Minggu, 27 Desember 2009

Fiksi: Mengenang Iqbal (Bag. 4 - Habis)

Mata Iqbal menerawang di ruangan itu. Lalu, seperti megap-megap. Sebentar-sebentar mulutnya terbuka lalu tertutup. Ia kepayahan, seperti kehabisan nafas. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, namun tidak sanggup untuk dikeluarkannya. Suaranya tidak jelas. Dudi mencoba menenangkannya.

“Sabar…Bal, sabar…,” Ia mengusap-usap lengan Iqbal. Sementara Iqbal meronta lemah memohon sebuah pertolongan. Sebuah pemandangan yang miris.

Saya bertanya kepada Ibunya yang ada di ruangan rawat itu. Ia hanya berkata, ‘sakit panas.’ Jawaban yang tidak memuaskan dan, bagiku, tidak masuk akal. Buat apa bila sekadar sakit panas, Iqbal harus menginap di rumah sakit sampai memasuki hari kelima. Satu lagi hal yang tidak masuk akal adalah keadaan tubuhnya yang seakan-akan menyusut dan kering kerontang itu. Semuanya hanya karena sakit panas.

Tiba-tiba Iqbal berkata kepadaku dengan suara yang hampir tidak terdengar, “Ri, saya udah ga betah disini.”

Mendengar itu saya hanya bisa menenangkannya. Mengusap-usap lengannya,  seperti yang telah Dudi lakukankan sebelumnya. Sebenarnya saya tidak kuat melihat pemandangan seperti itu.

“Ri, Ga bisa kemana-mana. Saya udah ga betah. Ri, ayo kita maen keluar,” Berulang kali Iqbal berbicara seperti itu. Ia tidak mau diam.

“Kalem, Bal, sabar. Dirawat dulu aja, biar sembuh. Kalau udah sembuh baru kita maen bareng lagi,” kata saya seperti berbicara ke anak kecil.

Teman-teman yang lain diam mencerna peristiwa yang tidak biasa ini. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Mungkin sama dengan saya, kilasan-kilasan masa lalu kembali berkelibatan dalam pikiran teman-teman. Terlihat pada setiap mata mereka yang tertuju ke Iqbal yang meronta-ronta, namun tidak berdaya.

***
Malam begitu menghipnotis dengan segala kegelapannya. Lalu mencekam saat orang-orang di dalam rumah membaca ayat-ayat Quran. Perumahan dimana aku berada kini begitu padat. Sesak berdempet-dempetan. Begitu kumuh, dan didalam salah satu rumah itu, berbaring Iqbal yang ditutupi oleh kain kafan.

Dua hari setelah mengunjungi Iqbal di rumah sakit, Dudi meneleponku dan mengabarkan, bahwa Iqbal tidak tertolong lagi. Aku tidak terkejut mendengarnya, karena saat melihat kondisinya yang mengkhawatirkan di rumah sakit itu, aku sendiri mempunyai firasat, bahwa Ia akan menyusul Tanto. Firasatku ternyata benar. Namun, penyebab kematiannya masih menjadi misteri bagiku. Aku yakin Dudi dan Yudha mengetahui penyebabnya. Namun, mereka lebih memilih merahasiakannya.

“Gosipnya, sih, sama kaya si Tanto,” Jawab Matoy, ketika kutanyakan tentang penyebab sakit Iqbal, “tapi, ga tau juga.”

Ah, sudahlah. Aku memang tidak ingin tahu amat tentang apa penyebabnya. Malah, aku juga tidak begitu berminat untuk ikut duduk mengelilingi Iqbal di dalam rumahnya bersama yang lain. Aku dan Matoy lebih memilih duduk di teras. Merokok. Mendengar ayat Quran yang dibaca oleh orang-orang didalam. Merasakan malam yang dingin dan berupaya menepis pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran.   

“Tapi, sekalinya kita ngumpul lagi…cukup aneh juga, ya, suasananya,” Matoy berkata seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri. Ia menghisap rokoknya. Aku tidak merespon perkataannya.

Di sela-sela pembacaan ayat-ayat Quran yang terasa sendu pada malam itu, keheningan menyeruak bersama dengan angin malam yang berhembus pelan.
 
 

Fiksi: Mengenang Iqbal (Bag. 3)

Dari arah sebelah kanan kios terdengar suara knalpot motor yang memekakkan telinga. Teman-teman, seperti Yudha, Aryo, dan Adi, beranjak dari tempat duduk yang ada di sebelah kios. Melihat ke arah suara knalpot motor yang bising itu. Semakin dekat, suara knalpot sialan itu semakin memekakan telinga.

“Sialan. Bising amat tuh motor. Siapa? Anak-anak, bukan?” kata Aryo.

Kedua motor itu menghampiri kios dan berhenti tepat dihadapan kami. Keempat orang yang naik motor itu semuanya mengenakan helm full face, sehingga sulit untuk mengindentifikasikan siapa-siapa saja mereka itu. Hingga salah seorang yang mengendarai motor dengan knalpotnya yang super bising itu menanggalkan helmnya, terlihat wajah teman lama yang familiar: Eldhi. Disusul ketiga orang lainnya yang juga menanggalkan helmnya masing-masing. Terlihat, Dudi, Jaka dan…haha, ya, teman sebangku dulu: Matoy. Sialan, mereka semua berubah. Setidaknya dalam hal ukuran tubuh. Semuanya seakan-akan serba membesar. Terutama di bagian perut.

“Wey, edan. Koboy berkumpul! Hehe,” Eldhi berkata sambil menyalami anak-anak. Suasana tambah hangat, ketika mereka datang. Saling menanyakan kabar dan perubahan yang terjadi selama ini. Seperti menunaikan kekangenan yang lama terpendam.

Sekarang, berkumpullah semua sudah. Matoy, Eldhi, Dudi, Jaka, Yudha, Aryo dan Adi. Mereka adalah teman-teman terdekatku selama SMP dulu. Masa-masa segala gejolak berkecamuk. Kami tumbuh bersama disaat sedang ‘haus-hausnya’. Kami haus dengan hal-hal baru, haus akan hal-hal yang kami anggap aneh. Kami ingin mencoba segalanya. Mulut kami selalu mangap, menunggu tetesan demi tetesan air kehidupan mengalir lewat kerongkongan. Kasarnya, apa saja yang hinggap di mulut, niscaya akan kami telan sampai habis saat itu. Ya, kami ingin menjalani hidup dan ingin merasakannya hingga titik terjenuh.

Dimasa ingin menjalani hidup dan merasakannya hingga titik terjenuh itulah, salah seorang kawan, Tanto namanya, berbaring di kedalaman tanah kurang lebih lima meter di usianya yang masih sangat muda. Tanto meninggal karena sering mengkonsumsi putaw. Saat itu tahun 1999. Di tahun itu, putaw sedang sangat popular.

Tanto diketemukan di kamarnya oleh seorang adik kelas (entah siapa lupa namanya) tergeletak tidak bernyawa dengan mulut membusa. Padahal, saat itu kami baru lulus SMP. Kematiannya sungguh disayangkan. Semenjak kematiannya itu, Adi dan Yudha buru-buru bertobat. Di kelompok kami, mereka bertiga itulah yang memang sering mencoba-coba putaw. Sementara Saya, Eldhi, Dudi, Matoy, Aryo dan Jaka hanya berhenti pada ganja. Saya memang tidak pernah punya cukup uang untuk membeli putaw. Untuk menghisap ganja saja, seringkali saya patungan dengan anak-anak. Tiga ribu perak perorang. Tidak pernah membeli satu paket murni memakai uang sendiri. Terlalu mahal.

Seharusnya ada sepuluh orang bila kelompok kami utuh berkumpul. Namun, ya, itu tadi. Satu orang telah berbaring di dalam tanah dan Iqbal…semenjak dia dikeluarkan dari sekolah, kami kehilangan kontak. Beberapa bulan setelah Iqbal dikeluarkan, Ia memang masih sering berkunjung ke kios. Tetapi, kira-kira menginjak bulan keempat, Ia tidak pernah datang lagi ke kios. Ditelepon ke rumahnya pun, Ia malah seringkali tidak pulang ke rumah.

Sebenarnya ada sebuah peristiwa yang kembali menyatukan kami, sebuah alasan kenapa kami harus menginjakkan kaki kembali di kios ini. Entah bagaimana, tetapi aku merasa seperti ada kekuatan yang menarik semua kawan-kawan untuk kembali bertemu. Untuk sedikit meluangkan waktu ditengah padatnya aktivitas masing-masing. Peristiwa itu berkaitan dengan Iqbal. Kami akan menemuinya hari ini.

“Gimana, semua sudah berkumpul. Kita pergi sekarang?” Yudha berkata pada kami.

“Memang sekarang dia berada di Immanuel?” kata Adi.

“Ya, dapet kabarnya, sih, gitu. Kemaren pas nelepon ke rumahnya, gitu,” Dudi membalas.

“Siapa yang ngangkat telepon?” tanya Aryo.

“Kakaknya, gitu…ga, taulah. Suara cowok.”

“Emang sebenernya kenapa, sih, Iqbal?” Saya penasaran, karena kabar mengenai dirinya sungguh simpang siur. Saya hanya mendapat kabar, bahwa dia terbaring sakit kritis di rumah sakit. Namun, tidak ada penjelasan mengenai apa penyebabnya hingga Ia harus dirawat. Teman-teman juga sama tidak tahu.

“Entahlah, katanya sakit,” jawab Dudi dengan sikap yang terasa tidak biasa. 

Saya merasa ada yang disembunyikan.

“Ya, udahlah. Hayo kita cabut. Keburu Magrib!” kata Yudha.

(bersambung)

Fiksi: Mengenang Iqbal (Bag. 2)

Begitulah. Seakan-akan momentum di kelas dua caturwulan pertama itu berkelibatan di dalam benak. Seperti masa lama lampau yang telah terlewati itu tiba-tiba mewujud lagi. Hadir setelah sebelumnya mengendap dalam. Di saat seperti ini, ketika teman-teman berkumpul lagi, duduk-duduk lagi di kios yang sama seperti tiga tahun lalu, memori itu menemukan kanalnya. Mengalir deras memenuhi relung pikiran ini.

Lama tidak terdengar kabar dari Iqbal. Ada satu kejadian mengenai dirinya di masa SMP dulu yang cukup membuatku merasa kehilangan hingga saat ini. Jadi, tidak beberapa lama, masih dalam hitungan bulan setelah kejadian hukuman skorsing itu, Iqbal terlibat perkelahian dengan salah satu teman kami, Tama. Masalah sepele. Mengenai hutang. Tapi, berujung perkelahian maut di depan kelasku saat jam istirahat. Suasana menjadi begitu hiruk pikuk saat itu. Melihat bagaimana kedua orang itu saling melancarkan serangan terkerasnya. Wajah Tama menjadi tak karuan karena darah yang mengucur dari hidungnya. Begitupun dengan kelopak mata sebelah kiri Iqbal yang membengkak dihantam bogem mentah Tama. Begitu keras perkelahian itu.

Tama adalah seseorang dengan perawakan tinggi besar. Bila aku bercanda dengannya, kadangkala aku memukul-mukul badan atau punggungnya. Ketika memukul-mukul itu, terasa, bahwa tubuh Tama liat seperti kuda. Kencang. Lalu, tulang-tulangnya yang besar pun terasa keras. Mengerikan memang bila mendapatkan pukulan darinya. Bila sedang bercanda, aku sering mendapatkan pukulan darinya. Langsung terasa linu. Itu bila bercanda, apalagi bila berantem serius. Mungkin rasanya akan lebih dari linu, seperti batu bata keras dilempar kencang tepat ke tulang kaki keringmu. Coba bayangkan rasanya seperti apa.

Di sisi lain, Iqbal adalah seseorang dengan perawakan kecil dengan tubuh yang tidak terlalu kurus, tidak juga gendut. Gempal. Namun, Ia mempunyai nyali yang jauh di atas rata-rata bila dibandingkan dengan teman-teman lainnya. Pernah, suatu kali ada segerombolan preman yang sering memalak siswa-siswa sekolah kami. Preman itu adalah siswa-siswa dari SMA yang reputasinya terkenal cukup angker dan berlokasi tidak jauh dari sekolah kami. Mulai dari anggota geng hingga pemasok ganja semuanya ada di SMA itu. Suatu kali Iqbal mendatangi kios tempat nongkrong gerombolan berandalan SMA itu. Kebetulan ada lima orang yang sedang nangkring saat itu dan Iqbal tanpa pikir panjang mulai menghajar kelima orang itu dengan menggunakan balok. Walaupun Iqbal membawa balok, tetap saja perkelahian itu tidak seimbang. Lima lawan satu. Belum lagi tubuh Iqbal yang kecil membuat perkelahian tidak seimbang. Hasilnya Iqbal babak belur kena hajar berandalan SMA itu. 

Perkelahian antara Tama dan Iqbal itu ternyata menjadi kesalahan fatal bagi Iqbal sendiri. Guru-guru langsung berdatangan, diantaranya ada Wawan yang langsung melerai perkelahian. Tama dan Iqbal dibawa ke ruang guru dan mulai diinterogasi.

Kesalahan fatal itu terjadi, ketika Wawan menyuruh salah satu siswa untuk membawa tas Tama dan Iqbal ke ruang guru untuk digeledah. Dari tas Iqbal ternyata ditemukan sebungkus rokok. Itulah yang menjadi malapetaka. Berbeda dengan Tama yang, seperti biasa, hanya disuruh membuat surat pernyataan tidak akan melakukan lagi kesalahan serupa yang ditandatangani oleh orang tua. Hukuman untuk Iqbal lebih parah. Gara-gara kepergok membawa sebungkus rokok, Ia dibawa oleh Wawan memasuki setiap kelas, mulai dari kelas satu hingga kelas tiga. Setiap angkatan terdiri dari delapan kelas. Jadi, total kelas satu hingga kelas tiga berjumlah dua puluh empat. Di kelas sebanyak dua puluh empat itu, Iqbal disuruh memasukinya satu-satu dan berdiri di depan selama kurang lebih lima menit sambil dipaksanya Ia untuk merokok. 

Ketika giliran masuk ke kelasku, Iqbal terlihat begitu berantakan. Beberapa kancing bajunya terlepas. Terlihat dadanya yang dilapisi oleh kaos kutang. Rambutnya acak-acakan. Matanya yang sebelah kiri lebam. Di sakunya tersembul sebungkus rokok yang dirampas dari tasnya oleh Wawan. Saat itu Iqbal kebanyakan menunduk, tidak berani menghadapkan wajahnya sendiri ke arah para siswa. Ia menangis.

“Ampun, Pak. Jangan ngerokok, Pak. Malu…,” katanya putus-putus sembari cecegukan.
Disebelahnya, Wawan merangkul Iqbal dan menatapnya dengan matanya yang dingin. “Kamu kan suka ngerokok. Sekarang Bapak kasih kamu kesempatan buat ngerokok. Kenapa kamu harus malu?”

Iqbal masih saja cecegukan dan sesekali mengusap matanya yang bercucuran air mata dengan tangan kirinya. Sementara tangan yang satunya lagi memegang rokok. Terlihat tangannya begitu gemetaran saat memegang rokok itu. “Ampun, Pak. Ampun…,” katanya lagi.

Kelas senyap mencekam.  Hanya terdengar cegukan dan suara Iqbal yang memelas minta ampun saat itu. Guru pelajaran Biologi, Bu Neneng, hanya duduk di mejanya tidak berkata apa-apa. Teman sebangku, Matoy, selama ‘adegan’ itu hanya mengeluarkan dua buah kata, “anjis, edan.”

Sisanya, sepanjang ‘adegan’ itu, Matoy hanya menggeleng-gelengkan kepala saja.
Wawan menoleh ke arah kami. Para siswa yang terbengong-bengong menyaksikan pemandangan yang cukup miris di depan kelas. Lalu Ia berkata, “Nah, di depan kalian ini adalah sebuah contoh. Contoh bagaimana seorang siswa yang tidak terdidik dan tidak mematuhi aturan,” Wawan kembali menolehkan pandangannya ke Iqbal, “padahal, baru-baru ini si Iqbal ketauan ngerokok. Sudah di skorsing pula. Tapi, eh…tetap saja kelakuan kamu seperti ini.”

Saat Wawan mengungkit tentang perkara skorsing itu, beberapa kawan yang berada di baris sebelah menolehkan pandangannya padaku. Ku balas lagi pandangan mereka dengan tatapan  mengancam.

“Nah, hari ini menjadi peringatan bagi kalian. Bila ada di antara kalian yang melanggar aturan akan mendapatkan hukuman. Seperti pelanggaran membawa rokok ke sekolah, misalnya. Kalian bisa melihat hukuman yang akan ditimpakan seperti apa,” kata Wawan dengan nada penuh penekanan. Sambil mengatakan hal itu, seakan-akan Ia melempar pandang ke seluruh ruangan dengan matanya yang dingin. Seperti menandai siapa-siapa saja siswa di kelas yang kira-kira berpotensi membuat ulah seperti Iqbal. Kebanyakan siswa di kelas, khususnya yang sering ‘bermasalah’, buru-buru menatap mejanya masing-masing. Tidak berani menatapnya langsung.

Iqbal lalu dibawa lagi keluar kelas untuk dipertontonkan dihadapan para siswa. Terbayang bagaimana perasaan malu itu bila aku menjadi Iqbal. Memasuki kelas yang jumlahnya dua puluh empat dengan kondisi yang tidak karuan. Belum lagi dipermalukan oleh Wawan dengan omongannya. Sungguh mimpi buruk.

Kejadian itu menjadi topik hangat diantara para siswa untuk beberapa minggu. Nasib Iqbal sendiri menurutku naas. Setelah proses ‘dipermalukan di depan publik’ itu, Ia harus menghadapi kenyataan, bahwa Ia dikeluarkan dari sekolah. Ini benar-benar kesialan beruntun baginya. Sementara itu Tama cukup beruntung. Ia tidak dikeluarkan dari sekolah, karena ia baru sekali berurusan dengan para guru. Iqbal, saya akui, posisinya memang tidak menguntungkan dimata para guru, khususnya Wawan. Iqbal selama ini dikenal sebagai pembangkang. Sering kasus. Dari kelas satu Ia memang biang masalah. Nilainya pun selalu pas-pasan. Tetapi, walaupun begitu, Iqbal adalah seseorang yang mengasikkan untuk diajak bermain. Ia solider dan perhatian terhadap teman-temannya. Itu yang paling utama. Oleh karena itulah, aku merasa nyaman bermain dengannya. Tidak perduli pandangan para guru terhadapnya seperti apa.

Keputusan para guru untuk mengeluarkan Iqbal benar-benar dikutuk oleh aku dan teman-teman. Walaupun begitu, kami benar-benar merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Sebagai bentuk kekecewaan, aku dan beberapa teman, seperti Matoy dan Adi, mencoret-coret tembok toilet. Mengata-ngatai Wawan. Adi yang jago menggambar, melukis wajah Wawan di tembok toilet. Walaupun lukisannya tidak mirip-mirip amat dengan wajah Wawan, tapi lumayanlah untuk bisa disebut menyerupai. Di bawah gambar Wawan itu, Matoy lalu menulis dengan huruf-huruf besar: WAWAN BEDEBAH.

Saya teringat ucapan Matoy, ketika Ia sedang menulis kata-kata itu di toilet. Matoy sangat geram, “nyebut Iqbal ga terdidik, kenapa malah dia yang dikeluarin? Bukannya sekolah tempat ngedidik orang?! Sekali ada yang dianggap ga terdidik, malah di D.O., goblok!” katanya.

(bersambung)

Fiksi: Mengenang Iqbal (bag. 1)

Sudah lama kami tidak berjumpa. Tiga tahun tidak terasa terlewat begitu saja semenjak kami berpencar dari bangku SMP dan sekarang, hari ini, semuanya berkumpul kembali. Masih tetap berkumpul di kios yang sama seperti tiga tahun yang lalu. Kios dimana kami menghabiskan waktu, ketika pulang sekolah.

 “Pada kemana yang lain? Gimana, kita pergi sekarang aja?” Aryo bersuara dan membuat semua perhatianku dan teman-teman tertumpah padanya.

 “Sebentar, tunggu aja dulu. Masih pada di jalan,” Yudha menimpali.

Jalanan di depan kios sangat lengang, terlalu lengang malah. Hembusan angin sore mengingatkan kembali masa-masa menghabiskan waktu saat ku remaja di tempat itu. Sekolah yang menjemukan itu. Biasanya sepulang sekolah aku dan teman-teman langsung mendatangi kios ini. Merokok. Sesuatu yang kami anggap keren. Keren, karena ancamannya bukan main-main bila kepergok oleh guru. Bisa sampai di skorsing selama lima hari. Karena ancamannya yang tidak main-main itulah, bagi kami, merokok menjadi suatu kegiatan yang sekaligus mendebarkan. Kami merasa menantang bahaya. Merasa keren sebagai lelaki karena menantang bahaya dengan merokok sembunyi-sembunyi.

Konyol, memang. Tetapi itulah momen bagiku untuk dikenang. Dahulu, bila waktunya untuk istirahat di sekolah, aku dan seorang teman, Iqbal Anak Adam namanya, sering melarikan diri sejenak dari rutinitas sekolah yang membosankan dengan merokok sembunyi-sembunyi di toilet. Bila diisi oleh dua orang sekaligus, toilet itu begitu sumpek. Apalagi bila ada dua orang yang  merokok. Asap mengepul tebal dan membuat hawa menjadi semakin pengap. Namun, saat itu aku menikmati setiap kali berada di ruangan kumuh yang dipenuhi oleh coretan-coretan siswa lain yang tertera di dindingnya itu. Sekadar menikmati coretan-coretan di dinding toilet yang seringkali berisi tulisan-tulisan jorok dan konyol, ngobrol ngaler-ngidul dan merokok, sudah lebih dari cukup bagiku untuk tidak mengeluh dan menikmati apa yang terhampar dihadapan mata, walaupun memang ala kadarnya.
 

Begitulah. Toilet sekolah seakan-akan menjadi katarsis bagiku dan Iqbal. ‘Sarana pelepasan’ atas monoton dan menjemukannya rutinitas sekolah. Namun, disuatu masa saat kami duduk di kelas dua, ‘sarana pelepasan’ itu harus kami tinggalkan dengan perasaan terpaksa.

Ceritanya, ketika itu kami beres merokok. Saat aku membuka pintu toilet, begitu saja Wawan sudah berdiri dihadapan kami. Menyilangkan lengannya dan menatap angkuh. Sontak aku dan Iqbal kaget, tidak menyangka ada kehadiran orang lain di luar toilet, karena sebelumnya tidak terdengar ada gerak-gerik apapun.

“Lagi ngapain, Ri?” saya masih ingat Wawan bertanya seperti itu.

“Eh, abis kencing, Pak,” saya jawab. Gugup.

“Kencing berdua?” 

“Eu…eh, iya Pak, biar cepet, ga harus ngantri,” Iqbal menimpali. Gelisah.

“Terus, itu asap…asap apaan?” tanyanya lagi dengan menunjuk asap bekas rokok yang masih memenuhi toilet.

Pertanyaan ini benar-benar mematikan dan apapun jawabannya pasti akan terdengar bodoh, “Euh, ga tau, Pak.”

