Selasa, 19 Mei 2020

Catatan tentang Contagion: Perkara Kepercayaan Kepada Pakar dan Sains (Bagian 2-Rebes Bos)


 
I

Ini sebenarnya bermula dari rasa penasaran saja setelah menonton film Contagion. Penasaran kira-kira apa yang ada dalam benak pembuatnya ketika mengetahui bila dunia saat ini berjalan sangat mirip dengan apa yang mereka buat delapan tahun lalu. Petikan wawancara Michelle L.. Norris dengan penulis naskah Contagion, Scott Z. Burns, akhirnya kutemukan di laman daring the Washington Post

Ada satu topik wawancara yang menarik di laman itu, yakni terkait kepercayaan terhadap otoritas pakar dan sains dalam membuat film. Awalnya Scott bercerita kepada Michelle tentang rasa penasarannya mengenai transmisi virus flu burung. Ia penasaran mengenai kemungkinan jika transmisi virus dari binatang ke manusia seperti halnya dalam flu burung bisa berubah menjadi transmisi antar manusia. Ia berandai-andai mengenai dampaknya jika transmisi virus antar manusia itu terjadi di tengah mobilitas manusia yang sangat tinggi pada saat ini. “Saya penasaran mengenai apa yang akan terjadi di dunia dimana orang-orang sudah jamak bepergian antar kota, dimana orang kini bisa bekerja satu minggu di London dan satu minggu lainnya di New York. Saya penasaran bagaimana gaya hidup tersebut memberikan peluang bagi suatu virus untuk menemukan pijakannya,” kata dia.

Ia kemudian bertanya mengenai kepenasarannya itu kepada pakar epidemiologi, Larry Brilliant. Scott menyampaikan alasannya mengapa ia sampai harus bertanya kepada Larry. “Supaya film saya memiliki dasar yang kokoh dan tidak keluar dari batasan yang dimungkinkan oleh sains,” tuturnya.

Jawaban Larry sendiri kepada Scott cukup merinding-merinding sedap, setidaknya bila membayangkan percakapan yang terjadi antara keduanya yang mungkin saja lebih dari 8 tahun yang lalu. “Yah, pertanyaannya bukan tentang ‘seandainya’ hal seperti itu bisa menjadi sebuah pandemi, tapi tentang ‘kapan’ itu terjadi,” ujar Larry sebagaimana diucapkan ulang oleh Scott kepada Michelle. 

Lebih lanjut, Scott ditanya mengenai pandangannya ketika pandemi virus corona merebak. Scott menjawab ada sebuah rasa sedih dan frustasi ketika melihat situasinya. Sedih karena banyak korban jiwa dalam pandemi itu dan frustasi karena banyak pihak yang dianggap belum menyerap benar kegentingan situasinya. “Seharusnya pandemi virus corona bisa dihindari dengan pendanaan yang memadai terhadap setiap sains yang terkait dengannya,” kata Scott.

Membaca wawancara dengan Scott itu itu cukup memberikan wawasan mengenai alam pikir orang-orang di AS saat ini. Jelas, Scott adalah bagian dari mereka mempercayai sains saat bercerita tentang filmnya. Ia menimang-nimang apakah imaji yang akan diwujudkannya kelak dalam sebuah film bisa mendekati realitas dengan berpegang pada kemungkinan-kemungkinan yang didasarkan pada sains. Tapi, entah sebagian besar orang lainnya. Terlebih bila mengingat bahwa kepercayaan terhadap pakar dan sains saat ini sebenarnya tengah memanas diserang, terutama di negara “maju” seperti AS. Contohlah, gerakan bumi datar, gerakan anti-vaksin, atau bahkan gerakan rasis yang mengaitkan bawaan ras tertentu dalam kerangka evolusi Darwinisian. Gerakan itu cukup mendapatkan sorotan dan dalam beberapa hal selalu dikaitkan dengan sebuah konspirasi di dalamnya.

Kecenderungan anti-sains itu semakin vulgar terlihat di tengah pandemi virus corona saat ini. Di satu sisi, ada kompleksitas didalamnya karena terkait dengan penghidupan seseorang. Konsekuensi penanggulangan virus melalui karantina telah membuat banyak orang kehilangan pekerjaannya. Banyak orang membuah jauh-jauh opsi karantina yang terbukti secara saintifik meredakan infeksi karena masalah tuntutan penghidupannya. Kasus ini tentu tidak bisa disederhanakan menjadi persoalan anti-sains semata. Namun, di sisi lain, ada juga yang berpijak kepada persoalan ekonomi seperti itu sebagai dasar argumennya dalam menolak penanggulangan virus corona secara saintifik, tetapi dengan cara berpikir yang degil dan sebaiknya disebut anti-sains karena saking bodohnya. Ini misalnya terlihat dengan pernyataan Presiden AS Donald Trump mengenai tes terhadap warganya yang dinilai berlebihan.

Aaron Blake, wartawan The Washington Post, menulis pernyataan Trump tentang tes virus yang dinilainya aneh. Sebagaimana dikutip dari laman the Washington Post, Blake menulis bila Trump terus-menerus mengeluarkan pernyataan aneh mengenai kemungkinan melakukan tes virus. Hal ini ia katakan dengan merujuk perkataan Trump pada awal Mei 2020. “Ketika anda melakukan tes, maka anda mendapatkan kasus. Ketika anda melakukan sebuah tes, maka anda akan menemukan ada yang salah dengan orang-orang. Jika kita tidak melakukan tes sama sekali, kita akan memiliki jumlah kasus yang sangat sedikit,” kata Trump.

Bagi Blake, implikasi serius yang terkandung dari pernyataan Trump dan luput dinyatakan secara jelas adalah jika seseorang tidak melakukan tes, maka kita juga tidak bisa mengetahui siapa saja yang bisa menyebarkan virus. Begitu juga anda mungkin tidak akan mengetahui cara memperlakukan seseorang dengan benar untuk menghindari kemungkinan terburuk. Dengan kata lain, Trump mendorong ke situasi yang lebih buruk di tengah pandemi virus corona ini.

Blake kemudian mengambil kesimpulan bila seluruh komentar Trump mengenai tes virus ini membingungkan dan dalam banyak hal omong kosong belaka. Lebih dari itu, ia menilai, pernyataan Trump tersebut menunjukkan pengabaian terhadap upaya sungguh-sungguh untuk meluaskan tes virus. Sebuah pembawaan yang dinilainya bertentangan dengan sikap Ketua Gugus Tugas Virus Corona AS, Anthony S. Fauci, dan juga pakar kesehatan lainnya di AS yang sepakat terhadap tes virus sebagai upaya untuk mendatarkan kurva dan mengatasi penyebaran virus corona.

Bagiku, sikap anti-sains Trump ini tampaknya lebih kepada beban persaingan yang ia pikul. Terlebih bila mengingat slogan kampanye yang terus ia dengungkan; buat Amerika hebat kembali. Dalam sebuah pernyataan pers di laman yang sama, Trump menyatakan, “media suka mengatakan bahwa kami memiliki kasus yang paling banyak, dan sejauh ini, yang melakukan paling banyak tes virus. Jika kami melakukan tes yang sangat sedikit, kami tidak akan memiliki kasus yang banyak. Jadi, dengan kata lain, dengan melakukan tes-tes ini, kami membuat diri kami tampak buruk”.

Pertama-tama, Trump mengisyaratkan bila ia sangat peduli pandangan pihak lain. Kesampingkan dahulu penanggulangan virus, pandangan orang lain setidaknya perlu diperhatikan. Pandangan negatif tentang Amerika tidak akan membuat Amerika hebat. Ini penuh dengan intensi persaingan.

Sikap Trump sangat khas pengusung neoliberalisme sampai ke tulang sum-sum. Ini setidaknya bila merujuk kepada pemahaman neoliberalisme ala Katerine Marcal. Ia memahami neoliberal sebagai bentuk kompetisi di dalam pasar. Katerina pernah bilang dalam bukunya Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith, “perbedaan antara liberalisme dan neoliberalisme adalah bahwa dalam liberalisme, eksistensi dipandang sebagai jumlah total dan konsekuensi dari pertukaran, transaksi dan kontrak”. Sementara neoliberalisme “tidak menempatkan penekanannya pada pertukaran, melainkan berfokus pada kompetisi. Kompetisi adalah gagasan dasar yang dipakai untuk menafsirkan dunia”. Bila kompetisi adalah cara pandang untuk menafsirkan dunia, maka seluruh isinya adalah pasar, tempat transaksi jual-beli dimana segala sesuatunya bisa dikuantifikasi secara rasional. Neoliberalisme dalam pandangan Katerina hanya menambah bobot pertukaran dalam pasar dengan memasukkan tuntutan kompetisi.

II

Banyak faktor yang mempengaruhi kemunculan anti-sains. Keyakinan fundamentalisme terhadap agama, kepercayaan common sense yang konservatif, kelahiran mesin pencari seperti google, sampai mekanisme click-bait dalam media digital, semua itu bisa berpengaruh terhadap meningkatnya kecenderungan anti-sains di masyarakat. Setidaknya demikian bila memperhatikan apa yang disampaikan oleh Tom Nichols.

Tom Nichols adalah seorang pakar di bidang hubungan internasional asal AS. Ia termasuk golongan yang kegerahan terhadap kecenderungan anti-sains yang muncul di masyarakat AS saat ini. Saking gerahnya, ia sampai meluapkan kekesalannya dalam buku yang berjudul The Death of Expertise dan terbit tahun 2017. Buku itu dialihbahasakan menjadi Matinya Kepakaran dan terbit pertama kali di Indonesia setahun setelahnya. Dalam buku itu, posisinya jelas: kepercayaan terhadap sains dan dengan demikian kepanjangannya, yakni para pakar, mutlak diperlukan. Memang, ya, di sana-sini pakar membuat kesalahan. Saran yang dikeluarkan dari mereka tidak jarang meleset. Tapi, supaya masyarakat berjalan ke arah yang benar, diperlukan panduan yang didasarkan pertimbangan-pertimbangan yang kokoh. Pertimbangan itu tidak ujug-ujug turun dari langit, tapi muncul setelah melalui proses riset saintifik yang seksama dan teliti. Dalam hal inilah, pakar berperan. Itu, setidaknya intisari Nichols dalam bukunya.

Jadi, Tom Nichols ini kurang lebih ingin mempertahankan tatanan sosial aristokrasi  ala Plato. Sebuah tatanan yang dikendalikan oleh “orang-orang terbaik” dalam hal pengetahuan. Sebagaimana ditulis Martin Suryajaya dalam bukunya Sejarah Pemikiran Politik Klasik, aristokrasi adalah “pemerintahan oleh orang-orang terbaik dalam hal pengetahuan politik, yakni pemerintahan oleh para filsuf-raja dan filsuf-ratu”. Kebebasan berpendapat dalam demokrasi, setidaknya bagi Nichols, adalah kumpulan orang-orang awam yang marah menuntut semua tanda keunggulan, terlepas memang mereka benar unggul atau tidak. Kondisi demokrasi pada abad 21, dalam pandangannya, telah meningkatkan kadar kebebalan masyarakat dengan suatu cara pengakuan kebenaran hanya menurut dirinya sendiri. Jadinya, setiap orang dalam masyarakat demokrasi yang setara justru berjalan sendiri-sendiri, tanpa adanya kepercayaan dan kerjasama dengan yang lain. Hal ini justru mengancam demokrasi itu sendiri.

Tapi memang, bagiku, tentu tidak semudah itu juga bila  memikirkan tentang kehidupan sosial dan bernegara. Sejauh menyangkut negara sebagai pemegang keputusan akhir tentang arah masyarakat berjalan, perkara bisa sangat-sangat kompleks. Politik, fraksi kepentingan yang ada di dalam negara, bisa membuat sebuah hasil riset saintifik menjadi sangat berkabut. Tidak ada jaminan juga bila pakar, sosok yang menjalankan sebuah riset, “orang-orang berpengetahuan terbaik”, adalah sosok yang bebas nilai. Mungkin, ya, setiap pakar bisa mengklaim satu-satunya nilai yang ada dalam dirinya adalah bahwa ia mengemban tugas untuk kepentingan bersama, kepentingan masyarakat. Ya, setiap pakar bisa mengklaim hal seperti itu. Namun sebagai manusia, pakar tidak terlepas dari pandangan ideologi tertentu sesuai dengan kelas dimana ia berada, strata sosial tempatnya berpijak. Dan kelas, sejauh ia berkaitan dengan siapa yang berkuasa mengambil apa dari kelas lainnya yang tidak berkuasa dalam strata sosial, bisa mereduksi makna kepentingan masyarakat bersama menjadi kepentingan sebagiannya saja. Antonio Gramsci setidaknya memunculkan istilah intelektual organik bukan tanpa sebab.

Namun demikian, terlepas dari perkara pakar, setidaknya ada benteng bagi sains dimana ia tidak semudah itu jatuh menjadi sekadar omong kosong hoaks atau upaya penyesatan masyarakat. Sains memiliki keterikatan kuat dalam hal pengujian secara empiris. Keterikatan itu menjadi semacam mandatori bagi sains, baik itu sains pasti maupun sosial-humaniora.

Lebih dari itu, sains memiliki benteng dalam bentuk metode, metodologi dan paradigma. Ketiga hal itulah yang menjadi pijakan untuk menentukan bila sebuah riset memang saintifik, pseudo atau bahkan bukan saintifik sama sekali (dan oleh karenanya tidak bisa diterapkan). Pengujian demi pengujian adalah yang membuat sains berproses menjadi kokoh.

Memang, ketiga hal tersebut bervariasi dan kerap membingungkan bagi kebanyakan orang. Contohlah misalnya paradigma positivistik, konstruktivis atau kritis, dalam lapangan pengetahuan sosial-humaniora. Atau, misalnya dalam lapangan pengetahuan ekonomi, ada mazhab-mazhab ekonomi-politik klasik, neoklasik sampai ekonomi-politik marxis, yang satu sama lainnya saling menyerang. Memang tidak ada jalan yang mudah untuk memahami. Dan sejauh dunia yang berputar saat ini menuntut segala sesuatu terjadi dengan instan, memahami sains dan menyandarkan diri kepadanya untuk memandu jalan menjadi ujian yang tidak mudah. Tapi, itu harus diupayakan.

2 komentar:

365sbobet mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Info Judi Online mengatakan...

Togel Online Bisa menjadi pilihan anda dalam mencari hasil besar