Minggu, 29 Agustus 2010

Ephemeral

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:Piana
Sebelumnya saya tidak pernah mendengarkan musik-musik semacam j-pop/electronic. Setidaknya begitu. Sebelum saya mengetahui Piana.

Piana ini sebenarnya adalah sebuah nama pseudo dari penyanyi perempuan bernama Naoko Sasaki. Musik yang Piana tawarkan pada dasarnya adalah semacam elektronik pop/ambiens. Namun yang membuatnya enak didengarkan adalah karakter vokalnya. Terasa hangat dan sejuk. Sepintas kamu akan teringat karakter vokal Gita Gutawa. Tetapi, sepertinya Piana lebih kelam daripada Gita Gutawa, walaupun musiknya terdengar cerah. Entahlah, kamu seperti mendengarkan musik-musik yang berasal dari daratan Islandia sana. Dengan salju dan pegunungannya yang terlihat dingin dan kelam, namun musik-musiknya kadang selalu terasa hangat. Seperti itulah gambaran saya mengenai Piana. Hangat dan easy listening.

Saat ini saya memiliki tiga album Piana, 'Ephemeral' (2005), 'Eternal Castle' (2007), dan 'Snow Bird' (2009). Namun untuk kepentingan review, saya hanya akan mereview album 'Ephemeral' dulu. Soalnya inilah album yang membuat saya langsung jatuh hati, ketika mendengarkan Piana untuk yang pertama kalinya.

Di album 'Ephemeral' ini terdapat sembilan lagu. Secara garis besar, musik yang ditawarkan berada di area elektronik/ambiens. Kamu akan mendengarkan komposisi-komposisi minimalis, dan beberapa petikan-petikan akustik yang tidak dominan, namun terasa 'sendu'. Vokal Naoko, tidak diragukan lagi, memberi nafas yang penting didalam aransemen-aransemen lagu di album 'Ephemeral'. Seringkali Naoko berbisik bersamaan dengan iringan komposisi ambiens dibelakangnya yang terasa sunyi dan senyap. Ciamik.

Buat para 'galauers' (?) pasti suka album ini :D

Buat fans:
Sigurros, Gita Gutawa, Windy & Carl, Maps & Diagram, Robin Guthrie, Cocteau Twins.

========================================================
Buat yang tertarik, silahkan download lagunya di:
http://www.megaupload.com/?d=TE8XVIXJ


Kamis, 26 Agustus 2010

Born Ep

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Indie Music
Artist:Quayer
Rilisan ep ini termasuk rilisan lama. Keluar tahun 2008. Tapi saya baru dapat cdnya sekarang. Itu juga dikasih teman (thanks buat Praga dan Dimbul). Walaupun sudah lama, tapi acuhlah ya...kita mulai saja review.

Ini band lokal. Dari Bandung tepatnya. Di dalam album mereka disebutkan, bahwa mereka mencoba mengenalkan musik mereka melalui karakteristik yang disebut 'electic ambient sound, balancing experimental and progressive qualities with pop rock approach'.

Kesan saya waktu mendengarkan lagu ke dua, 'Aside', tidak mau tidak, pikiran saya langsung berangkat ke band asal Denmark, Mew. Setidaknya pikiran itu mencuat setelah mendengarkan progresi chordnya yang cukup 'prog' ala progresi Mew. Belum lagi setelan sound gitarnya yang mengingatkan pada sound Mew itu sendiri. Vokalnya pun selintas mirip karakter Jonas Bjerre, walaupun tidak mirip sepenuhnya. Tetapi, buat saya, jelas kalau Quayer sangat terpengaruh oleh Mew.

Walaupun terdapat pengaruh yang kuat dari Mew, bukan berarti band ini jelek, karena menjadi 'carbon copy', misalnya. Secara kualitas, musik yang mereka ramu dalam album bertitel 'Born' ep ini bagus kok. Untuk masalah pengaruh, itu merupakan hal yang biasa. Setiap band juga pasti terpengaruh oleh band-band sebelumnya. Semuanya hanya masalah bagaimana band yang bersangkutan berkreatifitas kedepannya dengan mencoba mengolah musiknya dengan lebih lebih berkarakter lagi. Dan sejauh menyangkut karakter, hal seperti itu bukan sesuatu yang bisa dibentuk selama satu malam saja. Tetapi butuh proses. Dalam kasus Quayer, di rilisan pertamanya dalam tingkat lokal ini, usaha yang mereka lakukan cukup layak diapresiasi dengan positif. Nilai lebihnya bagi Quayer di album ini, buat saya, adalah usaha mereka dalam mengaransemen lagu. Cukup bagus dan menarik, terutama ketika mengolah part-part 'progresifnya'. Untuk ukuran musik lokal, kerenlah.

Terdapat enam lagu di album ini. Hampir semua liriknya berbahasa inggris, kecuali track ke enam yang berjudul 'Terus'. Masalah lirik lagu ini setidaknya jadi kritik saya tentang 'Born' Ep. Ada baiknya bila mereka mencoba memakai lirik bahasa indonesia, alih-alih inggris. Membuat lirik berbahasa Indonesia memang susah, terlalu banyak pemborosan kata. Tetapi bila berhasil, bisa menjadi sesuatu yang menarik. Setidaknya akan ada gaya tersendiri. Lihat saja band-band lokal semacam Whisper Desire (Rip), the Adams, dll. yang semenjak rilisan awalnya mencoba menggunakan lirik berbahasa Indonesia. Jadinya ada sesuatu yang unik dalam musik mereka.

