Kamis, 30 April 2009

Di Tengah Deru Pembangunan Kota (Ada yang Bermain di Bawah Jembatan Layang)

Awalnya, Kang Gingin menyuruh saya untuk membuat tulisan mengenai kekumuhan yang ada di bawah jembatan layang. Tetapi, ketika datang ke TKP, saya menemukan sesuatu yang lebih menarik ketimbang kekumuhan itu sendiri. Di bawah jembatan layang di daerah Taman Sari, Bandung, itu ada yang bermain bola dan mendirikan semacam sanggar seni. Melihat itu saya jadi teringat mengenai konsep public space. Bagaimana masyarakat urban pada umumnya begitu haus menemukan kembali sebuah tempat non komersial, hanya untuk bersosialisasi atau menghabiskan waktu melepas kepenatan sehabis beraktivitas di kota yang sumpek.

Tiba-tiba terpikir juga untuk menghubungi Ridwan Kamil, seorang dosen arsitektur dan pegiat Bandung Creative City Forum. Saya pikir, bila dia bisa memaknai aktivitas yang ada di bawah jembatan itu setidaknya tulisan bisa lebih menarik dan, syukur-syukur, membuat otoritas berpikir mengenai kesumpekan yang ada di Kota Bandung. Harapannya, tentu akan tersedia lebih banyak ruang publik dan taman kota kedepannya. Hal itu lebih baik, daripada angle tulisan lebih condong ke masalah “kekumuhan”. Saya pikir, angle seperti itu, pada akhirnya, lebih menitikberatkan pada PKL maupun orang-orang yang beraktivitas di bawah jembatan layang sebagai “penyebab utama”-nya. Padahal, sesungguhnya orang-orang di bawah jembatan itu, bagi saya, lebih merupakan konsekuensi dari deru pembangunan ketimbang penyebab utama kekumuhan yang terjadi di bawah jembatan layang.


.Di Bawah Jembatan Layang.
Hampir empat tahun sudah jembatan layang Pasupati menghiasi Kota Bandung semenjak pertama kali diresmikan oleh Presiden RI SBY pada 12 Juli 2005. Dalam perjalanannya, ternyata banyak hal yang dilakukan oleh warga di sekitar jembatan layang itu. Tidak jarang berbagai acara pertunjukkan selalu digelar di lahan kosong di bawahnya. Bahkan terakhir tempat itu digunakan sebagai tempat pemungutan suara pada pemilu legislatif kemarin. Hal itu menunjukkan bagaimana lahan kosong di bawah jembatan layang itu menjadi tempat bersosialisasi serta beraktifitas bagi warga.

Seperti saat Bandung Ekspres menyambangi salah satu daerah di Kelurahan Taman Sari, Kecamatan Bandung Wetan, yang dilalui oleh jembatan layang, pada Minggu (19/4). Di bawah jembatan itu terdapat sebuah panggung kecil yang biasa digunakan oleh warga RW 04, Kelurahan Taman Sari, untuk digunakan sebagai tempat berinteraksi dan beraktifitas. Panggung itu didirikan atas inisiatif warga yang tergabung dalam kelompok usaha bernama Cahaya Karya (CK).

Nandang Hernadi (40), seorang pendiri CK sekaligus penggagas panggung kecil itu, menceritakan kerisauannya akan lahan tidak terurus di bawah jembatan yang  menjadi pemicu bagi dirinya untuk memanfaatkan lahan tersebut menjadi tempat interaksi warga. “Dulu mah, saat Pasupati baru selesai. Di bawah sini itu masih menumpuk barang berangkal. Tidak karuan dan juga tidak ada yang ngeberesinnya. Ya udah, akhirnya warga di sini yang ngeberesin,” katanya.

Selain itu, dirinya juga memiliki ambisi untuk mengenalkan budaya Sunda, khususnya perkakas Sunda. Maka jadilah panggung kecil itu seperti saat ini. Walaupun masih belum terlihat adanya perkakas Sunda yang ia maksud, hanya semacam display terbuat dari bambu saja yang terlihat. Nandang mengatakan, masih mengumpulkan dana agar bisa merealisasikan ambisinya tersebut.

“Saya sih, kepinginnya panggung ini nanti jadi tempat anak muda menyalurkan potensinya, misalnya dalam kesenian gitu. Daripada kerjaannya hanya main tidak jelas,” katanya.