“Alah, banyak alesan. Ayo, sini, ikut ke kantor,”

Singkat cerita, aku dan Iqbal akhirnya terkena skorsing tidak boleh masuk sekolah selama lima hari. Bagi kami, masalah skorsing ini sebenarnya sepele. Bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan, karena, toh, kami akan menganggapnya sebagai liburan. Namun, keputusan skorsing itu menjadi masalah, ketika waktu pelaksanaannya bertepatan dengan praktek olah raga. Dimana, praktek olah raga itu akan mempengaruhi nilai akhir pelajaran olah raga kami selama caturwulan kesatu.

Saat mengetahui, bahwa keputusan skorsing mulai berlaku ketika praktek olah raga digelar, yaitu besok, kami setengah mati mencoba untuk membujuk Wawan agar tidak menghukum kami.

“Pak, ampun. Saya bakal berhenti ngerokok. Plis, Pak, jangan di skorsing. Besok kan ada praktek olah raga?!” Iqbal memelas.

Saya amini juga, “heeuh, Pak. Ga akan diulang-ulang lagi!”

Wawan - selain memegang pelajaran olah raga, sialnya merangkap juga sebagai ketua BK (Badan Konseling) - hanya tersenyum kecut mendengar permohonan kami. Sebuah permohonan, yang mungkin dianggapnya, hanya sebagai ocehan anak kecil yang setengah hati. Sebuah permohonan yang angin lalu, karena mungkin sebelum kami, ada banyak siswa lain yang juga memohon dengan kalimat yang sama persis seperti yang kami pakai, sehingga ia merasa, bahwa pada satu titik, tabiat kami – yang dianggapnya tidak taat aturan - akan kembali ke asalnya: melanggar kembali semua aturan yang ada. Sama seperti siswa bermasalah lainnya yang pernah ada sebelum kami.

“Alah, masalah praktek olah raga itu kan, kalian-kalian ini penyebabnya. Udah, sekarang jalanin aja hukumannya. Lagian, ini kan konsekuensi dari tindakan kalian yang melanggar peraturan sekolah,” jawabnya serasa yang terunggul, karena mendengar permohonan mentah yang keluar dari mulut kami.

“Tapi, Pak, nanti ga bisa lulus dong kalo ga ikut praktek. Ampun, Pak, jangan di skorsing. Saya nyesel ga akan diulang-ulang lagi!” saya tetap memaksa Wawan agar tidak menghukum kami.

“Iya, Pak, apapun deh bakal kita lakuin, asal ga di skorsing!” Iqbal menimpali.

Sekali lagi Wawan tersenyum sinis melihat kami memohon-mohon serasa patah arang. Bila aku bisa kembali lagi ke masa itu dan melihat bagaimana kelakuan kami ketika memohon-mohon seperti dua bocah bodoh, sangat mungkin bila aku pun akan ikut tersenyum sinis bersama Wawan. Bahkan, mungkin aku juga akan tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi wajah dua bocah bodoh yang sedang memelas itu.

“Ya, sudah. Ya, sudah. Masalah nilai, Bapak akan beri keringanan, asalkan kalian nanti bikin perjanjian tertulis yang isinya tidak akan mengulangi lagi kelakuan kalian yang suka ngerokok di WC itu dan ditandatangani oleh orang tua kalian,” ujar Wawan seolah-olah memberi sebuah solusi atas permohonan bodoh kami.

Saat mendengar jawaban Wawan itu kami begitu kegirangan dan mengucapkan terima kasih padanya, karena akhirnya bisa mengikuti praktek olah raga. Namun, kegirangan itu menjadi sesuatu yang mengganjal, ketika tidak lama kemudian Wawan melanjutkan kembali omongannya.

“Lalu, menyangkut masalah praktek olah raga…kalian tetap tidak boleh mengikutinya. Itu sudah final, hukuman harus tetap dijalankan,” Wawan diam dan melihat sambil menakar ekspresi kami terhadap ucapannya itu.

Tentu saja kami bingung dan masih mencerna apa yang baru disampaikannya. Lalu, Ia melanjutkan ucapannya, “sebagai gantinya kalian harus beli bola basket, voli sama bola sepak masing-masing sebuah. Untuk masalah surat pernyataan, harus orang tua kalian yang menyerahkannya pada Bapak. Bukan kalian. Ini sudah final, Bapak ga mau dengar komentar lagi dari kalian. Udah, sekarang masuk kelas!”

Diluar ruangan kami pasrah. “Mau gimana lagi, Ri. Udah susah dibujuk si Wawan,” kata Iqbal yang terlihat sudah malas memikirkan hukuman omong kosong macam itu.

Pada akhirnya, selama lima hari aku berdiam diri di rumah. Sesekali mendengarkan amarah dan protes orang tua tentang kelakuanku. Praktek olah raga pun tidak kami jalani. Untuk masalah hukuman, Wawan memberi kami waktu selama sepuluh hari untuk membeli bola voli, basket dan bola sepak. Lalu, masalah dana untuk pembelian peralatan olah raga itu, kami patungan dengan menyisihkan uang jajan masing-masing dan meminta sumbangan pada teman-teman. Seratus lima puluh ribu perak terkumpul waktu itu.  

(bersambung)

Rabu, 23 Desember 2009

Ride feat. Buronan Mertua

Ada saja yang terlupakan. Ada saja yang baru disadari kemudian. Selepas malam tiba, dan matahari muncul dari timur...dari arah Cibiru. Sebenarnya ada kehangatan yang mengingatkan banyaknya kasih sayang yang mengalir alami dari orang-orang lama. Mereka yang sederhana, dan sebenarnya selalu terbuka. Namun, seperti gedung-gedung yang menjulang tinggi di Asia-Afrika itu...sinar matahari tidak pernah berhasil menembus bata, beton, besi dan baja yang menjadi fondasinya. Pada akhirnya, hanya menyisakan bayang-bayang bangunan yang menjulang tinggi. Sama seperti mata ini yang selalu tertutup akan realitas...hanya memburu bayang-bayang: tak ingin menginjak muka bumi dimana kaki benar-benar menapak di tanah yang sederhana. Selalu mengharapkan kehidupan yang sempurna dari ketinggian imaji yang semu dan goyah.

Di Cileunyi sorot sinar matahari begitu hangat. Bersamaan dengan motor yang melaju di kecepatan 60 km per jam, angin berhembus menerpa kulit. Terasa hangat. Rasakan sinar matahari. Tidak terlalu menyilaukan seperti siang. Resapi pagi yang tersisa: bukalah mata, hati, dan pikiran. Mudah-mudahan.

Rabu, 09 Desember 2009

Space Monkey Astronauts: The Alien Intruders from Nebula Galactikon

Matahari menyelam semakin dalam ke arah barat. Senja menyapu jalan ambon yang selalu sepi. Jalanan basah setelah sebelumnya terguyur hujan yang nanggung. Daun yang jatuh tak jauh dari pohonnya yang terletak dipersimpangan Jalan Ambon itu nampak bersatu dengan sampah basah. Bercampur baur dengan sangat joroknya. Satu dua mobil melaju dari arah Jalan Lombok menuju Jalan Banda. Dan terasa angin dingin merembes hingga tulang. Kedua tangan mengepal semakin kencang didalam saku sweater. Terdengar sayup suara gonggongan anjing dari sebuah rumah yang terletak di sekitar Jalan Aceh.    

Uang mulai habis. Tidak punya kerja. Skripsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Proyek tidak maju-maju. Teman terdekat entah dimana. Seseorang yang kucintai, tidak mencintaiku. Senar gitar sudah karatan. Hutang menumpuk sebanyak hampir lima bulan. Pulsa tak terisi selama hampir tiga minggu. Harapan orang tua tak terkabulkan. Komunikasi yang tak pernah nyambung. Mental yang turun ke titik nol. Harapan yang tidak terealisasi. Cobaan yang selalu saja datang tanpa bewara.    

well-well-well, mari-mari...semoga masih ada yang tersisa. Hufhhhh.

Bandung, Jl. Ambon, 7-12-09, menjelang akhir tahun. 

Sabtu, 05 Desember 2009

Peramalan, Perjodohan, Perbingungan

Suatu waktu, temanku ini mengaku sebagai cenayang, dan dia terlihat sungguh-sungguh dengan perkataannya itu.

“Jadi kamu cenayang?” kataku.

“Aku kan Mama Loreng,” katanya.

“Soklah…jadi, gimana karier gua dimasa depan?”

“Kamu mah ga cocok sama elemen air,” jawabnya.

“Berarti gua ga bisa buka usaha kolam renang dong?” balasku.

“Pokoknya kamu ga cocok jadi perenang, buka usaha depot air minum. Pokoknya yang berhubungan sama aer.”

O, ya sudah. Masa bodoh juga.

Sekarang waktunya bertanya ramalan yang menyangkut perkara hati, alias perjodohan. Maklum, sudah berkepala dua. Otomatis penasaran juga masalah jodoh. Walaupun temanku itu diragukan kredibilitasnya dalam hal ramal-meramal, tetap saja saya penasaran mengenai ‘ramalan’-nya tentang nasib perjodohan ini.

“Terus, sekarang perjodohan. Kalau jodoh gua gimana menurut ramalan kamu?”

“Bukannya merendahkan nih…,” dia menjawab.

Sebenarnya untuk pertanyaan ini sedikit aneh, karena dia cukup lama membalasnya.

“Tapi untuk masalah jodoh, kamu mah susah. Susah sregnya,” katanya lagi.

Disitu saya ketawa ngakak. Saya ingat cerita-cerita perkara hati yang dulu-dulu. Bila dia meramal seperti itu, bisa jadi memang benar seperti demikian. Soalnya cerita-cerita tentang perkara hati yang kualami selama ini memang tidak pernah ada yang sukses. Gagal semua. Tepat seperti apa yang perempuan itu ramalkan.

Dengan kegagalan demi kegagalan yang menimpa, tentu saja saya tertawa. Mentertawakan kebodohan diri sendiri tentunya. Dan alasan yang menjadi penyebab perjodohan tidak pernah beres-beres selama ini, seperti yang telah diramalkan oleh perempuan itu, yaitu‘tidak sreg’ jadi terpikirkan juga olehku. Mungkin juga perempuan itu, sekali lagi, benar. Selama ini saya memang tidak pernah yakin bila menyangkut hubungan dengan perempuan. Saya selalu berpikir, mungkin ini ada kaitannya dengan kebiasaan sehari-hari yang selalu terbiasa sendiri (saya memang dilahirkan sebagai anak tunggal). Seringkali melakukan apa-apa dengan sendiri, sehingga ketika menyangkut hubungan dengan ‘kehidupan’ yang lain, terasa canggung.

“Bener kaannn?!” kata perempuan itu lagi.

“Hmm, ga tau juga deh,” balasku kemudian.

Suatu ketika, saya chatting melalui YM dengan temanku yang lain. Kali ini temanku itu laki-laki. Suasana saat itu sudah larut malam. Suasana ini kiranya patut ditulis, karena temanku itu sedang dikantor: kerja shift malam. Berada di kantor sendirian larut malam tentunya akan berpengaruh juga secara psikologis.

“Galau euy, kudu cari pacar ini mah,” tulis temanku itu di YM.

“Hahah. Iya, bung. Cari jodoh yang sreg dan belum punya pacar,” balasku.

“Ga usah yang sreg, yang penting kita ngebonceng perempuan di motor,” timpal temanku itu.

Rupanya masalah sreg atau tidak sreg tidak berpengaruh besar buat temanku itu. Saya hanya membalas omongan dia dengan emoticon 'big laugh' saja, karena saya tidak tahu harus berbicara apa lagi.

Tidak beberapa lama, dia menulis lagi melalui YM. “Nyari soulmate mah lama dan susah. Sekarang mah yang penting ada dulu.”

Saya iyakan saja perkataannya itu, ditambah tulisan ‘he-he-he’ setelahnya. Saya tidak tahu apa lagi yang harus dibicarakan.

Ada orang yang pernah berkata padaku perihal masalah jodoh ini, bahwa selalu pilih-pilih seringkali menjadi penyebab mengapa seseorang selalu mentok disitu-situ saja. Menurut orang itu, saya memang terlalu pilih-pilih bila menyangkut hubungan dengan perempuan.