Oya, kritik satu lagi yang terkait dengan kover albumnya. Sayang kover albumnya terlalu sederhana. Coba lebih kreatif tentang masalah kover ini. Bagaimana pun juga, packaging merupakan sesuatu yang penting. Terutama untuk kover sebuah album :D

========================================================
Quayer - Born Ep' songlist:
01. Born
02. Aside
03. Dancing Without Soul
04. Shiva
05. Sail
06. Terus

Quayer sites & email:
www.myspace.com/quayer
its_quayer@yahoo.com
CP:
Rivandi (0818215041), Besman (085221910654)

Senin, 23 Agustus 2010

BXI EP

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Rock
Artist:Boris
Saya kira saya sedang mendengar David Bowie, tapi ternyata bukan. Ternyata ini adalah album EP Boris yang sedang berkolaborasi dengan Ian Astbury, frontman dari band post-punk era '80an, the Cult, dan juga pengganti Jim Morrison di the Doors era 'millenium'. Di album ini mereka memakai nama album "BXI" (Boris multiplies Ian).

Sungguhpun, bermacam-macam saja Boris ini kelakuannya. Dulu-dulu, mereka membuat eksperimen noise/drone berdurasi kurang lebih 60 menit. Lalu berkolaborasi dengan suhu noise dari Japan, Merzbow. Kolaborasi lagi dengan Michio Kurihara, gitaris eksperimental dari Japan juga. Tahun kemarin mereka juga proyekan dengan Sunn O))). Sekarang dengan Ian Astbury...betapa kayanya mereka. Kaya pengalaman, dan kaya finansial pastinya. Saya jadi iri berat sama Boris. Sungguhpun...

Heup. Fokus ke BXI.

Saya suka vokal Mas Ian di album ini. Karakternya rendah dan berat. Sungguh galau teramat sangat atmosfirnya. Apalagi ketika Mas Ian bernyanyi di lagu 'Theeth and Claws' dan 'Magickal Child'. Saya jadi teringat puisinya Chairil Anwar berjudul Derai-derai Cemara:

"hidup hanya menunda kekalahan/tambah terasing dari cinta sekolah rendah/dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah"

Sungguhpun. Emosional teramat sangat buat saya pribadi. Sepertinya kedua lagu itu bakal jadi memorable song di bulan puasa yang penuh rahmat dan karunia ini. Subhanallah.

Di album ini, mereka (Boris & Ian Astbury) hanya menyuguhkan empat lagu. Dibandingkan album-album sebelumnya, Boris menyajikan jenis musik yang tergolong 'ramah' . Unsur noise dan raw tidak menempati porsi yang berlebih di album ini. Tidak seperti album "Pink" atau "Smile" yang 'berantakan' dan 'gaduh'. Ini album yang sendu, saudara-saudara. Terutama bagi saya pribadi...yang langsung terbawa melankolia begitu mendengarnya pertama kali di larut malam menjelang sahur.

Di album ini juga Boris mengcover lagu the Cult berjudul "Rain" yang dinyanyikan oleh gitaris cewenya, yakni Wata. Cukup indah. Sedikit-sedikit nyerempet Shoegaze juga. Terutama ketika mendengarkan efek gitar yang khas My Bloody Valentine. Tapi ada satu kejanggalan di album ini, khususnya di lagu "We Are Witches". Nampaknya Mas Ian tidak cocok bila dibawa ke arah heavy metal. Soalnya di lagu ini Mas Ian, kalau kata saya, seperti terdengar 'terengah-engah' mengikuti ritme yang dibawa oleh Boris. Tetapi ga apa-apa. Soalnya saya hanya senang dengan lagu 'Theeth and Claws' dan 'Magickal Child'. 'We Are Witches' mah sepertinya ga akan saya dengerin :D

========================================================
Buat yang tertarik mendengarkan BXI, monggo ini linknya:
http://www.megaupload.com/?d=STS8TERB



Minggu, 22 Agustus 2010

Raja di Era Mesir Lama (2686 - 2160 sM)

"[...] Raja menganggap diri sebagai ilahi, pemberi segala hal yang baik dan penjamin kesuburan serta kesuksesan. Namun, barangkali dia tidak dapat memelihara perdamaian dan melindungi kota-kota dari para perampok."
(Daniell C. Snell, Kehidupan di Timur Tengah Kuno 3100-332 sM, hlm. 74.)

Selalu ketawa ngakak pas baca kalimat diatas. Ga tau penulisnya memang sengaja memaparkan ironi tentang raja dan kota yang dipimpinnya itu atau bagaimana. Tetapi, dari jaman dulu sampai sekarang, apa yang ada di dalam pikiran (idea), memang harus seringkali dicek kesesuaiannya dengan dunia materi. Biar singkron :D

Sabtu, 21 Agustus 2010

Raja di Era Mesir Lama (2686 - 2160 sM)

"[...] Raja menganggap diri sebagai ilahi, pemberi segala hal yang baik dan penjamin kesuburan serta kesuksesan. Namun, barangkali dia tidak dapat memelihara perdamaian dan melindungi kota-kota dari para perampok."
(Daniell C. Snell, Kehidupan di Timur Tengah Kuno 3100-332 sM, hlm. 74.)

Selalu ketawa ngakak pas baca kalimat diatas. Ga tau penulisnya memang sengaja memaparkan ironi tentang raja dan kota yang dipimpinnya itu atau bagaimana. Tetapi, dari jaman dulu sampai sekarang, apa yang ada di dalam pikiran (fantasi), memang harus seringkali dicek kesesuaiannya dengan dunia materi. Biar singkron :D  

(sumber gambar lihat disini)

Jumat, 20 Agustus 2010

Konsumed

Musik bisa dinikmati, tetapi tidak akan mengungkap dirimu yang utuh. Bahkan berharap muluk, bahwa sesuatu yang disebut dengan 'identitas', yang sesungguhnya sungguh kabur dalam pembatasannya itu, bisa diraih dari musik. Just calm down, man. It's only music. Something that we enjoy in our leisure time.


============

Membicarakan musik dalam titik tertentu menjadi bualan yang semakin bau tiap harinya. Terlebih lagi bila pembicaraan itu menyangkut referensi-referensi musik tertentu dengan tendensi melecehkan lawan bicara. Seperti, "oh kamu tau ben ini, atau kamu sudah dengar ben anu?!" Seringkali perbincangan seperti itu akan jatuh kepada masalah gengsi tingkat tinggi. Apalagi bila lawan bicaramu tidak mengetahui apapun tentang yang kamu bicarakan. Hal itu akan membuat nilai seseorang seolah-olah terdongkrak naik hingga melampaui kebesaran kepalanya.

Tetapi, jujur, manfaat apa sebenarnya bila dirimu mengetahui suatu topik musik dengan detail, dan disisi yang lain, lawan bicaramu menjadi seseorang bak keledai yang dungu, karena tidak mengerti apapun yang dibicarakan oleh mu? Dalam penyangkalan-penyangkalan naif, seseorang boleh beralasan demi penyebaran informasi semata-mata. Tetapi, alasan seperti itu sudah sering kulahap tanpa pernah selalu kusetujui. Tergantung siapa yang mengumbar alasan seperti itu terlebih dahulu.

Akuilah, selalu ada gengsi yang hadir, ketika kita mendapatkan akses yang orang lain tidak bisa mendapatkannya semudah kita. Selalu ada pikiran superior, ketika kita dengan fasih mengumbar silsilah sebuah genre musik, atau pengaruh-pengaruh musik historikal dari sebuah rilisan album band. Disitu akan selalu muncul sebuah rasa bangga, kecongkakan yang menopang anggapan, bahwa kita berbeda dengan 'mayoritas'. Oleh sebab itulah, kita harus bangga. Setidaknya masalah identitas menjadi dipertaruhkan disini. Identitas dengan pembatasan-pembatasan yang sangat kabur. Tetapi secara tersirat, intinya hanyalah masalah kecongkakan yang timbul dari pembedaan-pembedaan antara 'self' dan 'the other'. Hanya itu. Bukan identitas dengan makna terdalamnya.

Namun, yang paling menyedihkan diantara semuanya adalah kenyataan, bahwa 'identitas' yang dicari hanya berkutat diseputar benda dagangan (komoditi). Dengan 'membeli-mendapat-mengetahui' suatu musik/band, dimana orang lain tidak 'membeli-mendapat-mengtahui'nya seperti yang kita lakukan, maka disitulah identitas hadir. Dan dari sini, masalah identitas hanyalah turunan dari masalah lainnya: perilaku konsumtif. Dan ini menyedihkan. Pencarian identitas malah menemukan kanalnya dalam jagat konsumerisme. Identitas...kita beranggapan telah mengetahui identitas, hanya ketika kita berhubungan dengan komoditi yang diperjual-belikan. Berada dalam lingkup 'individu-benda'. Bukan hakikat yang melandasi hubungan 'individu-benda' tersebut. Ini menyedihkan.

Selasa, 17 Agustus 2010

Nonsens*

Sebuah catatan kecil tentang percakapan tidak betul yang terjadi antara dua orang yang, sayangnya, tidak betul juga. Semuanya terjadi di penghujung senja. Di ujung tanduk harapan dan ketakutan.

Di bawah ini adalah percakapan-percakapan yang masih bisa diingat. Karena masih mengkonsumsi ganja dan nonton film porno, jadi sori-dori kalo ada pihak yang merasa ditipu karena kalimatnya ada yang hilang atau ga tepat susunan katanya. Maklum, manusia biasa yang masih berusaha menegakkan sholat lima waktu.

 
KAMAR BERANTAKAN DENGAN ASAP ROKOK MENGEPUL SEPERTI DI DALAM MEIN KAMPF. PENGHUNI KAMAR, JIM MORRISON DAN SISIFUS, DUDUK MENJULURKAN KAKI MENGHADAP RADIO. SISIFUS MENGOCOK GITAR KOPONG. NADA-NADA ANCUR DAN SUMBANG KELUAR DARI GITAR KOPONG LADUK YANG KEENAM SENARNYA MATI. MUSIK PUNK ROCK DENGAN SOUND RAW NAMUN MELODIUS KELUAR DARI SPEAKER RADIO.

WALAUPUN PUNK ROCK, HATI TETAP MAWAR. KARENA YANG DINYANYIKAN BUKANLAH TENTANG REVOLUSI, MELAINKAN: AMONG EVERY BITTERNESS, LONELINESS HURT ME MOST. STILL I'M NOT AWARE AND FALL THERE'S SO MUCH I HAVE LOST…

JIM MORRISON:
Rokok?

SISIFUS:
Kalem. Nanti dulu…. (masih ngocok gitar, tak perduli suaranya busuk tiada dua).

JIM MORRISON:
Udah lama Bandung ga hujan.

SISIFUS:
Iya. Kangen juga…emh…

JIM MORRISON:
Kenapa?

SISIFUS:
Hah? Ga. Ga ada apa-apa.

JIM MORRISON:
Hahah (garuk-garuk kepala).

SISIFUS:
Kenapa ketawa?

JIM MORRISON:
Kenapa? dirimu itu tuh, kenapa. Selalu seperti itu. Tipikal. Kalau ada sesuatu yang mau diucapkan, ya, tuntaskanlah. Jangan didorong lagi ke tenggorokan. Haha, dasar (menyambung lagi sam soe).

SISIFUS:
(Berhenti ngocok gitar. Mengambil sebatang sam soe dan menghisapnya) lho, emang ga ada yang harus diucapkan, kok?!

DIAM. HUJAN MENGGUYUR DI LUAR KAMAR. ASBAK PENUH DENGAN ABU DAN PUNTUNG ROKOK. AIR KOPI DI GELAS TINGGAL SEPEREMPAT. SMS MASUK KE HP JIM MORRISON; WOI..GI NGAPAEN LO? NEBENG GRTIS M3 UY…BTW, KMH KBRNA DUNIAMU KAWAN?PLES. TIDAK DIBALAS OLEHNYA.

JUDUL LAGU BERGANTI. BEAT-BEAT PUNK ROCK MASIH KERAS MENGGEMPUR. TAPI, KALI INI VOKALISNYA BENAR-BENAR BERADA DALAM SUASANA YANG, SAYANGNYA, MENDEKATI KOLAPS. …PASSING HOURS, SAME OLD PICTURES CROWDING ALL MY DAY. TAKE MY LESSON IN EVERY SECOND BUT I WILL NEVER LEARN, KELUAR DARI KERONGKONGANNYA.

SISIFUS & JIM MORRISON:
Every time I try to look back. Try to find what went so wrong. Cuz I don't wanna turn my face from every whining faces in my world…

SISIFUS:
Lagunya enak-enak.

JIM MORRISON:
Haha, iya (lalu menenggak kopi). Jadi inget lagu 'Nina'.

SISIFUS:
Haha, iya. Sweet good old song.

JIM MORRISON:
(ngambil gitar kopong dari tangan Sisifus) jadi…tadi mau ngomong apa?

SISIFUS:
Ngomong? Ga…ga ada yang mau diomongin, kok. Masih dipikirin yang tadi? Udah, ga ada apa-apa, kok. Jadi dianggap serius gini?!

JIM MORRISON:
Ga sih, ga nganggep serius (Jim Morrison mengocok gitar. Memainkan lagu entah apa dengan bunyi yang masih busuk)…hanya saja kita berteman udah lama. Dari jaman kita sembunyi-sembunyi ngerokok di wc sekolah. Jadi…kalo ada sesuatu yang pengen diomongin, omongin aja. Dari dulu kamu kan gitu, selalu menyimpan segala sesuatunya di benakmu sendiri. Bagilah dengan orang lain, jangan didiemin sendiri.

SISIFUS:
(menyimpan rokok di asbak lalu merewind kaset) heheh…

JIM MORRISON:
Gimana, masih suka ngedorong batu ke atas bukit, lalu menggelindingkannya kembali?

SISIFUS:
Masih.

JIM MORRISON:
Bagaimana rasanya, melakukan pekerjaan itu setiap hari?

SISIFUS:
Entahlah. Hal kaya gitu udah seperti tuntutan profesionalisme. Bukan sesuatu yang harus dipertanyakan lagi. Hanya tinggal menjalaninya saja. Apapun yang terjadi.

JIM MORRISON:
Pasti membosankan.

SISIFUS:
Mungkin, sudah tidak bisa membedakannya lagi.

JIM MORRISON:
Sebenarnya apa pekerjaanmu itu?

SISIFUS:
Apa yang saya kerjakan ini tidak lebih sebagai cermin dari keabsurdan manusia, jadi…ya, itu.

JIM MORRISON:
Keabsurdan manusia?

SISIFUS:
Ya, seperti yang terjadi pada teman saya, Momen.

JIM MORRISON:
Kenapa dia?

SISIFUS:
Ya…entahlah, hanya saja, dia pernah ngomong, tiap kali bertemu temannya, Memori, mendadak segala peristiwa yang selama ini memutarinya membeku seperti es. Bagi teman saya, Momen, semua peristiwa yang bergerak memutarinya itu sudah seperti generator bagi dirinya. Sesuatu yang membuatnya merasa ada (aku ada karena kau ada, selip Jim Morrison, meniru judul lagu RADJA) hehe, iya…nah, sekarang bisa dibayangkan bila tiba-tiba peristiwa itu berhenti memutarinya. Ibaratnya, sesuatu hal yang selama ini berjalan dengan sangat biasanya hingga menjadi suatu rutinitas yang tidak disadari, mendadak tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pola yang selama ini berputar teratur dengan sistematis dalam hidupnya, menjadi kacau. Momen jadi kelabakan karenanya. Setiap peristiwa yang tadinya hanya berbentuk kilasan sesaat dan tidak terlihat, sekarang terpampang dengan jelas dihadapannya dan dengan terpaksa ia harus memelototi semua itu. Segala kecemasan, ketakutan, harapan dan keberanian yang ada dalam setiap peristiwa yang selama ini mengelilinginya begitu saja mencuat keluar. Menukik tepat menuju dirinya. Menamparnya.

JIM MORRISON:
Cih! Jatuh cinta maksudmu? Sepele.

SISIFUS:
Entahlah, saya hanya seseorang yang mendorong batu ke bukit dan menggelindingkannya kembali. Buram bagi saya berurusan dengan hal diluar itu. Lagipula, mudah bagimu mengatakan sepele. Kau adalah penyanyi terkenal. Mempunyai lagu yang kelak akan dikenang sepanjang masa. Semuanya akan mendatangimu; popularitas, ketenaran, kemewahan, bahkan mungkin, apa namanya…ng…yang menimpa teman saya tadi (cinta, sambung Jim Morrison) ya, cinta itu sendiri.

JIM MORRISON:
Ah, saya prefer mabuk. LSD adalah cinta. Penyanyi terkenal hanyalah tempelan yang diberikan oleh media (lalu menghembuskan asap rokok) …jadi, gimana temen kamu itu nasibnya sekarang?

SISIFUS:
Belum pernah ketemu lagi.

JIM MORRISON:
Memori. Seperti apa dia?

SISIFUS:
Belum pernah melihatnya. Tapi, ya begitulah, menurut teman saya, ia membuka suatu celah dan ruang tersendiri diantara rentetan peristiwa yang berputar mengelilinginya. Sebelumnya teman saya itu tidak pernah sadar bahwa setiap kepingan-kepingan peristiwa itu selama ini mengelilinginya. Tidak berbeda dengan pekerjaanku sebenarnya, selama ini segala peristiwa terlalu menjadi hal biasa baginya. Momen telah melebur bersama peristiwa dan menjadikannya sebagai rutinitas belaka. Baginya selama ini, semua berjalan serba apa adanya. Hingga Memori berpapasan dengannya. Hingga Memori menghentikan putaran peristiwa dan membentangkan ribuan gambar yang selama ini tak terlihat didalam setiap peristiwa kehadapan Momen. Menyadarkannya, bahwa dalam setiap peristiwa yang mengelilinginya itu tidak seharusnya dilewatkan begitu saja. Setiap kepingan yang membentuk peristiwa itu ternyata menyimpan sebuah makna.

JIM MORRISON:
Wow…sepertinya sakti…

SISIFUS:
Begitulah yang dikatakan Momen. Absurd memang, padahal semuanya bermula dari hal remeh-temeh. Berpapasan.

JIM MORRISON:
Jadi, dengan pekerjaanmu itu sekarang, menunjukkan pada manusia bahwa sebenarnya mereka adalah makhluk absurd. Makhluk yang segala tindak-tanduknya tidak bisa dipisahkan lagi antara mana yang logis dan tidak logis? Begitu? Seperti yang terjadi pada temanmu itu? Bagaimana dalam satu titik tertentu perilakunya, entah bagaimana, sudah tidak bisa dijelaskan oleh pikiran yang logis lagi?

SISIFUS:
Kurang lebih begitu. Dewa ku, Sartre, yang mengintruksikan seperti itu.

JIM MORRISON:
Ya, cukup menjelaskan sih. Dari dulu kamu emang absurd, hehe. Ga beres.

SISIFUS:
Haha, kamu juga sama aja. Apalagi pola hidup kamu, abstrak. Belum lagi wajahmu itu, artistik!

JIM MORRISON:
Wah, bercandanya udah nyambung ke fisik…dasar Edi Suseno!

SISIFUS:
Hei, jangan bawa-bawa nama Ayah saya! (mendegungkan kepala Jim Morrison dengan tangannya)

JIM MORRISON:
Hehe, disitu, menyulut pertempuran.

DIAM. RANTING POHON DI LUAR BERGOYANG KARENA DORONGAN ANGIN. GESEKAN ANTAR DAUN KERAS TERDENGAR. HAWA DINGIN MERAYAP MELALUI CELAH JENDELA YANG SEDIKIT TERBUKA. AIR KOPI DI GELAS HABIS. JIM MORRISON MENGOCOK GITAR. SISIFUS MENGANGKAT TUBUH, MENGINTIP SUASANA DILUAR KAMAR DARI BALIK JENDELA.

SISIFUS:
Hujan yang lebat. Udah lama ga hujan, sekalinya hujan…(kembali duduk disebelah Jim Morrison) …ah…gimana dengan lagu-lagu dan puisi-puisi mu, ada yang baru?

JIM MORRISON:
Ya, begitulah.

SISIFUS:
Isinya tentang apa kali ini?

JIM MORRISON:
Ah, hal-hal sepele. Seperti yang sudah-sudah, keterbatasan.

SISIFUS:
Keterbatasan? Apa maksudmu, keterbatasan?

JIM MORRISON:
Ya…keterbatasan. Apakah engkau pernah merasakan bagaimana dalam pikiranmu kau mempunyai segudang ide dan cita-cita? Menggenggam setumpuk keinginan di benakmu yang terdalam. Kau sangat tidak sabar ingin merealisasikan semua itu, ingin menghamparkannya di atas bumi. Kau ingin menunjukkan pada orang-orang, "hei, inilah rencana-rencana yang telah saya susun selama ini."

Kau melangkah tertatih-tatih dan jungkir balik untuk mewujudkan semua itu. Hingga suatu saat, teman lama hadir; waktu dan rutinitas, membuat semua cita-cita dan mimpi itu mentah dihadapannya. Segala langkahmu menjadi terhenti karenanya. Tubuhmu sudah tidak bisa melanjutkannya lagi. Tapi disisi lain, benakmu terus meronta, membutuhkan sebuah realisasi. Ide dan cita-cita yang memenuhi pikiranmu tidak begitu saja mudah surut oleh tekanan waktu dan rutinitas.

Kebutuhan itu terus hadir dalam hidupmu. Kunci-kunci nada gitar kau jalin menjadi sebuah lagu untuk sedikit meredakan mimpi yang meluap-luap dalam dirimu itu. Kertas kosong kau lukis dengan jalinan kata-kata yang paling dekat dengan mimpi yang butuh kau realisasikan. Kau buat semua itu sebagai usaha lain untuk melangkah lebih dekat dengan mimpimu itu. Tapi nyatanya, kau tidak melangkah kemana-mana. Kau hanya berputar-putar dalam kehidupan mu sendiri saja. Hanya berkutat pada cara menjalin nada dan merangkai kata. Seperti itu.

Dari berpuluh-puluh judul lagu dan puisi yang telah saya buat selama ini, semuanya hanya bersumber pada satu titik, keterbatasan. Semua itu seperti menjadi pengingat akan segala keterbatasan yang saya miliki dalam melangkah mencapai mimpi yang selama ini saya butuhkan.

SISIFUS:
Saya tidak sampai berpikir sejauh itu.

JIM MORRISON:
Bagus untukmu.

SISIFUS:
Menurutku semua karyamu selama ini jujur. Kau menyuarakan apa yang ada di dalam benakmu.

JIM MORRISON:
Cih! Bahkan saya sudah tidak bisa membedakan lagi mana yang jujur dan menipu diri sendiri. Garis pembatas yang memisahkannya sungguh buram bagi saya.

SISIFUS:
Setidaknya melalui lagu dan puisi yang kau buat, orang-orang menjadi tahu apa yang selama ini kau impikan.       

JIM MORRISON:
(mengambil sam soe, menyulutnya dan menghisapnya dalam. Mendongkakkan kepala keatas sambil menghembuskan asap rokok. diam.)

SISIFUS:
Banyak orang yang terinspirasi oleh karya-karya mu itu.

JIM MORRISON:
Bagus untuk mereka…saya juga membaca dari sebuah tabloid, ada seseorang yang hidupnya begitu terinspirasi oleh karya-karya saya. Oleh tabloid itu Ia sampai dijuluki 'penggemar militan'. Hidupnya berubah total ketika membaca dan mendengar karya saya. Ia menjadi lebih berani melakukan hal-hal yang selama ini tidak pernah terbayang olehnya. Kenekatan-kenekatan yang selama ini terlalu takut untuk ia simpan di benaknya.

SISIFUS:
Dan bagaimana perasaanmu mengetahui ada orang yang terinspirasi seperti itu?

JIM MORRISON:
Bagus untuk dia. Tapi tetap…bagi saya, karya-karya yang saya lahirkan tidak lebih sebagai pengingat keterbatasan, ketidakberdayaan yang saya miliki selama ini. Mimpi yang tertuang dalam setiap karya saya adalah cermin ketidakberdayaan saya sendiri dalam meraihnya. Kasarnya, karya yang saya buat adalah tempat bagi saya untuk menelan ludah sendiri...

Mau teh manis?

JIM MORRISON KE DAPUR MEMBUAT TEH MANIS DAN KEMBALI LAGI KE KAMAR MEMBAWA DUA GELAS THE MANIS YANG MENGEPUL PANAS. HUJAN MEREDA. SENJA TELAH DIGANTIKAN OLEH MALAM TEMARAM. LAMPU-LAMPU RUMAH MULAI MENYALA. SISIFUS MENGGANTI LAGU DENGAN YANG LEBIH SANTAI, LEBIH AKUSTIK; NEIL HASTEID.   

SISIFUS:    
Mungkin…(ragu-ragu)…mungkin…selama ini kau belum memberikan yang terbaik bagi mimpimu itu. Maksudku, setelah selama ini kau melangkah dan jungkir balik meraih mimpi, penghambat yang sebenarnya bukan terletak pada waktu dan rutinitas seperti yang telah kau sebutkan tadi. Keterbatasanmu sendirilah yang menjadi penghambat sebenarnya. Keterbatasan itu melebur dalam segenap totalitas pikiranmu sendiri. Menjadikannya seakan-seakan semua itu adalah hal yang sudah menyatu dengan dirimu sendiri. Secara tidak sadar, engkau telah menciptakan keterbatasan bagi dirimu sendiri. Mungkin…eng…mungkin selama ini kau belum melangkahi keterbatasan itu. Selama ini kau masih berkutat didalamnya. Kau belum selangkah lebih maju darinya…

(meminum the manis dan mengambil sam soe untuk kemudian menyulutnya)

maksudku, seperti waktu. Ia memang melaju cepat. Tapi, di dunia ini waktu hanyalah kumpulan angka yang terdiri dari 1 sampai 12. Seperti statistik, hanya menunjukkan kuantitas, tidak mencerminkan kualitas. Ng…maksudku, tidak tepat juga bila kita menyalahkan waktu ketika mimpi kita gagal untuk direalisasikan. Mungkin selama ini kita hanya berkutat dengan diri sendiri, sehingga kita lupa untuk melangkah. Kita disibukkan oleh keterbatasan yang kita anggap sebagai darah daging sendiri. Sebaliknya, kita lupa mempercepat langkah agar bisa menyusul waktu…

JIM MORRISON:
Hahah, saran bagus yang keluar dari mulut seseorang yang setiap harinya mendorong batu…

SISIFUS:
Engga-engga…bukan begitu maksudku. Saya bukan berniat menceramahi…hanya saja…

JIM MORRISON:
Ya-ya-ya, saya ngerti. Bercanda, kok. Saya paham maksud kamu. Maksud kamu itu, bisa jadi selama ini saya salah sasaran, gitu kan? Bisa jadi, segala kemampetan ini disebabkan karena saya berkutat dengan diri saya sendiri saja, sehingga-disadari atau tidak-saya ikut bertanggung jawab melahirkan keterbatasan diri saya sendiri, gitu kan maksudmu?

SISIFUS:
…ng…ya, seperti itu…duh, saya bukannya mau nyeramahin kamu ya…

JIM MORRISON:
(merangkul Sisifus) tenang saja, kawan. Sebaliknya, itu adalah saran yang bagus. Boleh juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan, haha. Atau mungkin…akan saya jadikan pokok pemikiran saya dalam membuat karya selanjutnya? Sepertinya ide yang bagus…

SISIFUS:
Ng…ya…baguslah…terserah kamu, sih…

JIM MORRISON:
Hei, tau ga, sebenernya saya iri juga sama apa yang kamu lakukan sekarang. Setiap hari mendorong batu dan menggelindingkannya lagi kebawah. Kau melakukannya seperti tanpa tekanan. Terlihat seperti orang merdeka. Santai. Mendorong batu, menggelindingkannya lagi, mendorong lalu menggelindingkannya lagi. Ingin juga saya seperti itu. Menjalani hari tanpa harus dipusingkan oleh hal-hal yang sebenarnya tidak perlu…

SISIFUS:
Ya, udah. Berhenti aja mempertanyakan segala sesuatunya.

JIM MORRISON:
Nah, itu…keterbatasan saya tuh, haha.

SISIFUS:
Haha, iya sih, dari dulu kamu mah kaya gitu. Orang yang selalu terjebak dalam masalah yang dibuatnya sendiri, haha.

JIM MORRISON:
Haha, bisa-bisa. Engga…kadang saya suka mikir gitu, ya. Apakah dunia yang saya tempati sekarang ini ga beres, banyak masalahnya atau saya nya aja yang emang ga beres, terjebak dalam masalah melulu? Soalnya ngeliat kamu tuh, seperti orang santai gitu. Hari-hari dijalanin aja kaya yang ga ada masalah. Everything seem flow on the right track.

SISIFUS:
Nah…yang kaya gitu…yang kaya gitu itu, seharusnya ga perlu dipertanyakan sih, haha.

JIM MORRISON:
Ah, haha. Sia goblok, haha (memoles kepala Sisifus).

HUJAN REDA. SAM SOE HABIS. TEH MANIS KANDAS. LAGU DARI NEIL HASTEID MEMASUKI LAGU TERAKHIR.  ESOKNYA, BERITA PAGI MEMBERITAKAN TELAH TERJADI HUJAN BADAI DI DAERAH KOTA SEPERTI CIHAMPELAS, TAMAN SARI DAN JALAN SUNDA. POHON-POHON BANYAK YANG TUMBANG, MENGHANTAM SEGALA YANG ADA DI BAWAHNYA. SEDANGKAN SISIFUS MASIH TETAP MENDORONG BATU DAN MENGGELINDINGKANNYA KE BAWAH SEPERTI SEDIA KALA. JIM MORRISON MABUK. MABUK PARAH. HAMPIR LEWAT. NAMUN BEGITU NYAWANYA MASIH BISA DITOLONG. IA MASUK PANTI REHABILITASI BAGI ORANG-ORANG KETERGANTUNGAN OBAT BIUS DAN TIDAK PERNAH KELUAR LAGI DARI TEMPAT ITU.

====================================================================
* arsip dari 25 Juli 2006

Senin, 16 Agustus 2010

Goodbye Melody Mountain

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:the Samuel Jackson Five
Mungkin 'Goodbye Melody Mountain' menjadi sesuatu yang menyegarkan bila dikorelasikan dengan trend 'post-rock'. Sementara akhir-akhir ini kamu melihat kecenderungan post rock yang mengarah kepada gaya-gaya yang kental merujuk pada Explotion in the Sky, album 'Goodbye Melody Mountain' dari the Samuel Jackson Five tidak jatuh pada tipikalitas post rock seperti itu. Di album yang dirilis pada tahun 2009 ini kita akan mendengar beberapa sentuhan brass dan string section, ritmik progressive, improvisasi jazz, math-rock, dan hamparan mood yang 'bright'. Tidak sekelam kebanyakan band-band post rock saat ini yang mengandalkan petikan-petikan beraroma shoegaze dengan hamburan delay atau reverb disana-sini. Mungkin bila ingin disandingkan, the Samuel Jackson akan terlihat cocok, ketika manggung bersama band semacam Tortoise. Sedikit eksperimental, namun total instrumental.

'Goodbye Melody Mountain' adalah album ketiga dari band yang berasal dari Norwegia ini. Dan menurut saya, bila dibandingkan dengan kedua albumnya yang terdahulu, sejauh ini 'Goodbye Melody Mountain' merupakan pencapaian terbaik the Samuel Jackson Five. Setidaknya struktur lagu-lagu yang ditawarkan di album ini lebih fokus dan mudah dicerna. Selain itu, aransemennya pun kaya. Terlebih lagi bila kita mendengar sentuhan brass section di beberapa lagunya. Menggugah mood. Menjadikan kedelapan lagu yang ada di 'Goodbye Melody Mountain' sebuah pengalaman anthemik. Walaupun, seperti mayoritas post rock lainnya, tidak ada lirik untuk dinyanyikan bersama didalam lagu-lagunya. Murni instrumental. Tetapi cukup untuk menjadi soundtrack dalam menemani hari-harimu. Contohnya, dengar saja lagu kedua berjudul 'Eye Eat Lotus'. Awalnya, musik berjalan santai dengan petikan-petikan melodi yang menenangkan. Tetapi, semakin maju durasinya, semakin intensitas lagu naik. Naik disini bukan dalam artian semakin keras, tetapi lebih kepada beat yang menggugah semangat. Hook-hook yang memiliki ketukan jazz canggung pada akhirnya mengantarkan kita menuju parade anthemik yang dimainkan dari brass section. Menjadikan klimaks lagu terdengar ramai dan memiliki mood yang positif. 'Bold'.

Secara keseluruhan, terdapat delapan lagu di album ini. Saya berani mengatakan, bahwa the Samuel Jackson Five menawarkan komposisi-komposisi yang cukup unik dalam setiap lagunya di album ini. Membuatnya tidak begitu membosankan atau tipikal seperti kebanyakan post-rock saat ini. Kita akan menemui beberapa kejutan dalam setiap lagunya. Dan itulah yang membuat album ini variatif dan menyenangkan untuk didengar.

Saya juga tertarik dengan latar belakang mereka. Latar belakang seperti negara asal mereka, dan bagaimana latar belakang musik mereka dulu. The Samuel Jackson Five berasal dari Oslo, Norwegia. Ini merupakan sesuatu yang cukup unik buat saya. Semenjak Norwegia dikenal oleh saya selama ini sebagai pengekspor band-band black metal satanik pembakar gereja, seperti Mayhem, Burzum, atau Gorgoroth. Lalu tiba-tiba disitu kamu mendengar nama band, seperti The Samuel Jackson Five ini muncul, dimana mereka memainkan musik yang jauh dari tipikalitas black metal Norwegia. Malah sebaliknya, adalah genre musik, seperti post rock yang kamu dengar. Genre yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya akan muncul dari negara seperti Norwegia. Ini tentu menarik perhatian saya.

Selain itu, konon, sebelum memulai dengan gaya bermusik seperti sekarang ini, pada tahun awal pendiriannya, yakni 2003, the Samuel Jackson Five bermula sebagai proyek drum n' bass. Nnaahh. Ini juga merupakan sesuatu yang aneh. Setidaknya bagi saya yang awam dengan genre drum n' bass. Genre drum n' bass, sepertinya terlalu mewah dan dugem untuk orang-orang (the Samuel Jackson Five) yang nantinya justru memutuskan untuk mengubah haluannya ke genre yang, setidaknya dilihat dari lifestyle, tidak cukup 'lux' untuk dilihat. Walaupun bila dilihat dari segi musikalitas, saya kira masih ada link yang menyatukannya, seperti pengaruh jazz dan brass section itu. Tetapi, diatas segala kekontrasan latar belakang itu, mungkin beginilah bila berhadapan dengan orang yang selalu ngomong, "bebaskeun weh!"

Tak perduli darimana kamu berasal dulunya, tak perduli ada batas apa yang bisa melabeli kamu nantinya. Selama bisa bereksplorasi, kenapa tidak?

========================================================
Bila kamu tertarik untuk mendengarkan the Samuel Jackson Five, coba saja kamu kopas link yang ada di bawah ini:
http://post-engineering.blogspot.com/2008/11/album-samuel-jackson-five-goodbye.html

Minggu, 15 Agustus 2010

Di Persimpangan Kemungkinan

Tetapi apakah itu yang membayangi di depan sana? Apakah hanya sebuah tanda lain dari ketidakpastian? Suatu tanda dari ketidakjelasan lainnya? Tetapi ketidakjelasan itu juga yang sesegera mungkin harus disapa. Mau-tidak mau.

Sabtu, 14 Agustus 2010

Morning Glimpse

Tetapi apakah itu yang membayangi di depan sana? Apakah hanya sebuah tanda lain dari ketidakpastian? Suatu tanda dari ketidakjelasan lainnya? Tetapi ketidakjelasan itu juga yang sesegera mungkin harus disapa. Mau-tidak mau.

Entah kemana semua ini akan mengarah pada akhirnya. Tetapi ku tak pernah menyesal dan minta maaf atas segala hal yang telah terjadi dan dilalui. Yang kutahu, pada akhirnya setiap orang di muka bumi ini harus mengambil beberapa pilihan. Menemukan kemungkinan untuk dirinya sendiri...dengan terpaksa atau tidak. Mau-tidak mau. Dan dari sini, sudah bukan pada tempatnya penyesalan dan keinginan untuk meminta maaf mengambil tempat. Yang tersisa hanyalah kenyataan eksistensial mu sendiri yang menempati sebuah ruang dan waktu baru, dan bagaimana keputusan lain harus sesegera mungkin ditentukan dari situ.

Namun, dengan kesadaran maupun keterpaksaan yang telah dihadapi selama ini, dan beberapa pilihan yang harus diambil setelahnya...kuketahui dengan jelas bahwa aku bebas. Aku memilih didalam sebuah persimpangan ketidakjelasan. Pada akhirnya, semua kesedihan, dan semua rasa sakit, menjadi tak relevan dengan kenyataan, bahwa aku adalah individu bebas yang menjalani konsekuensi dari kebebasan yang telah kupilih selama ini.

"Karena dengan ketidakjelasan, kamu menemukan kemungkinan bagi dirimu sendiri dengan segala konsekuensinya", begitu suara sayup terdengar dari arah belakang.

Tidak ada penyesalan, dan tidak ada jalan memutar kebelakang.