi pionir genre mathrock/posthardcore ini. Karena, Tuhan memang Maha Pembalas, Botch juga bisa menendang pantat mantan Anda dengan lagu chaotic surrealnya yang berjudul ‘I Wanna Be a Sex Symbol on My Own Terms’! dari judul lagunya yang panjang pun Anda sudah bisa menebak keseluruhan liriknya seperti apa. Tidak ada seorang pun, termasuk pacar Anda, yang bisa menuntut Anda berubah menjadi sesuatu yang bukan diri Anda seutuhnya. Karena Anda adalah si perut buncit yang humoris dan si kerempeng yang periang. Lagipula, lihat, banyak orang yang menyenangi Anda, walaupun perut Anda memang buncit atau perawakan Anda kerempeng sedari lahir. Di atas segalanya, Anda adalah sederajat dengan manusia lain, punya dan bisa berpendapat menurut sudut pandang Anda sendiri. Jadi, ayo, tendang pantat mantan Anda itu sekeras-kerasnya!ahaha.



Judul Lagu :
All Is Not Lost / In This Life
Band :
SEEMLESS
Album :
Untitled
Lirik

Watching the tide rise and fall / reminds me…of our mortality / Our days are few / So hold close to the time we have / In this life / Into your hands… / I commend my self a sacrifice / a path of life that pacifies / To reveal the beauty of this life….
Komentar
…engga, ini serius. Kalau Anda menghadapi musibah (atau patah hati) dan ingin mencari pencerahan layaknya siraman rohani ala Aa Gym tetapi dengan cara metal dan rock and roll…Anda bisa dengarkan lagu ini. Band stoner-metal yang penuh dengan lirik-lirik introspektif. Musiknya seperti CORROSION OF CONFORMITY, SOUNDGARDEN, KYUSS dan apapun yang bernuansa hardrock 90an. Lirik-liriknya pun mempunyai tendensi yang positif dan bersifat ‘membangun kepribadian’ ke arah yang lebih baik. Coba dengarkan. It’s like getting spiritualized, but in a good ol’ metal way.







Jumat, 28 November 2008

Pensiun

Oktober lalu saya mengunjungi kampung halaman di Karawang. Sudah lima tahun lebih tidak mengunjungi Karawang. Tentu banyak yang rubah. Apalagi kebun di depan rumah. Sekarang jadi banyak bebek. Ada sekitar dua puluh lebih. Penyebabnya adalah Wa Iban. Seseorang yang wajahnya mirip dengan orang tua yang saya kagumi: Goenawan Muhammad. Bedanya, Goenawan Muhammad itu penyair plus mantan pemred. Sedangkan Wa Iban adalah pensiunan pegawai kelurahan di Jakarta sana.

                Semenjak pensiun, Wa Iban sering menghabiskan waktu di Karawang daripada di Jakarta. “Di Karawang lebih tenang daripada di Jakarta”, kata Wa Iban suatu waktu kepada saya.

Selain mencari ketenangan, ia juga bisa bereksperimentasi ternak bebek di Karawang ini. Begitulah. Suatu waktu ketika nongkrong di teras rumah pagi-pagi, Wa Iban sudah stay tune di kebun. ‘Memonitoring’ situasi bebek-bebeknya. Sebagian lahan kebun dibuat menjadi kolam demi menampung bebek-bebek itu. Saya pun menghampirinya dengan niat agar bisa lebih akrab dengannya. Tetapi, basa-basi yang saya lontarkan seringkali tidak pernah nyambung. Penyebabnya, penyakit budek Wa Iban semakin menjadi-jadi. Jadinya lucu bila melihat kondisi Wa Iban sekarang. Kalo mau nyambung ngobrol, harus teriak keras-keras. Tapi volume suara harus dikontrol juga, karena Wa Iban suka protes kalau ada seseorang yang bicara kepadanya dengan suara yang terdengar seperti marah-marah. “Gua kaga budek-budek amat,” gitu katanya.

Penyakit budek itulah yang kadang membuat rungsing keluarga di Karawang. Suatu waktu Wa Ndas ngomong ke saya, “terkadang suka serba salah ngobrol sama si Iban,” katanya.

“Kalo ngomong keras…disangka marah. Tapi, kalo ngomong pelan…boro-boro nyahut. Kedengeran aja engga,” lalu, tambahnya lagi, “budeknya si Iban itu makin jadi pas pensiun. Waduh, ampun.”

Saya pengen ketawa ngedenger Wa Ndas ngomong gitu. Soalnya, di depan saya, tepatnya di depan rumah, ada Wa Iban yang nongkrong di kebun sedang memperhatikan bebek-bebeknya. Begitu tekun ia memonitor pergerakan bebek-bebeknya itu. Kata Wa Ndas, kelakuan Wa Iban semenjak pensiun makin tidak terprediksi. Tiba-tiba saja ia punya rencana ternak bebek.

“Masalahnya,” kata Bi Atam suatu waktu ketika saya nongkrong di warung kopinya, “Si Iban itu kagak punya pengalaman beternak bebek sebelumnya. Kok, dia ngedadak pengen ternak bebek?”

Bi Atam heran sama kelakuan Wa Iban. Geleng-geleng kepala terus kalau ngomongin Wa Iban si Bi Atam ini. Lucu. Saya sendiri tidak terlalu memikirkan kelakuan Wa Iban. Saya fokus ngegares bala-bala buatan Bi Atam sama nyeruput teh botol dingin. Sumpah. Karawang panas seperti neraka, walaupun saya belum bertandang ke neraka.  

Kata Bi Atam lagi, selain mendadak ternak bebek, tiba-tiba Wa Iban berniat untuk selamanya menetap di Karawang. Rumah yang ada di Jakarta direncanakan untuk dijual. Padahal, istri serta anaknya tidak mau pindah ke Karawang. Maklum, rumah di Karawang terletak di desa yang sangat terbelakang. Di desa ini, listrik saja baru masuk sekitar enam tahun yang lalu. Jalan pun belum di aspal. Malah, ketika ku jalan-jalan disekitar desa, banyak kutemui rumah yang pada pintunya ditempeli papan bertuliskan ‘keluarga miskin’. Jadi wajar, bila keluarga Wa Iban di Jakarta yang dianugerahi oleh listrik dan segala kemudahan lainnya yang ditawarkan oleh perkotaan, harus mikir dua kali bila ingin pindah ke desa yang tertinggal.

Tapi, intinya tersirat dalam cerita-cerita yang kudengar, bahwa Wa Iban menginginkan sebuah ketenangan dalam menjalani masa pensiun. Namun, penerjemahan ‘pencarian ketenangan masa pensiun’ ini ketika dipraktekkan seringkali menghasilkan cerita-cerita yang, bagiku, terdengar lucu dan terkadang aneh. Saya teringat kepada saudara yang lain, yaitu Wa Nurdin. Ia juga seorang pensiunan polisi. Bila Wa Iban memutuskan untuk berternak bebek semasa pensiunnya. Wa Nurdin lebih kepada pendalaman agama. Tiba-tiba saja buku-buku tentang agama terserak di rak bukunya. Bersanding dengan buku-buku tentang hukum yang selama ini dikoleksinya. Lalu, perilakunya juga ada yang aneh. Jadi, ia selalu mengikuti istrinya kemana-mana. Terkadang istrinya itu sering risih sendiri. Malah istrinya itu suka makin rungsing ketika keluar rumah kelewat batas. Telepon selularnya pasti terus-terusan bunyi. Begitulah. Semenjak pensiun, selain mendalami agama, Wa Nurdin juga mencari kesibukan baru. Kabar terakhir yang kudengar, ia sedang mencoba peruntungan di dunia politik. Baguslah, mungkin dengan begitu, saya bisa dapat koneksi politik.

Wa Iban, Wa Nurdin. Banyak yang rubah dari kedua orang itu. Dulunya gini, sekarang gitu. Sebelum pensiun, Wa Iban sama Wa Nurdin, kelakuannya begitu. Pas pensiun, kelakuannya jadi begini. Jadi, ada dua hal yang saya tangkap melihat kelakuan kedua orang itu. Bila menyangkut pensiun maka ada dua hal yang dibicarakan, yaitu mencari-cari ketenangan dan mencari-cari masalah baru.

  

   

 

               

Minggu, 23 November 2008

Lazarus Bird

Rating:★★★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:Burst (Relapse, 2008)
Track dimulai dengan lagu berjudul "I Hold Vertigo". Ini track pembuka yang gila sekaligus membingungkan. Temponya naik turun: ia bisa mengerikan, tapi di satu titik menjadi terdengar begitu mellow. "I Hold Vertigo" mempermainkan mood Anda dengan begitu kacaunya. Penuh tanda tanya. Kira-kira akan kemana lagi arah mereka setelah ini.

Ada delapan lagu di album terbaru mereka ini. Semuanya membingungkan dari segi struktur lagu. Mereka seolah-olah bergerak liar kesana-kemari, meninggalkan kekacauan yang berserakan di telinga kita. Sebenarnya dari kedelapan track itu, semuanya menjadi favorit saya. Namun, saya kira, track no tujuh, '(We Watched) The Silver Rain', patut disimak dengan lebih. Berhubung sekarang sedang musim hujan, saya kira komposisi '(We Watched)...' terbilang cukup menakjubkan dan brilian.

Saya tidak mencoba bermetafor disini...setidaknya coba dengarkan dulu album terbaru mereka. Butuh adaptasi yang lama untuk bisa mencerna kedelapan lagu ini buat saya. Musiknya bagus, bagus sekali. Hanya saja arah mereka benar-benar baru dan tergolong aneh bila dibandingkan dengan dua album sebelumnya, yaitu "Prey on Life" dan "Origo". Ketika pertama kali mendengar album "Prey on Life", saya kira arah musikalitas mereka akan bergerak ke arah 'post-metal' ala ISIS atau NEUROSIS...ternyata dugaan saya meleset. Ini benar-benar katarsis. Pengaruh NEUROSIS memang masih ada, tapi selebihnya adalah kekacauan. Seperti BOTCH, Cave In (era Beyond Hypotermia), MASTODON, DEP, ATHEIST, BARONESS, NOCTURNUS. Jazzy progresive metal sekaligus chaotic. Salut.


Track Listing:
1. I Hold Vertigo
2. I Exterminate The I
3. We Are Dust
4. Momentum
5. Cripple God
6. NineteenHundred
7. (We Watched) The Silver Rain
8. City Cloaked

Minggu, 16 November 2008

World World World

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Rock
Artist:Asian Kung-fu Generation
Saya ga tau apa yang mereka bicarakan. Mereka band dari Jepang dan seperti kebanyakan band Jepang lainnya, mereka berbicara dengan bahasa yang aneh dan sulit dimengerti. Tetapi, satu yang pasti, musiknya pol! Seperti band melodic-punk lainnya: mereka menawarkan nada ceria penuh dengan youth anthemic! Rasa-rasanya seperti kamu berkaca di pagi hari sambil memakai kemeja putih yang ada tanda ‘osis’-nya di saku sebelah kiri. Tidak ada emblem lokasi sekolah dan juga nama di kemeja itu. Dalam pikiranmu, kemeja ini pasti di sekolah nanti bakal jadi biang masalah, karena guru olahraga menyebalkan yang setiap harinya berkampanye ‘Gerakan Disiplin Nasional’ itu pasti sudah bersiap untuk memburumu. Tapi, kau pastinya tidak akan menghiraukan guru yang menyebalkan itu. Karena, kau tahu, ada teman-temanmu di sana. Teman-teman yang setiap harinya menghabiskan waktu bersama di sekolah. Teman-teman satu permainan yang sudah bersama-sama melewati masa-masa menyenangkan dan juga sulit. Kau tidak terlalu mengkhawatirkan segala sesuatunya di sekolah nanti, karena yang ada hanyalah bermain dan bermain bersama teman-temanmu. Haha.
Nah, seperti itulah Asian Kung-fu Generation. Band melodic-punk yang menyuguhkan atmosfir ceria dengan energi maksimum. Se-‘maksimum’ seperti cepatnya kau berlari menghindari kejaran guru yang baru saja memergokimu merokok di wc sekolah. Viva la Youth.

Rabu, 12 November 2008

viva la vida or death and all his friends

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Rock
Artist:coldplay
Pertamanya ada hentakan drum yang cukup enerjik. Terus, suara synth, kibor...atau entahlah apapun itu, masuk. Moodnya bikin rada ngawang-ngawang juga. Nadanya datar dan gloomy. Diluar rumah, hujan mengguyur dari siang. Bikin perasaan makin mendung. Lalu, terdengar ada vokal Chris Martin yang ngomong di lagu Lost!, "Just because i'm losing, doesn't mean i'm lost." Nyesss....wah, ini lagu bagus. Masuk pisan.
saya rasa-rasa, ni lagu cocok pisan sama keadaan akhir-akhir ini. Apalagi pas ngeder vokal Martin lagi: "just because i'm hurting, doesn't mean i'm hurt." Waw, ini spesial. Saya senang, karena akhirnya ada lagu yang cocok. Hell, tiba-tiba muncul pikiran pas denger 'Lost!':"anjis, selama ini beberapa kawan memang tidak tahu apa yang terjadi, tapi ga berarti mereka harus tau. Biarin ajalah. Sekarang mah masalahnya gimana maju lagi ke depan." Bener. kali ini Coldplay terasa spesial.
Terus, ditilik-tilik dari nama-nama lagu, nama album dan dibandingkan dengan arah musiknya...terasa ada yang aneh juga. Pertama, dari pemilihan tema dan judul lagu sering banget ngeluarin makna-makna berbau 'death'. Kematian. Hilang. Hampa dst, dst. Tapi, dari segi musikalitasnya, khususnya mood...kerasa banget ceria. Jadi, kaya ada kontradiksi gitu: antara ceria sama sedih. Ah, ga tau juga, sih, cuma perasaan saya aja apa gimana...tapi, saya emang ngerasanya kaya gitu. Jadi, ini soundtrack yang ceria ditengah-tengah kematian (?). ah, ga tau lah. Pokokna mah, untuk sekarang, viva la Coldplay!

"I just got lost
Every river that I've tried to cross
And every door I ever tried was locked
Ooh-Oh, And I'm just waiting till the shine wears off...

You might be a big fish
In a little pond
Doesn't mean you've won
'Cause along may come
A bigger one"


Awwww....you're not that great anymore, girl! Haha. Interpretasi mah gimana saya weh meureunnya, dulur?!

Sabtu, 01 November 2008

Keluh-Kesah (Monologue Apokalipso)

Where do you want to go, my heart? Anywhere, anywhere out of this world!”

-CrimethInc-


Terlalu banyak pikiran dan keinginan akhir-akhir ini. Mikirin itu-mikirin ini. Pengen itu-pengen ini. Hasilnya bingung sendiri. Ga tau harus ngapain. Ujung-ujungnya nyalain rokok lagi. Ngisep lagi, ngehembusin lagi. Nyangkut masalah kaya gini, kalo ngobrol sama temen, pertanyaannya pasti gitu-gitu lagi: masa hidup kaya gini terus? Ato engga, ada yang ngasih jawaban rada intelek sama filosofis: ini mah fase dalam kehidupan, nanti juga berakhir dengan sendirinya.

             Ga ada lagi jalan buat nyari solusi. Saya amini saja omongan-omongan yang kaya gitu, walaupun buat saya ga ngejawab apapun. Gimana lagi, saya juga ga tau keadaan saya yang sebenernya. Cuman, tiap kali ngedengerin itu, saya bertingkah rada moderat. Saya bales omongan-omongan kaya gitu. “Ah, iya. Emang diri sendiri aja kali yang lagi jenuh,” gitu balesan saya.

               Cuman, emang pikiran sama keinginan mah bercokolnya di diri sendiri kan? Jadi, mau ga mau, hal-hal kaya gitu tetep ada di dalam diri. Ga pergi-pergi. Di waktu lengang, di waktu senggang…suka keluar: saya pengen ini-saya pengen itu. Terus, pikiran juga sama ngotot minta dipikirin. Jadinya ribet, rungsing sendiri.

            Suatu waktu lampau. Saya ketemu temen, si Asu. Kuliahnya ga beres-beres dan kerjaannya ngerokok sama ngerokok. Sampe-sampe kalo dah waktunya sholat Jum’at dan rokoknya belum habis, ga dia matiin. Dia simpen buat diisep lagi kalo sholatnya udah beres. Heavy smoke addict. Di suatu malem saya ketemu ma dia di kios. Dia beli rokok ketengan sebanyak enam batang pake duit 50ribuan.

                 Saya nanya, “gimana kuliah euy?”

               Dia jawab, ”anjis, parah euy. Harusnya seumuran saya seperti sekarang udah ga jamannya kuliah lagi.”

                  “lha, emang umur ente berapa gitu?”

                  “23.”

                  “Sama dong.”

                   “Anjis, kuliah berantakan. Udah males banget kuliah. Pengen kerja sambilan.”

             Ini topik baru dan saya pun setuju ma dia, “heeuh, urang ge hayang neangan gawe. Nu ngahasilkeun.”

            Si Asu jenuh. Kuliahnya ga beres-beres, padahal umurnya udah bertengger di angka 23. Saya juga sama dengan si Asu, tapi dengan sedikit perbedaan. Saya jenuh, tapi kuliah ga berantakan amat. Umur saya juga 23 dan saya juga pengen cari duit. Tapi, saya pengen cari duit dengan cara yang bisa saya nikmatin. Dengan cara kerja yang, kalo bahasa Sundanya mah, make ‘manah’ (hati – ST). Kerja karena ga terpaksa atau dipaksa.

“Ah, semua orang juga pengen kaya gitu. Tapi, jarang ada yang bisa kaya gitu,” nah, ini ada yang nyeletuk dalam diri.

Terlalu banyak request, emang. Lebih tinggi permintaan daripada penawaran yang menghampiri, haha. Sebenernya banyak keinginan-keinginan yang pengen direalisasiin: bermusiklah, berkreatifitaslah, bersenggamalah, berwiraswastalah…tapi, kewajiban dan tuntutan yang harus dipenuhin seringkali ngebabat semuanya. Harus curi-curi waktu. Ini mah harus pisan. Konsekuensinya, kamu ga bisa ngejalaninnya secara full-time. Parahnya lagi, keinginan-keinginan itu cukup riskan, karena ga ngejanjiin apa-apa, kecuali kepuasan dalam melakukan sesuatu. Imbalan kecil, hampir ga ada. Pokoknya, sama sekali ga mendatangkan kemasyhuran. Tapi, da saya mah pengen ngelakuinnya. Nah, rungsing kan? Jadi, istilahnya tuh, kaya terjebak dalam sebuah masalah yang diciptain sendiri. Nambah bahan pikiran.

Modal pun sedikit buat ngewujudin keinginan-keinginan itu. Modal satu-satunya, ya, itu, keinginan itu sendiri. Saking kuatnya itu keinginan, sampe-sampe saya sendiri ga ngerti kenapa saya keukeuh terus ngejalaninnya. Curi-curi waktu entah sampe kapan. Terus berkutat di dalamnya, padahal pemasukan sama sekali ga ada. Saya juga terkadang kesel sama keadaan kaya gini. Anjis, saya juga butuh penghasilan. Butuh pemasukan, uang, imbalan atau apapunlah. Kalo saya yang terus jorjoran ngewujudin ini-itu tanpa ada balik modal, lama-lama kan bisa bangkar sendirian.

Cuman, ya, gitu, di satu titik…saya bersyukur juga sama Tuhan. Saya bersyukur sama Dia karena Dia nyiptain bermacam-macam manusia. “Agar kalian saling mengenal,” gitu alesanNya. Saya bersyukur, karena saya ngejalaninnya ga sendirian-sendirian amat. Ada teman yang sama misinya, sama visinya dan sama keinginannya, walaupun beda kelakuannya. Mau rugi bareng-bareng. Ikhlas makan hati bareng-bareng. Pasrah momotoran malem-malem cuman untuk bayar hutang. Sampe sekarang, sepertinya ini yang jadi semangat ngejalanin keinginan-keinginan yang kering alias ga ngasih penghasilan sama sekali itu. Jadi, ada yang saling ngebackup aja. Kalo yang satu down, yang satunya lagi gerak. Kalo yang lagi gerak tadi ujung-ujungnya patah arang, yang down tadi yang giliran untuk bergerak. Yah, hal-hal kaya gitulah. Saling dukung. Da hidup mah patungan.

Untuk sekarang, saya mah cuman berharap ajalah. Mudah-mudahan saling dukung ini bisa berlangsung lama. Minimal sampe keinginan-keinginan itu bisa terpenuhi. Soalnya ada kekhawatiran juga. Kekhawatirannya, ya, balik lagi ke masalah umur, kewajiban dan tuntutan itu tadi. Dia udah kelar kuliah, sedangkan saya sebentar lagi juga kelar. Ada hal-hal yang tidak terprediksikan, ketika saatnya untuk terjun ke ‘pasar’ itu terjadi. Semuanya menjadi fluktuatif dan penuh perhitungan. Minimal saya pengen ada dokumentasi dari aktivitas yang telah kami lakukan selama ini. Itu aja dulu. Bila ternyata setelah dokumentasi itu kelar, lalu ada hal-hal baik lainnya yang mengikuti…wah, sungguh merupakan hal yang menyenangkan sekali. Semogalah. Harapan mah ada. Dipelihara. Cuman, ga tau sampe kapan.

Selasa, 14 Oktober 2008

TUJUAN: PANGRANGO




Oke2, sindikat pemuda luntang-lantung akan terus kembali dan kembali lagi. Kali ini menjelajah Gede dan Pangrango. Penjelajahan dimulai selama tiga hari, dari Jumat (10/9) hingga Minggu (12/9). Oke, nikmati foto-fotonya dan tunggu kabar penjelajahan selanjutnya...Papandayan mungkin? siapa tahu. Yang pasti, siapkan fisik yang prima dan mental yang kuat biar ga terlalu HeHoH! Cheersshh.

Dokumentasi Pangrango




Foto-foto ketika main ke Pangrango tahun 2008 kemarin. Lupa tanggal persisnya. Tapi ternyata di MP ini sudah lama berkubang dalam folder 'draft'. Baru sadar sekarang (23 Mei 2009).

Get Death or Die Trying (Adam Smith Style!)

Ah, mungkin ini kehidupanmu. Kehidupan ideal yang kau canangkan jauh-jauh hari. Engkau mengambil ijazah mu, setelah kurang lebih empat tahun kau berusaha meraihnya. Ada kebanggaan dan tentu patut untuk kau rayakan. Hal yang wajar. Orang tua mu bangga dan tetangga mu pun berhenti bertanya kapan kau lulus. Begitupun dengan keluarga besar mu. Satu urusan sudah selesai. Dan memang, pernah kubaca sebuah petatah-petitih. Begini bunyinya: setelah selesai satu urusan, maka selesaikanlah urusan yang lain.

Tetapi, masalahnya, apakah memang urusan itu telah sepenuhnya rampung? Buat saya, belum. Tapi, entah apa yang ada dibenakmu mengenai hal ini. Pastinya, ketika ijazah itu sudah ada ditanganmu, satu urusan berarti telah selesai untukmu. Sekarang saatnya memasuki tahap yang lain lagi. Mencari penyokong kehidupan mu sendiri. Kita mengenalnya mencari pekerjaan. Mati-matian kita menawarkan keahlian dan spesialisasi kita kepada yang membutuhkannya. Sekarang, kita memasuki lagi lebih dalam sebuah sistem yang sudah menjadi umum di mata kita. Kita menjual apa yang kita miliki dan kita akan mendapat imbalannya. Seperti gaji, contohnya. Ada penawaran disini. Menimang-nimang harga kita yang pantas dibeli untuk dipakai oleh mereka. Maka dari itu, mati-matian kita mencari kemapanan dalam pekerjaan. Karena kita telah merasa, bahwa segenap diri ini yang menjadi barang dagangannya. Ada urusan gengsi disini. Itupun lumrah, karena konon, manusia itu hidup juga untuk membuktikan kehadiran dirinya sendiri. Ada keinginan untuk self empowerment.

Untuk beberapa alasan itu juga, mengapa seringkali ada beberapa dari kita menanggalkan beberapa jati dirinya yang dikira-kira tidak laku untuk dijual. Walaupun, betapa kita merasa nyaman dengan jati diri yang tidak laku untuk dijual itu. Namun, dalam atmosfir penawaran, segala sesuatu sepertinya tidak pernah hadir secara utuh. Sebagai pelipur lara, beberapa dari kita menyembunyikannya dibalik alasan demi kedewasaan. Untuk kedewasaan, maka kita menanggalkan apa yang ada di diri kita. Sebenarnya itu bisa dipertanyakan kembali. Seperti apa batas kedewasaan itu? apakah batasnya adalah, ketika ada beberapa hal dari diri kita yang susah untuk dijual menjadi batasan kedewasaan? Tentu tidak, tetapi kebanyakan mengiyakannya. Diakui ataupun tidak.

Begitulah. Engkau mendapatkan pekerjaan. Sebuah pekerjaan yang mapan, dengan ukuran kemapanan yang dapat menyokong kehidupanmu sepenuhnya. Berikut hal-hal sekunder dan tersier. Bukan hanya primer, dimana primer ini benar-benar kebutuhan murni. Dimana bila tidak terpenuhi, kita benar-benar sekarat. Sedangkan lainnya hanya pelengkap saja. Hanya ‘keinginan’, bukan ‘kebutuhan’. Bisa menyusul. Tapi, kita memang punya keinginan, kan? Ya, terserahlah. Atur-atur. Pastinya, bila ada di antara kita yang bakal terbakar di neraka, saya tidak ingin mengikutinya terbakar di neraka juga.

Jadi, pekerjaan mapan sudah kau dapatkan. Orang tua mu, sekali lagi, bangga terhadapmu. Begitupun tetangga-tetanggamu. Keluarga besarmu juga. Kau pun terhindar dari pertanyaan-pertanyaan nista, seperti ‘udah dapat kerja belum?’, ‘Kerja dimana sekarang?’ untuk perkara satu ini, nampaknya semua senang. Kamu boleh bernafas lega. Mungkin kamu bisa ngaso dulu....

Bila kamu selesai ngaso, mungkin kita bisa melangkah ke urusan selanjutnya? Oh, oke. Sekarang saatnya urusan mencari pendamping…pendamping yang benar-benar legal. Ada prosedur segala macam. Mulai dari perkara meminang hingga mendaftar ke KUA. Itu perlu. Bila tidak, kasihan orang tua mu. Dipergunjingkan tetangga-tetangganya sendiri, karena mempunyai anak yang hidup tidak normal. Kumpul sama kebo. Belum disindir sama keluarga besar pas lebaran nanti. Tentu kau tidak mau hal seperti itu terjadi, bukan? Maka dari itu, ketika menimang-nimang calon pendamping hidup itu selesai, seperti apakah secara finansial dia bisa mendukung kehidupan setelah menikah nanti, maka terjadilah pernikahan. Kamu dan pasanganmu sekarang legal hidup bersama. Bahkan, bila kamu atau pasanganmu hamil, tetanggamu juga tidak akan berbicara yang aneh-aneh seputar kehamilanmu atau pasanganmu itu.

Hidup sudah menemukan kesempurnaannya sekarang. Kau punya pekerjaan mapan dan kau juga menikah. Syarat-syarat untuk bisa dibilang hidup normal dalam bermasyarakat sekarang terpenuhi sudah. Selanjutnya, hanya sesuatu yang disebut rutinitas. Kamu bangun pagi-pagi, sarapan bersama keluarga, berangkat ke kantor, pulang sore, tiba di rumah malam, dan karena kecapekan, kamu langsung tidur. Besok paginya begitu juga. Besok lusa pun begitu. Besok lusa-lusanya lagi masih seperti itu. Bulan depan juga, ketika bangun telat lebih limabelas menit dari jadwal, kamu sudah bisa memperkirakan bakal nyampe kantor telat setengah jam. Kamu hidup dalam jadwal yang membuatmu terpola. Kamu menjadi tidak biasa untuk berimprovisasi. Antisipasi demi antisipasi kamu susun, Penuh pertimbangan ini-itu dan hasilnya, tagihan demi tagihan menumpuk di sakumu. Tetapi, bukankah hidup selamanya berada dalam ketidakpastian?

Tidak terasa, tahun demi tahun terlewati. Kesepuluh anakmu sudah memiliki cucu semua. Sekarang, berbekal uang pensiun dari perusahaanmu, kamu kembali ke agama. Rajin solat, mengunjungi masjid dan mengaji. Sebagai bekal persiapan untuk dikubur nanti.

Sudah, kehidupanmu sudah bisa aku prediksi akan seperti apa.

