============
Membicarakan musik dalam titik tertentu menjadi bualan yang semakin bau tiap harinya. Terlebih lagi bila pembicaraan itu menyangkut referensi-referensi musik tertentu dengan tendensi melecehkan lawan bicara. Seperti, "oh kamu tau ben ini, atau kamu sudah dengar ben anu?!" Seringkali perbincangan seperti itu akan jatuh kepada masalah gengsi tingkat tinggi. Apalagi bila lawan bicaramu tidak mengetahui apapun tentang yang kamu bicarakan. Hal itu akan membuat nilai seseorang seolah-olah terdongkrak naik hingga melampaui kebesaran kepalanya.
Tetapi, jujur, manfaat apa sebenarnya bila dirimu mengetahui suatu topik musik dengan detail, dan disisi yang lain, lawan bicaramu menjadi seseorang bak keledai yang dungu, karena tidak mengerti apapun yang dibicarakan oleh mu? Dalam penyangkalan-penyangkalan naif, seseorang boleh beralasan demi penyebaran informasi semata-mata. Tetapi, alasan seperti itu sudah sering kulahap tanpa pernah selalu kusetujui. Tergantung siapa yang mengumbar alasan seperti itu terlebih dahulu.
Akuilah, selalu ada gengsi yang hadir, ketika kita mendapatkan akses yang orang lain tidak bisa mendapatkannya semudah kita. Selalu ada pikiran superior, ketika kita dengan fasih mengumbar silsilah sebuah genre musik, atau pengaruh-pengaruh musik historikal dari sebuah rilisan album band. Disitu akan selalu muncul sebuah rasa bangga, kecongkakan yang menopang anggapan, bahwa kita berbeda dengan 'mayoritas'. Oleh sebab itulah, kita harus bangga. Setidaknya masalah identitas menjadi dipertaruhkan disini. Identitas dengan pembatasan-pembatasan yang sangat kabur. Tetapi secara tersirat, intinya hanyalah masalah kecongkakan yang timbul dari pembedaan-pembedaan antara 'self' dan 'the other'. Hanya itu. Bukan identitas dengan makna terdalamnya.
Namun, yang paling menyedihkan diantara semuanya adalah kenyataan, bahwa 'identitas' yang dicari hanya berkutat diseputar benda dagangan (komoditi). Dengan 'membeli-mendapat-mengetahui' suatu musik/band, dimana orang lain tidak 'membeli-mendapat-mengtahui'nya seperti yang kita lakukan, maka disitulah identitas hadir. Dan dari sini, masalah identitas hanyalah turunan dari masalah lainnya: perilaku konsumtif. Dan ini menyedihkan. Pencarian identitas malah menemukan kanalnya dalam jagat konsumerisme. Identitas...kita beranggapan telah mengetahui identitas, hanya ketika kita berhubungan dengan komoditi yang diperjual-belikan. Berada dalam lingkup 'individu-benda'. Bukan hakikat yang melandasi hubungan 'individu-benda' tersebut. Ini menyedihkan.
Tetapi, jujur, manfaat apa sebenarnya bila dirimu mengetahui suatu topik musik dengan detail, dan disisi yang lain, lawan bicaramu menjadi seseorang bak keledai yang dungu, karena tidak mengerti apapun yang dibicarakan oleh mu? Dalam penyangkalan-penyangkalan naif, seseorang boleh beralasan demi penyebaran informasi semata-mata. Tetapi, alasan seperti itu sudah sering kulahap tanpa pernah selalu kusetujui. Tergantung siapa yang mengumbar alasan seperti itu terlebih dahulu.
Akuilah, selalu ada gengsi yang hadir, ketika kita mendapatkan akses yang orang lain tidak bisa mendapatkannya semudah kita. Selalu ada pikiran superior, ketika kita dengan fasih mengumbar silsilah sebuah genre musik, atau pengaruh-pengaruh musik historikal dari sebuah rilisan album band. Disitu akan selalu muncul sebuah rasa bangga, kecongkakan yang menopang anggapan, bahwa kita berbeda dengan 'mayoritas'. Oleh sebab itulah, kita harus bangga. Setidaknya masalah identitas menjadi dipertaruhkan disini. Identitas dengan pembatasan-pembatasan yang sangat kabur. Tetapi secara tersirat, intinya hanyalah masalah kecongkakan yang timbul dari pembedaan-pembedaan antara 'self' dan 'the other'. Hanya itu. Bukan identitas dengan makna terdalamnya.
Namun, yang paling menyedihkan diantara semuanya adalah kenyataan, bahwa 'identitas' yang dicari hanya berkutat diseputar benda dagangan (komoditi). Dengan 'membeli-mendapat-mengetahui' suatu musik/band, dimana orang lain tidak 'membeli-mendapat-mengtahui'nya seperti yang kita lakukan, maka disitulah identitas hadir. Dan dari sini, masalah identitas hanyalah turunan dari masalah lainnya: perilaku konsumtif. Dan ini menyedihkan. Pencarian identitas malah menemukan kanalnya dalam jagat konsumerisme. Identitas...kita beranggapan telah mengetahui identitas, hanya ketika kita berhubungan dengan komoditi yang diperjual-belikan. Berada dalam lingkup 'individu-benda'. Bukan hakikat yang melandasi hubungan 'individu-benda' tersebut. Ini menyedihkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar