Sabtu, 31 Juli 2010

restless

Sebelumnya aku tidak pernah ingat orang tua. Terutama Ibu. Hingga akhir-akhir ini...ketika ku mengalami banyak kegagalan. Ada sebuah perasaan yang tiba-tiba menyeruak melalui hati dan otak. Ada potongan-potongan memori yang mengingatkan ku pada orang tua, dan membuat perasaan ini selalu sedih.

Kesedihan ini terutama bila mengingat bagaimana setiap pagi aku selalu melihat ibu ku di dapur sedang memasak. Lalu siang hari, beliau menyusuri setiap sudut rumah sambil membawa kain lap untuk mengepel. Dan Sore harinya, ketika beliau kembali ke dapur dan memasak untuk makan malam. Sehabis makan malam pun beliau terkadang tidak langsung selesai urusan. Adakalanya dia menyetrika baju, atau bahkan mencuci baju di lantai atas.

Baru kusadari sekarang, aktivitas rutin ibu itu yang membuatku hingga jadi seperti ini. Aku mencapai diriku seperti ini, tidaklah serta merta tumbuh begitu saja. Ada asupan kalori, vitamin, protein, dan sebagainya yang sedari kecil dipasok oleh Ibuku. Setiap harinya beliau beraktivitas kurasa bukanlah tanpa alasan dan bukan juga untuk kepentingan dirinya semata. Tetapi juga untuk kepentingan diriku juga.

Ibarat dalam sebuah masyarakat yang memiliki kebudayaan yang maju, semua itu tidak diciptakan begitu saja. Tetapi ada orang-orang yang bekerja di dalamnya. Piramid tidak muncul begitu saja dari kedalaman padang pasir, tetapi ada orang-orang, budak, yang mengerjakannya. Industri berkembang pesat, tidak semata-mata permainan para pemegang saham saja, tetapi ribuan pekerja yang tersebar di beragam teritori malah yang berperan sangat besar. Sebuah masyarakat bisa berkembang, adalah pertama-tama mereka mengatur relasinya antara sesamanya dan alam dengan bekerja terkait pemenuhan kebutuhan hidupnya. Di tataran mikro, seperti keluarga, kurang lebih yang kurasakan seperti demikian (walaupun dalam beberapa hal, budak dan pekerja tidak semuanya ikhlas melakukan apa yang mereka kerjakan).

Aku tidak akan menjadi seperti ini, bila sebelumnya tidak ada yang turut mengusahakan diriku hingga menjadi seperti sekarang ini. Aku tidak akan menjadi seperti ini, bila sebelumnya tidak ada orang yang setiap harinya beraktivitas yang sama dan itu-itu saja di dalam rumah, seperti ibuku.

***

Mungkin bila kutanya mengapa ibu mau beraktivitas yang sama seperti itu terus-menerus, kuyakin dia pun akan menjawab semua itu semata-mata untuk kepentingan anaknya. Untuk anaknya agar bisa bertahan hidup dan berkembang. Seperti semua ibu lainnya, dia akan menjawab semua ini memang kewajiban setiap orang tua. Tanpa ada pernyataan-pernyataan terkait dengan hakikat hidup, jender, perspektif radikal mengenai peranan orang tua, atau bahkan tuntutan upah layak yang seringkali diperjuangkan para pekerja. Tidak ada. Memang seperti inilah adanya kewajiban orang tua: membesarkan anaknya dengan penuh tanggung jawab.

Tetapi tujuan itulah yang membuatku saat ini begitu sedih. Apalagi bila kuingat kegagalanku, dan bagaimana aku terpaksa membohong kepada ibu semata-mata hanya untuk tidak membuat suasana hatinya risau.

Bagaimana pun, aku tidak tega menambah beban bagi beliau. Melihat bagaimana beliau menua, dan terlihat kuyu. Satu hal yang kuinginkan saat ini hanyalah segera menuntaskan permasalahan yang sedang kuhadapi. Sehingga dengan begitu, aku dapat mengurangi kadar ketergantungan kepada beliau, dan membalas segala kebaikannya.

Tetapi, sialnya, kegagalan yang terakhir ini begitu membuatku galau. Sungguh membuatku berat untuk mencoba memulai kembali. Dunia serasa berputar dengan cara yang memberatkan kepalaku.

Oh, maaf ibu.

Tidak ada komentar: