Suatu waktu, dia adalah seorang wirausahawan. Sebut saja begitu. Melihat kelakuannya yang selalu menjual barang hasil carding di internet. Berbagai macam barang dia jual, mulai dari cd, sweater, kaos, hingga sepatu. Apapun. Biasanya barang itu suka ditawar-tawarkan ke orang-orang disekolah. Suatu waktu juga, saya menginginkan sepatu Adidas Superstar. Sebuah model sepatu yang pada jamannya pernah digandrungi. Banyak sekali dipakai. Orang-orang terkenal macam Fred Durst (masih ingat siapa dia?) saja memakai sepatu Adidas seperti itu. Melihat orang terkenal memakai sepatu seperti itu, dan ditambah trend, saya pun terpengaruh…entahlah, mungkin memang terpengaruh. Kejadiannya sudah lama… dan sebenarnya saya sedang ingin menulis ngalor-ngidul…kalau sejauh ini ada yang masih membaca tulisan ini, berarti kamu menyia-nyiakan waktumu saja….
Well, balik lagi. Temanku ini ternyata menjual sepatu Adidas Superstar. Langsung saja saya beli. Tentu saja saya senang, sepatu yang diidam-idamkan selama ini ternyata bisa kubeli dengan harga miring. Karena sepatu itu telah lama diidam-idamkan, saya menjadi tidak sabaran untuk segera memakainya. Maka, tepat setelah pulang sekolah, saya pakai sepatu itu. Sepatu yang lama saya masukkan ke tas. Adidas Superstar itu masih bersih tentunya. Kinclong. Berkilau ala sepatu baru yang keluar dari toko (walaupun sebenarnya kiriman kurir, dan hasil carding pula).
Tentu saja teman-teman banyak yang mengomentari sepatu itu. Biasalah, komentar-komentar nada ngejek-bercanda seperti itu. Tapi saya tidak perduli ocehan mereka, karena saya cukup senang memakai sepatu baru itu. Singkat cerita, sehabis pulang sekolah ada dua orang teman yang mengajak untuk main ke rumah…ehm, sebut saja si Dun. Rumah si Dun ini sebenarnya aneh. Letaknya di daerah Dago. Dago Utara tepatnya. Daerah Cigadung. Angkot masih ada di daerah Cigadung…tetapi untuk kerumah si Dun ini ternyata angkot tidak ada. Biasanya bila kerumah si Dun kami selalu jalan kaki dari daerah Cigadung. Kalau jalan kaki, cukup jauh juga jaraknya. Tidak heran bila rumah si Dun ini selalu dijuluki dengan “negeri katak” oleh teman-teman. Letaknya dekat ke kota, tetapi seakan-akan terasing dari mana-mana…angkot tidak ada, perumahan sedikit, tanah lapang banyak. Begitulah. Walaupun terasing, tetapi bila jalan kaki tidak sendirian, tentu saja ramai. Apalagi bila sambil bakar weed, dan kamu bisa melihat suasana bukit dan tanah hijau yang cukup lapang.
Kami berjalan kaki bertiga waktu itu kerumah si Dun…kalau tidak salah dengan si Toples, Satpam, dan saya. Singkat cerita, setelah ngalor-ngidul cukup lama di rumah Dun, sore harinya kami pulang. Maklum, sehabis magrib angkot di Cigadung sudah tidak ada (negeri katak yang terasing!). Jadi sore-sore kami jalan kaki dari rumah Dun ke arah Cigadung untuk mencari angkot. Jaraknya cukup jauh, tetapi suasana sore di daerah rumah si Dun cukup menyenangkan.
Kami melewati jalan yang serupa cekungan yang cukup dalam: mudun curam, naiknya pun curam. Angin sepoi-sepoi, matahari sudah hampir terbenam, dan hawa dingin khas dago utara terasa cukup nyaman. Kami bertiga ngobrol, dan merokok sambil jalan kaki. Waktu itu, kami melalui semacam jalan pintas. Berbeda dengan jalur yang kami lewati saat pertama kali datang ke rumah Dun.
Tiba-tiba kami sampai disuatu tanah merah yang lapang. Mungkin karena sebelumnya turun hujan, tanah merah itu becek dan, kalau kata orang sunda, “legok”. Mau tidak mau, kami harus melewati tanah merah itu. Kalau kembali berputar ke arah jalan biasa, sudah kejauhan pikir kami. Lagipula, toh, cuman tanah merah yang basah. Bukan masalah. Tetapi yang menjadi masalah adalah, ketika saya melewati tanah merah itu. Sepatu Adidas Superstar baru saya jadi korban. Lumpur yang lekat menempel di alas sepatu. Begitu tebal. Belum lagi cipratan-cipratan lumpur yang menempel di permukaan sepatu. Sangat mengesalkan. Membuat sepatu Adidas itu terlihat sangat kotor. Kondisinya benar-benar kontras, ketika ku pakai pertama kali di sekolah. Jadi sangat kumel. Toples dan Satpam tentu saja puas melihat kekesalan saya.
Sepanjang perjalanan tidak henti-hentinya mereka mentertawakan dan mengejek saya. Sore itu benar-benar menjadi hari yang menyenangkan bagi mereka berdua, tetapi tidak bagiku. Parahnya lagi, keesokan harinya tertawaan dan ejekan mereka itu tidak berhenti. Disekolah malah mereka menggembar-gemborkan cerita tanah merah itu. Tentu saja banyak teman-teman yang antusias mentertawakan dan mengejek. Tentu saja saya hanya senyam-senyum masam. Tahu bakal seperti itu ceritanya, setelah mendapatkan Adidas itu tentunya tidak akan langsung dipakai dulu. Setidaknya sedikit bersabar.
***
Hingga saat ini, angkot tidak pernah melalui daerah rumah si Dun. Suasananya juga masih seperti dulu. Tidak terlalu banyak perumahan. Masih tergolong asri dan sepi. Jalan yang curam itu masih tetap seperti sedia kala: cukup membahayakan bila ada kendaraan yang tenaganya loyo, dan cukup melelahkan bila ada orang yang menapakinya seperti kami dulu.
Rumah Dun juga masih seperti dulu, cukup sederhana bila dibandingkan rumah-rumah disekelilingnya yang desainnya cukup mewah. Rumah dia tergolong paling kecil. Ayah dan Ibunya ternyata masih mengenal saya. Mereka orang tua yang ramah. Keduanya berprofesi sebagai dosen. Entah, mungkin karena profesi mereka sebagai dosen, jadi rumah yang terlihat kecil dari luar itu, didalamnya dipenuhi oleh buku yang tersusun di sebuah lemari atau berserakan di sana-sini. Dari dulu seperti itu.
Kamar Dun juga masih disitu, dan begitu. Masih ada gitar, ampli, dan cd-cd bekas yang terserak di meja…artefak remaja rocker yang saat ini berprofesi sebagai EO. Dun tidak merokok, tetapi kamarnya selalu dipenuhi asap rokok bila dulu kami bertandang ke kamarnya. Sekarang pun begitu, walaupun hanya saya seorang yang ada dikamarnya, tanpa kehadiran teman-teman yang lain.
Mungkin satu-satunya perbedaan adalah saya tidak perlu memikirkan angkot bila pulang larut malam dari Dun, karena saya mengendarai motor. Tidak jalan kaki seperti dulu. Tidak melewati tanah merah sialan itu.
***
Menyenangkan bertemu teman lama. Kamu bisa ingat lagi dirimu yang dulu. Memikirkan seperti apa dirimu dahulu, dan bagaimana ceritanya dirimu bisa menjadi seperti sekarang ini. Katakan itu nostalgia. Terbayang lagi siapa kamu “saat itu”. Mengingat sudah banyak yang berubah dari diri ini, dan melihat temanmu yang “saat itu” juga sudah berubah, tentunya ada serpihan-serpihan dari “saat itu” yang membuatmu sadar tentang perubahan-perubahan yang telah terjadi selama ini. Katakan ini semacam “back to roots”. Amunisi yang menjaga agar identitas tak terombang-ambing kesana kemari.
Dan aku tidak sabar ingin bertemu dengan orang-orang baru. Teman-teman baru yang akan memberiku perspektif yang lain lagi.
