Kota bisa menjadi tempat yang asing bagi penghuninya. Padahal jajaran gedung yang menjulang serasa menembus langit beserta papan reklame yang terpasang di kiri dan kanan jalan perkotaan konon adalah simbol kemakmuran sebuah kota. Seperti yang pernah kudengar dari pepatah lama: "kemakmuran sebuah masyarakat dimana corak produksi kapitalis muncul, menampakkan dirinya dalam wujud “an immense collection of commodities" atau mengoleksi komoditi sebanyak-banyaknya.”
Bila ku mengitari kota tempatku tinggal sekarang, begitu banyak papan reklame yang menawarkan produk maupun jasa tertentu. Belum lagi suatu altar bagi para manusia urban bernama mall. Bila melihat itu semua, kota memang terlihat makmur. Banyak produk yang ditawarkan (bahkan terlalu banyak), dan juga banyak hiburan. Dari sisi yang lain, hal itu juga akan berarti ada kesempatan untuk sebuah pekerjaan. Dengan terbukanya kesempatan untuk bekerja, maka akan ada peluang untuk mendapatkan hidup ideal (rumah tipe 54/160, mobil pribadi, keluarga sakinah, dsb). Intinya, ada harapan di dalam kota. Dan itulah yang umumnya membuat kota selalu didatangi manusia yang mencari harapan setiap tahunnya.
Memenuhi harapan personal tiap individu akan kemakmuran adalah cetak biru untuk desain setiap kota. Namun demikian, kota juga sekaligus adalah sebuah ruang yang paling tidak manusiawi, karena setiap bagian yang ada didalamnya diselaraskan dengan intensifikasi kerja dunia industri; dengan pemampatan aktivitas yang semakin padat dan bergulir cepat. Jalan layang serta jalan tol yang memotong waktu tempuh dari rumah ke kantor, pembangunan apartemen di pusat kota yang dekat dengan area bisnis, hingga pelebaran jalan raya untuk memperlancar arus modal yang sempat tersumbat (truk kontainer yang sering lewat rupanya membuat arus jalan raya macet dan lahan warga yang harus dikorbankan melalui persuasi bernama kompensasi).
Fasilitas dan kemudahan yang ada di kota pada akhirnya adalah fasilitas dan kemudahan yang didirikan dengan fondasi yang sakit. Tujuannya hanya untuk melekatkan individu-individu kepada poros kapital yang berputar semakin cepat dan intens. Namun kecepatan dan intensitas yang bukan semata-mata untuk kemudahan manusia sendiri, melainkan penggenjotan nilai-lebih.
Di sisi lain, ada kita, manusia yang bergerak mengikuti ritme kecepatan yang tiada habisnya itu. Pada akhirnya, seringkali kehidupan di kota berputar menjadi terlalu asing. Jalan layang tidak menjadi jaminan perjalanan menjadi nyaman; pikiran melayang kepada tugas yang belum diselesaikan. Ada sebuah taman di tengah kota; tetapi kita begitu terburu-buru. Rumah menjadi tempat singgah, bukan rumah itu sendiri.
Di dalam kota kita mengikuti arus. Terpana dan terpengaruh oleh kemakmuran dalam wujud fisikal. Sementara begitu sulitnya untuk berusaha menembus wujud fisikal dan melihat relasi sosial yang rumit antara agensi dari dua kelas yang kontras, ketika pikiran kita sendiri dilelahkan dengan denyut nadi perkotaan.
Tetapi kita terus menghirup nafas kehidupan, menjalaninya dari hari ke hari. Betapapun lelahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar