Jumat, 06 November 2009

Teringat Gattaca Ketika di Jatinangor


Pernah nonton film Gattaca? Film yang diperankan oleh Ethan Hawke, Jude Law, dan Uma Thurman ini adalah semacam drama sains-fiksi yang mengambil setting di suatu masa entah kapan, dimana kehidupan manusia, sukses atau tidaknya mereka, ditentukan oleh bawaan genetisnya ketimbang prestasi atau kecerdasannya.

Di film Gattaca, dunia di setting untuk menjadi sebuah tempat yang dihidupi oleh manusia-manusia sempurna secara genetis. Manusia yang sempurna secara genetis ini dikategorikan sebagai manusia “valid”. Ketika seorang Ibu akan melahirkan, terlebih dahulu dapat diketahui komposisi genetis si cabang bayi. Apakah nantinya dia termasuk “valid” atau “in-valid” (manusia yang dikategorikan cacat secara genetik). Bila ternyata calon bayinya mengandung gen yang dikategorikan “in-valid” oleh sistem, maka melalui teknologi bayi tabung, setiap orang tua dapat mensetting keturunannya kelak menjadi “valid” dengan melakukan rekayasa genetik.

Dampak secara sosialnya dengan masyarakat seperti itu adalah terbaginya komposisi masyarakat menjadi dua kelas, yakni kelas yang dimanakan “valid” dan “in-valid”. Di dunia seperti itu, bagi individu yang dikategorikan “valid”, sudah dipastikan mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan. Jenjang karir yang menjanjikan, masa depan yang cerah, dan kehidupan yang terjamin. Berbeda dengan mereka yang dikategorikan “in-valid”. Untuk hal kecil seperti jenjang karir saja sudah dipastikan tidak akan bisa mencapai level yang tinggi.

Lalu, dampak lainnya, kehidupan bermasyarakat pun menjadi terpaku pada semacam alat detektor genetik yang dapat mengetahui “valid” atau tidaknya seseorang. Alat detektor itu ada disemua tempat, khususnya diperkantoran. Bila ada seseorang yang ingin melamar pekerjaan misalnya, maka mata orang itu akan dipindai oleh detektor gen. Setelah itu akan muncul foto, status “valid” atau tidak, beserta riwayat orang tersebut di layar detektor. Tetapi kebanyakan, foto dan riwayat orang yang dipindai itu tidak akan dilihat. Karena yang paling penting bagi sistem seperti itu adalah apakah kamu tergolong individu yang “valid” atau “in-valid”.

Dan hal yang terparah dari teknologi detektor genetik ini ialah, orang-orang menjadi tidak perduli dengan wajahmu seperti apa. Seorang manusia yang cerdik, seperti Vincent Freeman (Ethan Hawke) misalnya, dapat melenggang bebas di Gattaca Inc, sebuah korporasi ulang-alik seperti NASA, dimana tempat ini adalah satu-satunya akses bagi Vincent untuk bisa merealisasikan impiannya selama ini, yakni pergi keluar angkasa.

Vincent adalah individu yang dikategorikan “in-valid”. Semenjak dalam kandungan, dia sudah divonis mengalami beberapa “kecacatan”, seperti masalah dalam hal emosi, penglihatan yang buruk, dan paling parah adalah, bahwa harapan hidup Vincent diprediksi tidak akan lebih dari 30 tahun. Saat sang Ibu ditanya apakah akan melakukan semacam “perbaikan genetis” melalui teknologi bayi tabung. Dihadapkan dengan tawaran seperti itu, dengan segera sang Ibu menolaknya. Dia menginginkan seorang keturunan dengan cara yang alamiah. Begitulah akhirnya Vincent bisa hadir di dunia yang sudah kehilangan sentuhan personalnya itu: melalui kelahiran alamiah dengan serta merta membawa kekurangannya.

Dalam film ini setidaknya tersirat, ada sesuatu yang jauh melebihi keterbatasan manusia yang divoniskan kepadanya, yakni impian dan imajinasi. Setidaknya kehidupan manusia sejauh ini, terlepas dari kehidupan baik dan buruknya, digerakkan oleh impian dan imajinasi. Impian dan imajinasi Vincent tentang luar angkasa pada akhirnya mempertemukan dirinya dengan Jerome Morrow (Jude Law). Seorang atlit berperawakan gagah yang “valid”, namun mengalami kelumpuhan di kedua kakinya karena suatu kecelakaan. Jerome ini memang sengaja menjual gennya untuk digunakan oleh mereka yang “in-valid”. Motif Jerome menjual gen nya itu tentu saja untuk alasan uang.

Dunia Gattaca memang aneh, kategorisasi “valid” dan “in-valid” dalam masyarakat ternyata menjadi pemicu munculnya penyimpangan-penyimpangan seperti jual-beli gen seperti yang terjadi antara Vincent dan Jerome. Jual-beli gen itu terjadi semata-mata bertujuan hanya untuk mengelabui detektor genetis saja.

Ketika Vincent membeli gen Jerome, otomatis identitas Vincent pun ikut berubah. Dia bukan lagi seorang “in-valid” yang memiliki harapan hidup tidak lebih dari 30 tahun, dan hanya bisa bekerja sebagai cleaning service Gattaca Inc. Sekarang dia adalah seseorang yang “valid”. Seseorang yang bernama Jerome Morrow. Atlit yang reputasinya sangat baik, dan dihormati. Setidaknya dihadapan detektor genetis. Dan hal seperti itu dampaknya besar bagi Vincent. Dia dapat memasuki Gattaca dan mengikuti pelatihan bagi astronot yang akan diluncurkan ke luar angkasa. Sebuah tujuan yang lama telah diimpikannya.

Dengan bergantinya identitas Vincent menjadi Jerome, Vincent selalu lolos melewati dektektor genetis. Padahal, yang muncul di layar detektor adalah wajah Jerome. Segala riwayat hidupnya pun adalah riwayat dari Jerome. Bukan dirinya. Dan yang lebih parahnya lagi, petugas yang memegang detektor genetis itu selalu tidak menyadari adanya perbedaan antara wajah yang ada dilayar dengan wajah Vincent. Petugas itu hanya terpaku ke layar detektor genetis. Di dunia Gattaca, kehidupan seakan-akan menjadi kehilangan sentuhan antar-pribadi. Seperti tidak ada emosi. Semuanya terjadi semata-mata, karena kehidupan masyarakat ditentukan oleh kategori ilusif seperti “valid” dan “in-valid” yang tertera di layar detektor genetis itu.


Sepotong Adegan Gattaca di Jatinangor

"It is questionable if all the mechanical inventions yet made have lightened the
day's toil of any human being."

-John Stuart Mill –

Suatu malam saya dengan seorang kawan terdampar di Jatinangor. Tepatnya di sebuah minimarket di daerah Sukawening. Saat itu kami membeli beberapa barang dan makanan. Setelah keluar dari minimarket, kawanku ini untuk sesaat nampak tercenung sambil memegang barang belanjaannya.

“Tadi belanja, saya ngerasa absurd,” katanya, “saya tadi beli roti dua, susu, sama rokok sebungkus. Uangnya duapuluh ribu…tapi kembaliannya empat belas ribu.”

Absurd. Bila kawanku memaknai kejadian itu dengan satu kata, yakni absurd. Tentu saja. Malah bagiku mendekati sesuatu yang lucu dan satir. Bagaimana tidak, petugas minimarket itu menggunakan mesin detektor harga yang sudah umum di minimarket manapun. Mesin detektor harga itu diciptakan untuk menentukan harga melalui pemindaian label barcode yang ada disetiap bungkus produk. Tujuannya tentu, membuat pekerjaan menjadi lebih efisien. Diharapkan sang petugas minimarket dapat bekerja lebih cepat menentukan harga, tanpa harus repot-repot mengutak-ngatik kalkulator dengan jarinya yang bergerak lambat itu. Dengan detektor harga, kamu hanya tinggal menempelkan detektor ke barcode yang ada di sebuah produk, dan tidak lama kemudian, di mesin kas akan muncul harga produk tersebut. Tidak perlu bersusah-payah. Tetapi, hey, karena detektor harga itu juga setidaknya kawanku itu mendapatkan untung sebesar empat belas ribu rupiah.

Tentu saja kami berdua menertawakan kejadian konyol itu. Pikiran saya sendiri langsung menuju ke film Gattaca yang tulis diatas. Dalam kasus demikian, entah siapa yang error. Apakah mesin detektor itu yang sudah aus kehabisan baterai? Ataukah memang petugasnya yang tolol? Tetapi, lucu juga. Masalahnya, mesin detektor itu selalu dipegang oleh petugas minimarket bila memindai suatu produk. Setidaknya, sang petugas dapat mengetahui kejadian yang aneh dengan mesin detektornya, ketika dia melihat label harga yang tertera di mesin kas adalah Rp 6.000, sedangkan kawanku ini membawa setumpuk produk belanjaannya yang tidak mungkin semuanya itu hanya seharga Rp 6.000. 

Nnaaahhh…mungkin mesin detektornya memang sudah karatan, dan disisi lain, petugasnya memang sedang error juga. Soalnya kawanku itu juga berkata, ketika dirinya akan membayar produk belanjaannya, dia melihat dan mendengar petugas minimarket itu menggerutu sendiri.

“Dia terlihat kerepotan…’duh, ripuh kieu’, katanya”, cerita temanku itu kemudian.


Jangan Hancurkan Mesinnya, tapi….

Teknologi seperti mesin memang diyakini akan membawa kemudahan bagi kehidupan manusia. Sejarah munculnya mesin itu sendiri tergolong sudah cukup lama. Dari abad delapan belas kalau tidak salah. Dan itu bisa dilacak pertama kali, ketika peristiwa revolusi industri yang dipicu oleh penemuan mesin uap. Sejarah mesin itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari munculnya pabrik-pabrik. Karena pabriklah alasan dan tempat mesin itu eksis pada awal mulanya.

Dengan kata lain, inovasi seperti mesin itu pada awal mulanya ditujukan untuk memproduksi sebanyak mungkin barang di pabrik. Mengapa memproduksi banyak sekali barang? Jawabannya adalah persaingan. Di Inggris, sepertinya pabrik tidak hanya satu, dan dari tiap pabrik juga sepertinya produk yang dibuat tidak selamanya heterogen. Dari tiap pabrik tentunya ada juga yang memproduksi produk yang jenisnya sama. Dan antara pabrik yang satu dengan yang lainnya, sudah barang tentu persaingan itu ada.

Dengan ketatnya persaingan, tentu pemilik pabrik tidak ingin rugi. Maka, mesin adalah jawabannya. Dengan mesin yang terus menerus disempurnakan, tentu diharapkan produktifitas meningkat, dan seiring dengan produktifitas yang meningkat, harga dari produk yang dihasilkan tersebut dapat dibuat murah. Seperti yang menjadi jargon para pedagang: “harga bisa bersaing”. Semakin murah harga, tentu semakin diminati pembeli.

Meningkatnya produktifitas, karena investasi pemodal di mesin tersebut, turut serta membawa perubahan pola produksi di tataran para pekerja pabrik. Setidaknya begitu yang saya baca dari laporan yang dibuat oleh Mr. Ferrand pada tahun 1863 mengenai keadaan didalam pabrik di Inggris. Di laporan itu dia menulis:

“Delegasi pekerja dari 16 distrik Lancashire dan Clashire, yang atas mandatnya saya berbicara, memberitakan kepada saya, bahwa pekerjaan di pabrik-pabrik, karena penyempurnaan-penyempurnaan mesin, selalu meningkat. Jika dulu seorang pekerja dengan dua pembantu/pemagang melayani dua mesin tenun, sekarang seorang pekerja tanpa pembantu melayani tiga mesin, dan sama sekali bukan hal yang tidak biasa bagi seseorang untuk melayani empat buah mesin. 12 jam kerja, sebagaimana yang terbukti dari kenyataan-kenyataan yang dikemukakan, kini dipadatkan menjadi kurang 10 jam. Oleh karenanya jelaslah, hingga seberapa jauh kerja pekerja pabrik telah meningkat selama 10 tahun terakhir".

Patut dipertanyakan apakah kehadiran mesin memang memudahkan kehidupan manusia? Penemuan mesin yang diyakini akan membawa keringanan bagi hidup manusia, pada kenyataannya malah membuat manusia semakin sibuk. Contohnya, seperti keadaan pekerja pabrik di Inggris itu…penemuan teknologi mesin tenun bukannya membuat pekerjaan semakin mudah, tetapi pekerja malah semakin repot, karena harus menangani tiga hingga empat mesin sekaligus.

Di tataran psikologis, seorang manusia malah seakan-akan terasing dari kehidupan disekelilingnya. Pola hubungan produksi antara manusia dengan mesin, dimana dalam hal ini manusia yang harus mengikuti ritme mesin itu, malah membuat mereka seperti kehilangan kesadaran dengan dunia diluar dirinya. Seperti contoh kasus Gattaca, atau petugas minimarket yang kerepotan di daerah Sukawening, Jatinangor itu.

Dalam hal ini, apakah yang harus dipermasalahkan adalah kehadiran mesin-mesin itu? tetapi, toh, secara substansi mesin hanyalah sebuah alat. Sebuah alat pada dasarnya akan bergerak kearah manapun, selama yang mengendalikannya bergerak ke arah yang dikehendakinya. Lalu, permasalahan sesungguhnya ada dimana? Apakah dunia ini memang bermasalah? Atau sepertinya memang saya saja yang bermasalah, karena terlalu banyak melamun….

Tidak ada komentar: