Tampilkan postingan dengan label visual. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label visual. Tampilkan semua postingan

Minggu, 27 November 2011

Let Me In

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Horror
Setidaknya ada dua hikmah yang bisa dipetik dari film ini:

Pertama, bila dilingkungan kamu ada tetangga yang baru pindah, dan kebetulan si tetangga baru itu ternyata adalah cowok/cewek yang cantik atau ganteng, kamu jangan buru-buru bernapsu pengen kenalan atau nyantronin rumahnya. Setidaknya cek dulu latar belakangnya: siapakah gerangan? Sebelumnya tinggal dimanakah gerangan? Bagaimana silsilah keluarga besarnya? Apakah sang gerangan itu punya kasus atau engga sama aparat keamanan? Setelah kamu cek-ricek latarbelakangnya, dan ternyata latarbelakangnya itu bersih, maka kamu bolehlah menjalin hubungan dengan tetangga baru itu. Kalau tidak, lebih baik kamu menghindar dari si gerangan, atau kalau perlu, lapor aparat keamanan. Bilang ada yang mencurigakan dari si gerangan. Ini penting, karena siapa tau tetangga baru itu adalah seorang vampir penghisap darah yang tak pernah puas, danjuga sudah membunuh begitu banyak manusia, sehingga membuatnya harus sering pindah rumah agar tidak diketahui oleh aparat keamanan.

Kedua, jangan pernah menjalin hubungan asmara dengan vampir. Ini juga tak kalah penting. Ibaratnya, menjalin hubungan asmara dengan sesama manusia saja seringkali sudah menyita banyak hal, mulai dari waktu, tenaga, pikiran, mental, uang, dsb, dsb. Begitu banyak yang harus disita dari hubungan asmara sesama spesies. Nah, apalagi kalau menjalin hubungan asmara dengan vampir. Tidak saja waktu, tenaga, pikiran, mental, uang, dan sebagainya yang tersita, tapi juga nyawa, dan darah kamu sendiri yang bisa ilang gara-gara alasan ‘for the love of…’ yang absurd itu. Udahlah. Pasangan yang terbaik bagi kita memang berasal dari spesies sendiri. Biarpun vampir bisa hidup selamanya (bayangin kalau vampir itu adalah cewek berumur 19 yang masih perawan, itu artinya seumur hidup dia bakal terus perawan dan berumur 19. hihihi), dan juga bisa terbang, tapi vampir ga bisa keluar siang hari, dan vampir hanya senang darah sebagai sumber makanan dan minumannya. Itu artinya, kamu ga bisa pacaran siang hari sambil nyobain makanan dan minuman terenak yang ada di kota kamu. Kamu pengen kencan sambil makan cuanki, tapi pacar kamu yang vampir itu cuman pengen darah manusia. Kamu pengen kencan sambil minum bandrek, tapi pacar kamu yang vampir itu cuman pengen darah manusia. Ah, ribet.

Tapi…kalau kamu memang sudah terlanjur menjalin hubungan asmara sama vampir, mungkin kamu bisa nonton film ini. Lumayan buat sesi grup terapi ala alkohol anonymous itu. Semacam bercerminlah dari film.

Let Me In ini bercerita tentang seorang bocah penyendiri bernama Owen yang selalu di bully sama teman-teman di sekolahnya. Suatu hari, Owen tiba-tiba kedatangan tetangga baru. Nah, tetangga barunya ini ada dua orang. Yang satu adalah laki-laki tua, yang satunya lagi perempuan yang seumuran dengan Owen. Perempuan ini ternyata cantik gitu. Nah, lama-kelamaan si Owen mulai akrab sama si perempuan bernama Abby ini. Hubungan yang akrab itu teruslah berlanjut ke hubungan yang lebih ‘emo’ a.k.a. emosional, nyerempet-nyerempet asmara, hingga akhirnya berpacaranlah mereka berdua ini.

Tetapi, oh, tetapi, ternyata ada ternyatanya…setelah menjalin hubungan asmara dengan Abby, Owen ternyata menemukan rahasia yang amit-amit dari diri Abby, yaitu si Abby ini ternyata vampir dan pelaku dari serentetan pembunuhan sadis yang terjadi di kota Owen. Dari situlah muncul semacam pertentangan batin dalam diri Owen. Pertentangan batin ala coretan di bak truk pasir itu: pulang malu tak pulang rindu. Seperti itu lah. Owen jadi bingung dan perasaannya campur aduk: antara benci tapi sayang, takut tapi kasihan, pengen diputusin tapi terlanjur sayang, dsb, dsb.

Di sisi lain, keberadaan Abby ini perlahan-lahan terendus oleh seorang detektif (ini tokoh favorit saya) yang amat yakin, bahwa serentetan pembunuhan di Los Alamos, New Mexico, itu adalah ulahnya sekelompok satanists kvlt a.k.a. pemuja setan.

Ini film kalau kata saya unik sih, dan cukup keren. Isi ceritanya yang bikin unik, nyampurin antara drama, thriller, gore, dan horor. Bisa dibilang eklektiklah. Tapi di sisi lain, film ini juga ga ngilangin elemen-elemen tradisional vampir: seperti ga bisa keluar siang, atau kalau mau masuk ke rumah orang harus diundang dulu baru dia bisa masuk (ini yang jarang dimasukin ke film-film vampir).

Cukup kerenlah.

Minggu, 09 Oktober 2011

The Dead

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Cult
Sebagian besar film zombie selalu mengambil latar belakang sebuah perkotaan. Biasanya, dalam latar belakang ruang perkotaan seperti itu, "pandangan" seolah-olah "disempitkan". Maksudnya, Kamu hanya akan melihat sekelompok orang bertahan atau bergerak dalam sebuah ruang yang sudah bisa diprediksi: jalan raya (Zombieland, Resident Evil) atau bersembunyi di dalam gedung (Shaun of the Dead, Dawn of the Dead, dan banyak lagi).

Tetapi bagaimana bila sebuah film Zombie mengambil latar belakang suatu tempat yang kita kenal sebagai tempat yang luas, seperti padang pasir di Afrika, dimana tidak ada jalan raya, gedung, ataupun fasilitas-fasilitas lainnya yang bisa dipakai sebagai tempat untuk bersembunyi atau sekadar membuat pertahanan untuk menghalau serangan zombie? Bagaimana bila daratan dan padang pasir yang gersang, dan luas seperti afrika dipenuhi oleh zombie? Di sinilah keunikan film The Dead arahan Howard J. Ford. Kamu pikir dengan leganya daratan seperti Afrika, kamu bisa berlarian ke sana-kemari dengan leluasa dan memiliki pandangan yang luas juga tentang keberadaan zombie. Kamu salah. Zombie tetaplah zombie. Dimanapun mereka ditempatkan, mereka menggigit.

Selasa, 06 September 2011

Enter The Void

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Cult
“[..] it's the story of someone who is stoned when he gets shot and who has an intonation of his own dream.” –Gaspar Noe, sutradara Enter the Void-

Oscar adalah semacam pedestrian di Jepang yang berasal dari Amerika. Sehari-harinya Oscar menjual narkoba untuk menopang kehidupan di negeri matahari terbit itu. Suatu saat teman Oscar yang juga tinggal di Jepang, yakni Victor, ingin membeli narkoba darinya. Lalu bertemulah mereka di suatu bar kecil di Tokyo. Namun tak disangka, pertemuan itu ternyata adalah jebakan. Tiba-tiba saja polisi berhamburan masuk ke dalam bar. Rupanya Victor menjadi informan bagi pihak kepolisian Jepang.

Panik mengetahui dirinya dijebak, Oscar lantas berlari ke arah toilet untuk membuang narkoba di kloset. Berharap bisa menghilangkan barang bukti. Namun upaya menghilangkan barang bukti itu ternyata gagal, karena Oscar keburu ditembak di dalam toilet tersebut oleh polisi yang berusaha untuk menangkapnya.

Adegan penembakan Oscar di sebuah toilet bar kecil bernama “The Void” itu menjadi titik awal dimulainya film Enter the Void ini. Tema besar film ini memang berusaha untuk menggambarkan mengenai pengalaman seseorang ketika jiwanya lepas dari tubuh dan mulai bergentayangan. Selama hampir lebih dua jam setengah (!), kita akan disuguhi oleh visualisasi mengenai bagaimana ‘arwah’ Oscar ini gentayangan.

Mula-mula, setelah Oscar ditembak dan arwahnya mulai bergentayangan, kita akan dibawa mengembara ke potongan-potongan masa kecil Oscar. Kemudian pengembaraan arwah Oscar berlanjut dengan menggentayangi orang-orang terdekatnya. Maksud ‘menggentayangi orang-orang terdekat’ ini sebenarnya lebih kepada upaya penggambaran tentang bagaimana kematian Oscar memberi dampak terhadap orang-orang terdekatnya.

Di film ini kita akan melihat bagaimana kehidupan Linda, adik perempuan Oscar, yang hancur, karena di tinggalkan keluarga satu-satunya itu. Apalagi Linda hidup di negeri yang jauh dari negeri asalnya. Lalu kita juga akan melihat bagaimana sobat karib Oscar, Alex, yang juga ikut terkena imbas akibat kematian Oscar. Dia terpaksa harus sembunyi dan menghindari kejaran polisi Jepang, karena hubungannya antara Oscar dengan pemasok narkoba utama di Jepang. Semuanya dilihat dari kacamata orang-pertama ---dalam film ini, artinya dari sudut pandang Oscar sebagai arwah gentayangan.

***
Saya pikir setidaknya terdapat empat poin yang membuat film ini menarik. Keempat poin itu adalah kematian, psikedelik, narkoba, dan seks. Di sini saya akan mencoba menjabarkan mengenai empat poin tersebut.

Untuk poin pertama, kematian. Oke. Inilah rahasia umum umat manusia yang masih mengandung misteri (setidaknya buat mereka yang masih hidup). Dikarenakan misterinya, telah banyak orang yang berbuat sesuatu kepada kematian ini. Mulai dari mencoba menjelaskannya, hingga tergerakkan oleh nya. Tetapi, karena sebenarnya ‘sesuatu’ setelah kematian merupakan hal yang asing bagi kehidupan, maka manusia tentunya tidak dapat berbuat melebihi bayangannya sendiri. Dengan lain perkataan, imajinasi menjadi sesuatu hal yang penting di sini. Imajinasi dapat bergerak liar tanpa terkungkung bayangannya sendiri. Oleh sebab itulah, menjadi menarik melihat bagaimana imajinasi seseorang mengenai kematian divisualisasikan. Setidaknya kita bisa mengetahui ‘versi’ kematian seperti apakah yang diyakini seseorang itu. Mungkin setelah melihat film Enter the Void sampai habis, kamu bisa mendapatkan bayangan seperti apa konsep kematian yang divisualisasikan dalam film ini.

Poin kedua, psikedelik. Hoho, ok. Sebut saya jadul, tapi saya senang aroma tahun 60-70an. Terutama segala hal berbau psikadelik, mulai dari subkulturnya, fashionnya, musiknya, bahkan hingga rambut afro ala Gil Scott Heron saya ambil semua. Termasuk ‘warna’ yang bercirikan psikadelik (campuran warna-warna cerah yang seringkali bergerak secara spiral). Nah, dalam film Enter the Void ini kita akan disuguhkan oleh tatanan-tatanan warna psikadelik yang indah seperti itu. Bersamaan dengan arwah Oscar melayang dari satu tempat ke tempat lainnya, seringkali kali kita akan diselingi oleh gambaran-gambaran (mungkin metafora alam kematian) berbentuk absurd yang berwarnakan psikadelik. Gambaran-gambaran itu berputar-putar dan bertransformasi, sehingga komposisi warna di dalamnya pun turut terbentuk sedemikian rupa. Cukup menyenangkan melihatnya. Hal ini, warna-warna psikadelik ini, juga akan membawa kita pada poin ketiga, yakni narkoba.

Yup, narkoba. Satu hal yang membuat dunia ini menjadi sedikit woles dan penuh hiburan. Bila narkoba disebut di sini, itu berarti maksudnya adalah semacam ‘rokok herbal’. Bukan narkoba semacam etep, heroin, atau apa lah yang berbau kimia dan diinjeksi kedalam darah sendiri. Narkoba di sini maksudnya adalah segala hal yang bersifat halusinogen, entah itu rokok herbal atau mushroom.

Oke, lalu apa hubungannya ‘rokok herbal’ sebagai narkoba dengan film Enter the Void? Jawabannya juga simpel; dengan menghisap ‘rokok herbal’ sambil nonton Enter the Void akan membuat kamu stoned dengan sangat woles! Melihat bagaimana gambar, warna, hingga sudut pandang kamera yang bergerak liar ---nih, saya kasih tau --- akan membuat halusinasi kamu (sebagai dampak asap ‘rokok herbal’) juga bergerak lincah dan liar. Coba saja, ketika nonton film ini, lampu kamar kamu matikan, sehingga cahaya satu-satunya hanyalah berasal dari layar tivi dan api ‘rokok herbal’. Biarkan cahaya dan visual dari film Enter the Void mendominasi penerangan di kamar kamu yang sempit itu. Lalu kamu bakar itu beberapa linting ‘rokok herbal’, dan rasakan efek ‘pengembaraan-asap-herbal-karunia-alam’-nya. Saya pikir hal seperti itu seharusnya menjadi tripping yang sangat ‘psikedelik’. Yo man…

Nah, poin terakhir yang membuat film ini menarik: seks. Anjis, adegan seksnya lumayan banyak. Apalagi adegan perempuan telanjang...beuh. Cocoklah. Teknik flying-camera, warna-warni psikadelik kota Tokyo, gambar-gambar absurd, narkoba, get stoned, seks, perempuan telanjang…it’s a hell of a trip.

PS: oya, film ini durasinya minta ampun panjangnya. Sekitar dua jam setengah. Jadi…tontonlah dengan woles :)


Sabtu, 31 Juli 2010

Agora

Rating:★★★★
Category:Movies
Genre: Other
Ini film serius. Mengambil seting di tanah kerajaan Romawi Kuno bernama Alexandria pada abad ke empat masehi. Pada saat itu transformasi sosial sedang berkecamuk, seiring mulai bangkitnya ajaran kristen di Alexandria. Antagonisme dan konflik bermunculan dengan beragam bentuk. Mulai dari pertentangan teologis antara penganut ajaran kristen dan rasionalisme pagan/ateis. Hingga rekonfigurasi politik kerajaan dan agama (pengkooptasian agama kristen sebagai agama resmi kerajaan, untuk tujuan mempertahankan hegemoni kerajaan).

Di tengah transformasi sosial itu, adalah Hypathia yang menjadi sentral di film garapan Alejandro Amenabar ini. Hypathia (diperankan oleh Rachel Weisz) adalah seorang filsuf perempuan yang sedang berkutat dengan permasalahan astronomi dan matematika. Seumur hidupnya, filsuf pagan/ateis itu mencoba memecahkan masalah krusial dan fundamental pada masanya: kenapa semua benda jatuh ke tanah seolah-olah bumi itu sendiri adalah pusat? ada apa dengan bumi? bagaimana bumi ini bergerak? Bagaimana posisi bumi dan bintang (matahari) sesungguhnya?

Anjing. Keren banget deh kamu Hypathia. Udah cakep, filsuf pula.

Dalam film ini, Hypathia ibaratnya semacam titik sentral mengenai bagaimana semua tokoh yang ada dalam film ini pada akhirnya mengarah kepada dirinya.

Seperti seorang budak Hypathia, Davus (Max Minghella), yang diam-diam menyukai filsuf pagan/ateis itu. Namun dia tidak bisa menyatakan cinta, karena struktur sosial yang ada pada saat itu membuat dirinya merasa tidak mungkin untuk menyatakan cinta (pembagian kelas semacam budak, tuan tanah, raja, dll). Pada akhirnya, dia memilih untuk memeluk ajaran kristen, karena agama yang baru itu ternyata akomodatif terhadap mereka yang berasal dari strata budak. Namun justru, hal itu lah yang membuat problema Davus menjadi pelik. Davus masuk kedalam agama kristen berdasarkan amarah atas keadaan dirinya yang tidak bisa meraih cinta Hypathia. Hal itu kemudian membuat dirinya berada dalam akhir yang tragis.

Tokoh yang lain, Orestes. Gubernur kerajaan Romawi untuk wilayah Alexandria. Pada awalnya, Orestes ini adalah murid Hypathia. Sama seperti Davus, dia juga menyukai filsuf itu. Tetapi tidak sama seperti Davus, setidaknya Orestes masih bisa menyatakan cintanya kepada Hypathia, karena strata sosial dia yang bukan budak. Walaupun pernyataan cinta itu ditolak oleh Hypathia.

