Selasa, 20 Oktober 2009

Jeff Arwadi and Leo Setiawan are Leaving Kekal, But the Band Remains Exist Without Band-Members

The following is the statement made by Jeff:

I cannot describe how sad I am at this point, but the situation is simply inevitable and I have made a decision, a very tough decision I've been thinking about for more than a couple years now: I am leaving Kekal.

Yesterday, I celebrated the 14th anniversary of Kekal in a very low-key; drinking alone quietly in sadness and grief, remembering all those years we have been through as a band. It is hard to believe that I had to leave this way, but it is better to end like this than to suffer by not being able to express myself properly to the band, and not being able to handle the band all by myself.

After about 3 years of living in such a different atmosphere (being closer to the nature: parks, lakes & mountains, and being placed in the city of 1 million instead of overcrowded 13 million that I used to live), I found myself devoid of all the anger and bitterness within, and further, that turns out that I am unable to express myself with music. I realized that I had used music to express negative feelings for far too long, to channel pain, anger and bitterness, if you don't have them in you any longer to a certain level, you can't force yourself to make that happen or they might influence you back into your life. I am all against fake expressions, and there is no way for me to lie to myself pretending that I still have that kind of negative feelings and continue to write songs for Kekal.

There are indeed some other reasons which contribute to my final decision, but they are more personal and private.

As for the other remaining member, Leo, he agreed that if I leave Kekal, he will leave too. He has his own music project at this moment and he wants to keep his focus on that, so this means he is leaving Kekal with me. And Levi already left Kekal earlier this year.

So does that mean Kekal has ended? No, absolutely not. We all understand that Kekal CANNOT be dissolved as a band. No one has a right to disband Kekal legally as it is already bound to copyrights, licenses and all the legal stuff as an independent institution. But it is a good thing to see Kekal as a band will stay forever in the music world, even without current active band-members. The energy and music will stay there and it will touch many more people in generations to come. All internet sites of Kekal will remain running and active, and the band itself has as many as 7 albums on the back-catalog.

I am asking you fellow music enthusiasts, to keep listening to the music of Kekal and keep share it to all your friends as many as possible. I always believe Kekal should gain many more listeners than it has today, and it's up to us, including myself, to keep spread Kekal's music to the world.

I am asking you to please share Kekal's Myspace, Facebook, and Last.fm links to all your friends and let them listen the music and experience Kekal.
(Source: Kekal Website).



*****
Secara personal, ini menyedihkan. Apalagi bila mengingat pertama kali mendengarkan mereka di album 1000 thoughts of violence jauh di jaman, ehm, ‘remaja’ dulu. Bagaimana tidak, di jaman album itu keluar (kira-kira tahun 2003) gaya bermusik mereka termasuk menonjol diantara musik-musik underground lokal. Bahkan, sekitar tahun 2004 lalu mereka sempat melakukan mini-tour di benua Eropa…dan mini tur itu juga bukan tur di kedutaan besar Indonesia, dimana mayoritas penontonnya orang-orang Indonesia lagi…tidak seperti itu. Ini asli tur Eropa, dimana orang bule yang menjadi penontonnya.

Dan hal yang lebih menyedihkannya lagi sebenarnya bukan sekadar pada sisi musikalitas Kekal, tetapi orang-orang dibelakangnya. Buat saya, eksistensi Kekal selama empat belas tahun ini sangat memberi saya inspirasi dalam memandang musik. Tidak mudah mempertahankan sebuah band hingga selama itu. Apalagi bila diselingi oleh pergantian personil dan semacamnya. Ditambah fakta, bahwa kamu tinggal di negara dunia ketiga seperti Indonesia. Dimana elemen pendukung (infrastruktur, kesempatan karir, dsb) dalam bermusik, khususnya musik underground, masih sangat-sangat lemah. Tidak mudah untuk bisa fokus dalam bermusik di kondisi seperti demikian.

Dan perjuangan orang-orang dibalik Kekal yang bisa bertahan hingga empat belas tahun, menjadi inspirasi tersendiri buat saya. Apalagi bila memperhatikan proses kreatif Kekal dalam membuat musik. Proses kreatif, ketika personil Kekal tidak lagi utuh: hanya tinggal berdua (Jeff dan Leo). Bagaimana  absennya drummer (padahal ini vital dalam sebuah band!) tidak menghentikan mereka dalam berkarya…malah, absennya drum itu diakali dengan drum digital.

Tantangan paling berat bagi Kekal mungkin adalah ketika salah satu personil, yakni Jeff, harus tinggal di Kanada, sedangkan Leo masih tinggal di Indonesia. Mempertahankan sebuah band, apalagi ketika personilnya tinggal di negara yang berbeda dan dipisahkan oleh jarak beribu-ribu kilometer. Tentu sangat tidak mudah.  Dan  masalah seperti itu menjadi perjuangan tersendiri bagi mereka. Walaupun pada kenyataannya, mereka berdua akhirnya hengkang juga dari Kekal. Dan dengan kepergian mereka berdua, berarti habis juga personil yang ada di dalam Kekal….

Hmm, saya tidak ahli membuat kata-kata perpisahan yang mengharukan, tapi yang pasti, Kekal selalu menjadi inspirasi buat saya. Inspirasi untuk tidak lekas mematikan semangat dalam bermusik…dan terus berusaha untuk mengeksplorasi musik yang berbeda dari perspektif industri musik. Karena bermusik tentunya harus dibawa senang, tidak dipenuhi oleh perhitungan-perhitungan apakah khalayak akan suka atau tidak (seperti pola industri musik yang hanya memikirkan profit itu). Lagipula, dalam bermusik, yang terpenting adalah kualitas karya. Masalah orang akan suka atau tidak, akan mengikuti kemudian…dan Kekal setidaknya telah membuktikan hal itu.

So long Kekal… your music and passion will always be remembered by me. Godspeed.

Minggu, 18 Oktober 2009

Studio Class 2009: Perkembangan Gitar Klasik (Bag. 2 - habis)

Menilik perkembangan gitar klasik, pertama kali dimulai pada tahun 1500 SM di Persia. Bahkan, secara etimologis, kata “gitar” itu sendiri berasal dari Persia, yakni dari kata “Char” (yang berarti “empat”), dan “tar” (yang berarti “senar”). Gitar di jaman Persia itu sering dikelompokkan dengan nama “Persian Tanbur”. Di jaman itu, bentuk gitar tidak seperti yang dikenal seperti saat ini: memiliki enam senar, fretboard, lubang suara, saddle,  serta bodi gitar yang melengkung dan besar.  Bentuk gitar di jaman Persia masih sederhana, leher gitar dan bodinya tidak sebesar seperti gitar yang diketahui saat ini. Bodi Persian Tanbur termasuk kecil, dan senarnya pun masih empat.

Lalu, sekitar tahun 400 gitar pertama kali mulai dikenal di wilayah Eropa, khususnya di Yunani dan Italia. Namun demikian, bentuknya masih mirip dengan Persian Tanbur: berukuran kecil, dan memiliki empat senar. Gitar pada periode ini, sering dikelompokkan dengan nama Greek Tanbur (Yunani), dan Roman Tanbur (Italia).

Perubahan yang cukup signifikan pada bentuk gitar pertama kali
berada di sekitar tahun 1500. Saat itu dikenal dengan instrumen bernama Vihuela. Instrumen Vihuela ini ada yang berpendapat pertama kali muncul di Spanyol. Namun demikian, pada tahun yang sama, Vihuela ini dikenal juga di Mexico, Italia, dan Portugal. Untuk Italia dan Portugal, Vihuela sering disebut dengan nama Viola de Mano.

Senar Vihuela tergolong banyak bila dibandingkan dengan Persian Tanbur, yakni ada dua
belas senar. Untuk bodi, bentuknya masih tergolong kecil dibandingkan gitar klasik dijaman modern. Namun demikian, Vihuela ini tergolong dasar bagi perkembangan bentuk gitar klasik hingga kita mengenalnya seperti sekarang ini.

Perkembangan gitar hingga kepada bentuknya yang kita kenal sekarang, berpijak di sekitar tahun 1800. Konon, salah satu gitaris dari Italia bernama Macassi saat itu mendatangi seorang luthier atau pembuat gitar untuk memodifikasi bodi gitar. Macassi mengeluh kepada luthier tersebut, bahwa gitar miliknya itu suaranya terdengar kecil. Dari situlah sang luthier menanggapi keluhan Macassi tersebut dengan memperbesar bodi gitar. Modifikasi yang dilakukan luthier itu pada akhirnya yang menjadi cetak biru bagi bentuk gitar klasik hingga sekarang.

Menurut Chris, salah satu guru gitar klasik yang menjadi pembicara pada Studio Class 2009, sekitar tahun 1500 hingga 1800-an, gitar kalah populer dibandingkan instrumen orkestra lainnya yang ada pada saat itu, seperti violin dan piano. Beberapa dari penyebabnya adalah sisi kesulitan dalam memainkan gitar. Memainkan gitar lebih sulit dibandingkan dengan memainkan piano. Selain itu, disebabkan bentuknya yang kecil dan senarnya belum terbuat dari nylon, maka suaranya juga tidak sekencang seperti suara gitar di jaman sekarang. Malah terkalahkan oleh suara yang keluar dari violin. “Violin, walaupun bentuknya kecil, tetapi suara yang dihasilkannya lebih kencang dibandingkan suara gitar pada jaman itu,” jelas Chris.

Namun demikian, kehadiran komposer Fernando Sor (1778 – 1837) sanggup mengembangkan gitar ke level yang selanjutnya. Sor sering disebut sebagai komponis yang brilian pada masanya dan mempengaruhi gitaris-gitaris yang datang sesudahnya. Dalam membuat lagu, Sor selalu membuat notasinya terlebih dahulu, baru kemudian memainkan gitar. Berbeda dengan komposer-komposer lain pada masanya, dimana dalam membuat musik, mereka berpijak dari permainan gitar terlebih dahulu. Dengan kejeniusan Sor dalam menggubah lagu tersebut, gitar pada akhirnya diperhitungkan sebagai alat musik “konser” sebuah orkestra. Paradigma pada masa itu, instrumen gitar tidak dianggap bisa menggubah lagu-lagu klasik dalam sebuah konser orkestra. Permainan Sor pada nyatanya membongkar paradigma tersebut. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah “Theme and Variations on Mozart's the Magic Flute Opus 9".

Gitaris lain yang memberi pengaruh terhadap perkembangan gitar klasik adalah Andrés Segovia (1893-1987). Segovia dianggap sebagai “bapak”-nya musik klasik modern. Disamping teknik bermain gitarnya yang menginspirasi banyak gitaris, Segovia juga adalah seseorang yang mempengaruhi dan mendorong para luthier untuk bereksperimen dengan kayu dan desain bodi gitar, sehingga menghasilkan suara yang jernih dan lebih kencang. Selain itu, Segovia juga sudah mulai menggunakan senar berbahan nylon pertama kali di jamannya.  

Studio Class 2009: Perspektif Menikmati Musik (Bag. 1)

Bila kita tidak menyenangi suatu jenis musik tertentu, bukan berarti jenis musik yang kita dengarkan itu jelek, tetapi kita sebagai pendengar memang belum mengerti apa yang diinginkan oleh musik tersebut. Hal itu diutarakan oleh Chris, ketika berbicara di depan murid-murid sekolah musik Allegria saat acara Studio Class 2009, Minggu 18 Oktober 2009.

“Tidak ada istilah jelek dalam musik. Semua jenis musik itu bagus. Tidak ada musik yang diciptakan untuk tujuan merusak dunia,” tambah guru gitar klasik di Allegria ini dibarengi tawa hadirin.

Dalam Studio Class 2009 yang diselenggarakan atas inisiatif para guru musik yang mengajar di sekolah musik Allegria itu Chris menceritakan pengalamannya pertama kali, ketika bersentuhan dengan dunia musik klasik. Chris bercerita, sama seperti umumnya niat para murid yang akan les gitar klasik, tujuan pertama kalinya adalah untuk bisa membentuk band bersama teman-temannya. Tidak ada niatan untuk mendalami musik klasik. Bahkan dirinya sendiri mengaku, saat pertama kali les gitar, dirinya tidak menyenangi musik klasik sama sekali.

“Dulu, guru saya selalu memberi saya cd musik klasik. Dan tidak pernah didengarkan sama sekali oleh saya. Tetapi, guru saya itu terus-terusan memaksa saya untuk mendengarkan musik klasik. Hingga saya selalu dimarahi bila tidak mendengarkan musiknya. Akhirnya, karena selalu dipaksa untuk mendengarkan musik klasik, akhirnya sampai sekarang saya bisa menikmati musik klasik,” jelas Chris.

Dari pengalamannya dipaksa mendengarkan musik klasik itulah Chris memetik pelajaran, bahwa tidak sukanya seseorang terhadap suatu genre musik tertentu, bisa disebabkan karena seseorang itu memang belum mengerti pola musik yang didengarkannya tersebut. Bukan karena musik itu jelek atau bagaimana.

Khusus untuk musik klasik, musik jenis ini memang belum banyak digemari. Salah satu penyebabnya, biasanya dari aransemen yang terlalu rumit, hingga dampaknya terdengar membosankan. Tidak seperti lagu populer yang struktur lagunya simpel dan mudah dicerna. Namun demikian, seperti yang diutarakan oleh pembicara lainnya dalam Studio Class 2009, yaitu Suryo, bahkan musik populer yang digemari oleh masyarakat pun merupakan turunan dari musik klasik. Hal itu bisa dilihat, menurut Suryo, dari pola tiga nada yang biasa terdapat dalam susunan struktur lagu populer yang berasal-muasal dari musik klasik.

Terdapat beberapa rangkaian acara dalam Studio Class 2009 yang diselenggarakan oleh para guru gitar klasik Allegria pada Minggu, 18 Oktober 2009, yang diadakan di Batu Nunggal, Bandung ini. Seperti menonton dvd permainan gitaris klasik John Williams, resital oleh para murid Allegria, dan obrolan santai mengenai perkembangan gitar klasik.

Rabu, 14 Oktober 2009

Ini Tidak Berhenti Hanya Pada Masalah Pendidikan

Banyak orang menyayangkan dan juga mempertanyakan pelaku pemboman di Indonesia akhir-akhir ini yang beberapa diantaranya telah mengecap pendidikan di universitas. Contohnya seperti gembong teroris yang telah meninggal saat Densus 88 menggerebek tempat persembunyiannya di Solo, 17 Agustus 2009 silam, yakni Noordin M. Top. Sebelum mulai membom apapun yang menurut Noordin adalah simbol kafir, dia sempat mengenyam pendidikan di Universiti Teknologi Malaysia (UTM). Konon, universitas itu adalah tempat belajar yang cukup terpandang di negeri jiran. Sebuah universitas tertua di Malaysia dan fokus di bidang teknik dan teknologi. Bahkan partner in crime-nya yang duluan mendapatkan ajal, yakni Dr. Azhari juga adalah dosen di universitas itu.

Pertanyaan-pertanyaan, seperti mengapa orang yang telah diberi asupan pendidikan di universitas, seperti Noordin M. Top, misalnya, tega melakukan pemboman yang melukai banyak orang, seolah-olah mengesankan, bahwa pendidikan menentukan jaminan baik-buruknya kualitas moral atau intelektual seseorang.

Untuk masalah pemboman ini, mungkin masalahnya bukan terletak pada apakah seseorang telah mengecap pendidikan tinggi atau tidak. Semenjak universitas di jaman sekarang juga tak ubahnya seperti korporasi. Hanya mementingkan iuran registrasi. Selain itu, universitas di jaman sekarang pun berfungsi layaknya aparat dari sistem yang dominan, yakni kapitalisme. Menjaga agar sistem dominan tetap utuh melalui ideologi-ideologi yang disebarkan secara halus dalam kelas maupun buku rujukan yang dibaca oleh mahasiswa. Universitas menjadi tempat percetakan manusia-manusia yang nantinya akan mengukuhkan sistem dominan yang sedang berjalan saat ini. Universitas tidaklah netral dari intervensi ideologi kekuasaan yang sedang dominan.

Lalu, bila begitu, lantas apa masalahnya sehingga pemboman di Indonesia bisa terjadi? Masalahnya itu tadi, sistem dominan saat ini. Sistem yang dibeberapa tempat memberikan limpahan kekayaan yang tidak terkira, tetapi di tempat lain, hanya memberikan kelaparan sekaligus tragedi. Bukan sekadar apakah pelaku mengecap pendidikan atau tidak.

Masalah pemboman yang terjadi di Indonesia ini erat kaitannya dengan masalah keagamaan. Masalah keyakinan yang personal. Pemboman terjadi sebagai wujud rasa frustrasi dari sekelompok gerakan keagamaan akan sistem yang berlaku dominan saat ini, dimana menurut mereka, sistem dominan tersebut hanya menghasilkan kemaksiatan dan kehampaan spiritual saja. Sistem itu tidak memberikan ruang untuk spiritualitas mereka.

Sebenarnya, rasa frustrasi yang dialami oleh kelompok gerakan yang berlandaskan agama ini memang wajar, dan malah bagus bila dikembangkan menjadi sebuah perlawanan. Tetapi, mereka keliru memasang target frustrasi mereka kepada negara Amerika Serikat yang mereka persetankan itu.

Contohnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam Samudra mengenai alasan mengapa ia mengebom Paddy’s Café di Bali pada tahun 2002 silam, dalam bukunya “Aku Melawan Teroris”. Di bukunya itu, Imam Samudra menulis, "Detik itu juga kemenangan dan kegembiraan Yahudi bersama salibis internasional membahana, karena memang itulah yang mereka harapkan. Kemenangan musuh itu, berlanjut terus hingga sekarang dengan negara Amerika sebagai panglimanya, diikuti Israel, dan para sekutunya.”

Alasan itulah yang membuat Imam Samudra terpacu untuk “jihad” melawan kaum “kafir”, dengan cara mengebom sebuah kafe di Bali dengan sasaran melukai sebanyak mungkin warga negara asing. Sebuah tindakan yang salah sasaran, menurut saya.

Inti masalah adalah kapitalisme, bukan AS. Di satu sisi, jantung kapitalisme memang AS, tetapi tentu saja tidak semua warga AS memiliki pandangan yang sama mengenai kapitalisme, kecuali, tentu, The Fed, dan Wall Street. Bila ingin membicarakan pemboman, mungkin The Fed dan Wall Street inilah yang harus dibom (bukan kafe atau hotel!).


Ketegangan Antara Modernitas dan Agama

Tarik ulur antara gerakan keagamaan dengan sistem yang berlaku saat ini, sudah berlangsung sejak lama. Dan bukan hanya muslim yang frustrasi dengan sistem dominan sekarang. Karen Armstrong dalam bukunya The Battle For Gods, memaparkan dengan bagus mengenai gerakan-gerakan fundamentalis keagamaan, mulai dari pemeluk Kristen hingga Yahudi, yang bersitegang dengan, Armstrong menyebutnya, “modernitas”. Setidaknya di tahun 1970-80 an, menurut Armstrong, gerakan fundamentalis ini berkembang dan tumbuh subur. Gerakan-gerakan tersebut terjadi di beberapa negara, seperti Mesir, benua Eropa, hingga bahkan di negara AS itu sendiri.

Inti dari munculnya pergerakan fundamentalis keagamaan itu dipicu oleh semakin terpinggirkannya spiritualitas oleh modernitas yang semakin mendominasi segala aspek kehidupan. Hal yang menjadi sebab mengapa, bagi sebagian orang, modernitas dipandang sebagai pemicu munculnya pergerakan fundamentalis itu adalah, karena karakter khas yang dibawa oleh modernitas itu sendiri: dia mempersetankan metafisika, dan berjalan sepenuhnya dengan mengandalkan ukuran-ukuran, serta logika empirik. Padahal, menurut Armstrong, manusia tidak bisa sepenuhnya hidup dengan mengandalkan logika, atau ukuran-ukuran tok semata. Tetapi manusia perlu memiliki keyakinan akan sesuatu diluar dirinya dan tak terjangkau oleh logika yang bersifat materialistis. Hal itu semata-mata untuk mengisi ruang spiritualitas dalam diri manusia agar tidak terasing dalam kehidupan. Agar manusia bisa memiliki keyakinan dan mampu memberikan makna terhadap eksistensinya di dunia fana ini. Perlu ada keseimbangan antara spiritualitas dan logika. Tetapi di jaman sekarang, moral atau spiritualitas sekalipun tidak akan dianggap bila tidak memberikan keuntungan dan laba bagi segelintir orang yang memiliki kekuasaan.


Permasalahan pun Bukan Hanya Berhenti Pada Konsep “Modernitas”

Bila Karen Armstrong menjelaskan, bahwa modernitas adalah pemicu dari munculnya pergerakan fundametalis keagamaan, maka saya beranggapan, bahwa kapitalisme adalah akar penyebab, mengapa beberapa orang bisa sedemikian frustrasinya, lantas mengebom menara atau hotel. Menurut saya, modernitas hanyalah bawaan dari kapitalisme itu sendiri.

Seperti yang diketahui, pola produksi kapitalisme yang umum saat ini, mencapai perkembangannya yang pesat pertama kali pada jaman revolusi industri di Inggris. Dengan ditemukannya mesin uap, maka berubah pula relasi-relasi sosial dan pola produksi. Sistem pabrik mulai marak saat itu, karena dengan penemuan-penemuan teknologi yang ada saat itu, semakin mudah untuk memproduksi barang secara massal. Namun demikian, teknologi yang ada tersebut tidak serta merta membuat semua orang bisa mengaksesnya, kecuali segelintir orang elit. Dan dari titik inilah, pemerasan dan perampokan tenaga kerja massal oleh segelintir elit dimungkinkan hingga sekarang.

Dalam bidang kebudayaan pun terjadi perubahan. Ketika perkembangan teknologi yang terjadi terbukti ampuh untuk memudahkan pekerjaan (selain merampok dan memeras tenaga kerja), timbul kepercayaan diri tentang ide, bahwa seorang manusia dapat menaklukan alam dengan pikirannya. Maka dari itulah mengapa filosofi “cogito ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada) begitu popular pada masa itu. Dengan sepenuhnya menggunakan akal pikirannya, ternyata manusia tidak selalu harus tergantung oleh alam, dan bahkan otoritas gereja, seperti yang menjadi ciri khas abad pertengahan (sebelum abad pencerahan). Manusia ternyata bisa merdeka dan menjadi individu bebas dengan menggunakan akal pikirannya.

Namun demikian, pola pikir seperti itu menyisakan beberapa masalah. Ketika manusia mengklaim bisa bebas dan merdeka, maka perlu dipertanyakan lagi klaim seperti itu. Kebebasan dan kemerdekaan siapa yang dimaksud? Apakah kebebasan bagi seluruh umat manusia, atau hanya bagi segelintir elit yang memiliki akses, dan dengan sendirinya memiliki kekuasaan untuk menindas mereka yang sebagian besar tidak memiliki akses?

Lalu, masalah lainnya adalah, ketika manusia mengklaim dapat menaklukan alam dengan pikirannya semata. Sehingga dengan begitu, pikirannya sendiri dalam hal ini menjadi andalan utama. Dari sini, tentu saja peranan spiritualitas dalam memberikan makna kepada individu menjadi tergerus, dan bahkan punah sepenuhnya. Seringkali spiritualitas dengan logika kapitalisme tidak berjalan akur.

Bagi mereka yang tertindas dalam sistem pabrik, waktu kerja hingga lima belas jam sehari selama seminggu penuh, tentu tidak bisa memiliki waktu untuk dirinya sendiri (kontemplasi, ibadah, bahkan sekadar rekreasi). Penemuan teknologi bukannya memudahkan seseorang dalam bekerja, tetapi malah semakin menekannya. Bahkan hingga jaman sekarang. Dengan kerja lembur dan semacamnya, semakin sedikit individu memiliki waktu senggang yang berguna untuk pemenuhan kebutuhan spiritualnya. Dari situ juga mengapa, hingga sekarang manusia dekat dan mengenal betul konsep “hampa” dan “terasing”.

Di titik ekstrimnya, keterasingan dan kehampaan ini juga yang menjadi pemicu pergerakan keagamaan fundamentalis ini. Akar-akar agama yang dulunya menjadi dasar spiritualitas manusia dan memberikan makna terhadap eksistensi manusia, menjadi tercerabut. Yang ada sekarang hanyalah ukuran-ukuran, dan usaha peningkatan keuntungan. Semuanya dikomodifikasi. Diperdagangkan ala kapitalisme yang selalu memeras dan berorientasi profit. Tidak ada solidaritas sosial selama itu tidak menghasilkan keuntungan. Siapa yang tidak merasa frustrasi dan hampa, ketika interaksi sesama manusia tidak dilandasi niat tulus hanya untuk sekadar bersilaturahmi, tetapi malah dimanfaatkan untuk bisnis, bahkan seringkali penjarahan dan pencerabutan akar tradisi? Siapa yang tidak merasa jengah, ketika mempelajari sholat saja dikenai biaya hingga jutaan rupiah?

Saya merasa, yang diperlukan oleh masyarakat saat ini adalah ketulusan yang benar-benar murni, tanpa dilandasi oleh perhitungan-perhitungan untung atau rugi, layaknya saudagar di pasar. Ketulusan itu memang gampang diucapkan, tetapi dalam lingkup yang lebih besar, pola pikir seperti itu akan menjadi masalah. Siapa yang mau memberikan atau membagi sesuatu secara cuma-cuma dijaman sekarang? Apakah perusahaan seperti Free Port di Papua berani untuk membagi secara fair hasil garapannya dengan masyarakat lokal Papua, tanpa harus secara berlebihan memupuk keuntungan bagi segelintir CEO-nya? Pastinya hanyalah kerugian yang diterima bila pola pikir seperti itu diterapkan. Tetapi disitulah tantangannya. Apakah kita akan terus membusuk di jaman yang mempersetankan ketulusan hanya demi pemupukan kekayaan pribadi, atau kita mencoba melawan sistem dominan ini dengan segala cara dan di segala lini? Kehidupan tentu sangat berharga, dan layak untuk dijalani.

Sistem yang mempersetankan ketulusan seperti ini, sudah barang tentu tidak akan memperdulikan solidaritas sosial. Karena, seperti kapitalisme yang menjadi dasarnya, satu hal yang dikejar hanyalah bagaimana mencapai keuntungan dan laba yang setinggi-tingginya, dengan penjarahan dan perampokan sebagai cara kerjanya.

Pola seperti itu hanya menguntungkan segelintir elit yang memiliki akses sekaligus kekuasaan. Dampaknya tentu adalah perilaku individualistis yang akut, selain kesenjangan yang lebar antara mereka yang memiliki dan mereka yang tidak memiliki. Hal seperti ini juga, pada dasarnya yang bisa membuat orang yang tidak bisa mengikuti alurnya menjadi frustrasi. Dan dalam beberapa hal, muncul pemboman dan aksi-aksi yang otoritas sebut sebagai “aksi terorisme”. Sebuah wujud rasa frustrasi atas teror-teror korporasi dan para kapitalis yang selama ini menekan kehidupan mereka: orang-orang yang terpinggirkan itu.

Ini Tidak Berhenti Hanya Pada Masalah Pendidikan

Banyak orang menyayangkan dan juga mempertanyakan pelaku pemboman di Indonesia akhir-akhir ini yang beberapa diantaranya telah mengecap pendidikan di universitas. Contohnya seperti gembong teroris yang telah meninggal saat Densus 88 menggerebek tempat persembunyiannya di Solo, 17 Agustus 2009 silam, yakni Noordin M. Top. Sebelum mulai membom apapun yang menurut Noordin adalah simbol kafir, dia sempat mengenyam pendidikan di Universiti Teknologi Malaysia (UTM). Konon, universitas itu adalah tempat belajar yang cukup terpandang di negeri jiran. Sebuah universitas tertua di Malaysia dan fokus di bidang teknik dan teknologi. Bahkan partner in crime-nya yang duluan mendapatkan ajal, yakni Dr. Azhari juga adalah dosen di universitas itu. 

Pertanyaan-pertanyaan, seperti mengapa orang yang telah diberi asupan pendidikan di universitas, seperti Noordin M. Top, misalnya, tega melakukan pemboman yang melukai banyak orang, seolah-olah mengesankan, bahwa pendidikan menentukan jaminan baik-buruknya kualitas moral atau intelektual seseorang.

Untuk masalah pemboman ini, mungkin masalahnya bukan terletak pada apakah seseorang telah mengecap pendidikan tinggi atau tidak. Semenjak universitas di jaman sekarang juga tak ubahnya seperti korporasi. Hanya mementingkan iuran registrasi. Selain itu, universitas di jaman sekarang pun berfungsi layaknya aparat dari sistem yang dominan, yakni kapitalisme. Menjaga agar sistem dominan tetap utuh melalui ideologi-ideologi yang disebarkan secara halus dalam kelas maupun buku rujukan yang dibaca oleh mahasiswa. Universitas menjadi tempat percetakan manusia-manusia yang nantinya akan mengukuhkan sistem dominan yang sedang berjalan saat ini. Universitas tidaklah netral dari intervensi ideologi kekuasaan yang sedang dominan.

Lalu, bila begitu, lantas apa masalahnya sehingga pemboman di Indonesia bisa terjadi? Masalahnya itu tadi, sistem dominan saat ini. Sistem yang dibeberapa tempat memberikan limpahan kekayaan yang tidak terkira, tetapi di tempat lain, hanya memberikan kelaparan sekaligus tragedi. Bukan sekadar apakah pelaku mengecap pendidikan atau tidak.

Masalah pemboman yang terjadi di Indonesia ini erat kaitannya dengan masalah keagamaan. Masalah keyakinan yang personal. Pemboman terjadi sebagai wujud rasa frustrasi dari sekelompok gerakan keagamaan akan sistem yang berlaku dominan saat ini, dimana menurut mereka, sistem dominan tersebut hanya menghasilkan kemaksiatan dan kehampaan spiritual saja.  Sistem itu tidak memberikan ruang untuk spiritualitas mereka.

Sebenarnya, rasa frustrasi yang dialami oleh kelompok gerakan yang berlandaskan agama ini memang wajar, dan malah bagus bila dikembangkan menjadi sebuah perlawanan. Tetapi, mereka keliru memasang target frustrasi mereka kepada negara Amerika Serikat yang mereka persetankan itu. Inti masalah adalah kapitalisme, bukan AS. Di satu sisi, jantung kapitalisme memang AS, tetapi tentu saja tidak semua warga AS memiliki pandangan yang sama mengenai kapitalisme, kecuali, tentu, The Fed, dan Wall Street. Bila ingin membicarakan pemboman, mungkin The Fed dan Wall Street inilah yang harus dibom (bukan kafe atau hotel!). 

Contohnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam Samudra mengenai alasan mengapa ia mengebom Paddy’s Café di Bali pada tahun 2002 silam, dalam bukunya “Aku Melawan Teroris”. Di bukunya itu, Imam Samudra menulis, "Detik itu juga kemenangan dan kegembiraan Yahudi bersama salibis internasional membahana, karena memang itulah yang mereka harapkan. Kemenangan musuh itu, berlanjut terus hingga sekarang dengan negara Amerika sebagai panglimanya, diikuti Israel, dan para sekutunya.”

Alasan itulah yang membuat Imam Samudra terpacu untuk “jihad” melawan kaum “kafir”, dengan cara mengebom sebuah kafe di Bali dengan sasaran melukai sebanyak mungkin warga negara asing. Sebuah tindakan yang salah sasaran, menurut saya.


Ketegangan Antara Modernitas dan Agama

Tarik ulur antara gerakan keagamaan dengan sistem yang berlaku saat ini, sudah berlangsung sejak lama. Dan bukan hanya muslim yang frustrasi dengan sistem dominan sekarang. Karen Armstrong dalam bukunya The Battle For Gods, memaparkan dengan bagus mengenai gerakan-gerakan fundamentalis keagamaan, mulai dari pemeluk Kristen hingga Yahudi, yang bersitegang dengan, Armstrong menyebutnya, “modernitas”. Setidaknya di tahun 1970-80 an, menurut Armstrong, gerakan fundamentalis ini berkembang dan tumbuh subur. Gerakan-gerakan tersebut terjadi di beberapa negara, seperti Mesir, benua Eropa, hingga bahkan di negara AS itu sendiri.

Inti dari munculnya pergerakan fundamentalis keagamaan itu dipicu oleh semakin terpinggirkannya spiritualitas oleh modernitas yang semakin mendominasi segala aspek kehidupan. Hal yang menjadi sebab mengapa, bagi sebagian orang, modernitas dipandang sebagai pemicu munculnya pergerakan fundamentalis itu adalah, karena karakter khas yang dibawa oleh modernitas itu sendiri: dia mempersetankan metafisika, dan berjalan sepenuhnya dengan mengandalkan ukuran-ukuran, serta logika empirik. Padahal, menurut Armstrong, manusia tidak bisa sepenuhnya hidup dengan mengandalkan logika, atau ukuran-ukuran tok semata. Tetapi manusia perlu memiliki keyakinan akan sesuatu diluar dirinya dan tak terjangkau oleh logika yang bersifat materialistis. Hal itu semata-mata untuk mengisi ruang spiritualitas dalam diri manusia agar tidak terasing dalam kehidupan. Agar manusia bisa memiliki keyakinan dan mampu memberikan makna terhadap eksistensinya di dunia fana ini. Perlu ada keseimbangan antara spiritualitas dan logika. Tetapi di jaman sekarang, moral atau spiritualitas sekalipun tidak akan dianggap bila tidak memberikan keuntungan dan laba bagi segelintir orang yang memiliki kekuasaan.


Permasalahan pun Bukan Hanya Berhenti Pada Konsep “Modernitas”

Bila Karen Armstrong menjelaskan, bahwa modernitas adalah pemicu dari munculnya pergerakan fundametalis keagamaan, maka saya beranggapan, bahwa kapitalisme adalah akar penyebab, mengapa beberapa orang bisa sedemikian frustrasinya, lantas mengebom menara atau hotel. Menurut saya, modernitas hanyalah bawaan dari kapitalisme itu sendiri.

Seperti yang diketahui, pola produksi kapitalisme yang umum saat ini, mencapai perkembangannya yang pesat pertama kali pada jaman revolusi industri di Inggris. Dengan ditemukannya mesin uap, maka berubah pula relasi-relasi sosial dan pola produksi. Sistem pabrik mulai marak saat itu, karena dengan penemuan-penemuan teknologi yang ada saat itu, semakin mudah untuk memproduksi barang secara massal. Namun demikian, teknologi yang ada tersebut tidak serta merta membuat semua orang bisa mengaksesnya, kecuali segelintir orang elit. Dan dari titik inilah, pemerasan dan perampokan tenaga kerja massal oleh segelintir elit dimungkinkan hingga sekarang.

Dalam bidang kebudayaan pun terjadi perubahan. Ketika perkembangan teknologi yang terjadi terbukti ampuh untuk memudahkan pekerjaan (selain merampok dan memeras tenaga kerja), timbul kepercayaan diri tentang ide, bahwa seorang manusia dapat menaklukan alam dengan pikirannya. Maka dari itulah mengapa filosofi “cogito ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada) begitu popular pada masa itu. Dengan sepenuhnya menggunakan akal pikirannya, ternyata manusia tidak selalu harus tergantung oleh alam, dan bahkan otoritas gereja, seperti yang menjadi ciri khas abad pertengahan (sebelum abad pencerahan). Manusia ternyata bisa merdeka dan menjadi individu bebas dengan menggunakan akal pikirannya.

Namun demikian, pola pikir seperti itu menyisakan beberapa masalah. Ketika manusia mengklaim bisa bebas dan merdeka, maka perlu dipertanyakan lagi klaim seperti itu. Kebebasan dan kemerdekaan siapa yang dimaksud? Apakah kebebasan bagi seluruh umat manusia, atau hanya bagi segelintir elit yang memiliki akses, dan dengan sendirinya memiliki kekuasaan untuk menindas mereka yang sebagian besar tidak memiliki akses?

Lalu, masalah lainnya adalah, ketika manusia mengklaim dapat menaklukan alam dengan pikirannya semata. Sehingga dengan begitu, pikirannya sendiri dalam hal ini menjadi andalan utama. Dari sini, tentu saja peranan spiritualitas dalam memberikan makna kepada individu menjadi tergerus, dan bahkan punah sepenuhnya. Seringkali spiritualitas dengan logika kapitalisme tidak berjalan akur.

Bagi mereka yang tertindas dalam sistem pabrik, waktu kerja hingga lima belas jam sehari selama seminggu penuh, tentu tidak bisa memiliki waktu untuk dirinya sendiri (kontemplasi, ibadah, bahkan sekadar rekreasi). Penemuan teknologi bukannya memudahkan seseorang dalam bekerja, tetapi malah semakin menekannya. Bahkan hingga jaman sekarang. Dengan kerja lembur dan semacamnya, semakin sedikit individu memiliki waktu senggang yang berguna untuk pemenuhan kebutuhan spiritualnya. Dari situ juga mengapa, hingga sekarang manusia dekat dan mengenal betul konsep “hampa” dan “terasing”.

Di titik ekstrimnya, keterasingan dan kehampaan ini juga yang menjadi pemicu pergerakan keagamaan fundamentalis ini. Akar-akar agama yang dulunya menjadi dasar spiritualitas manusia dan memberikan makna terhadap eksistensi manusia, menjadi tercerabut. Yang ada sekarang hanyalah ukuran-ukuran, dan usaha peningkatan keuntungan. Semuanya dikomodifikasi. Diperdagangkan ala kapitalisme yang selalu memeras dan berorientasi profit. Tidak ada solidaritas sosial selama itu tidak menghasilkan keuntungan. Siapa yang tidak merasa frustrasi dan hampa, ketika interaksi sesama manusia tidak dilandasi niat tulus hanya untuk sekadar bersilaturahmi, tetapi malah dimanfaatkan untuk bisnis, bahkan seringkali penjarahan dan pencerabutan akar tradisi? Siapa yang tidak merasa jengah, ketika mempelajari sholat saja dikenai biaya hingga jutaan rupiah?

Saya merasa, yang diperlukan oleh masyarakat saat ini adalah ketulusan yang benar-benar murni, tanpa dilandasi oleh perhitungan-perhitungan untung atau rugi, layaknya saudagar di pasar. Ketulusan itu memang gampang diucapkan, tetapi dalam lingkup yang lebih besar, pola pikir seperti itu akan menjadi masalah. Siapa yang mau memberikan atau membagi sesuatu secara cuma-cuma dijaman sekarang? Apakah perusahaan seperti Free Port di Papua berani untuk membagi secara fair hasil garapannya dengan masyarakat lokal Papua, tanpa harus secara berlebihan memupuk keuntungan bagi segelintir CEO-nya? Pastinya hanyalah kerugian yang diterima bila pola pikir seperti itu diterapkan. Tetapi disitulah tantangannya. Apakah kita akan terus membusuk di jaman yang mempersetankan ketulusan hanya demi pemupukan kekayaan pribadi, atau kita mencoba melawan sistem dominan ini dengan segala cara dan di segala lini? Kehidupan tentu sangat berharga, dan layak untuk dijalani.

Sistem yang mempersetankan ketulusan seperti ini, sudah barang tentu tidak akan memperdulikan solidaritas sosial. Karena, seperti kapitalisme yang menjadi dasarnya, satu hal yang dikejar hanyalah bagaimana mencapai keuntungan dan laba yang setinggi-tingginya, dengan penjarahan dan perampokan sebagai cara kerjanya.

Pola seperti itu hanya menguntungkan segelintir elit yang memiliki akses sekaligus kekuasaan. Dampaknya tentu adalah perilaku individualistis yang akut, selain kesenjangan yang lebar antara mereka yang memiliki dan mereka yang tidak memiliki. Hal seperti ini juga, pada dasarnya yang bisa membuat orang yang tidak bisa mengikuti alurnya menjadi frustrasi. Dan dalam beberapa hal, muncul pemboman dan aksi-aksi yang otoritas sebut sebagai “aksi terorisme”. Sebuah wujud rasa frustrasi atas teror-teror korporasi dan para kapitalis yang selama ini menekan kehidupan mereka: orang-orang yang terpinggirkan itu.

Kamis, 08 Oktober 2009

Pieces

"Where do you want to go my heart? anywhere, anywhere out of this world."
-CrimeThinc-

Siapa yang menepi di kedalaman jiwa, dialah yang melabuhkan tajamnya parang. Seseorang yang siap untuk terjun kedalam api. Tidak perlu lagi meragukan kebimbangannya. Apalagi bila melihatnya tertawa, tentu sudah terasa tentram. Ikuti saja kemana ia melangkah.
   
Seperti malam itu di kios roti bakar Jalan Ambon dengan kopi dan rokok sebagai pelengkap. Dia hadir diantara ketakutan dan harapan. Menawarkan sebatang rokok, meminjamkan sepeser uang.

"Tidak perlu resah," katanya, "bagaimanapun juga, malam ini tidak akan sama dengan esok."

Dia terus bersenandung, walaupun kerisauan membelah-belah nyali
   
    Tujuh tahun sudah sekarang, dan dia hanya menjadi kilasan sesaat
    butiran debu yang tersinari oleh cahaya mentari
    melayang, hilir-mudik bersama ribuan debu lainnya
    tapi, dia telah menancapkan kehadirannya
    tidak akan pernah tergantikan oleh apa pun,
    pancaran sinar matanya,
    gaya merokoknya,
    kebiasaan menyilangkan tangannya ketika cemas,
    tawanya yang terbahak,
    perasaannya tentang cinta,
    kebenciannya yang meluap,
    tatapannya yang tajam,
    hilir-mudik...

Tentu tidak akan pernah tergantikan. Tentu tidak akan. Terlalu berharga untuk ditukar dengan apapun. Terlalu keterlaluan untuk dibungkus dan dibuang ke tong sampah


    
   

 

Ah… woman. A problem about them is … that you can love ‘em, but you can’t have ‘em.

Minggu, 04 Oktober 2009

Megadeth

Bahkan kini kamu takut mati. Cuplikan-cuplikan suasana pasca bencana alam di layar kaca itu menjadi dasar, katamu, bahwa kematian itu ada…atau setidaknya sesuatu yang ternyata ‘hadir setelah absen selama ini’. Seperti mereka yang keluar dari kantor-kantornya, dari lubang persembunyiannya, dari zona kenyamanannya sendiri, tentu adalah air mata yang menjadi isyarat. Kepanikan di jalan raya dan kompleks perkantoran, ketika kaki-kaki sebelumnya berderap tergesa-gesa menuruni tangga: dengan sengaja, atau tidak sengaja meninggalkan apapun, selain jasadnya sendiri. Kamu panik, kita panik. Dan diatas segala-galanya, adalah imaji tentang kematian yang bersemayam dibalik kepanikan kita.

Setelah sekian tahun masuk-keluar kantor, setelah sekian lama kamu naik-turun elevator, setelah sekian lama kamu terlarut dalam kertas-kertas laporan keuangan…kamu baru tahu ada bahasa Indonesia yang namanya “kematian”? Cih. Jangan-jangan kamu baru tahu juga gerigi-gerigi roda mesin di pabrikmu itu berhenti berputar, karena sang operator juga sudah kelabakan mencari perlindungan. Lari terbirit-birit meninggalkan mesin. Meninggalkan apapun yang ada, hanya demi keselamatan. Keselamatan. Bukan kematian.

Ternyata kehidupan memang pantas untuk dicintai, ya? Jauh lebih pantas dicintai, ketimbang laporan keuangan dan gerigi-gerigi roda mesin mu itu.

Megadeth

Bahkan kini kamu takut mati. Cuplikan-cuplikan suasana pasca bencana alam di layar kaca itu menjadi dasar, katamu, bahwa kematian itu ada…atau setidaknya sesuatu yang ternyata ‘hadir setelah absen selama ini’. Seperti mereka yang keluar dari kantor-kantornya, dari lubang persembunyiannya, dari zona kenyamanannya sendiri, tentu adalah air mata yang menjadi isyarat. Kepanikan di jalan raya dan kompleks perkantoran, ketika kaki-kaki sebelumnya berderap tergesa-gesa menuruni tangga: dengan sengaja, atau tidak sengaja meninggalkan apapun, selain jasadnya sendiri. Kamu panik, kita panik. Dan diatas segala-galanya, adalah imaji tentang kematian yang bersemayam dibalik kepanikan kita.

Setelah sekian tahun masuk-keluar kantor, setelah sekian lama kamu naik-turun elevator, setelah sekian lama kamu terlarut dalam kertas-kertas laporan keuangan…kamu baru tahu ada bahasa Indonesia yang namanya “kematian”?  Cih. Jangan-jangan kamu baru tahu juga gerigi-gerigi roda mesin di pabrikmu itu berhenti berputar, karena sang operator juga sudah kelabakan mencari perlindungan. Lari terbirit-birit meninggalkan mesin. Meninggalkan apapun yang ada, hanya demi keselamatan. Keselamatan. Bukan kematian.

Ternyata kehidupan memang pantas untuk dicintai, ya? Jauh lebih pantas dicintai, ketimbang laporan keuangan dan gerigi-gerigi roda mesin mu itu.

Kamis, 01 Oktober 2009

Flashing Lights

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Rock
Artist:The Lions Constellation
Sweet ol’ fashioned shoegaze rock. Tidak seperti mendengarkan semacam post-rock dengan sound yang jernih dan petikan-petikan ala Eksplotion in the Sky yang menghanyutkan itu. Tetapi, rasanya seperti kita berkumpul lagi bersama teman sekolah angkatan ’96. Membicarakan betapa kerennya video klip dari Supergrass, The Verve, Blur, Rumah Sakit, yang kita lihat dari Mtv Indonesia yang setengah hati menyiarkan acara musik di stasiun AnTeve, dengan diiringi lagu-lagu lawas era ’80-an dari band-band semacam Ride, My Bloody Valentine, Jesus and the Mary Chains.

Tidak ada sound yang cukup jernih bila membicarakan The Lions Constellation, namun sebaliknya. Sound yang raw, kasar, tetapi tetap terasa harmonis. Di jaman sekarang, mungkin seperti mendengarkan Jesu album pertama, tetapi dengan kadar ‘heaviness’ jauh dibawah Jesu, namun dengan tempo yang jauh lebih cepat di atas Jesu. Seperti kamu mendengarkan kembali band-band shoegaze awal yang masih kental dengan nuansa punk rocknya. All about riffing, distortion, raw sounds with noise and feedback all over the place.

Dan yang mengejutkan dari The Lions Constellation adalah asal negara band tersebut, yakni Spanyol. Pertama kali mendengarkan, saya kira band ini datang dari Inggris, karena gaya vokalnya selalu mengingatkan saya pada band-band british pop. Tetapi ternyata, wekwew, salah boy. Datangnya dari Spanyol. Dari negara yang dulu pernah berada dibawah kekuasaan imperium Utsmani itu.

Ada sebelas lagu di album Flashing Lights ini. Dengan lagu pembuka, yakni "Walking On the Sun", yang bisa dibilang cukup memancing rasa ketertarikan. Terdapat semacam aroma psychedelic yang bertabrakan dengan aroma dream pop yang cukup kental. Tempo mengalir lambat. Tidak lupa, distorsi dan feedback yang cukup membuat ‘ribut’ suasana, tetapi tidak membuatnya jatuh menjadi semacam lagu noise juga.

Lalu, lagu yang cukup menarik juga adalah "She’s My Heroine". Sebuah lagu dengan durasi terpanjang diantara lagu-lagu lainnya di album Flashing Lights. Sekitar tujuh menit. "She’s My Heroine" diawali dengan petikan-petikan yang cukup panjang dan mencapai klimaks, ketika dipertengahan muncul distorsi serta feedback-feedback yang mendominasi seluruh atmosfir. Menyerempet-nyerempet psychedelic. Lalu, klimaks itu diakhiri oleh semacam noise dan feedback. Sweet.

Track kedelapan, yakni "Lies About Love", mungkin adalah lagu yang paling catchy dan cerah diantara lagu lainnya. Bila saya bilang cerah, tetap diingat cerah disini berarti cerah dalam konteks shoegaze. Cerah yang berada di pertengahan, mungkin seperti senja: gelap tidak, terang juga tidak. Tetapi, masih terdengar tetap manis. :D

Buat kalian yang menggemari musik-musik british pop dan juga band-band shoegaze awal, kemungkinan besar akan menyukai album ini.