Sebenarnya saya tidak ingin pilih-pilih, tetapi seringkali perasaan tidak sreg itulah yang selalu dominan bila sudah mulai berhubungan dengan perempuan. Terlalu banyak pertimbangan ini-itulah. Dalam satu titik, saya sendiri mulai ragu…apakah memang hubungan saya dengan seseorang itu tidak nyambung, atau memang saya nya saja yang memang tidak ada keberanian? Dari sini saya lebih baik merokok.

Tetapi, suatu waktu, orang yang berkata tentang masalah ‘pilih-pilih’ ini mengucapkan sesuatu yang, bagiku, terasa kontradiktif dengan perkataannya yang terdahulu. “Tapi, kalau masalah jodoh mah si emang ga bisa dipaksain. Kalau memang ga yakin mah, ya, masa mau dipaksain?”

Mendengar omongannya sekali lagi saya menjadi tambah bingung. Jadi, setidaknya ada dua hal disini…jangan pilih-pilih, dan jangan dipaksakan.

Hmm, saya tidak tahu apa lagi yang mau ditulis. Sudah bingung sendiri.

Tetapi, dulu sekali saya ingat, pernah ada seorang teman perempuan yang bertanya kepadaku perihal jodoh ini. “Jadi, kriteria cewe yang kamu suka tuh yang kaya gimana?” katanya.

“Yang komedian,” jawab saya.

Kamis, 03 Desember 2009

Sudah Saatnya Kami Bangkit Kembali Setelah Terlelap Sekian Lama

Mungkin sudah saatnya kami kembali bermusik. Kembali dengan alasan yang klise: untuk menghajar kebosanan. Mencari katarsis melalui mediasi amplifier dan volume maksimum. Untuk sebuah kehidupan, terlalu dangkal memang untuk berharap menemukan katarsis hanya dengan amplifier dan volume maksimum. Kuakui, seakan-akan mencari pelarian melalui musik, dalam titik tertentu, tidak akan membawamu kemana-mana, selain menuju kehampaan itu sendiri.

Apa yang kamu dapat setelah memainkan musik yang keras? Kamu kembali lagi ke rutinitasmu yang seperti biasanya. Kamu masuk lagi menuju sistem yang mendesainmu untuk patuh terhadapnya. Pemberontakan melalui nada, dan lirik, dalam satu titik, tak ubahnya seperti waktu jeda dalam rangkaian penghambaan tanpa akhir. Hanya sedikit jeda untuk meredakan ketegangan. Hanya memberimu sedikit ruang. Karena setelahnya, kamu harus masuk ke dalam sistem: (dipaksa) menghamba kepada mereka yang mempunyai alat produksi, agar dirimu bisa bertahan hidup.

Apalagi dalam kasusku, musik yang kami mainkan bukanlah barang dagangan yang laku, seperti band-band top 40 kacangan itu. musik kami adalah doom metal. Musik yang kampring, dan hanya bahan ejakulasi kami sendiri saja. Dengan kata lain, dagangan kami tidak laku. Kami tidak akan terkenal. Kami tidak akan menjadi terkenal dan menghasilkan banyak uang, seperti band-band kacangan yang biasa kamu liat di teve. Dengan begitu, maka otomatis kami tidak bisa menghidupi diri kami dari band ini. Dan tenaga-kerja kami hanya berguna, bila kami kembali lagi ke rutinitas kami: membuka koran untuk membaca rubrik lowongan kerja. Kami akan mati bila hanya menggantungkan diri pada band ini.

Bagaimana aku mencapai sebuah katarsis, membebaskan diri dari keterpaksaan ini, bila pola kehidupanku seperti demikian? Untuk mencari sebuah titik balik kehidupan, tidak cukup hanya dengan musik. Diperlukan sebuah gerakan nyata. Pergerakan yang ibaratnya benar-benar sanggup meruntuhkan wall street. Berkoar tentang kedamaian dan keadilan, tidak akan kemana-mana, bila hanya sebatas teriakan melalui microphone. Kita butuh merebut alat produksi. Menguasainya untuk kepentingan kita yang tak memiliki akses terhadapnya.

Tetapi, berbicara perebutan alat produksi…dimungkinkan bila adanya massa yang secara sadar dan aktif mengorganisasi dirinya masing-masing untuk sebuah perlawanan. Untuk hal ini, jalan menuju kehidupan alternatif memang memungkinkan, tetapi untuk menempuhnya merupakan sebuah perjalanan yang berat…lebih berat daripada perjalananku tempo hari ke Gunung Semeru. Pertama, berapa milyar orang yang hidup di planet ini? Berapa milyar perbedaan persepsi yang ada dibenak orang-orang yang hidup di planet ini?

Kedua, karena kehidupan didalam sistem itu sendiri dipenuhi oleh ilusi-ilusi yang membuat orang-orang didalamnya mandul. Terlalu banyak ilusi yang membuat kita berpikir dunia memang baik-baik saja. Terlalu banyak ilusi yang membuat pikiran ini dipasifkan oleh intensitas dunia kerja. Terlalu banyak ilusi yang membuat pikiran ini diselimuti kesombongan-kesombongan akan jabatan dan kekuasaan. Padahal, dalam sistem ini, kita yang tak memiliki alat produksi hanyalah boneka seksual kapitalis untuk kepentingan valorisasi dirinya sendiri.

Betapapun seorang manajer merasa aman dengan gajinya yang puluhan juta, tetap saja ia adalah seorang rapuh, seorang yang terasingkan dari kerjanya sendiri…dan bagian dari dirinya tak ubah hanya setengah saja dari baut sebuah rangkaian mesin besar. Dia tetap seseorang yang tenaga-kerja nya dihisap untuk kepentingan seseorang yang lebih besar diatasnya.

Dan dunia sempit yang kuhidupi ini…aku hanya membutuhkan sebuah alasan untuk tetap menghidupinya ditengah-tengah masifnya pemaksaan-pemaksaan yang ada. Dan sebuah alasan untuk hidup, adalah sebuah alasan dimana kamu menikmati setiap momen yang dijalani. Menganggapnya itu adalah sesuatu yang begitu berharga. Dan musik…adalah sesuatu yang kujalani dengan segenap kerelaan: sedih, maupun senang akan kujalani. Dan untuk sebuah alasan yang dapat menolongku untuk tetap bertahan dan sadar, aku rela menjalaninya…menjalaninya, walaupun seakan-akan, seperti hidup dengan penyangkalan-penyangkalan. Tetapi, sepertinya disitulah hasratku, walaupun disatu titik, bisa menjadi sebuah akhir yang nihilistik.

Minggu, 29 November 2009

Manipulate the Eclipse

“Replace my heart I'm no longer cold to
  a fallen beast inside of me
 We'll be the opposite of everything.

 Victor keep your head up, we don't
 Want to to see ourselves with tragedy
 Comes shifting of perspectives.”
-Manipulate the Eclipse by Hopesfall-


Hari seperti apa yang ingin kamu kenang, sementara waktu berlalu semakin cepat, meninggalkan apapun yang tak sempat teraih? Apa yang ingin kamu yakini, saat khotbah yang terdengar tak ubahnya seperti retorika yang semakin memberimu kehampaan? Ketulusan seperti apa yang ingin kau beri dan peroleh, ketika keintiman personal hanya menegaskan hubungan yang impersonal?

Life is worth when we can get closer enough to it’s essence, Boy.

Jumat, 27 November 2009

Ngacapruk: Motor Perubahan, Ceunah.

Tentu saja gampang memprotes apapun yang kita mau. Kita punya mulut, kita punya bacot. Atau bila tidak bisa ngebacot, kita bisa menulis. Menuliskan kata-kata yang beralasan ilmiah, dengan struktur ilmiah pula. Membuatnya menjadi semacam ‘mantra’ yang diselipkan ke dalam kalimat, seperti yang kamu baca di buku-buku kebudayaan dan politik itu. Dengan bisa mengucapkannya saja, kamu seakan-akan seorang pemikir handal. Singa podium.Membuat yang lain takjub sama diri kamu yang keren itu, karena kamu mengenal kata-kata semacam phantasme, afirmasi, disjungsi…atau apapun lah. Intinya, kata-kata itu membuat kamu lebih keren.

Atau bila belum cukup keren, bisalah kamu bisa mengutip orang-orang terkenal. Selipkan kutipan itu diantara obrolan, atau tulisan yang kamu lakukan…selipkan itu siapa Deleuze, siapa itu Freud, siapa itu Epicurus, siapa itu Emma Goldman, atau siapa itu Guy Debord. Siapapun. Semakin rumit apa yang orang-orang itu sampaikan, semakin keren imej mu sebagai pembangkang berwawasan intelek (karena bisa mengulang apa yang mereka katakan). Dengan begitu, semakin tinggi kamu diperhatikan, dan disegani.

Tapi sudah cukup disini, karena kata-kata pun memiliki ilusinya sendiri. Begitu banyak diksi, begitu banyak metafora, begitu banyak hiperbola, begitu banyak komposisi. Terkadang dia seperti mantra…atau film porno…membuatmu ejakulasi, tetapi didepan layar, bukan didepan orang yang bercinta dengan mu. Tidak real. Ilusi.

Dan masalah seperti ini, sudah pasti dihinggapi oleh kalangan seperti mahasiswa. Petani atau tukang becak tidak punya masalah seperti ini. Petani dan tukang becak mah kampring. Yang mereka tahu cuman duit, dan bayar utang. Udah gitu bau keringat lagi. Tidak seperti mahasiswa, mereka bisa hot spot-an di kampus sambil nunggu kuliah. Mereka bisa browsing buka-buka situs yang berbahasa inggris. Download bokep dan segala macem. Lebih gaya daripada tukang becak, kalau ngomongin mahasiswa mah. Mahasiswa punya akses ke dunia luar, dunia yang berbeda dengan lingkungannya, tetapi mempengaruhi lingkungannya.

 Makanya, paling sedap kalau mahasiswa sudah diajak untuk ngejelasin fenomena sosial. Mereka punya segepok teori, dan seabreg metode penelitian. Jadinya ada semacam label yang disematkan dikening mereka: agen perubahan. Dalam perubahan sosial, mereka adalah ‘avant-garde’. Terdepan dan terbaru. Dengan terbukanya akses informasi, mereka siap mentransformasikan sebuah masyarakat ke arah yang lebih ‘benar’.

Waduk, anjing. Tai ucing.

Apa yang bisa mereka kerjakan? Ngebacot dengan segudang kata-kata ga jelas, ngebacot nilai ideal yang dogmatis, ngebacot dengan kebanggaannya sebagai mahasiswa yang dikultuskan sebagai motor perubahan. Waduuuukkkkkk, anjiiiiiiiinggg!!!!!

Apa yang saya anggap sebagai mahasiswa adalah mereka yang tidak pernah tuntas ngelakuin sesuatu. Tarik satu contoh: demonstrasi. Uh, ini paling seksi buat mahasiswa. Demonstrasi adalah kata lain buat mengatakan, kalau diri saya keren, karena radikal. Dengan begitu, saya jadi yang paling seksi. Dan itu juga yang ngebuat pekerjaan ga tuntas-tuntas…, karena yang mereka lakukan hanya melompat dari satu demonstrasi ke demonstrasi yang lain. Tanpa pernah ada semangat untuk memilih satu pekerjaan, dan menekuninya hingga menjadi sebuah pergerakan yang memiliki landasan yang kuat dan solid. Selalu saja ingin memulai dengan langkah besar, seringkali reaksioner pula. Hanya kalau ada isu yang besar saja mereka baru turun demo. Sesudah demo, balik lagi ke kampus.

Contoh lain: KKN. Anjing. Ini apalagi…buat saya jadi kaya ajang yang nontonin betapa ga nyambungnya mahasiswa sama orang-orang yang “non-mahasiswa”. Ngangkat pupuk ngeluh, ngobrol ma peternak sapi ga mau da bau tai sapi si peternaknya, jalan di sawah nyerocos terus da lumpurnya kena sepatu. anjiiiinggggg, naon deui atuh! Tapi disisi lain, tabiat arogan mereka timbul lagi, ketika ngobrol program sama pejabat kelurahan. Ngomong ini-itu make segepok teori. Pake kata-kata ilmiah yang ga tau artinya apa. Dengan begitu, seolah-olah mereka paling tau adat disana. Serasa motor perubahan dan terjebak ilusi na tea.

Perubahan naon lah…empat atau tujuh tahun juga mahasiswa mah bisa lulus. Tenaganya udah bisa dimanfaatin sama yang punya saham. Udah gitu, mereka bisa bangga, berkoar ke siapapun tentang pekerjaannya yang digaji tiga juta rupiah sebulan (belum ditambah uang pesangon). Perubahan naon lah. Waduk. Ngomongin mahasiswa, umpamanya mah kaya, ngeloncatin tai kuda untuk mendarat di tai kuda yang lain. Lompat dari satu ilusi ke ilusi yang lain. 

Gimana mau perubahan, ngobrol sama tukang odading wae teu nyambung. Apa yang mau dirubah, kalau gaji tiga juta sebulan bikin kamu ngangguk-ngangguk aja ama si bos. Motor perubahan naon…mun tabiat aroganna masih kitu keneh. Mungkin agen perubahan itu emang ilusi. Karena sebenarnya dunia memang baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dirubah. Kalaupun ada yang berubah, toh, itu cuman perubahan di gedung parlemen aja. Karena orang-orang di gedung parlemen juga dulunya kan mahasiswa, dulunya agen perubahan. Perubahan dikalangan mereka aja (da tara pernah nyambung mun ngobrol jeung tukang odading mah). Sebenarnya dunia baik-baik saja, tanpa harus ada ‘agen perubahan’.

Dan membicarakan ini, ujung-ujungnya selalu tidak jelas. Solusinya juga pasti standar: kalau ga balik lagi ke diri sendiri, ya, saya nya aja yang sentimen dan nyama-ratain semuanya. Soalnya ini masalah motif, siapa yang tau kedalaman hati manusia. Bahkan selama dua puluh empat tahun ini, belum tentu saya mengenal Ayah atau Ibu saya sendiri. Tapi, pastinya saya akan keluar duluan dari shaf, kalau ada orang-orang yang ngaku sebagai agen perubahan ‘avant-garde’ ini tiba-tiba datang dan berkoar, kalo mereka paling tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya.  
 
 

Minggu, 22 November 2009

Ngacapruk: Progress Assault Zero, Bung!

Kadang saya berpikir, kami hanyalah seperti atom. Kecil. Namun demikian, ia terpecah-pecah dalam peta sub-urban dimana didalamnya setiap wilayah dibatasi dan dibagi oleh jalan raya dan petak-petak lahan bisnis. Dengan begitu, tiada keterkaitan antara satu atom dengan atom lainnya. Menjadi asing satu sama lain. Dan individu, dengan hanya menjadi atom saja, tanpa adanya keterkaitan dengan atom lain, dia tidak akan menjadi molekul, tidak akan menjadi siapa-siapa.

Dalam beberapa hal, selalu ada pengecualian. Ketika “atom-atom” yang kecil dan terpisah itu, entah bagaimana, terkoneksi satu sama lainnya atas dasar “kesamaan pandangan”. Terangkai menjadi sebuah molekul. Sebutlah itu komunitas, paguyuban, atau sekte sekalipun. Namun demikian, dalam sebuah peta sub-urban, dimana wilayah yang terpetakan bukanlah dimaksudkan untuk kepentingan para atom agar saling terkoneksi menjadi molekul, maka rangkaian molekul itu hanya bersifat sekadar “pelepasan di akhir pekan” saja. Karena esoknya (hari Senin), kami kembali terpetakan. “Pelepasan” itu tak ubah seperti ajang para filantropis bersosialiasi di hotel paling mewah di kotamu. Namun bedanya, tempat yang kami ambil adalah pelataran parkir gedung yang kosong, bukan hotel mewah.

Dalam peta sub-urban, kesamaan pandangan yang kami miliki, ternyata tidak relevan dengan kehidupan yang kami jalani, ketika sendiri. Bagaimana bisa kami menjalani sebuah alternatif kehidupan, bila ternyata yang kami perbincangkan di akhir pekan, seperti memperbincangkan “betapa-kerennya-kami”, atau betapa indahnya masa lalu. Dan sistem kemasyarakatan, kita semua tau, tidak sesederhana obrolan yang niatnya terbatas sekadar ingin memancing perhatian orang lain seperti itu. Membicarakan alternatif kehidupan, berarti berbicara tentang perombakan landasan dan institusi yang menopang kehidupan dominan yang kita jalani sekarang. Bukan sekadar bagaimana berkoar mengekspresikan kebebasan dengan membuat lubang sebesar Babon di telinga kiri mu. Seolah-olah dengan begitu, kamu telah melanggar norma masyarakat, dan bisa dipuji dengan label pembangkang yang disematkan kepada harga dirimu.

Apa gunanya menjadi “pemberontak-gaya hidup” yang dengannya kamu selalu banggakan itu, bila dalam keseharian, kehidupan yang kamu dan aku jalani sama seperti yang sudah-sudah? Apa yang alternatif bila transaksi dengan pegawai Circle K, landasannya masih sama seperti sebelumnya? Bedanya hanya dandanan kamu nyeleneh dibandingkan dengan yang lainnya.      

Mungkin problem yang sama terus menerus berulang. Ketidaksepahaman. Dan antara kamu dan saya, kehidupan ini selebihnya hanya saya saja yang menjalaninya. Begitu juga dengan mu. Kata yang lain, ketidaksepahaman seolah-olah memberikan ruang bagi tiap individu mengembangkan gagasannya. Memberdayakan dirinya masing-masing. Di sisi yang lain, ketidaksepahaman seperti jalinan benang yang kusut dan kacau balau. Selalu menghambat tiap kemajuan yang dicoba untuk dibuat. Dan untuk ini, saya muak untuk memilih kesepakatan yang mana yang akan saya ambil terhadap salah satu sisi yang berlainan seperti itu. Mungkin, selama ini saya memang tidak pernah akur berinteraksi dengan orang-orang. Mungkin. Mungkin. Mungkin. Ah, kemungkinan.

                                                                  ***

Secara metafor, atom mencerminkan inti. Dan inti, seperti akar. Dia menghujam ke kedalaman tanah. Dengan begitu, dia memberikan fondasi, menuntun gerak, dan layaknya metafor pohon yang memiliki akar kuat terpatri lurus ke inti bumi: dia kuat menahan ganasnya terpaan angin ribut.  Tetapi itu bila akar dipelihara secara simultan. Ada orang yang ibaratnya selalu mau menyiram apa yang dia miliki setiap hari. Penuh kesabaran dan intensitas. Bila tidak, mungkin gambaran gurun tandus di Nevada atau dataran gersang di Texas, Amerika, sana cocok untuk dijadikan perumpamaan. Sangat sedikit sekali air disana, sedangkan manusia, sebagian besar tubuhnya dipenuhi oleh air.


Kamis, 19 November 2009

Ngalor-Ngidul: Quality Time.

Hujan. Sudah musim hujan lagi. Biasanya bila jarum jam sudah bertengger di angka dua siang, awan hitam diprediksi sudah berkoalisi. Dan saya selalu ingin berada di rumah. Tidur. Bila terjebak dijalanan, repot. Serba basah. Tidak  seperti dulu. Biasanya saya selalu senang bila hujan turun. Cepat-cepat memesan kopi, cepat-cepat mencari angkot yang bangku belakangnya kosong. Cepat-cepat memutar walkman. Biasanya ujung-ujungnya melamun di angkot. Melihat pemandangan dibalik jendela. Kelakuan yang sia-sia memang. Masa bodohlah.

Sekarang, saya tidak suka hujan. Merepotkan. Saya masih ingat, ketika bersama teman-teman naik gunung di daerah Majalengka. Kira-kira sepuluh menit lagi waktu itu kami mencapai puncak. Sudah terlihat batas ketinggian gunung. Tetapi, tiba-tiba hujan turun cukup deras. Untungnya kami sedang berada di daerah yang cukup terlindung dari hembusan angin dan hujan. Ada semacam tebing kecil yang didepannya dikelilingi oleh pepohonan. Langsung saja kami membuka tenda disitu. Pendakian jadi molor semalam.

Saya juga ingat, ketika jaman PKL dulu di sebuah koran lokal di Bandung. Ada kecelakaan pesawat. Saya disuruh datang ke lokasi kejadian oleh redaktur. Waktu itu saya baru saja tiba ke kantor. Langsung ditugasi lagi untuk pergi. Sialnya, diluar hujan. Hujan deras. Raincoat teman yang kupinjam ternyata tidak bebal terhadap hujan. Jadinya tentu basah kuyup. Saya benar-benar merasakan kedinginan selama meliput kecelakaan pesawat itu. 

Bagiku sekarang, hujan selalu terasa menghambat. Entahlah, salah satu penyebabnya kurasa, karena sekarang saya sudah punya motor. Jadi, bila hujan sangat tidak terlindung. Dulu, kemana-mana selalu jalan kaki, selalu naik angkot. Jadi bila hujan turun, tidak terlalu menjadi masalah. Bila misalnya sedang jalan kaki, tinggal cari kios terdekat untuk berteduh. Kamu tinggal nongkrong sambil lihat orang-orang yang naik motor basah kuyup. Syukur-syukur di kios itu juga menyediakan gorengan plus kopinya sekalian…nikmat.

Sekarang boro-boro. Seringkali rutukan yang keluar. Semua dicela, mulai dari “The Mighty Dude”, sampe angkot yang semena-mena berhenti di tengah jalan, dan menghambat laju kendaraan dibelakangnya (ini hujan, bung! Setiap pengendara motor dijalan raya tergesa-gesa). Masalahnya, bila berhenti ditengah jalan, kamu tidak bisa pergi jauh-jauh, karena ada motor yang harus kamu jaga. Mau tidak mau, misalkan kamu berhenti di jalan yang sepi, kamu harus diam disitu.


Rain is only feeling.

Dulu, memang selalu ada perasaan adem kalau hujan datang. Ibarat kehidupan terasa tidak terlalu gersang, tetapi teduh. Membawa tenang. Kalau kebetulan lagi nongkrong pas hujan, nikmatnya kerasa. Merokok nikmat. Ngobrol nikmat, atau sekadar melamun sendirian sambil mendengarkan lagu dari walkman juga terasa nikmatnya.

Bila sekarang dipikir-pikir lagi, seakan-akan waktu hilang percuma bila aktivitas terhambat oleh hujan. Seakan-akan ada sesuatu yang tidak sempat terkejar. Ada kesempatan yang terbuang sia-sia. Makanya, bila ditengah perjalanan terjebak hujan, selalu saja perasaan gelisah yang hadir. Bukan kenikmatan seperti dulu lagi. Tetapi seperti perasaan dikejar-kejar. Seperti, ada hal lain yang lebih berguna untuk kamu kerjakan, ketimbang berhenti karena terhambat oleh hujan.

Saya sebenarnya heran juga mengenai berubahnya perasaan saya tentang hujan ini. Apakah memang, karena faktor usia juga? Semakin tua, semakin banyak hal yang harus dikerjakan, dan dipikirkan? Dari sini, saya tidak tahu harus merutuk atau tidak. Bila memang penyebabnya adalah umur dan kesibukan yang bertambah, saya tidak tahu harus senang atau sedih. Saya tidak tahu, apakah akhirnya saya terkena juga hukum efisiensi dan intensifikasi di dunia kapitalisme ini?

Apakah pada akhirnya, akibat segala pemampatan dan percepatan terhadap pola hidup ini, membuat kenikmatan yang dulu selalu kurasakan, ketika hujan datang pada akhirnya tercerabut? Ataukah seperti yang teman saya katakan, “ah, lu mah hati doang rinto.”

Melankolia berlebihan. Terserah, mau disebut hati rinto atau apapun yang temanku inginkan. Sejauh menyangkut hujan, akhir-akhir ini guyurannya memang merepotkan.

Jumat, 06 November 2009

Teringat Gattaca Ketika di Jatinangor


Pernah nonton film Gattaca? Film yang diperankan oleh Ethan Hawke, Jude Law, dan Uma Thurman ini adalah semacam drama sains-fiksi yang mengambil setting di suatu masa entah kapan, dimana kehidupan manusia, sukses atau tidaknya mereka, ditentukan oleh bawaan genetisnya ketimbang prestasi atau kecerdasannya.

Di film Gattaca, dunia di setting untuk menjadi sebuah tempat yang dihidupi oleh manusia-manusia sempurna secara genetis. Manusia yang sempurna secara genetis ini dikategorikan sebagai manusia “valid”. Ketika seorang Ibu akan melahirkan, terlebih dahulu dapat diketahui komposisi genetis si cabang bayi. Apakah nantinya dia termasuk “valid” atau “in-valid” (manusia yang dikategorikan cacat secara genetik). Bila ternyata calon bayinya mengandung gen yang dikategorikan “in-valid” oleh sistem, maka melalui teknologi bayi tabung, setiap orang tua dapat mensetting keturunannya kelak menjadi “valid” dengan melakukan rekayasa genetik.

Dampak secara sosialnya dengan masyarakat seperti itu adalah terbaginya komposisi masyarakat menjadi dua kelas, yakni kelas yang dimanakan “valid” dan “in-valid”. Di dunia seperti itu, bagi individu yang dikategorikan “valid”, sudah dipastikan mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan. Jenjang karir yang menjanjikan, masa depan yang cerah, dan kehidupan yang terjamin. Berbeda dengan mereka yang dikategorikan “in-valid”. Untuk hal kecil seperti jenjang karir saja sudah dipastikan tidak akan bisa mencapai level yang tinggi.

Lalu, dampak lainnya, kehidupan bermasyarakat pun menjadi terpaku pada semacam alat detektor genetik yang dapat mengetahui “valid” atau tidaknya seseorang. Alat detektor itu ada disemua tempat, khususnya diperkantoran. Bila ada seseorang yang ingin melamar pekerjaan misalnya, maka mata orang itu akan dipindai oleh detektor gen. Setelah itu akan muncul foto, status “valid” atau tidak, beserta riwayat orang tersebut di layar detektor. Tetapi kebanyakan, foto dan riwayat orang yang dipindai itu tidak akan dilihat. Karena yang paling penting bagi sistem seperti itu adalah apakah kamu tergolong individu yang “valid” atau “in-valid”.

Dan hal yang terparah dari teknologi detektor genetik ini ialah, orang-orang menjadi tidak perduli dengan wajahmu seperti apa. Seorang manusia yang cerdik, seperti Vincent Freeman (Ethan Hawke) misalnya, dapat melenggang bebas di Gattaca Inc, sebuah korporasi ulang-alik seperti NASA, dimana tempat ini adalah satu-satunya akses bagi Vincent untuk bisa merealisasikan impiannya selama ini, yakni pergi keluar angkasa.

Vincent adalah individu yang dikategorikan “in-valid”. Semenjak dalam kandungan, dia sudah divonis mengalami beberapa “kecacatan”, seperti masalah dalam hal emosi, penglihatan yang buruk, dan paling parah adalah, bahwa harapan hidup Vincent diprediksi tidak akan lebih dari 30 tahun. Saat sang Ibu ditanya apakah akan melakukan semacam “perbaikan genetis” melalui teknologi bayi tabung. Dihadapkan dengan tawaran seperti itu, dengan segera sang Ibu menolaknya. Dia menginginkan seorang keturunan dengan cara yang alamiah. Begitulah akhirnya Vincent bisa hadir di dunia yang sudah kehilangan sentuhan personalnya itu: melalui kelahiran alamiah dengan serta merta membawa kekurangannya.

Dalam film ini setidaknya tersirat, ada sesuatu yang jauh melebihi keterbatasan manusia yang divoniskan kepadanya, yakni impian dan imajinasi. Setidaknya kehidupan manusia sejauh ini, terlepas dari kehidupan baik dan buruknya, digerakkan oleh impian dan imajinasi. Impian dan imajinasi Vincent tentang luar angkasa pada akhirnya mempertemukan dirinya dengan Jerome Morrow (Jude Law). Seorang atlit berperawakan gagah yang “valid”, namun mengalami kelumpuhan di kedua kakinya karena suatu kecelakaan. Jerome ini memang sengaja menjual gennya untuk digunakan oleh mereka yang “in-valid”. Motif Jerome menjual gen nya itu tentu saja untuk alasan uang.

Dunia Gattaca memang aneh, kategorisasi “valid” dan “in-valid” dalam masyarakat ternyata menjadi pemicu munculnya penyimpangan-penyimpangan seperti jual-beli gen seperti yang terjadi antara Vincent dan Jerome. Jual-beli gen itu terjadi semata-mata bertujuan hanya untuk mengelabui detektor genetis saja.

Ketika Vincent membeli gen Jerome, otomatis identitas Vincent pun ikut berubah. Dia bukan lagi seorang “in-valid” yang memiliki harapan hidup tidak lebih dari 30 tahun, dan hanya bisa bekerja sebagai cleaning service Gattaca Inc. Sekarang dia adalah seseorang yang “valid”. Seseorang yang bernama Jerome Morrow. Atlit yang reputasinya sangat baik, dan dihormati. Setidaknya dihadapan detektor genetis. Dan hal seperti itu dampaknya besar bagi Vincent. Dia dapat memasuki Gattaca dan mengikuti pelatihan bagi astronot yang akan diluncurkan ke luar angkasa. Sebuah tujuan yang lama telah diimpikannya.

Dengan bergantinya identitas Vincent menjadi Jerome, Vincent selalu lolos melewati dektektor genetis. Padahal, yang muncul di layar detektor adalah wajah Jerome. Segala riwayat hidupnya pun adalah riwayat dari Jerome. Bukan dirinya. Dan yang lebih parahnya lagi, petugas yang memegang detektor genetis itu selalu tidak menyadari adanya perbedaan antara wajah yang ada dilayar dengan wajah Vincent. Petugas itu hanya terpaku ke layar detektor genetis. Di dunia Gattaca, kehidupan seakan-akan menjadi kehilangan sentuhan antar-pribadi. Seperti tidak ada emosi. Semuanya terjadi semata-mata, karena kehidupan masyarakat ditentukan oleh kategori ilusif seperti “valid” dan “in-valid” yang tertera di layar detektor genetis itu.


Sepotong Adegan Gattaca di Jatinangor

"It is questionable if all the mechanical inventions yet made have lightened the
day's toil of any human being."

-John Stuart Mill –

Suatu malam saya dengan seorang kawan terdampar di Jatinangor. Tepatnya di sebuah minimarket di daerah Sukawening. Saat itu kami membeli beberapa barang dan makanan. Setelah keluar dari minimarket, kawanku ini untuk sesaat nampak tercenung sambil memegang barang belanjaannya.

“Tadi belanja, saya ngerasa absurd,” katanya, “saya tadi beli roti dua, susu, sama rokok sebungkus. Uangnya duapuluh ribu…tapi kembaliannya empat belas ribu.”

Absurd. Bila kawanku memaknai kejadian itu dengan satu kata, yakni absurd. Tentu saja. Malah bagiku mendekati sesuatu yang lucu dan satir. Bagaimana tidak, petugas minimarket itu menggunakan mesin detektor harga yang sudah umum di minimarket manapun. Mesin detektor harga itu diciptakan untuk menentukan harga melalui pemindaian label barcode yang ada disetiap bungkus produk. Tujuannya tentu, membuat pekerjaan menjadi lebih efisien. Diharapkan sang petugas minimarket dapat bekerja lebih cepat menentukan harga, tanpa harus repot-repot mengutak-ngatik kalkulator dengan jarinya yang bergerak lambat itu. Dengan detektor harga, kamu hanya tinggal menempelkan detektor ke barcode yang ada di sebuah produk, dan tidak lama kemudian, di mesin kas akan muncul harga produk tersebut. Tidak perlu bersusah-payah. Tetapi, hey, karena detektor harga itu juga setidaknya kawanku itu mendapatkan untung sebesar empat belas ribu rupiah.

Tentu saja kami berdua menertawakan kejadian konyol itu. Pikiran saya sendiri langsung menuju ke film Gattaca yang tulis diatas. Dalam kasus demikian, entah siapa yang error. Apakah mesin detektor itu yang sudah aus kehabisan baterai? Ataukah memang petugasnya yang tolol? Tetapi, lucu juga. Masalahnya, mesin detektor itu selalu dipegang oleh petugas minimarket bila memindai suatu produk. Setidaknya, sang petugas dapat mengetahui kejadian yang aneh dengan mesin detektornya, ketika dia melihat label harga yang tertera di mesin kas adalah Rp 6.000, sedangkan kawanku ini membawa setumpuk produk belanjaannya yang tidak mungkin semuanya itu hanya seharga Rp 6.000. 

Nnaaahhh…mungkin mesin detektornya memang sudah karatan, dan disisi lain, petugasnya memang sedang error juga. Soalnya kawanku itu juga berkata, ketika dirinya akan membayar produk belanjaannya, dia melihat dan mendengar petugas minimarket itu menggerutu sendiri.

“Dia terlihat kerepotan…’duh, ripuh kieu’, katanya”, cerita temanku itu kemudian.


Jangan Hancurkan Mesinnya, tapi….

Teknologi seperti mesin memang diyakini akan membawa kemudahan bagi kehidupan manusia. Sejarah munculnya mesin itu sendiri tergolong sudah cukup lama. Dari abad delapan belas kalau tidak salah. Dan itu bisa dilacak pertama kali, ketika peristiwa revolusi industri yang dipicu oleh penemuan mesin uap. Sejarah mesin itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari munculnya pabrik-pabrik. Karena pabriklah alasan dan tempat mesin itu eksis pada awal mulanya.

Dengan kata lain, inovasi seperti mesin itu pada awal mulanya ditujukan untuk memproduksi sebanyak mungkin barang di pabrik. Mengapa memproduksi banyak sekali barang? Jawabannya adalah persaingan. Di Inggris, sepertinya pabrik tidak hanya satu, dan dari tiap pabrik juga sepertinya produk yang dibuat tidak selamanya heterogen. Dari tiap pabrik tentunya ada juga yang memproduksi produk yang jenisnya sama. Dan antara pabrik yang satu dengan yang lainnya, sudah barang tentu persaingan itu ada.

Dengan ketatnya persaingan, tentu pemilik pabrik tidak ingin rugi. Maka, mesin adalah jawabannya. Dengan mesin yang terus menerus disempurnakan, tentu diharapkan produktifitas meningkat, dan seiring dengan produktifitas yang meningkat, harga dari produk yang dihasilkan tersebut dapat dibuat murah. Seperti yang menjadi jargon para pedagang: “harga bisa bersaing”. Semakin murah harga, tentu semakin diminati pembeli.