Pertanyaannya sekarang, sebelum kita mati nanti, apakah kita bisa mempunyai kesempatan untuk mengenali keterasingan yang akan kita hadapi di dunia yang mekanistis ini? Bila kita beruntung bisa mengenali keterasingan kita sendiri, apakah kita juga mempunyai kekuatan untuk keluar darinya? Keluar dan mengenali seperti apa hidup ini, hidup yang jauh dari kutukan rutinitas yang mengalienasi ini? Hidup yang tidak sekadar mengikuti norma-norma mayoritas yang seringkali menihilkan eksistensi individunya sendiri. Tetapi, kehidupan yang bisa memberi kita makna. Bisakah kita mempunyai kekuatan untuk tidak hanya sekadar menjadi silent majority, yang terombang-ambing dalam kegalauan massa yang acapkali menggerogoti keotentikan dirikita sendiri sebagai individu? O, aku berharap aku mempunyai kekuatan seperti itu. Aku berharap betul.

Maka dari itu, semuanya…nyalakan rokok kalian dan mulai berdoa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Tengadahkan kepala kalian ke langit dan hembuskan asap rokok yang telah kalian isap. Lalu, teriakkan keras-keras: for those who about to rock, I salute YOU!

Jumat, 26 September 2008

SELAMAT ULANG TAHUN, BANDUNG!

25 September 2008 ini Kota Bandung merayakan Ulang Tahunnya yang ke-198. Hm, kotaku tercinta lumayan tua. Hampir nyentuh angka dua ratus! Di ulang tahun Kota Bandung ini saya yakin bakal banyak orang Bandung yang mengeluarkan keluhan. Mulai dari ruas jalan yang menjadi tidak sebanding dengan banyaknya jumlah kendaraan, sehingga berdampak pada kemacetan di sana-sini, khususnya pada akhir pekan. Kondisi jalan raya yang tidak layak. Polusi. Sanitasi. Lalu, masalah sampah yang tak kunjung selesai.

Di umur yang mengijak angka 198, Kota Bandung tentunya tidak bisa menghindari berbagai perubahan yang terjadi dan seiring dengan perubahan itu, tentunya ada masalah yang berdatangan. Saya baca Kompas Jabar (06/9), disitu disebutkan, bahwa dari 362 warga Bandung yang dimintai pendapatnya tentang persoalan utama yang paling mendesak untuk diatasi oleh Pemkot Bandung, sebanyak 22 % menganggap sampah adalah persoalan utama dan yang paling mendesak bagi Kota Bandung. Sisa dari responden itu menganggap persoalan utama dari Kota Bandung ada pada kemacetan (11,9%), ketertiban jalan/lalu lintas (9,9%), infrastruktur (8,6%), pengangguran (6,9), pedagang kaki lima (3,9), pendidikan (3,9), keamanan (2,8%), tata kota (2,8%), ekonomi (2,2%), transportasi (2,2%), lain-lain (19,3%) dan terakhir, tidak tahu/tidak jawab (3,6%).

Survey Litbang Kompas itu hanyalah cermin salah satu masalah dari sekian banyak masalah. Jujur, waktu saya baca edisi khusus Kompas Jabar itu yang saya tangkap adalah kesan tentang perkembangan kota ini yang menjadi sedemikian suram. Pelbagai masalah menumpuk. Semua masalah bermuara pada daya kapasitas Kota Bandung untuk memikul beban dari pertumbuhan masyarakatnya yang timpang. Kota Bandung kewalahan memfasilitasi naiknya lonjakan penduduk secara drastis.

Menurut Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin, seperti yang telah dikutip dari Kompas Jabar (06/9), menyebutkan, bahwa pada tahun 1950, sebanyak 600.000 jiwa menetap di Kota Bandung seluas 8.000 hektar. Lalu, pada tahun 2008, penduduk kota ini mencapai sekitar 3 juta orang yang menempati wilayah seluas 17.000 hektar. Kenaikan yang sangat drastis. Dari lonjakan penduduk yang drastis tersebut, menurut saya, masalah melebar kemana-mana. Pelebaran masalah itu bisa dicerminkan salah satunya dari apa yang telah dilakukan oleh Litbang Kompas mengenai masalah yang paling mendesak bagi Kota Bandung itu tadi.

Apa yang saya rasakan selama tinggal di kota ini, kita selaku warga Bandung memang tidak bisa mengantisipasi lonjakan penduduk sebagai dampak urbanisasi. Pembangunan yang terjadi selama ini malah seakan-akan menitikberatkan pada sektor pariwisata dan jasa saja. Seperti menjamurnya outlet-outlet busana atau mall-mall terpandang saja, tetapi untuk masalah pranata-pranata kota dan lingkungannya tidak diberi perhatian penuh. Saya memang tidak belajar Planologi, tetapi setidaknya, sebelum membangun sebuah outlet/butik atau apalah, ya, akses penunjang sarana wisata - seperti tata kota dan jalan raya, misalnya – dibenahi dulu. Jangan membangun sarana wisata belanja, seperti outlet atau mall, tetapi jalan raya tetap gitu-gitu aja, sempit dan banyak lobangnya. Jeblog. Saran saya, daripada memusatkan perhatian pada sektor pariwisata, kita seharusnya memusatkan perhatian dulu kepada masalah yang dirasa oleh sebagian besar penduduk Kota Bandung, seperti pembenahan tata kota, masalah penumpukan sampah, perbaikan ruas jalan yang amburadul dan masalah penyesuaian jumlah penduduk dengan karakteristik Kota Bandung. Itu aja dulu. Kita mulai dari dalem dulu. Kalo masalah dari dalem itu udah bisa dibenahi, saya yakin orang-orang yang dateng ke Bandung juga akan merasa nyaman. Kalo orang-orang udah ngerasa nyaman sama keadaan Kota Bandung, income juga ‘kan setidaknya bisa dipancing. Barulah kita bisa memusatkan perhatian pada sektor pariwisata.

Sok aja pikir, gimana mau nyaman, kalo wisatawan dateng mau belanja, tapi jalan utama buat ke butik kondang itu ternyata amburadul? Belum kemacetannya, ya, bau sampah lagi di sepanjang jalan. Yang ada malah gerutuan, suara sumbang kekesalan. Bukan tidak mungkin, si wisatawan itu bakal mengumpat dan janji sama dirinya sendiri gak bakalan dateng lagi ke Bandung seumur hidupnya. Bisa aja kan? Hilanglah itu pemasukan, jadinya.

Selain masalah, setidaknya masih ada hal lainnya yang mengundang decak kagum dan memercikan harapan dari Kota Bandung ini, khususnya bila bicara tentang kreatifitas sebagian penduduknya. Ya, langsung aja disebut: Helarfest. Kata helar itu sendiri diambil dari bahasa Sunda yang artinya ‘menampilkan potensi untuk mendapatkan perhatian dari sekeliling’ (Tubagus Fiki Chikara Satari, Tempo, edisi 11-17 Agustus 2008). Majalah Tempo di edisi itu juga menulis Helarfest sebagai festival yang mirip keramaian rakyat. Di festival ini, berbagai atraksi seni, tradisional sampai eskperimental dijorjorin. Ada pemutaran film, pameran arsitektur, hingga festival jazz. Festival ini diselenggarakan oleh anak muda yang tergabung dalam Bandung Creative City Forum. Helarfest saat ini telah usai diselenggarakan. Waktu penyelenggaraannya jatuh selama bulan Juli-Agustus 2008 kemarin yang memakai tempat secara terpisah, diantaranya di common room, pvj, taman budaya Dago Tea House, Selasar Sunarya, Tahura Juanda, Tegaleva, Purelounge, GOR Saparua, Balai Kota Bandung, PLN, dll.

    Saya sendiri memaknai Helarfest sebagai kulminasi dari pergerakan komunitas kreatif (seni, musik, clothing dll) yang telah hadir semenjak era ’90-an. Di tahun-tahun ‘90an pergerakan kreatif ini mulai bertumbuhan dan masih berjalan secara sporadis, menurut saya. Mulai dari Reverse (RIP), 347 yang masih di Dago, Riotic di Cicadas, PI (?)… dan ga tau entah apa lagi usaha kreatif maupun komunitas yang ada di Bandung saat itu. Hanya saja, sejauh yang saya amati pada tahun ’90-an itu, berbagai komunitas memang saling mengenal, namun untuk usaha bisnisnya masih sporadis. Berupa letupan-letupan. Walaupun letupan – bersuara kecil – namun ia masih terdengar. Nah, kalo situasi sekarang, saya liat mereka, komunitas-komunitas itu, sudah berkembang cukup pesat (omzetnya sampe ada yang miliaran) dan yang lebih penting lagi, sudah mulai mengorganisir dirinya masing-masing.

    Nah, saya ingin menekankan pada bagian ini: ‘mengorganisir’. Kata ini, ‘mengorganisir’, mengandung sebuah aktivitas yang berbahaya sekaligus kreatif. Maksud dari berbahaya adalah apabila aktivitas tersebut ditempatkan dalam konteks dikotomi antara pemerintah dan penduduk sebuah kota, dimana dalam hal ini, pemerintah adalah pihak yang seringkali mengabaikan potensi yang seringkali terdapat pada sebagian penduduk tersebut.

    ‘Mengorganisir’ bisa menjadi senjata yang ampuh bagi pihak yang termajinalkan, ketika kekuasaan tidak lagi ambil perduli terhadap keadaan mereka. Dengan ‘mengorganisir’ sebuah kelompok perlawanan atau kreatif atau apapun, maka ada satu keuntungan yang dapat diraih, yaitu kemandirian. ‘Mengorganisir’ berarti bahu-membahu memperkuat geraklaju kelompok atau dalam hal ini bisa disebut self empowerment tanpa tergantung kepada pihak yang memiliki kekuasaan absolut. Kelompok yang ‘mengorganisir’ dirinya akan menciptakan kekuasaan sendiri untuk bisa meraih tujuannya dibandingkan mereka yang berjalan tercerai berai.