Tempat yang sebenarnya tidak terurus ini, justru menjadi lahan bagi warga di sekitarnya untuk beraktivitas dan berinteraksi. Mereka memanfaatkan lahan kosong yang masih ada di tengah deru pembangunan yang seringkali tidak menyisakan lahan kosong yang dianggap tidak menghasilkan keuntungan apapun. Seperti yang di utarakan oleh pelatih tim sepak bola PS Galamas sekaligus ketua RT 04 RW 04, Kel. Taman Sari, Kec. Bandung Wetan, Jajat Sudrajat (58). Disebabkan lahan untuk bermain bola habis terbabat oleh pembangunan, kata dia, maka timnya pun pindah tempat ke bawah jembatan layang.

Saat itu, terlihat timnya yang terdiri dari warga RT 04 dan masih duduk di bangku SMP sedang giat bermain bola. Lokasi tempat latihan bermain bola itu tepat berada di belakang panggung kecil yang diprakarsai oleh Nandang. “Walaupun tempat ini berisik dan kebul, tapi karena tidak ada tempat lagi. Ya, sudah. Lebih baik disini,” kata Jajat sambil memperhatikan timnya latihan bola.

Jajat mengatakan, dirinya pernah mendengar bahwa tempat di bawah jembatan layang itu akan dibuat menjadi taman. Namun demikian, dia tidak setuju bila nantinya lahan untuk bermain bola menjadi tidak ada. “Baiknya sih lahan ini diperbagus, tapi jangan lupakan juga lahan untuk main bolanya. Kalau diperbagus, tapi ga ada lahan buat main, sama aja. Malah pareum atuh nanti sepak bola di daerah sini,” katanya dengan tidak melepaskan pandangannya ke tim bola yang sedang dilatihnya itu.

Selain dimanfaatkan oleh warga untuk beraktifitas dan berinteraksi, lahan kosong di bawah jembatan layang itu juga dimanfaatkan oleh pedagang. Seperti Ningsih (20), salah satu pemilik warung nasi yang terletak di bawah jembatan layang. Disebabkan lahan jualannya di daerah Cikapayang saat ini telah menjadi taman, maka ia memutuskan untuk pindah.  Ningsih mengatakan, cukup menikmati jualan di bawah jembatan layang. “Tapi, ga enaknya kalau ada pemuda atau pengamen yang mabuk atau bikin ribut gitu. Suka ngerepotin,” katanya. (hari/job).

.Makna.
Banyaknya aktifitas di bawah jembatan layang menjadi konsekuensi atas semakin menyempitnya ruang publik yang ada di Kota Bandung. Hal itu diutarakan oleh Dosen Arsitektur ITB sekaligus Ketua Bandung Creative City Forum (BCCF), Ridwan Kamil, kepada Bandung Ekspres, Minggu (19/4).

Menurutnya, ketika pemukiman padat dirubah menjadi jembatan layang sepanjang 700 meter dan lebar 80 meter, maka lahan kosong dibawahnya bisa menjadi tempat bagi warga untuk beraktifitas dan berinteraksi. Hal itu, kata dia, menunjukkan kebutuhan akan ruang publik oleh warga.

Digunakannya lahan kosong  oleh warga di kolong jembatan layang itu, menurutnya, bukanlah hal yang salah untuk dilakukan. “Di luar negeri, seperti Jepang saja, kolong jembatan digunakan menjadi restoran. Jadi, tidak ada masalah,” katanya.

Namun demikian, ujar dia, hal yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana pemerintah kota Bandung jeli melihat potensi yang ada di kolong jembatan ini. Menurutnya, kolong jembatan layang itu seharusnya dilihat sebagai lahan yang memiliki potensi dengan warga setempat yang menjadi kontributor utamanya.

Ridwan menambahkan, potensi tersebut tidak selalu di ukur dengan angka ekonomis saja. Melainkan bisa juga diukur dengan sumbangan kreatifitas warga setempat. “Hal yang perlu ditekankan saat ini adalah bagaimana pemerintah berdialog dengan warga setempat berkaitan dengan lahan kosong di bawah jembatan layang tersebut dan memfasilitasi kebutuhan akan ruang publik untuk berinteraksi bagi warga,” katanya.

Terkait dengan permasalahan kolong jembatan layang ini, Ridwan juga memberikan bocoran mengenai rencananya bernama Urban Farming yang akan dilakukan bersama Bandung Creative City Forum. Proyek Urban Farming ini adalah semacam proyek yang menyatukan antara dunia urban dan agraris. “Rencananya, di lahan kosong dibawah jembatan layang itu nanti kita akan menanam padi,” katanya.

Proyek tersebut, kata Ridwan, berangkat dari konsep memelihara ruang hijau yang ada di kota. Mengingat, kata dia, keberadaan ruang hijau di Kota Bandung saat ini cukup mengkhawatirkan. “Bila proyek ini terealisasi, harapannya terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara pemerintah dan warga. Warga dapat menikmati hasil pertanian, begitupun pemerintah,” katanya.

Proyek Urban Farming ini, kata Ridwan, saat ini sedang menunggu disetujui oleh pemerintah kota. “Mudah-mudahan saja proyek ini bisa direalisasikan, sehingga kita bisa turut meningkatkan lahan hijau juga di kota Kota Bandung,” katanya. (hari/job).
 

Rabu, 29 April 2009

Elemental Gaze

Saat job training, tiba-tiba saja oleh Pak Holis saya ditugaskan untuk 'menangani' rubrik mingguan music and movie. Sebenarnya saya senang juga dikasih kepercayaan untuk 'menangani' rubrik tersebut, tapi konsekuensinya saya harus menulis tiga tulisan. Itu belum liputan harian, ditambah 'tugas' dari redaktur lain. Hasilnya, ya, cukup repot. Semua deadline tulisan numplek di hari yang sama. Istilahnya, saya harus 'lembur' buat menyelesaikan itu semua. Jadilah, jam dua belas malam saya masih mengetik di kantor. Tapi, tidak apa-apa lah. Sudah lewat. Di sisi lain, saya juga senang bisa mengangkat grup musik yang saya inginkan. Pak Holis memberi saya kepercayaan penuh dan memberi kebebasan untuk meliput band apa saja, asal menarik. Jadi...inilah. Tulisan mengenai grup yang ingin saya angkat: Elemental Gaze. Selamat membaca. Mudah-mudahan bermanfaat. Oya, saya juga mau mengucapkan terima kasih kepada Bilan, Fitrah, dan seluruh personil Elemental Gaze. Thanks a lot.


Intro.
Suguhan musik elektronik yang mengawang dibalut dengan melodi renyah adalah karakter musik yang ditawarkan oleh band elektronik dari Bandung bernama Elemental Gaze ini. Ada juga yang bilang karakter musik mereka dengan new-gaze. Sebuah evolusi lebih lanjut dari genre shoegaze yang pada umumnya bercirikan raungan distorsi yang kasar. Namun demikian, tidak ada raungan distorsi kasar dari musik yang mereka tawarkan. Sebaliknya, pendengar hanya akan mengalami sebuah atmosfer yang  mengawang dan mengalun lambat.
 
Elemental Gaze terbentuk atas dasar pertemanan yang terjalin semasa sekolah di tahun 2004. Lima tahun eksistensi bagi Elemental Gaze tentunya melahirkan cerita pasang surut bagi band ini. Seperti yang diutarakan oleh salah satu personel Elemental Gaze, Bilfian Sugiana atau biasa dipanggil Bilan, saat ditemui oleh Bandung Ekspres, Selasa (21/4).
 
Pada awalnya, menurut Bilan, jumlah personil Elemental Gaze tidaklah dalam format duo seperti sekarang, dimana Bilan berperan sebagai programming dan synth, sedangkan Lutfi Kurniadi memainkan instrumen seperti gitar atau keyboard. “Dulu tuh sebenarnya ada tiga orang, yakni Fuad, Myrdal dan saya,” kata Bilan.
 
Myrdal dan Fuad pada akhirnya harus keluar karena alasan masing-masing. Myrdal memutuskan keluar, karena ingin fokus dengan bandnya, yakni The Retro. Setelah keluarnya Myrdal sekitar tahun 2005, Elemental Gaze berjalan dengan dua personil yakni Bilan dan  Fuad. “Sekitar tahun 2005 itulah Elemental Gaze vakum, karena kesibukan masing-masing,” kenang Bilan.
 
Sekitar tahun 2006, dimulai babak baru bagi band yang dipengaruhi oleh sound yang ditawarkan oleh Cocteau Twins, M83, dan Depeche Mode ini. Babak baru itu ditandai dengan bergabungnya Lutfi Kurniadi untuk mengisi gitar dan Fitrah Kurnia Akbar menjadi manajer band ini. “Di tahun itu juga, kita manggung untuk yang pertama kalinya dengan format bertiga,” kata Bilan.
 
Semenjak tahun 2006, perjalanan Elemental Gaze ini ternyata semakin melesat. Tawaran manggung cukup banyak mereka terima. Event lintas negara pun sempat mereka jajagi, seperti menjadi opening act dari band post rock Jepang, yakni Mono di Kuala Lumpur, Malaysia pada 4-7 Juli 2008. Lalu, Baybeats Festival di Esplanade, Singapura pada 31 Agustus 2008. Selain mendapat tawaran manggung di luar negeri, mereka pun mendapat kesempatan untuk merilis albumnya bertitel ‘Let Me Erase You’ lewat perusahaan rekaman Jepang bernama Xstal Records. Sebuah label rekaman yang mengkhususkan pada genre postrock, shoegaze/newgaze. “Bisa dibilang tahun-tahun itu, Elemental Gaze sedang berada di atas,” kata Bilan.
 
Tantangan kembali menghadang Elemental Gaze, ketika Fuad, salah satu founder dari Elemental Gaze, memutuskan untuk keluar pada tahun 2008. Sebabnya, menurut Bilan, Fuad lebih memilih untuk konsentrasi di dunia akademik. Otomatis, Elemental Gaze kembali kembali menjadi format duo, yakni Bilan (programming) dan Lutfi (gitar, keyboard).
 
Namun demikian, keluarnya Fuad tidak membuat band ini redup begitu saja. Setidaknya dari obrolan dengan Bilan terungkap rencana selanjutnya dari Elemental Gaze. “Kami ingin merilis album Let Me Erase You di Indonesia. Karena buat kami ironis, ketika album kami dirilis di Jepang, tetapi untuk didapatkan di Indonesia harus mengimpor segala,” katanya.
 
Selain itu, nampak ada perubahan pandangan dari Bilan mengenai makna eksistensi sebuah band. Menurutnya, bila dulu parameter eksistensi sebuah band hanya dilihat seberapa sering manggung, tetapi bagi Elemental Gaze yang terpenting dari eksistensi sebuah band adalah bagaimana dia membuat dan mengeluarkan karya lagu.
 
“Disebabkan antara saya dan Lutfi yang bisa bertemu seminggu sekali, karena dia kerja di luar kota. Jadinya tawaran manggung tidak bisa kita ambil begitu saja. Harus ada pencocokan jadwal juga. Jadinya, ya, saat ini kita fokus pada karya lagu dan rilisan ketimbang manggung,” katanya. (hari/job).

Pasang Surut.
Sebagai sebuah band yang sudah genap berjalan hampir lima tahun, Elemental Gaze tentu memiliki pasang surutnya sendiri. Dalam sejarah band ini, tahun 2006 mungkin bisa disebut sebagai titik balik band ini. Karena tahun 2006 itu ditandai dengan bergabungnya Lutfi Kurniadi untuk mengisi gitar dan Fitrah Kurnia Akbar menjadi manajer band ini. Belum lama ini Bandung Ekspres bincang-bincang bersama Fitrah mengenai kesannya akan Elemental Gaze.
 
Fitrah menceritakan, pada tahun 2006 kebetulan dirinya menjadi produser sebuah acara musik di salah satu radio swasta di Kota Bandung. Tidak sengaja ia mendengarkan demo Elemental Gaze dari salah satu personilnya yang kebetulan adalah adiknya, yakni Myrdal (Saat ini sudah keluar). “Waktu itu saya ga nyangka kalau ternyata adik saya itu memiliki band yang bagus,” kata Fitrah kepada Bandung Ekspres belum lama ini.
 
Saat pertama kali mendengar demo Elemental Gaze, Fitrah mengaku langsung tertarik kepada musik yang dibuat oleh band elektronik new gaze ini. Menurutnya, dari segi musikalitas, Elemental Gaze bukan tergolong band yang konvensional. “Waktu pertama mendengar demonya, saya merasa banyak potensi dari musisi di balik Elemental Gaze ini,” katanya.
 
Salah satu lagu yang disukai oleh Fitrah saat itu adalah sebuah lagu berjudul Symmetrical Life. Menurutnya, lagu tersebut merupakan lagu yang tergolong unik. “Notasi yang ada didalam lagu tersebut terdapat unsur Sundanya,” katanya menjelaskan alasan mengapa ia menyenangi lagu itu.
 
Namun demikian, kondisi Elemental Gaze saat itu tidak menentu. Setiap personil memiliki kesibukannya masing-masing, sehingga membuat band itu menjadi tidak menentu. Maka dari itu, Fitrah lalu menawarkan diri kepada Elemental Gaze untuk menjadi manajer. “Nunggu dulu seminggu, baru ada jawaban. Mereka mau di manajerin,” kata Fitrah.
 
Hal pertama yang dilakukan Fitrah saat menjadi manajer Elemental Gaze adalah mulai menyamakan visi dan misi band tersebut. “Pertama-tama saya mencoba untuk menyamakan pendapat band ini. Arah band ini akan dibawa ke arah mana. Hal seperti itu. Karena ‘kan, nantinya saya yang akan menterjemahkannya ke media-media, seperti profile, dan MySpace,” katanya.  
 
Tidak lama setelah Fitrah bergabung sebagai manajer di Elemental Gaze, band itu mendapatkan pertunjukkan pertama kalinya di Jakarta pada 2006. Pertunjukkan pertama itu pun seakan-akan menjadi tanda semakin dikenalnya Elemental Gaze di kalangan penggemar musik elektronik.
 
“Orang-orang didalam Elemental Gaze itu adalah orang yang dapat menunjukkan potensinya. Selain itu, dalam hal sound, mereka termasuk orang yang cukup peka,” katanya. (hari/job).

Dampak Perkembangan Teknologi.
Perkembangan teknologi, seperti kehadiran internet yang menghancurkan batas-batas ruang dapat menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi mereka yang dapat memanfaatkannya. Seperti Elemental Gaze, contohnya. Walaupun mereka tergolong band underground yang tidak disokong label rekaman berduit tebal, namun mereka dapat terbang ke negeri tetangga untuk menyuguhkan musik bikinan sendiri.
 
Seperti menjadi opening act band post rock dari Jepang, Mono, yang tur di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 4-7 Juli 2008 lalu, misalnya. Salah satu personel Elemental Gaze, Bilfian Sugiana atau biasa dipanggil Bilan mengatakan, keterlibatan Elemental Gaze dalam jejaring maya bernama MySpace, menyebabkan orang-orang diluar Indonesia bisa mengenal Elemental Gaze.
 
“Pertamanya tuh ada semacam EO tur Mono dari Malaysia yang mendengarkan demo lagu kita di MySpace. Dia tertarik dan akhirnya menawari kita untuk menjadi opening act Mono,” katanya.
 
Selain menjadi opening act Mono di Malaysia, Elemental Gaze pun kembali manggung di luar negeri. Kali ini mereka manggung di Baybeats Festival di Esplanade, Singapura, pada 31 Agustus 2008. Cerita bagaimana mereka bisa manggung di Singapura juga persis sama, karena internet.
 
“Jadi si Fuad sering email-emailan sama seseorang yang ternyata pemimpin proyek Baybeats Festival. Mereka berdua ternyata nyambung dan akhirnya diundanglah Elemental Gaze buat bermain di Baybeats Festival,” kata Bilan.
 
Kehadiran internet, membuat setiap orang di dunia ini bisa terkoneksi tanpa harus dirintangi oleh tembok penghalang. Dengan tiadanya penghalang bagi orang-orang untuk terkoneksi di dunia maya, menghasilkan bebagai kesempatan bagi mereka yang dapat memanfaatkannya. Mungkin kita bisa melihat pada Elemental Gaze. Mereka memiliki karya berupa lagu dan mereka terkoneksi di dunia maya. Hasilnya adalah ikut sertanya mereka dalam kompilasi band-band shoegaze se asia bertajuk ‘Half Dreaming’ dan dirilisnya album ep mereka di Jepang bertajuk Let Me Erase You pada tahun 2008.
 
“Pada awal berdirinya Elemental Gaze, niatnya kita hanya menjadi band yang sekadar membuat lagu dan menyebarkan lagu itu kepada teman-teman dekat. Tidak ada pikiran muluk. Ga taunya, ya, kita bisa sampai sekarang ini,” katanya .
 
Dengan adanya kemajuan teknologi, menurut Bilan, yang diperlukan adalah bagaimana sebuah band dapat memanfaatkannya dengan menunjukkan konsistensi mereka. Sebuah band seharusnya jangan begitu saja terbawa arus trend musik yang gampang berubah. “Sebenarnya, dari segi musikalitas. Band-band di negara kita ini, bisalah bersaing dengan dunia internasional. Asalkan setiap band itu memiliki konsistensi,” katanya. (hari/job).