Dalam film ini, Orestes mewakili sosok pragmatis ala politisi negara. Setidaknya bila melihat sikapnya tentang ajaran Kristen. Pada awalnya, Orestes sama seperti Hypathia: sama-sama seorang pagan/ateis. Namun, karena perintah kerajaan Romawi pusat yang menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara, konsekuensinya, setiap aparatus kerajaan Romawi adalah seorang pemeluk kristen. Ini berarti, Orestes yang menjabat sebagai gubernur Alexandria juga otomatis adalah seorang pemeluk kristen. Dan Orestes pun pada akhirnya memang mengakui bahwa dia adalah seorang kristiani.

Tetapi, sikap pragmatisnya itu pada akhirnya membawa masalah juga, ketika Uskup Alexandria, Cyril (Sami Samir), mengeluarkan semacam 'fatwa' mengenai aturan-aturan perempuan dalam bersikap. Sialnya, aturan-aturan mengenai perempuan dalam fatwa tersebut cocok sekali diterapkan kepada Hypathia. Dia merupakan contoh sempurna mengenai bagaimana perempuan itu adalah 'penyihir' dan 'terkutuk' bila merunut pada fatwa uskup Alexandria: Hypathia bersuara lantang, mempercayai filsafat daripada tuhan, dan mengajar para pria mengenai filsafat ketimbang sebaliknya. Dengan begitu, Hypathia harus dihukum mati.

Disinilah terjadi pertentangan batin dalam diri Orestes. Sebagai aturan baru yang langsung datang dari Tuhan, segenap kerajaan Romawi yang mengakui ajaran kristen sebagai agama resmi harus menyetujui fatwa tersebut dan menjalankan perintahNya. Tetapi, Orestes, sebagai seorang manusia, mengalami krisis kepercayaan. Pada siapakah dia harus percaya: Tuhan Yesus, Uskup Cyril, Kerajaan Romawi, atau filsuf pagan/ateis Hypathia yang dia cintai? Sedangkan, sebagai gubernur, nasib kota Alexandria berada di tangannya.


Anjeeenggg, ini film keren.

Bila kamu tertarik kehidupan kuno, ini film wajib ditonton. Kamu bisa mendapatkan gambaran kisah-kisah mengenai bagaimana filsuf mempertanyakan esensi hidup, bagaimana para pewarta injil menyebarkan sabda Tuhan Yesus di alun-alun kota, bagaimana para pengikut kristiani menghancurkan patung berhala (seperti yang selalu diceritakan di kitab suci agama semitis). Gambaran mengenai kisah-kisah yang sering kamu baca di buku sejarah atau kitab suci-kitab suci agama semitis tentang kehidupan kuno setidaknya menjadi hidup di fim ini.Semuanya dihadirkan lengkap dengan setting suasana kuno kerajaan Romawi.

Belum lagi, suasana konflik antara mereka; kaum pagan/ateis yang memiliki hasrat pada ilmu pengetahuan, dan kepercayaan teologi kaum kristen. Membuat film ini semakin menarik untuk ditonton. Isu-isu yang diangkat dalam film ini, salah satunya seperti fundamentalisme dan jender, ternyata masih relevan dengan situasi yang ada sekarang.

Konon, untuk membuat film ini, pihak produser mempekerjakan seorang sejarawan spesialis Romawi Kuno, yakni Justin Pollard, sebagai penasihat mengenai hal-hal yang terkait detail sejarah untuk kepentingan akurasi film. Pollard juga adalah penulis buku the Rise and Fall of Alexandria.

Oya, mengenai arti Agora itu sendiri. Agora adalah sebuah tempat berkumpul atau forum. Bila dijaman sekarang mungkin bisa disebut sebagai ruang DPR lah. Tempat berkumpulnya wakil-wakil rakyat yang terhormat, ceunah.

Jumat, 04 September 2009

Iron Man

Rating:★★★
Category:Movies
Genre: Education
Artefak dari sebuah kebudayaan tercipta diatas penghisapan dan penindasan terhadap mereka yang tidak memiliki akses terhadap alat produksi: perbudakan atas mereka yang tidak memiliki apapun, kecuali tenaga yang terdapat dalam tubuh mereka sendiri. Selama masih ada manusia yang tidak memiliki akses terhadap alat produksi, tentu akan selalu ada ketergantungan kepada mereka yang memiliki akses lebih terhadap alat produksi. Dampaknya bagi kaum yang ‘memiliki akses’ itu sudah tentu adalah kekuasaan: kekuasaan terhadap alat produksinya sendiri, dan terhadap manusia lain yang tidak mempunyai apapun. Disinilah, dan diatas semua itu, kaum yang berlebih bisa melakukan apapun dengan waktu luang yang dimiliki oleh mereka, termasuk membuat sebuah artefak kebudayaan bertingkat tinggi.