    Itulah yang saya maknai dari pagelaran Helarfest kali ini, bahwa sebagian penduduk Kota Bandung sedang menuju proses ‘mengorganisasir’ sebuah pergerakan yang akan membawa kepada satu tujuan, yaitu membuat Kota Bandung sebagai kota kreatif. Emerging Creative City. Hal lain yang menarik dari pagelaran ini adalah, bahwa event ini tidak dimotori oleh Pemkot Bandung, dimana menurut saya hal itu adalah hal yang baik. Setidaknya hal itu bisa menunjukkan kepada Pemkot Bandung sekaligus menginspirasi penduduk Kota Bandung, bahwa penduduk Kota Bandung bisa bereksperimen terhadap pembangunan yang terjadi di Kota Bandung tanpa campur tangan pemerintah kota. Masyarakat sebuah kota, khususnya Bandung, bisa menjadi mandiri dan kuat dengan cara mengorganisir kelompok atau komunitasnya, walaupun pemerintah sendiri tidak memperdulikannya. Ini bisa menjadi tamparan telak bagi pemerintah sekaligus peringatan: kami tidak perlu pemerintahan atau bentuk otoritas apapun yang apatis dan sewenang-wenang.

    Oukaylah. Kepanjangan, nih. Akhir kata,  selamat Ulang Tahun, Bandung. Cinta selalu lah sama Kota Kembang. Oh, iya, dalam rangka ultah Bandung ada baiknya bila kalian semua kesini.

    Selamat menikmati ulang tahun, semuanya. Godspeed.

Selasa, 23 September 2008

yang akhir-akhir ini ngasih inspirasi

ENSLAVED
Inspirasi pertama dari Enslaved. Band viking black metal asal Norwegia. Musiknya ngasih pencerahan. Pertama kali denger waktu mereka ngeluarin album bertitel 'Isa' di tahun 2004. Denger lagu pertama, 'Lunar Force', bikin stoked. Di tengah-tengah lagu ada semacam hook yang komposisinya ngingetin sama band postmetal-juggernaut, Isis. Black metal tidak pernah terdengar seprogresif dan se-'rock' seperti yang Enslaved lakukan. Mereka mencampur postmetal, progresif sama black metal sekaligus.
    Hingga hari ini saya masih ketagihan sama Enslaved. Akhir-akhir ini saya dapat juga album barunya, 'Vertebrae'. Rilisan tahun 2008, paling baru. Sebelumnya saya juga dapet album setelah 'Isa', yaitu 'Ruun' (rilisan tahun 2006). Ketiga album itu jadi masterpiece. Untuk beberapa minggu ini ketiga album itu, khususnya 'Vertebrae', tidak pernah lepas dari winamp. Untuk album 'Vertebrae', musiknya jadi semakin rock. tidak murni black metal. Banyak ngundang pro-kontra juga dari album ini. Tapi, kata saya, sih, musiknya makin seksi. Black metal sendu!ahaha.

                                           


WATAIN















































Total fukkin blackmetal straight to your black assess!!!Blasphemy as fukk. Band ini benar-benar celaka. Saya baru dapat dari seorang saudara. Ia memberi saya albumnya yang terbaru, Sworn to the Dark. Musiknya kenceng abis. Ala black metal awal, seperti Mayhem dan Gorgoroth. Bener-bener 'jahat': sound gitarnya 'dirty', sehingga ngebuat musiknya seperti angin ribut! bener-bener holocaust... Biasanya, saya tidak suka dengan tipikal black metal yang kencang dan ribut seperti ini. Saya lebih condong ke tipikal U.S. Black Metal, seperti Xasthur, Wolves In the Throne Room, Nachtmystium, Leviathan...yang komposisi musiknya lebih gelap dan kotor. Condong ke ambience. Tapi, untuk black metal seperti Watain ini, mungkin sebuah pengecualian. Musik yang mereka mainkan keren! Lalu, dari segi liriknya pun sangat tradisional black metal: semuanya tentang kejahatan dan pengglorifikasian terhadap satanisme. Dari nama albumnya aja udah nunjukkin mencoba untuk sesetan apa mereka.  Belum lagi judul-judul lagunya, kaya Storm of the Antichrist, Satan's Hunger, Darkness and Death, The Lights that Burn the Sun...total ada sebelas lagu. Dengan judul-judul keren, seputar satanisme dan kematian. Uh, nampaknya ini akan menjadi playlist saya untuk beberapa bulan.


GOATSNAKE














Boogie-woogie stoner. Apa yang kamu harapkan dari band heavy shit seperti Stoner/doom ini, selain sound super heavy, vokal ala Ozzy campur Stevie Wonder (?) dan riff-riffnya yang monoton, repetitif, tapi memabukkan? Hell, pastinya jadi inspirasi sekaligus influence saya dalam berkarya. Riff-riffnya awesome! Sabbathian all unite, smoke some joint! Slowburn, yeah.


DYLAN CARLSON





















Gitaris favorit saya (siapa itu Malmsteem dan Vai?). Dia adalah frontman band orisinal drone bernama Earth. Sebuah band yang menginspirasi juggernaut drone saat ini, yaitu Sunn O))). Dylan Carlson ini kalo maen gitar, selalu terdengar soulful dan gelap. Coba aja cek. Di seksi musik, saya mengupload lagunya, 'Hung From The Moon', yang diambil dari album terbaru mereka The Bees Made Honey in the Lion Skull.  Saya ingin melihatnya live suatu saat (kalo bisa terkabulkan). 
Dia juga ngasih ide ke saya, kalo lagi ngulik-ngulik riff buat Primate.
      Penasaran ingin melihat gimana cara bermainnya. Ada satu yang unik dari permainan Carlson. Jadi, dia bermain sangat minimalis. Tidak over pamer skill, seperti gitaris solo bullshit. Ia bermain di area komposisi, daripada memamerkan skill. Terkadang ia main satu tone saja, hanya untuk dipakai durasi lumayan lama. Sekitar tiga menit. Tapi, hell, satu tone yang memabukkan dan berat. Hail doom and drone!
    Oh, ya,  Earth ini dibentuk  pada tahun 1990. Tau siapa di era '90an yang begitu ngefans sama Earth? Yup, Kurt Cobain. Bahkan, Kurt ini ikut menyumbangkan vokal di era awal Earth terbentuk. Selain itu, Dylan juga adalah bandar kokainnya Kurt Cobain. Pertemanan mereka berawal dari situ. Bahkan, Dylan Carlson pernah menjual senjata kepada Cobain yang kemudian oleh Cobain sendiri dipakai untuk bunuh diri. Weird friendship.


STEPHEN O' MALLEY (Soma)























Dia adalah gitaris favorit saya setelah Dylan Carlson. Dia adalah juga former band drone paling sering dibincangkan saat ini, yaitu Sunn O))). Apa yang sangat saya suka dari Soma adalah, bahwa kreatifitasnya tidak mengenal batas. Dia maniak eksperimentasi. Band proyekannya banyak, KTL, Dommedagsnatt, Burning Witch, Burial Temple Trio, Sunn O))) & Boris, dll. Banyak banget, deh. Itu hanya band. Belum solo. Beuh.
    Satu hal yang patut diketahui dari Soma bila membicarakannya sebagai seorang gitaris. Dia bukan tipe gitaris konvensional seperti Malsteem atau Vai atau siapa sajalah yang dianggap master kalo maen gitarnya 'berskill' tinggi. Skill disini skill dalam artian jago shredding, licking, tapping, ato apapun. Soma tidak seperti itu. Ia lebih menggunakan gitarnya untuk tujuan pencapaian sound adiluhung daripada mengejar teknik-teknik gitar konvensional. Maka dari itu, setiap proyek Soma selalu berkutat di wilayah ambience, noise dan drone. Oh, ya, doom juga. Hell, I love his art and work! Hail.
Untuk lebih mengenal Soma coba cek ideologic.


KAKI KING
Ah...finally. The cute one.  She erase my headache once in the morning.






                   
















Rabu, 17 September 2008

Seperti di Dasar Telaga yang Membeku

                              
Hal remeh-temeh sepertinya memang tidak perlu dibicarakan panjang lebar baginya. Sementara begitu banyak orang yakin, bahwa sekadar berbicara ala kadarnya atau berbasa-basi sekalipun itu dirasakan memang perlu. Setidaknya untuk memecah kecanggungan yang ada atau sekadar memenuhi etika sopan santun bermasyarakat. Tetapi ia begitu menikmati kesunyiannya. Bergumul sendiri dengan hal-hal yang berseliweran di dalam benaknya. Terbawa larut dalam kesunyian yang seolah-olah menyatu dengan dirinya. Tanpa harus menghiraukan kehadiran orang lain disekitarnya.

    Dengan kesunyian itu, Ia telah hadir dalam kehidupanku begitu lama. Namun bersamaan dengan itu pula aku benar-benar tidak mengenal dirinya. Semakin lama, semakin sering ia hadir, semakin buram juga gambaran utuh mengenai dirinya. Gambar yang tertangkap olehku hanyalah gambar-gambar yang kasar. Menyerupai sketsa. Dalam kertas putih itu hanyalah garis-garis kasar dan arsiran-arsiran mentah yang hanya merefleksikan sebuah kerangka yang belum selesai. Dalam sketsa itu aku hanya menangkap ia yang sedang membaca surat kabar, termenung sendirian, duduk di depan layar komputer dan kebiasaannya ketika makan. Bagiku, itulah gambaran yang tidak utuh dan belum selesai mengenai dirinya.

    “Begitulah ia,” beberapa orang berkata padaku, “engkau yang harus memahaminya. Engkaulah yang harus memiliki insiatif untuk bertanya, karena engkau tidak akan mendapatkan apapun darinya bila engkau tidak memulainya lebih dulu.”

    Dari dulu dunia memang berputar seperti itu, dalam hati nyeletuk setiap kali orang-orang mengatakan demikian tentang dirinya. Di obrolan sehari-hari juga, apalagi kalau ada kawan yang curhat tentang masalah kawin-mawin, pasti ada makna-makna yang mirip seperti itu: “ada aksi, pasti ada reaksi, bleh”, blah-blah-blah. Tapi tidak bagiku, ketika berada dekat dengannya. Aku tidak berusaha memahaminya dan juga tidak berusaha memulai lebih dahulu seperti yang disarankan orang-orang. Rasa-rasanya, aku malah meleburkan diri dengan kesunyian yang dibawanya. Walaupun sebelumnya tidak ada niatan dariku untuk larut bersama kesunyiannya itu. Aku sadar ikut seret dalam alirannya menuju muara yang entah kapan tercapai. Tidak memulai aksi dan tidak menunggu reaksi. Seperti musik, mengalun.

    Suatu waktu di masa yang sudah lewat lama lampau, tidak sengaja aku pernah melihatnya tiba-tiba menangis. Pemandangan yang baru pada masa itu. Aku duduk di belakangnya. Sejenak melihat kedua telapak tangannya menutupi muka sambil menyeka air mata. Kualihkan pandangan ke sekitar, karena sebenarnya aku tidak ingin melihatnya menangis. Orang-orang hilir mudik tak hirau disekitar kami. Orang-orang yang tiba-tiba terasa seperti manekin berjalan bagiku saat itu: terasa tanpa emosi apalagi air mata, mereka hanya hilir mudik. Ku tunggu hingga ia selesai menangis, tanpa mengeluarkan sepatah-kata atau sekadar menenangkannya melalui isyarat non-verbal. Seperti Ia berenang dan aku di sisi aliran sungainya. Melihat sambil menunggunya menepi.

    Tidak beberapa lama, ia menoleh kepadaku. Sejenak aku membalas tatapannya, namun mataku kembali menuju lantai. Menunduk. Aku tidak ingin lama-lama melihat dirinya dalam keadaan seperti itu. “Ayo, kita pergi,” suaranya terdengar berat dan serak melalui telingaku.

  Ia telah menepi dari sungainya dan penungguanku pun usai.

Siapapun tahu Alun-alun kota Bandung begitu padat oleh jejalan manusia. Ada pengemis, penjual, pengangguran, pengamen. Beragam jenis profesi dan manusia tumpah ruah di situ. Begitu ramai di Alun-alun. Namun, baru kurasakan bagaimana kesunyian itu pekat. Riuh hingar-bingarnya manusia melenyap. Sementara aku dan dirinya berjalan tanpa suara, tanpa pertanyaan tentang peristiwa yang telah terjadi tadi. Namun begitu, tidak ada kecanggungan. Hanya senyap antara aku dan dirinya. Menara Mesjid Agung begitu tinggi seakan-akan menusuk hitamnya langit yang ditinggal cahaya matahari. Lampu mobil dan motor menyorot. Lampu gedung bernyalaan. Kota ini menawarkan peluang bagi manusia yang ingin mengejar ambisinya. Namun, gedung dan gangnya memberikan keterasingan bagi yang mendiaminya. Di kota ini, ada kesepian yang tak terperi di ruas jalannya yang ramai.

Kami berjalan di antara lampu kota yang kerlap-kerlip itu. Menyusuri jalannya yang riuh dan rasa-rasanya seperti kota ini menunjukkan nyawanya yang dipenuhi hiburan-hiburan dan impian yang tercapai. Namun nasib manusia-manusia yang mendiaminya – Tuhan Maha Mengetahui – tidaklah semua seirama dengan hembusan nafas perkotaan. Denyut jantung kota pada malam hari itu membuktikan hal tersebut. Seperti para pedagang kaki lima yang mengemasi dagangannya, pengemis yang tertidur di trotoar, pengamen yang duduk tetirah di halte bus. Denyut jantung kota di malam itu membawa manusia-manusia yang mendiaminya untuk kembali ke kesunyiannya masing-masing. Memeluk keterasingan dan kesepian seorang diri. Begitu juga kami. Hanya diri sendiri dan Tuhanlah yang mengetahui apa yang berkecamuk di alam pikiran masing-masing orang.

        Saat ini, bila kuingat lagi momen di Alun-alun itu, terbayang fragmen puisi Chairil Anwar. ‘Nasib adalah kesunyian masing-masing’, begitu bunyinya. Fragmen itu rasa-rasanya seperti mewakili setiap detil momentum yang hadir di Alun-alun pada masa lampau itu. Potongan puisi itu menggambarkan manusia, seorang individu seutuhnya: Sang Manusia ditakdirkan untuk memeluk kesunyian dalam kesendiriannya hingga liang lahat. Seperti aku dan dirinya, dua manusia yang jelas-jelas berjalan beriringan, namun -Tuhan Maha Mengetahui- bagaimana kesunyian yang tergurat dikeduanya tidak dimaksudkan untuk dibagi. Sunyi adalah perkara yang dimulai, diakhiri dan diterima oleh setiap bagian tubuh manusia, hingga bagian yang terkecil sekalipun. Dibawanya hingga liang lahat seorang diri. Bila telapak tangan itu membuka untuk menerima, maka telapak tangan itu pulalah yang akan menggenggamnya. Namun, seringkali Sang Manusia melepaskan genggamannya. Lari darinya. Manusia, begitu seseorang pernah berkata, tidak menginginkan kesunyiannya sendiri. Manusia ingin bersama dengan sesamanya dan menjadi sama. Melebur dalam kerumunan tanpa nyawa yang seringkali banal. Padahal, kesunyian itu membuatnya otentik.


Catatan tambahan:
Foto oleh Praga saat di Bromo dan editing foto oleh o))) ketika berada di Panoptikon.

Minggu, 31 Agustus 2008

September Puasa

September 2008 udah mulai puasa. Seperti kebiasaan di bulan puasa, ada hal-hal yang tidak pernah berubah. Setidaknya walaupun caranya beda-beda, tapi tetap aja kalo ngomongin substansi mah, gitu-gitu aja. Gampangnya, kita beralih ke acara-acara di televisi.

     Nah, emang paling rame kalo udah nyangkut paut televisi mah, pas puasa apalagi. Coba pas sahur nyalain teve. Ada yang teriak-teriak, ada yang ngakak. Subuh-subuh udah bikin heboh. Bikin ribut, menyebalkan. Emang gitu kecenderungan televisi, khususnya di bulan puasa. Tiba-tiba soleh dan solehah. Perempuan sundal jadi doyan umroh. Lelaki cabul ngabacot pentingnya kesabaran dan menjaga nafsu. Mengumbar kata-kata mutiara mengagungkan Tuhan. Sama aja. Hal yang tipikal. Udah banyak diangkat dimana-mana tentang persoalan kemunafikan di bulan puasa ini. Setidaknya ga usah diobrolin panjang lebar, karena orang-orang juga pasti ngerasa dan saya sendiri juga – minjam istilah dari Sahrul – udah ‘beak dengkak’ mikirinnya.

     Intinya mah, ya, gitu, media massa. Teve banyaknya mah. Seringkali beroperasi gimana keadaan. Kalo lagi ramenya ramadhan, ya, ramadhan diulas. Lagi rame judi, ya, judi diangkat. Keadaan yang rame juga, untuk beberapa hal, bikin fulus ngalir deras, soalnya. Walaupun, mereka bilang, media massa punya tujuan ideal, kaya kontrol sosial dan semacamnya. Tapi, ah, dijaman kaya gini mah, pemasukan ngalahin semuanya. Pasti demi kelangsungan hidup, kalo ngomongin alesan. Berapologi. Blah-blah-blah, kumaha didinya we lah. Saya mah rieut. Satu hal yang saya yakinin, kalo ngomongin pemupukan modal, jatoh-jatohnya sering jadi pragmatisme akut. Nantinya seringkali jadi kaya bondon: sama om-om hayu, bocah bau kencur juga labrak. Ga punya pendirian, yang penting mah bisa selamat. Ga rugi, kalo mau dipertegas.

     Solusi? Ada solusi yang kepikiran ma saya: revolusi. Berantas sistem kapitalisme sampe ke akar-akarnya. Ganti sama sistem yang lebih sehat, yang ngga make logika berpikir “seberapa banyak sesuatu bisa menghasilkan keuntungan dengan mupuk keuntungan sebanyak mungkin”. Segala kekacauan mulai dari diktator di Afrika sampe ga betulnya tayangan di teve mah kalo kata saya muaranya di sistem yang dominan sekarang da. Kapitalisme dan segala variannya. Sok we pikir ku sorangan. Saya mah rieut.

     Selain rame-rame di teve yang ga penting pisan, ada lagi rame dadakan lainnya, yaitu masjid ngedadak penuh. Pas waktunya tarawehan, tiba-tiba banyak orang nongkrong atau ga para pembantu bikin aliansi dan beberapa diantaranya berpretensi nyari jodoh. Ini udah pasti langganan, apalagi di daerah saya. tiba-tiba aja itu pembantu cewe jadi full bedak sama aksesoris. Padahal cuman ke mesjid.

     Anak muda laki-lakinya juga sama aja: ke mesjid bergerombol petantang-petenteng. Ngerasa paling ganteng di seantero kawasan. Apalagi, rumah saya termasuk genre komplek dan di komplek rumah saya, perempuan-perempuan lebih memilih mengurung diri di kamarnya yang nyaman daripada nongkrong di kios ga jelas. Kalaupun harus maen, perempuan-perempuan bohay itu lebih memilih maen diluar, di kafe ternama Kota Bandung, daripada di Kios Pak Iji. Padahal, Kios Pak Iji, Tuhan Maha Besar, menyediakan fasilitas-fasilitas yang sulit didapat sekarang: boleh kasbon. Nah, di bulan Puasa inilah, perempuan-perempuan bohay komplek itu berdatangan ke mesjid, bukan ke tempat dugem. Tarawehan. Udah pasti kucing kampung pada berdatangan nyium bau daging mentah yang tiba-tiba banyak pas tarawehan yang momennya cuman sebulan dalam setahun itu.

