Kamis, 19 November 2009

Ngalor-Ngidul: Quality Time.

Hujan. Sudah musim hujan lagi. Biasanya bila jarum jam sudah bertengger di angka dua siang, awan hitam diprediksi sudah berkoalisi. Dan saya selalu ingin berada di rumah. Tidur. Bila terjebak dijalanan, repot. Serba basah. Tidak  seperti dulu. Biasanya saya selalu senang bila hujan turun. Cepat-cepat memesan kopi, cepat-cepat mencari angkot yang bangku belakangnya kosong. Cepat-cepat memutar walkman. Biasanya ujung-ujungnya melamun di angkot. Melihat pemandangan dibalik jendela. Kelakuan yang sia-sia memang. Masa bodohlah.

Sekarang, saya tidak suka hujan. Merepotkan. Saya masih ingat, ketika bersama teman-teman naik gunung di daerah Majalengka. Kira-kira sepuluh menit lagi waktu itu kami mencapai puncak. Sudah terlihat batas ketinggian gunung. Tetapi, tiba-tiba hujan turun cukup deras. Untungnya kami sedang berada di daerah yang cukup terlindung dari hembusan angin dan hujan. Ada semacam tebing kecil yang didepannya dikelilingi oleh pepohonan. Langsung saja kami membuka tenda disitu. Pendakian jadi molor semalam.

Saya juga ingat, ketika jaman PKL dulu di sebuah koran lokal di Bandung. Ada kecelakaan pesawat. Saya disuruh datang ke lokasi kejadian oleh redaktur. Waktu itu saya baru saja tiba ke kantor. Langsung ditugasi lagi untuk pergi. Sialnya, diluar hujan. Hujan deras. Raincoat teman yang kupinjam ternyata tidak bebal terhadap hujan. Jadinya tentu basah kuyup. Saya benar-benar merasakan kedinginan selama meliput kecelakaan pesawat itu. 

Bagiku sekarang, hujan selalu terasa menghambat. Entahlah, salah satu penyebabnya kurasa, karena sekarang saya sudah punya motor. Jadi, bila hujan sangat tidak terlindung. Dulu, kemana-mana selalu jalan kaki, selalu naik angkot. Jadi bila hujan turun, tidak terlalu menjadi masalah. Bila misalnya sedang jalan kaki, tinggal cari kios terdekat untuk berteduh. Kamu tinggal nongkrong sambil lihat orang-orang yang naik motor basah kuyup. Syukur-syukur di kios itu juga menyediakan gorengan plus kopinya sekalian…nikmat.

Sekarang boro-boro. Seringkali rutukan yang keluar. Semua dicela, mulai dari “The Mighty Dude”, sampe angkot yang semena-mena berhenti di tengah jalan, dan menghambat laju kendaraan dibelakangnya (ini hujan, bung! Setiap pengendara motor dijalan raya tergesa-gesa). Masalahnya, bila berhenti ditengah jalan, kamu tidak bisa pergi jauh-jauh, karena ada motor yang harus kamu jaga. Mau tidak mau, misalkan kamu berhenti di jalan yang sepi, kamu harus diam disitu.


Rain is only feeling.

Dulu, memang selalu ada perasaan adem kalau hujan datang. Ibarat kehidupan terasa tidak terlalu gersang, tetapi teduh. Membawa tenang. Kalau kebetulan lagi nongkrong pas hujan, nikmatnya kerasa. Merokok nikmat. Ngobrol nikmat, atau sekadar melamun sendirian sambil mendengarkan lagu dari walkman juga terasa nikmatnya.

Bila sekarang dipikir-pikir lagi, seakan-akan waktu hilang percuma bila aktivitas terhambat oleh hujan. Seakan-akan ada sesuatu yang tidak sempat terkejar. Ada kesempatan yang terbuang sia-sia. Makanya, bila ditengah perjalanan terjebak hujan, selalu saja perasaan gelisah yang hadir. Bukan kenikmatan seperti dulu lagi. Tetapi seperti perasaan dikejar-kejar. Seperti, ada hal lain yang lebih berguna untuk kamu kerjakan, ketimbang berhenti karena terhambat oleh hujan.

Saya sebenarnya heran juga mengenai berubahnya perasaan saya tentang hujan ini. Apakah memang, karena faktor usia juga? Semakin tua, semakin banyak hal yang harus dikerjakan, dan dipikirkan? Dari sini, saya tidak tahu harus merutuk atau tidak. Bila memang penyebabnya adalah umur dan kesibukan yang bertambah, saya tidak tahu harus senang atau sedih. Saya tidak tahu, apakah akhirnya saya terkena juga hukum efisiensi dan intensifikasi di dunia kapitalisme ini?

Apakah pada akhirnya, akibat segala pemampatan dan percepatan terhadap pola hidup ini, membuat kenikmatan yang dulu selalu kurasakan, ketika hujan datang pada akhirnya tercerabut? Ataukah seperti yang teman saya katakan, “ah, lu mah hati doang rinto.”

Melankolia berlebihan. Terserah, mau disebut hati rinto atau apapun yang temanku inginkan. Sejauh menyangkut hujan, akhir-akhir ini guyurannya memang merepotkan.

13 komentar:

astri arsita mengatakan...

odd. saya merasa sama, hahaha!

dyah nur'aini mengatakan...

Bo, yaudah atuh, beralih lg ke kendaraan umum. Kasian, sepi sekarang yang numpang angkot. Ngurangin polusi jg.. Hahaha..

deeshampoqu lalaladududu mengatakan...

yah penyebabnya itu bo, kalo saya mah. tapi saya mah milih senang, karena tak mau menafikan kalau hujan is my season,,heuheuheu. soalnya semua jd agak melambat, agak tidak tergesa-gesa. dan nyamuk2 dirumah saya agak mereda, lebih adem kalo malem (tau sendiri bekasi). hahha..tau deh,,iya sih antara senang dan sedih sebenarnya.

abo si eta tea mengatakan...

gimana gitu?

abo si eta tea mengatakan...

ntar deh, nunggu tata kota nya bener. baru naek angkot :D

abo si eta tea mengatakan...

hmm, it's your season...but this time the season is definitly not mine. heu.

afwan albasit mengatakan...

mun boncengan jeung awewe mah bo asa teu karasa hujan teh...hahahahaha
*pet!!

astri arsita mengatakan...

yah dulu suka kalau hujan, berlamalama di sekolah berlamalama di kampus, kalau hujan sengaja main dulu ke mol karena dengan alasan menunggu hujan reda. sekarang bete, getting huhujan, ulin kahujanan, kalo males huhujanan di imah wae, tidak produktif, bosan. kayak hari ini batal main karena hujan pret! *i wish i had a car huh*

ndoro ndro mengatakan...

karma meurun. leutik na uujanan wae. geus kolot na ripuh.

abo si eta tea mengatakan...

urang mah nyaho na band ti Texas...ngarana Karma to Burn. mun karma meureun mah teuing euy...teu wawuh.

abo si eta tea mengatakan...

enya wan...tapi mun baseuh mah, angger we karasa euy.

afwan albasit mengatakan...

kan jadi haneut

abo si eta tea mengatakan...

neangan tukang sorabi weh mun hayang nu haneut-haneut mah. hehe.