Meningkatnya produktifitas, karena investasi pemodal di mesin tersebut, turut serta membawa perubahan pola produksi di tataran para pekerja pabrik. Setidaknya begitu yang saya baca dari laporan yang dibuat oleh Mr. Ferrand pada tahun 1863 mengenai keadaan didalam pabrik di Inggris. Di laporan itu dia menulis:

“Delegasi pekerja dari 16 distrik Lancashire dan Clashire, yang atas mandatnya saya berbicara, memberitakan kepada saya, bahwa pekerjaan di pabrik-pabrik, karena penyempurnaan-penyempurnaan mesin, selalu meningkat. Jika dulu seorang pekerja dengan dua pembantu/pemagang melayani dua mesin tenun, sekarang seorang pekerja tanpa pembantu melayani tiga mesin, dan sama sekali bukan hal yang tidak biasa bagi seseorang untuk melayani empat buah mesin. 12 jam kerja, sebagaimana yang terbukti dari kenyataan-kenyataan yang dikemukakan, kini dipadatkan menjadi kurang 10 jam. Oleh karenanya jelaslah, hingga seberapa jauh kerja pekerja pabrik telah meningkat selama 10 tahun terakhir".

Patut dipertanyakan apakah kehadiran mesin memang memudahkan kehidupan manusia? Penemuan mesin yang diyakini akan membawa keringanan bagi hidup manusia, pada kenyataannya malah membuat manusia semakin sibuk. Contohnya, seperti keadaan pekerja pabrik di Inggris itu…penemuan teknologi mesin tenun bukannya membuat pekerjaan semakin mudah, tetapi pekerja malah semakin repot, karena harus menangani tiga hingga empat mesin sekaligus.

Di tataran psikologis, seorang manusia malah seakan-akan terasing dari kehidupan disekelilingnya. Pola hubungan produksi antara manusia dengan mesin, dimana dalam hal ini manusia yang harus mengikuti ritme mesin itu, malah membuat mereka seperti kehilangan kesadaran dengan dunia diluar dirinya. Seperti contoh kasus Gattaca, atau petugas minimarket yang kerepotan di daerah Sukawening, Jatinangor itu.

Dalam hal ini, apakah yang harus dipermasalahkan adalah kehadiran mesin-mesin itu? tetapi, toh, secara substansi mesin hanyalah sebuah alat. Sebuah alat pada dasarnya akan bergerak kearah manapun, selama yang mengendalikannya bergerak ke arah yang dikehendakinya. Lalu, permasalahan sesungguhnya ada dimana? Apakah dunia ini memang bermasalah? Atau sepertinya memang saya saja yang bermasalah, karena terlalu banyak melamun….

Teringat Gattaca Ketika di Jatinangor

Pernah nonton film Gattaca? Film yang diperankan oleh Ethan Hawke, Jude Law, dan Uma Thurman ini adalah semacam drama sains-fiksi yang mengambil setting di suatu masa entah kapan, dimana kehidupan manusia, sukses atau tidaknya mereka, ditentukan oleh bawaan genetisnya ketimbang prestasi atau kecerdasannya.

Di film Gattaca, dunia di setting untuk menjadi sebuah tempat yang dihidupi oleh manusia-manusia sempurna secara genetis. Manusia yang sempurna secara genetis ini dikategorikan sebagai manusia “valid”. Ketika seorang Ibu akan melahirkan, terlebih dahulu dapat diketahui komposisi genetis si cabang bayi. Apakah nantinya dia termasuk “valid” atau “in-valid” (manusia yang dikategorikan cacat secara genetik).   Bila ternyata calon bayinya mengandung gen yang dikategorikan “in-valid” oleh sistem, maka melalui teknologi bayi tabung, setiap orang tua dapat mensetting keturunannya kelak menjadi “valid” dengan melakukan rekayasa genetik.

Dampak secara sosialnya dengan masyarakat seperti itu adalah terbaginya komposisi masyarakat menjadi dua kelas, yakni kelas yang dimanakan “valid” dan “in-valid”. Di dunia seperti itu, bagi individu yang dikategorikan “valid”, sudah dipastikan mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan. Jenjang karir yang menjanjikan, masa depan yang cerah, dan kehidupan yang terjamin. Berbeda dengan mereka yang dikategorikan “in-valid”. Untuk hal kecil seperti jenjang karir saja sudah dipastikan tidak akan bisa mencapai level yang tinggi.

Lalu, dampak lainnya, kehidupan bermasyarakat pun menjadi terpaku pada semacam alat detektor genetik yang dapat mengetahui “valid” atau tidaknya seseorang. Alat detektor itu ada disemua tempat, khususnya diperkantoran. Bila ada seseorang yang ingin melamar pekerjaan misalnya, maka mata orang itu akan dipindai oleh detektor gen. Setelah itu akan muncul foto, status “valid” atau tidak, beserta riwayat orang tersebut di layar detektor. Tetapi kebanyakan, foto dan riwayat orang yang dipindai itu tidak akan dilihat. Karena yang paling penting bagi sistem seperti itu adalah apakah kamu tergolong individu yang “valid” atau “in-valid”.  

Dan hal yang terparah dari teknologi detektor genetik ini ialah, orang-orang menjadi tidak perduli dengan wajahmu seperti apa. Seorang manusia yang cerdik, seperti Vincent Freeman (Ethan Hawke) misalnya, dapat melenggang bebas di Gattaca Inc, sebuah korporasi ulang-alik seperti NASA, dimana tempat ini adalah satu-satunya akses bagi Vincent untuk bisa merealisasikan impiannya selama ini, yakni pergi keluar angkasa.

Vincent adalah individu yang dikategorikan “in-valid”. Semenjak dalam kandungan, dia sudah divonis mengalami beberapa “kecacatan”, seperti masalah dalam hal emosi, penglihatan yang buruk, dan paling parah adalah, bahwa harapan hidup Vincent diprediksi tidak akan lebih dari 30 tahun. Saat sang Ibu ditanya apakah akan melakukan semacam “perbaikan genetis” melalui teknologi bayi tabung. Dihadapkan dengan tawaran seperti itu, dengan segera sang Ibu menolaknya. Dia menginginkan seorang keturunan dengan cara yang alamiah. Begitulah akhirnya Vincent bisa hadir di dunia yang sudah kehilangan sentuhan personalnya itu: melalui kelahiran alamiah dengan serta merta membawa kekurangannya.

Dalam film ini setidaknya tersirat, ada sesuatu yang jauh melebihi keterbatasan manusia yang divoniskan kepadanya, yakni impian dan imajinasi. Setidaknya kehidupan manusia sejauh ini, terlepas dari kehidupan baik dan buruknya, digerakkan oleh impian dan imajinasi. Impian dan imajinasi Vincent tentang luar angkasa pada akhirnya mempertemukan dirinya dengan Jerome Morrow (Jude Law). Seorang atlit berperawakan gagah yang “valid”, namun mengalami kelumpuhan di kedua kakinya karena suatu kecelakaan. Jerome ini memang sengaja menjual gennya untuk digunakan oleh mereka yang “in-valid”. Motif Jerome menjual gen nya itu tentu saja untuk alasan uang.

Dunia Gattaca memang aneh, kategorisasi “valid” dan “in-valid” dalam masyarakat ternyata menjadi pemicu munculnya penyimpangan-penyimpangan seperti jual-beli gen seperti yang terjadi antara Vincent dan Jerome. Jual-beli gen itu terjadi semata-mata bertujuan hanya untuk mengelabui detektor genetis saja.

Ketika Vincent membeli gen Jerome, otomatis identitas Vincent pun ikut berubah. Dia bukan lagi seorang “in-valid” yang memiliki harapan hidup tidak lebih dari 30 tahun, dan hanya bisa bekerja sebagai cleaning service Gattaca Inc. Sekarang dia adalah seseorang yang “valid”. Seseorang yang bernama Jerome Morrow. Atlit yang reputasinya sangat baik, dan dihormati. Setidaknya dihadapan detektor genetis. Dan hal seperti itu dampaknya besar bagi Vincent. Dia dapat memasuki Gattaca dan mengikuti pelatihan bagi astronot yang akan diluncurkan ke luar angkasa. Sebuah tujuan yang lama telah diimpikannya.

Dengan bergantinya identitas Vincent menjadi Jerome, Vincent selalu lolos melewati dektektor genetis. Padahal, yang muncul di layar detektor adalah wajah Jerome. Segala riwayat hidupnya pun adalah riwayat dari Jerome. Bukan dirinya. Dan yang lebih parahnya lagi, petugas yang memegang detektor genetis itu selalu tidak menyadari adanya perbedaan antara wajah yang ada dilayar dengan wajah Vincent. Petugas itu hanya terpaku ke layar detektor genetis. Di dunia Gattaca, kehidupan seakan-akan menjadi kehilangan sentuhan antar-pribadi. Seperti tidak ada emosi. Semuanya terjadi semata-mata, karena kehidupan masyarakat ditentukan oleh kategori ilusif seperti “valid” dan “in-valid” yang tertera di layar detektor genetis itu.


Sepotong Adegan Gattaca di Jatinangor

"It is questionable if all the mechanical inventions yet made have lightened the
day's toil of any human being."
-John Stuart Mill –

Suatu malam saya dengan seorang kawan terdampar di Jatinangor. Tepatnya di sebuah minimarket di daerah Sukawening. Saat itu kami membeli beberapa barang dan makanan. Setelah keluar dari minimarket, kawanku ini untuk sesaat nampak tercenung sambil memegang barang belanjaannya.

“Tadi belanja, saya ngerasa absurd,” katanya, “saya tadi beli roti dua, susu, sama rokok sebungkus. Uangnya duapuluh ribu…tapi kembaliannya empat belas ribu.”

Absurd. Bila kawanku memaknai kejadian itu dengan satu kata, yakni absurd. Tentu saja. Malah bagiku mendekati sesuatu yang lucu dan satir. Bagaimana tidak, petugas minimarket itu menggunakan mesin detektor harga yang sudah umum di minimarket manapun. Mesin detektor harga itu diciptakan untuk menentukan harga melalui pemindaian label barcode yang ada disetiap bungkus produk. Tujuannya tentu, membuat pekerjaan menjadi lebih efisien. Diharapkan sang petugas minimarket dapat bekerja lebih cepat menentukan harga, tanpa harus repot-repot mengutak-ngatik kalkulator dengan jarinya yang bergerak lambat itu. Dengan detektor harga, kamu hanya tinggal menempelkan detektor ke barcode yang ada di sebuah produk, dan tidak lama kemudian, di mesin kas akan muncul harga produk tersebut. Tidak perlu bersusah-payah. Tetapi, hey, karena detektor harga itu juga setidaknya kawanku itu mendapatkan untung sebesar empat belas ribu rupiah.

Tentu saja kami berdua menertawakan kejadian konyol itu. Pikiran saya sendiri langsung menuju ke film Gattaca yang tulis diatas. Dalam kasus demikian, entah siapa yang error. Apakah mesin detektor itu yang sudah aus kehabisan baterai? Ataukah memang petugasnya yang tolol? Tetapi, lucu juga. Masalahnya, mesin detektor itu selalu dipegang oleh petugas minimarket bila memindai suatu produk. Setidaknya, sang petugas dapat mengetahui kejadian yang aneh dengan mesin detektornya, ketika dia melihat label harga yang tertera di mesin kas adalah Rp 4.000, sedangkan kawanku ini membawa setumpuk produk belanjaannya yang tidak mungkin semuanya itu hanya seharga Rp 4.000.

Nnaaahhh…mungkin mesin detektornya memang sudah karatan, dan disisi lain, petugasnya memang sedang error juga. Soalnya kawanku itu juga berkata, ketika dirinya akan membayar produk belanjaannya, dia melihat dan mendengar petugas minimarket itu menggerutu sendiri.

“Dia terlihat kerepotan…’duh, ripuh kieu’, katanya”, cerita temanku itu kemudian.


Jangan Hancurkan Mesinnya, tapi….

Teknologi seperti mesin memang diyakini akan membawa kemudahan bagi kehidupan manusia. Sejarah munculnya mesin itu sendiri tergolong sudah cukup lama. Dari abad delapan belas kalau tidak salah. Dan itu bisa dilacak pertama kali, ketika peristiwa revolusi industri yang dipicu oleh penemuan mesin uap. Sejarah mesin itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari munculnya pabrik-pabrik. Karena pabriklah alasan dan tempat mesin itu eksis pada awal mulanya.