     Untuk rame-rame dadakan di mesjid, ga kan bertahan lama. Paling dua minggu. Masuk minggu ketiga udah sepi. Pada banyak dirumah orang-orang atau engga mudik. Yah, polanya gitu-gitu ajalah, pokoknya mah. Same old routine.

    Seperti yang sudah-sudah, saya juga jadinya akan menyambut puasa di Bulan September ini dengan hal-hal yang gitu-gitu aja. Tipikal dari taun ke taunnya. Di momentum puasa ini juga, seperti taun ke taunnya, saya mempunyai harapan. Harapan seperti apa? Entahlah, yang pasti harapan itu besar. Sebesar peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya tradisi puasa ini, yaitu makna pengorbanan. Katanya, makna akan memberi kita pegangan. Sedangkan, pengorbanan tentu bukan sesuatu yang seindah seperti yang diliat di film-film romantis. Ada sesuatu yang besar dengan pengorbanan dan, Tuhan Maha Tahu, itu bukanlah hal yang mudah untuk dipahami. Seperti rasa sesak, kehilangan, terkungkung, harus berbagi, musibah yang bahkan kau dan juga aku seringkali tidak ingin mendekatinya sejengkalpun. Ada kata sabar dalam pengorbanan yang sulit untuk dicerna.

     Untuk saat ini amunisinya mungkin cuman itu aja: hal yang sama dan monoton, kadangkala menjadi berbeda bila memaknakannya juga tidak dengan cara yang itu-itu aja. Make perspektif yang lain. Tapi, emang ada kendalanya juga kalo kaya gitu: ga kreatif sama pamalesan. Itu yang sering dirasain. Udahlah, mending burn in hell aja kalo gitu mah. Kebanyakan mikir (buat saya aja ini mah).

     Udahlah. Rieut. Sebagai penutup sekaligus menyambut bulan puasa di September 2008, mungkin bagus juga bila saya mengenang puasa di taun kemaren. Jadi, saya dan teman solat taraweh. Rakaat ke satu. Setelah membaca surat al fatihah, Imam membaca surat yang saya ga ngerti apa. Satu yang pasti: surat itu panjang. Sangat panjang. Di tengah pembacaan surat yang panjang itu, secara refleks dan spontan, saya dan teman saya saling menoleh, berpandangan dan ketawa ngakak.

     “Anjis, surat na panjang teuing!” saya ngeluh.

     “Heueuh, anjis, panjang pisan suratna!” temen saya setuju.

     Akhirnya kami berdua terdampar di Kios Pak Iji yang letaknya di samping mesjid. Ngerokok sambil ngalor-ngidul berdua diiringi ayat-ayat Quran yang dibacakan oleh Imam melalui speaker mesjid. Amin.



Selasa, 19 Agustus 2008

Pemuda Werther



“I am praying for the raging flood. I am waiting for you to come.”
-Waiting for You, CULT OF LUNA-
Ada pemuda ini, Werther. Seseorang yang diceritakan oleh sastrawan besar Jerman, yaitu Johann Wolfgang Goethe lewat novelnya berjudul Penderitaan Pemuda Werther. Werther ini adalah seseorang yang mempunyai cita rasa yang bagus terhadap alam dan seni. Itu bisa dilihat dari isi suratnya terhadap sahabatnya bernama Wilhelm. Dimana ia selalu menceritakan indahnya alam tempat dimana ia tinggal dan bagaimana dari kekaguman-kekaguman yang ia dapati itu kadangkala selalu dituangkan dalam bentuk lukisan. 

Sebelum dilanjutkan, perlu juga diketahui, bahwa Goethe menuliskan cerita ini dengan gaya yang disebut Briefroman (novel epistoler / roman bersurat). Briefroman merupakan bentuk cerita dengan gaya seperti dua orang yang sedang surat-menyurat. Keseluruhan dari cerita ini memang banyak mengisahkan tentang curahan-curahan hatinya Werther yang ditulis dalam bentuk surat kepada Wilhelm, sahabatnya itu.

Curahan-curahan hati Werther terutama selalu membicarakan tentang gadis ini, Lotte, yang dijumpainya dalam suatu pesta. Semenjak pertemuan pertama kali dengan Lotte di pesta itu, Werther menyadari bahwa ia telah jatuh cinta. Namun, cinta-nya itu termasuk ke dalam genre ‘terlarang’, karena Lotte sudah bertunangan dengan seseorang bernama Albert. Dalam suratmenyurat-nya dengan Wilhelm, Werther selalu berkeluhkesah tentang perasaan cintanya terhadap gadis ini yang begitu kuat menghantam hatinya dan bagaimana kesehariannya yang telah berubah semenjak itu.

Pertama kali membaca surat Werther, terasa bagaimana pemuda itu sangat menikmati pemandangan alam dan suasana kota tempat dimana ia tinggal. Hal itu bisa dibaca dari suratnya yang saya tuliskan kembali di bawah ini:

“ 12 Mei
Aku tak tahu apakah berbagai roh yang mengecohkan berkeliaran di sekitar tempat ini, atau khayalan langit yang mesra dalam hatiku, yang telah membuat segalanya di sekelilingku menjadi sedemikian surgawi. Tepat di depan kota ini ada sebuah sumur, sebuah sumur yang telah membelenggu diriku seperti Melusine dengan saudara-saudara perempuannya. – kauturuni sebuah bukit dan berada di sebuah gua, kemudian meniti sekitar dua puluh anak tangga, di sana kita dapat air terjenih keluar dari cadas marmer. Dinding kecil di atasnya merupakan bingkai, pohon-pohon tinggi yang meneduhi sekitarnya, kesejukan tempat itu, semuanya memiliki semacam daya rangsang dan mencekam….Kemudian datanglah gadis-gadis dari kota untuk mengambil air, suatu pekerjaan paling sederhana dan paling dibutuhkan yang dahulu dikerjakan sendiri oleh putri-putri raja. Jika aku duduk di sana maka bayangan kebapaanku bangkit begitu hidup di sekelilingku, kulihat bagaimana bapak-bapak itu berkenalan dan bercengkrama dan bagaimana roh-roh kebaikan melayang-layang di sekitar sumur itu. Oh, orang yang tak dapat turut merasakan ini, mereka tak pernah menikmati istirahat pada kesejukan sumur ini setelah berjalan-jalan yang melelahkan pada suatu musim panas.”

Werther begitu menikmati segala karunia yang terdapat pada alam dan bagaimana hari-harinya begitu dicerahkan oleh pemandangan-pemandangan alam yang menakjubkan itu. Tetapi setelah perjumpaan dengan Lotte dan mengetahui keadaan diri Werther sendiri dimana tidak memungkinkan untuk bisa bersama Lotte, maka isi suratnya pun menjadi gelap – menjurus putus asa. Hari-hari menjadi tidak berarti baginya. Kekosongan dan kehampaan kini yang mengganti hari-hari pemuda Werther. Keagungan alam yang sebelumnya ia puja-puja, pupus sudah kini keindahannya di mata Werther. Karena ia sendiri telah begitu dibutakan oleh cintanya yang menggebu-gebu terhadap gadis yang sudah bertunangan itu. Coba saja baca suratnya di bawah ini:

“ 30 Nopember
Aku tidak, aku tidak akan sembuh kembali! Kemana saja aku pergi selalu kutemui gejala yang membuatku tak dapat menahan diri. Hari ini! Oh, nasib! Oh, manusia!
Aku pergi ke sungai di siang hari, aku tak bernafsu makan. Segalanya gersang, angin malam yang dingin dan basah bertiup dari gunung, dan awan hujan yang kelabu bergerak ke arah lembah….”

Suram.

Tidak sanggup menahan beban penderitaan yang begitu berat karena mencintai seseorang, akhirnya pemuda Werther membunuh dirinya sendiri dengan senapan yang ia pinjam dari tunangan Lotte. Sebelum membunuh dirinya sendiri, Werther menulis surat yang ditujukan kepada Lotte dan tunangannya, Albert. Berikut isi surat tersebut:

“pistol ini sampai kepadaku melalui tanganmu (Lotte yang memberikan pistol ini kepada pelayan Werther - SILUMAN TULEN), engkau telah membersihkan debunya, aku menciumnya seribu kali, engkau telah menyentuhnya! Dan engkau, roh surga, memudahkan keputusanku! Dan engkau, Lotte, menyerahkan perkakas itu kepadaku. Engkau, dari tangannya aku menginginkan menerima kematianku, dan ah, sekarang aku menerimanya. Oh aku mengorek segala sesuatu dari pesuruhku. Engkau gemetar ketika menyerahkan pistol itu kepadanya, engkau tidak mengucapkan selamat tinggal! – Awas! Awas! Tak ada kata selamat jalan! – Dapatkah hatimu tertutup bagiku, demi saat-saat yang telah mengikatku kepadamu selama-lamanya? Lotte, seribu tahun tak akan dapat menghapus kesan! Dan aku rasakan itu, kau tak dapat membencinya, seseorang yang hatinya membara untukmu.”