Piramid yang ribuan tahun berdiri kokoh di Mesir sudah dipastikan bukan dikerjakan oleh Firaun seorang. Gurun pasir yang eksis ribuan tahun di sekitar piramid menjadi saksi, bagaimana ribuan orang yang harus menghamba kepada Firaun, karena tidak memiliki apapun, siang-malam menumpuk batu demi batu dibawah deraan cambuk. Bila Firaun seandainya hanya rakyat jelata, seperti mereka yang siang-malam menumpuk batu, tentu tidak akan berpikir untuk membuat piramid yang tidak memiliki korelasi langsung terhadap kehidupan sehari-harinya yang disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan hidup yang tidak gampang. Lebih baik menggembala domba agar bisa makan, daripada membuat piramida bodoh yang tidak bisa menciptakan sesuatu untuk dimakan. Dan dunia kenyataannya dibangun dengan tidak membuat semua orang senang: ada Firaun yang memiliki kekuasaan besar, dan ada mereka, ribuan orang yang tidak memiliki apapun, kecuali tenaga didalam tubuhnya sendiri.

Tony Stark, seorang pemimpin Stark Industries di film Iron Man ini, dalam beberapa hal mirip seperti Firaun. Walaupun, tidak sevulgar seperti Firaun di jamannya sendiri tentunya. Di jaman dimana Tony Stark hidup, tidak ada yang namanya perbudakan, karena perbudakan itu sendiri memang menjadi barang kuno. Mengesankan produk yang hanya ada dalam fase manusia primitif. Di masa dimana Tony Stark hidup, dunia hanya mengenal sebuah pola proses pertukaran komoditi yang tidak sekadar memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga akumulasi kapital.

Mereka yang memiliki uang, memasuki pasar untuk membeli semua alat produksi yang diperlukan agar sebuah komoditi bisa dibuat dan dijual kembali dengan harga yang lebih dari uang yang telah dikeluarkan untuk bahan produksi di pasar pertama kalinya. Di sini, yang berlaku bukanlah penghambaan seperti Firaun, tetapi kepemilikan. Siapa yang memiliki akses terhadap bahan produksi, maka mereka bisa memiliki semua bahan produksi, termasuk tenaga-kerja sebagai bahan produksi. Dan kepemilikan tersebut tentu saja bukan perbudakan. Tentu saja mereka bilang bukan, karena dibawah segalanya, mereka berkilah semata-mata tindakannya itu legal dibawah payung yang menggerakan aktivitas pasar bernama jual-beli. Di dalam pasar, tentu saja, yang bermain bukanlah ‘tuan yang berhadapan dengan budaknya’, tetapi semata-mata hanya pembeli yang bertransaksi dengan penjual. Aku yang ingin jualan sepatu, memiliki uang untuk membeli bahan mentah sepatu dan mereka yang memiliki keahlian membuat sepatu. Aku yang ingin jualan sepatu, menemukan bahan mentah sepatu dijual di pasar dan kumembelinya. Aku yang ingin jualan sepatu, menemukan ada orang yang memiliki keahlian sepatu, menjual keahliannya kepadaku di pasar dan kumembelinya. Sesimpel itu.

Aku yang ingin jualan sepatu, tentu saja tidak hanya ingin jualan sepatu. Tetapi aku juga ingin uang yang kutanamkan pada bahan mentah sepatu dan tenaga kerja ahli membuat sepatu itu kembali lagi dengan dibarengi keuntungan berlipat bersamanya. Dan proses pertukaran komoditi kapital seperti ini bukanlah sebuah proses yang akan menemukan titik akhir, dia akan terus melipatgandakan dirinya semaksimum mungkin. Uang yang beredar di pasar tentu tidak akan habis dikonsumsi, seperti pemakaian sepatu yang dalam beberapa tahun kemudian engkau yang memakainya akan merengek ke orang tua mu untuk dibelikan lagi sepatu yang baru. Uang akan terus beredar dipasaran dan melipatgandakan dirinya selama dalam proses produksi sepatu, aku yang memiliki uang dan ingin jualan sepatu memanfaatkan ribuan tenaga ahli sepatu agar bisa mendatangkan keuntungan bagi diriku. Seorang yang ingin jualan sepatu.