Dengan kata lain, inovasi seperti mesin itu pada awal mulanya ditujukan untuk memproduksi sebanyak mungkin barang di pabrik. Mengapa memproduksi banyak sekali barang? Jawabannya adalah persaingan. Di Inggris, sepertinya pabrik tidak hanya satu, dan dari tiap pabrik juga sepertinya produk yang dibuat tidak selamanya heterogen. Dari tiap pabrik tentunya ada juga yang memproduksi produk yang jenisnya sama. Dan antara pabrik yang satu dengan yang lainnya, sudah barang tentu persaingan itu ada.

Dengan ketatnya persaingan, tentu pemilik pabrik tidak ingin rugi. Maka, mesin adalah jawabannya. Dengan mesin yang terus menerus disempurnakan, tentu diharapkan produktifitas meningkat, dan seiring dengan produktifitas yang meningkat, harga dari produk yang dihasilkan tersebut dapat dibuat murah. Seperti yang menjadi jargon para pedagang: “harga bisa bersaing”. Semakin murah harga, tentu semakin diminati pembeli.

Meningkatnya produktifitas, karena investasi pemodal di mesin tersebut, turut serta membawa perubahan pola produksi di tataran para pekerja pabrik. Setidaknya begitu yang saya baca dari laporan yang dibuat oleh Mr. Ferrand pada tahun 1863 mengenai keadaan didalam pabrik di Inggris. Di laporan itu dia menulis:

“Delegasi pekerja dari 16 distrik Lancashire dan Clashire, yang atas mandatnya saya berbicara, memberitakan kepada saya, bahwa pekerjaan di pabrik-pabrik, karena penyempurnaan-penyempurnaan mesin, selalu meningkat. Jika dulu seorang pekerja dengan dua pembantu/pemagang melayani dua mesin tenun, sekarang seorang pekerja tanpa pembantu melayani tiga mesin, dan sama sekali bukan hal yang tidak biasa bagi seseorang untuk melayani empat buah mesin. 12 jam kerja, sebagaimana yang terbukti dari kenyataan-kenyataan yang dikemukakan, kini dipadatkan menjadi kurang 10 jam. Oleh karenanya jelaslah, hingga seberapa jauh kerja pekerja pabrik telah meningkat selama 10 tahun terakhir".

Quote John Stuart Mill diatas buat saya menarik. Patut dipertanyakan apakah kehadiran mesin memang memudahkan kehidupan manusia? Penemuan mesin yang diyakini akan membawa keringanan bagi hidup manusia, pada kenyataannya malah membuat manusia semakin sibuk. Contohnya, seperti keadaan pekerja pabrik di Inggris itu…penemuan teknologi mesin tenun bukannya membuat pekerjaan semakin mudah, tetapi pekerja malah semakin repot, karena harus menangani tiga hingga empat mesin sekaligus.

Di tataran psikologis, seorang manusia malah seakan-akan terasing dari kehidupan disekelilingnya. Pola hubungan produksi antara manusia dengan mesin, dimana dalam hal ini manusia yang harus mengikuti ritme mesin itu, malah membuat mereka seperti kehilangan kesadaran dengan dunia diluar dirinya. Seperti contoh kasus Gattaca, atau petugas minimarket yang kerepotan di daerah Sukawening, Jatinangor itu.

Dalam hal ini, apakah yang harus dipermasalahkan adalah kehadiran mesin-mesin itu? tetapi, toh, secara substansi mesin hanyalah sebuah alat. Sebuah alat pada dasarnya akan bergerak kearah manapun, selama yang mengendalikannya bergerak ke arah yang dikehendakinya. Lalu, permasalahan sesungguhnya ada dimana? Apakah dunia ini memang bermasalah? Atau sepertinya memang saya saja yang bermasalah, karena terlalu banyak melamun….
 



 

Minggu, 01 November 2009

Adidas Superstar dan Negeri Katak

Suatu waktu, dia adalah seorang wirausahawan. Sebut saja begitu. Melihat kelakuannya yang selalu menjual barang hasil carding di internet. Berbagai macam barang dia jual, mulai dari cd, sweater, kaos, hingga sepatu. Apapun. Biasanya barang itu suka ditawar-tawarkan ke orang-orang disekolah. Suatu waktu juga, saya menginginkan sepatu Adidas Superstar. Sebuah model sepatu yang pada jamannya pernah digandrungi. Banyak sekali dipakai. Orang-orang terkenal macam Fred Durst (masih ingat siapa dia?) saja memakai sepatu Adidas seperti itu. Melihat orang terkenal memakai sepatu seperti itu, dan ditambah trend, saya pun terpengaruh…entahlah, mungkin memang terpengaruh. Kejadiannya sudah lama… dan sebenarnya saya sedang  ingin menulis ngalor-ngidul…kalau sejauh ini ada yang masih membaca tulisan ini, berarti kamu menyia-nyiakan waktumu saja….

Well, balik lagi. Temanku ini ternyata menjual sepatu Adidas Superstar. Langsung saja saya beli. Tentu saja saya senang, sepatu yang diidam-idamkan selama ini ternyata bisa kubeli dengan harga miring. Karena sepatu itu telah lama diidam-idamkan, saya menjadi tidak sabaran untuk segera memakainya. Maka, tepat setelah pulang sekolah, saya pakai sepatu itu. Sepatu yang lama saya masukkan ke tas. Adidas Superstar itu masih bersih tentunya. Kinclong. Berkilau ala sepatu baru yang keluar dari toko (walaupun sebenarnya kiriman kurir, dan hasil carding pula).

Tentu saja teman-teman banyak yang mengomentari sepatu itu. Biasalah, komentar-komentar nada ngejek-bercanda seperti itu. Tapi saya tidak perduli ocehan mereka, karena saya cukup senang memakai sepatu baru itu. Singkat cerita, sehabis pulang sekolah ada dua orang teman yang mengajak untuk main ke rumah…ehm, sebut saja si Dun. Rumah si Dun ini sebenarnya aneh. Letaknya di daerah Dago. Dago Utara tepatnya. Daerah Cigadung. Angkot masih ada di daerah Cigadung…tetapi untuk kerumah si Dun ini ternyata angkot tidak ada. Biasanya bila kerumah si Dun kami selalu jalan kaki dari daerah Cigadung. Kalau jalan kaki, cukup jauh juga jaraknya. Tidak heran bila rumah si Dun ini selalu dijuluki dengan “negeri katak” oleh teman-teman. Letaknya dekat ke kota, tetapi seakan-akan terasing dari mana-mana…angkot tidak ada, perumahan sedikit, tanah lapang banyak. Begitulah. Walaupun terasing, tetapi bila jalan kaki tidak sendirian, tentu saja ramai. Apalagi bila sambil bakar weed, dan kamu bisa melihat suasana bukit dan tanah hijau yang cukup lapang.

Kami berjalan kaki bertiga waktu itu kerumah si Dun…kalau tidak salah dengan si Toples, Satpam, dan saya. Singkat cerita, setelah ngalor-ngidul cukup lama di rumah Dun, sore harinya kami pulang. Maklum, sehabis magrib angkot di Cigadung sudah tidak ada (negeri katak yang terasing!). Jadi sore-sore kami jalan kaki dari rumah Dun ke arah Cigadung untuk mencari angkot. Jaraknya cukup jauh, tetapi suasana sore di daerah rumah si Dun cukup menyenangkan.

Kami melewati jalan yang serupa cekungan yang cukup dalam: mudun curam, naiknya pun curam. Angin sepoi-sepoi, matahari sudah hampir terbenam, dan hawa dingin khas dago utara terasa cukup nyaman. Kami bertiga ngobrol, dan merokok sambil jalan kaki. Waktu itu, kami melalui semacam jalan pintas. Berbeda dengan jalur yang kami lewati saat pertama kali datang ke rumah Dun.

Tiba-tiba kami sampai disuatu tanah merah yang lapang. Mungkin karena sebelumnya turun hujan, tanah merah itu becek dan, kalau kata orang sunda, “legok”. Mau tidak mau, kami harus melewati tanah merah itu. Kalau kembali berputar ke arah jalan biasa, sudah kejauhan pikir kami. Lagipula, toh, cuman tanah merah yang basah. Bukan masalah. Tetapi yang menjadi masalah adalah, ketika saya melewati tanah merah itu. Sepatu Adidas Superstar baru saya jadi korban. Lumpur yang lekat menempel di alas sepatu. Begitu tebal. Belum lagi cipratan-cipratan lumpur yang menempel di permukaan sepatu. Sangat mengesalkan. Membuat sepatu Adidas itu terlihat sangat kotor. Kondisinya benar-benar kontras, ketika ku pakai pertama kali di sekolah. Jadi sangat kumel. Toples dan Satpam tentu saja puas melihat kekesalan saya.

Sepanjang perjalanan tidak henti-hentinya mereka mentertawakan dan mengejek saya. Sore itu benar-benar menjadi hari yang menyenangkan bagi mereka berdua, tetapi tidak bagiku. Parahnya lagi, keesokan harinya tertawaan dan ejekan mereka itu tidak berhenti. Disekolah malah mereka menggembar-gemborkan cerita tanah merah itu. Tentu saja banyak teman-teman yang antusias mentertawakan dan mengejek. Tentu saja saya hanya senyam-senyum masam. Tahu bakal seperti itu ceritanya, setelah mendapatkan Adidas itu tentunya tidak akan langsung dipakai dulu. Setidaknya sedikit bersabar.


***
Hingga saat ini, angkot tidak pernah melalui daerah rumah si Dun. Suasananya juga masih seperti dulu. Tidak terlalu banyak perumahan. Masih tergolong asri dan sepi. Jalan yang curam itu masih tetap seperti sedia kala: cukup membahayakan bila ada kendaraan yang tenaganya loyo, dan cukup melelahkan bila ada orang yang menapakinya seperti kami dulu.

Rumah Dun juga masih seperti dulu, cukup sederhana bila dibandingkan rumah-rumah disekelilingnya yang desainnya cukup mewah. Rumah dia tergolong paling kecil. Ayah dan Ibunya ternyata masih mengenal saya. Mereka orang tua yang ramah. Keduanya berprofesi sebagai dosen. Entah, mungkin karena profesi mereka sebagai dosen, jadi rumah yang terlihat kecil dari luar itu, didalamnya dipenuhi oleh buku yang tersusun di sebuah lemari atau berserakan di sana-sini. Dari dulu seperti itu.

Kamar Dun juga masih disitu, dan begitu. Masih ada gitar, ampli, dan cd-cd bekas yang terserak di meja…artefak remaja rocker yang saat ini berprofesi sebagai EO. Dun tidak merokok, tetapi kamarnya selalu dipenuhi asap rokok bila dulu kami bertandang ke kamarnya. Sekarang pun begitu, walaupun hanya saya seorang yang ada dikamarnya, tanpa kehadiran teman-teman yang lain.

Mungkin satu-satunya perbedaan adalah saya tidak perlu memikirkan angkot bila pulang larut malam dari Dun, karena saya mengendarai motor. Tidak jalan kaki seperti dulu. Tidak melewati tanah merah sialan itu.


***
Menyenangkan bertemu teman lama. Kamu bisa ingat lagi dirimu yang dulu. Memikirkan seperti apa dirimu dahulu, dan bagaimana ceritanya dirimu bisa menjadi seperti sekarang ini. Katakan itu nostalgia. Terbayang lagi siapa kamu “saat itu”. Mengingat sudah banyak yang berubah dari diri ini, dan melihat temanmu yang “saat itu” juga sudah berubah, tentunya ada serpihan-serpihan dari “saat itu” yang membuatmu sadar tentang perubahan-perubahan yang telah terjadi selama ini. Katakan ini semacam “back to roots”. Amunisi yang menjaga agar identitas tak terombang-ambing kesana kemari. 

Dan aku tidak sabar ingin bertemu dengan orang-orang baru. Teman-teman baru yang akan memberiku perspektif yang lain lagi.