****

Dari keseluruhan cerita, sebenarnya yang terjadi adalah salah tafsir yang terjadi di antara keduanya. Konon, bahasa pria dan wanita itu berbeda (Yeah, shit happens all the time, y’all useless fukk!). Lotte yang memang mempunyai karakteristik luwes dan mudah bergaul disalahtafsirkan oleh Werther yang menganggap bahwa perilaku Lotte itu sebagai isyarat untuk mengembangkan hubungan ke arah cinta (sounds familiar, anyone?). Selama ini Lotte masih menerima baik-baik pemuda Werther dengan harapan agar bisa menjadi sahabat. Tetapi tidak begitu halnya dengan Werther, ia masih tetap menggebu-gebu untuk bisa memiliki Lotte. Semakin keras Werther berusaha, semakin tegas pula penolakan Lotte terhadap tuntutannya itu. Akibatnya, semakin terbebani pula lah jiwa Werther. Apalagi kehidupan keseharian pemuda Werther ini juga menemui banyak kegagalan, misalnya ketidakcocokannya dengan atasannya yaitu sang Duta Besar yang berujung pada keluarnya Werther dari pekerjaannya. Pada akhirnya, rasa putus asa dan senapan mendominasi pikiran pemuda Werther. Bunuh diri yang dilakukan oleh Werther itu, seperti yang saya baca di kata pengantar novelnya, ditafsirkan sebagai perwujudan frustasinya dan juga sebagai ancaman kepada Lotte.

Ceritanya terdengar picisan, ya? Novel ini sebenarnya diilhami dari pengalaman Goethe sendiri. Pujangga yang dilahirkan pada 28 Agustus 1749 di Frankfurt am Main, Jerman, ini berkenalan dengan Charllote Buff, tunangan Johann Christian Kestner, di sebuah pesta dansa. Setelah perkenalan itu Goethe akrab dengan Charlotte Buff dan J.C. Kestner, namun dalam hati Goethe memendam rasa cinta juga pada ‘Neng Charllote ini. Karena merasa bakal ‘bangkar’ kalau terus-terusan memendam rasa yang teu pararuguh juntrungannana, maka Goethe meninggalkan kota Wetzlar setelah tinggal di sana sekitar empat bulan (Mei – September 1772).

Sebulan setelah kepergian Goethe dari Wetzlar ia mendengar berita bahwa salah seorang kenalannya di Wetzlar bernama Carl Wilhelm Jerusalem, bunuh diri. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Wetzlar ini akhirnya menjadi motif karya Goethe “Die Leiden des jungen Werthers” alias “Penderitaan Pemuda Werther” .

Novel Penderitaan Pemuda Werther ini digemari di Jerman sendiri. Setidaknya dari yang pernah saya baca, cara berpakaian Werther menjadi mode di kalangan remaja Jerman pada masa novel itu banyak dituruti orang pada zamannya. Dapat dikatakan juga bahwa di Eropa citra tentang kehidupan Goethe dan karya-karyanya itu dibentuk oleh “Die Leiden des jungen Werthers”. Karya ini merupakan karya penting Goethe pada masa muda Goethe sebagai sastrawan.

****

Ada perasaan yang menggelitik ketika membaca kelakuan pemuda Werther ini. Terutama setelah membaca salah satu suratnya yang ditujukan kepada Lotte. Salah satu surat yang sempat ditulis menjelang kematian Werther. Saya tidak bisa menahan senyum setiap kali membaca isinya. Berikut isi suratnya:

“semua telah berlalu; tapi tak ada keabadian akan menghilangkan kehidupan yang menyala-nyala, bahwasannya aku menikmati bibirmu kemarin (secara sengaja Werther mencium Lotte dan diikuti oleh Lotte yang marah dan meminta padanya untuk tidak menemuinya lagi - SILUMAN TULEN), yang kurasakan dalam diriku! Ia mencintaiku! Lengan ini dipeluknya, bibir ini gemetar pada bibirnya, mulut ini meronta-ronta pada bibirnya. Ia milikku! Kau adalah milikku! Ya, Lotte, selama-lamanya.
Dan apa itu, bahwa Albert adalah suamimu? Suami! Ini seakan hanya untuk dunia ini – dan untuk dosa dunia ini, bahwa aku mencintaimu, bahwa aku ingin merampasmu dari tangannya? Dosa? Baiklah, dan aku menghukum diriku untuk itu; aku boleh menikmatinya dalam keseluruhan kenikmatan surgawi, dosa ini, aku telah menyerap balur kehidupan dan tenaga dalam hatiku. Dari saat ini kau adalah miliku! Milikku, oh Lotte! aku mendahuluimu! Aku pergi menemui Bapaku, menemui Bapamu. Kepada-Nya aku akan mengadu, dan Ia akan menghiburku sampai engkau datang, dan aku akan terbang menyambutmu dan menangkapmu dan tinggal bersamamu di hadapan belas kasih yang tak terhingga dalam pelukan abadi.
Aku tidak bermimpi, aku tidak melamun! Dekat makam akan tampak lebih terang bagiku. Kita akan demikian! Kita akan bertemu lagi! Bertemu dengan ibumu! Aku akan bertemu dengan dia, kau akan menemukannya, ah dan di hadapannya aku akan mencurahkan seluruh isi hatiku! Ibumu, suri tauladanmu.”

Saya merasa (rarasaan hungkul ieu mah!) mencium aroma narsistik ketika baca isi surat di atas. Pemuda satu ini jatuh cinta dengan membawa karakter narsistik di dalamnya. Mungkin, biar ada kesamaan referensi, perlu juga dicantumkan tulisan dari Sawitri Supardi Sadarjoen tentang kepribadian narsistik. Menurutnya kepribadian narsistik adalah "mereka yang terpaku pada kepentingan diri dan dikuasai oleh fantasi akan kesuksesan diri serta kekuasaan yang diperoleh. Mereka juga menilai diri sebagai seseorang yang lebih daripada yang lain. Dalam relasi dengan lingkungan, mereka akan selalu menuntut orang lain memenuhi keinginannya walaupun lingkungan harus mengorbankan kebutuhannya."

Nah, saya lihat di sini, pemuda yang satu ini menganggap bahwa ia merasa Lotte mencintainya, terlebih-lebih sesudah Werther menciumnya. Werther merasa bahwa Lotte memiliki semacam ‘reaksi kimia’ persis sama seperti yang Werther rasakan padanya. Hehe, lucu. Udah jelas-jelas si Lotte ini merasa terganggu, sampai mengusir Werther pula. Menyuruh dia agar tidak perlu bertemu lagi. Tapi Werther bersikukuh bahwa setelah kejadian itu, Lotte mempunyai hasrat juga kepadanya. Belum cukup sampai disitu, si Werther ini juga punya fantasi yang berlebih terhadap si ‘Neng. Pemuda yang suka melukis ini mempunyai fantasi, bahwa Lotte ini adalah miliknya seorang. Lotte ini akan menjadi miliknya seorang, terlebih-lebih ketika Werther mati nanti. Ia mempunyai pikiran seperti itu, karena ia menganggap “aku mendahuluimu! Aku pergi menemui Bapaku, menemui Bapamu. Kepada-Nya aku akan mengadu, dan Ia akan menghiburku sampai engkau datang, dan aku akan terbang menyambutmu dan menangkapmu dan tinggal bersamamu di hadapan belas kasih yang tak terhingga dalam pelukan abadi”. Tukang lukis ini begitu terobsesi dengan Lotte. Ia menganggap di akhirat nanti akan dipertemukan dengan Lotte oleh Tuhannya. Ya, tentu, kau mati bunuh diri-kau masuk surga-dan kau minta sama Tuhanmu itu untuk dipertemukan dengan kecengan-kecengan kamu semasa masih hidup dulu…enak juga.

Kata Sawitri, kepribadian narsistik ditandai juga dengan “kecenderungan untuk mengeksploitasi lingkungan demi menambah kekuasaannya sangat besar, mereka arogan sekaligus merendahkan lingkungannya”. Nah, sekarang kita lihat bagaimana anggapan Werther terhadap Albert, tunangan yang kemudian menjadi suaminya Lotte. Coba lihat lagi bagaimana Werther ini memandang suaminya Lotte. Perhatikan penekanan pada kata-kata yang ia gunakan dan emosi yang terkadung di dalam kata-kata tersebut. Pemuda yang suka liat-liat pemandangan alam ini menganggap status Albert sebagai ‘suami’ si ‘Neng itu hanya berlaku di dunia saja. Sedangkan di akhirat tidak berlaku itu status. Karena apa? Karena di akhirat hanya Werther lah yang ‘sah’ memiliki itu si ‘Neng yang cantik dan bageur. Toh, Werther yakin (dalam benaknya saja) bahwa Tuhan telah mengatur segalanya bagi dia untuk dipertemukan dengan si geulis sholehah Lotte ini. Sekarang lengkap sudah, arogansi, khayalan yang keluar dari kontrol, fantasi berlebih, frustrasi dan senapan hasil pinjaman, semua numpuk di benak Werther. Kelanjutannya, tinggal bagian eksekusi aja si pelukis itu maunya kaya gimana. Cepat tanpa rasa sakit atau kebalikannya. Heu, jadinya ngerepotin orang lain ini mah.

Ah, lama kelamaan, pusing juga mikirin orang. Namanya orang yang lagi jatuh cinta. Cocok juga peribahasa jaman melayu kuno dulu buat ngegambarin situasinya: “tai kucing berasa coklat toblerone!”. Hehe. Si sayah jadi bertanya-tanya…jadi yang narsis siapa? Werther atau pengarangnya?

Ah, sudahlah. Sebagai penutup, cuman pengen ngomong ini aja…jadi, kalau ada orang yang datang ke saya dan mengatakan, bahwa kisah Werther ini adalah kisah cinta yang romantis. Maka saya akan mengatakan kepada orang itu bahwa kisah tersebut adalah kisah cinta narsistik yang pernah saya baca selama hidup saya.


Catatan Kecil:
Buat Bung Kono yang sudah meminjamkan buku Penderitaan Pemuda Werther: Buku bagus, No, terima kasih.