Hidup Glamour Sang Milyuner Tony Stark

Saat uang yang beredar dipasaran terus melipatgandakan dirinya, sudah tentu orang yang pertama kali memiliki uang tersebut dan melemparkannya ke pasaran adalah yang paling diuntungkan. Dengan begitu, tentu saja kekayaan adalah hal pertama yang akan dimilikinya. Dengan kekayaan, dia dapat melakukan apapun yang dia mau. Maka kita bisa melihat kenapa bisa muncul orang seperti Tony Stark di film Iron Man ini. Seorang milyuner muda nan cerdas yang dikagumi banyak orang.

Dengan kekayaannya yang berlipat, dia memilih judi di sebuah kasino elit, ketimbang menghadiri acara penghargaan yang menurutnya membosankan itu. Banyak pilihan terbuka lebar bagi dirinya. Dengan kekayaannya yang berlipat itu, tentu saja perusahaan yang dipimpinnya, Stark Industries, memiliki akses pula untuk memiliki perangkat keras yang menjadi bahan mentah senjata, dan terhadap teknologi perangkat lunak yang memungkinkan pengembangan teknologi yang terus-menerus.

Dan ketika kekayaan Tony Stark sudah begitu berlipatnya, tentu saja Tony dengan Stark Industriesnya dapat melenggang kemanapun: dari sekadar bermain-main dengan perempuan, membuka bisnis baru di bidang pertanian yang dananya disokong penuh oleh industri senjata beratnya, bertindak mulia dengan mendirikan badan-badan amal, hingga waktu luang yang memungkinkan Tony Stark dapat membuat robot perang bodoh yang bisa terbang menembus atmosfer bumi.

Belum lagi bila ada pesanan senjata dari Afghanistan, karena Taliban semakin menyebalkan, sudah tentu uang yang mengalir ke kantongnya lebih deras lagi. Itulah Tony Stark, sang milyuner yang jadi panutan.

Tetapi, tentu saja semenjak Tony Stark yang menjadi tokoh utama film Iron Man ini, ribuan orang yang bekerja untuknya di pabrik senjata Stark Industries tidak akan disorot. Lagipula, apa menariknya memfilmkan orang-orang menjemukan yang kerjaannya tiap hari memasang baut dan mur ke dalam senjata selama delapan jam (atau bila Stark Industries punya pabrik di Tangerang, memasang baut dan mur itu bisa sampai 14 jam)? Tentu saja tidak akan menarik. Hidup orang-orang yang bekerja di dalam pabrik Stark Industries tidak akan sedinamis para pemegang saham, seperti Tony Stark yang bisa terbang ke daerah Timur Tengah dengan robot bodohnya itu untuk menghancurkan teroris yang mengganggu kepentingan ekspansi bisnis Stark Industries. Tidak akan ada pesta semeriah dan semulia pestanya kaum filantropis yang bisa dihadiri oleh Stark sebagai seorang milyuner yang memimpin Stark Industries. Ribuan pekerja Stark Industries itu tentu saja tidak memiliki kehidupan semenarik seperti CEO-nya. Dan memfilmkan ribuan pekerja Stark Industries ke dalam film Iron Man juga tentu merupakan pemborosan dana dan buang-buang waktu saja.

Tetapi, walaupun pekerja pabrik Stark Industries itu tidak akan bisa masuk dalam film Iron Man ini, minimal mereka dapat menontonnya di bioskop bersama keluarga di akhir pekan. Teknologi canggih yang diperagakan dan betapa glamornya seorang Tony Stark di film ini menjadi salah satu tontotan yang bisa dinikmati di waktu senggang setelah sibuk seharian bekerja. Selain dinikmati, tentu saja melihat film ini bisa membuat kita berkhayal…seperti saya yang akhir-akhir ini menghayalkan seandainya Gwyneth Paltrow bisa saya bawa ke Tasikmalaya pas lebaran nanti untuk dikenalkan kepada keluarga besar di sana. “Kenalin, bapak-bapak-ibu-ibu, calon….”