Well, balik lagi. Temanku ini ternyata menjual sepatu Adidas Superstar. Langsung saja saya beli. Tentu saja saya senang, sepatu yang diidam-idamkan selama ini ternyata bisa kubeli dengan harga miring. Karena sepatu itu telah lama diidam-idamkan, saya menjadi tidak sabaran untuk segera memakainya. Maka, tepat setelah pulang sekolah, saya pakai sepatu itu. Sepatu yang lama saya masukkan ke tas. Adidas Superstar itu masih bersih tentunya. Kinclong. Berkilau ala sepatu baru yang keluar dari toko (walaupun sebenarnya kiriman kurir, dan hasil carding pula).
Tentu saja teman-teman banyak yang mengomentari sepatu itu. Biasalah, komentar-komentar nada ngejek-bercanda seperti itu. Tapi saya tidak perduli ocehan mereka, karena saya cukup senang memakai sepatu baru itu. Singkat cerita, sehabis pulang sekolah ada dua orang teman yang mengajak untuk main ke rumah…ehm, sebut saja si Dun. Rumah si Dun ini sebenarnya aneh. Letaknya di daerah Dago. Dago Utara tepatnya. Daerah Cigadung. Angkot masih ada di daerah Cigadung…tetapi untuk kerumah si Dun ini ternyata angkot tidak ada. Biasanya bila kerumah si Dun kami selalu jalan kaki dari daerah Cigadung. Kalau jalan kaki, cukup jauh juga jaraknya. Tidak heran bila rumah si Dun ini selalu dijuluki dengan “negeri katak” oleh teman-teman. Letaknya dekat ke kota, tetapi seakan-akan terasing dari mana-mana…angkot tidak ada, perumahan sedikit, tanah lapang banyak. Begitulah. Walaupun terasing, tetapi bila jalan kaki tidak sendirian, tentu saja ramai. Apalagi bila sambil bakar weed, dan kamu bisa melihat suasana bukit dan tanah hijau yang cukup lapang.
Kami berjalan kaki bertiga waktu itu kerumah si Dun…kalau tidak salah dengan si Toples, Satpam, dan saya. Singkat cerita, setelah ngalor-ngidul cukup lama di rumah Dun, sore harinya kami pulang. Maklum, sehabis magrib angkot di Cigadung sudah tidak ada (negeri katak yang terasing!). Jadi sore-sore kami jalan kaki dari rumah Dun ke arah Cigadung untuk mencari angkot. Jaraknya cukup jauh, tetapi suasana sore di daerah rumah si Dun cukup menyenangkan.
Kami melewati jalan yang serupa cekungan yang cukup dalam: mudun curam, naiknya pun curam. Angin sepoi-sepoi, matahari sudah hampir terbenam, dan hawa dingin khas dago utara terasa cukup nyaman. Kami bertiga ngobrol, dan merokok sambil jalan kaki. Waktu itu, kami melalui semacam jalan pintas. Berbeda dengan jalur yang kami lewati saat pertama kali datang ke rumah Dun.
Tiba-tiba kami sampai disuatu tanah merah yang lapang. Mungkin karena sebelumnya turun hujan, tanah merah itu becek dan, kalau kata orang sunda, “legok”. Mau tidak mau, kami harus melewati tanah merah itu. Kalau kembali berputar ke arah jalan biasa, sudah kejauhan pikir kami. Lagipula, toh, cuman tanah merah yang basah. Bukan masalah. Tetapi yang menjadi masalah adalah, ketika saya melewati tanah merah itu. Sepatu Adidas Superstar baru saya jadi korban. Lumpur yang lekat menempel di alas sepatu. Begitu tebal. Belum lagi cipratan-cipratan lumpur yang menempel di permukaan sepatu. Sangat mengesalkan. Membuat sepatu Adidas itu terlihat sangat kotor. Kondisinya benar-benar kontras, ketika ku pakai pertama kali di sekolah. Jadi sangat kumel. Toples dan Satpam tentu saja puas melihat kekesalan saya.
Sepanjang perjalanan tidak henti-hentinya mereka mentertawakan dan mengejek saya. Sore itu benar-benar menjadi hari yang menyenangkan bagi mereka berdua, tetapi tidak bagiku. Parahnya lagi, keesokan harinya tertawaan dan ejekan mereka itu tidak berhenti. Disekolah malah mereka menggembar-gemborkan cerita tanah merah itu. Tentu saja banyak teman-teman yang antusias mentertawakan dan mengejek. Tentu saja saya hanya senyam-senyum masam. Tahu bakal seperti itu ceritanya, setelah mendapatkan Adidas itu tentunya tidak akan langsung dipakai dulu. Setidaknya sedikit bersabar.
***
Hingga saat ini, angkot tidak pernah melalui daerah rumah si Dun. Suasananya juga masih seperti dulu. Tidak terlalu banyak perumahan. Masih tergolong asri dan sepi. Jalan yang curam itu masih tetap seperti sedia kala: cukup membahayakan bila ada kendaraan yang tenaganya loyo, dan cukup melelahkan bila ada orang yang menapakinya seperti kami dulu.
Rumah Dun juga masih seperti dulu, cukup sederhana bila dibandingkan rumah-rumah disekelilingnya yang desainnya cukup mewah. Rumah dia tergolong paling kecil. Ayah dan Ibunya ternyata masih mengenal saya. Mereka orang tua yang ramah. Keduanya berprofesi sebagai dosen. Entah, mungkin karena profesi mereka sebagai dosen, jadi rumah yang terlihat kecil dari luar itu, didalamnya dipenuhi oleh buku yang tersusun di sebuah lemari atau berserakan di sana-sini. Dari dulu seperti itu.
Kamar Dun juga masih disitu, dan begitu. Masih ada gitar, ampli, dan cd-cd bekas yang terserak di meja…artefak remaja rocker yang saat ini berprofesi sebagai EO. Dun tidak merokok, tetapi kamarnya selalu dipenuhi asap rokok bila dulu kami bertandang ke kamarnya. Sekarang pun begitu, walaupun hanya saya seorang yang ada dikamarnya, tanpa kehadiran teman-teman yang lain.
Mungkin satu-satunya perbedaan adalah saya tidak perlu memikirkan angkot bila pulang larut malam dari Dun, karena saya mengendarai motor. Tidak jalan kaki seperti dulu. Tidak melewati tanah merah sialan itu.
***
Menyenangkan bertemu teman lama. Kamu bisa ingat lagi dirimu yang dulu. Memikirkan seperti apa dirimu dahulu, dan bagaimana ceritanya dirimu bisa menjadi seperti sekarang ini. Katakan itu nostalgia. Terbayang lagi siapa kamu “saat itu”. Mengingat sudah banyak yang berubah dari diri ini, dan melihat temanmu yang “saat itu” juga sudah berubah, tentunya ada serpihan-serpihan dari “saat itu” yang membuatmu sadar tentang perubahan-perubahan yang telah terjadi selama ini. Katakan ini semacam “back to roots”. Amunisi yang menjaga agar identitas tak terombang-ambing kesana kemari.
Dan aku tidak sabar ingin bertemu dengan orang-orang baru. Teman-teman baru yang akan memberiku perspektif yang lain lagi.
17 komentar:
aiihh... nostalgia euy si abo
jadi pengen ketemu tmn2 sma deh :(
ahahahha, sweeeeeet deh bo, sweeeeeeeeeet le weeeeed, :p.
yap, saya sudah menyianyiakn sekitar lima menit dari waktu saya :p
hehe, dan kalau ketemu teman lama saya mah mikir *alhamdulillah saya udah enggak kayak cowok lagi (kalau temen smp) atau alhamdulillah saya enggak sebego dulu lagi (kalau teman sma) hahahahaha!
waduh...waktu berharga loh cil. hehe.
hisap terus sampai pohon terakhir braaayyy!!!
nah, kalau yang ini ga ngerti nih??? jadi tomboy2 gitu kamu teh cil dulu? hahah.
kalem2...kamu tomboy2 gitu waktu smp? haha.
semoga melalui bimbingan roh kudus kamu bisa dipertemukan dengan teman2 sma, yas.
hmn, potongan rambut pendek, suka pake topi *iiih tidaaaaak!* kalau hujan enggak suka pake payung mending pake jaket dan topi *dan paling gasuka cowok yang suka dibekelin mamahnya payung* tersadar kayak cowok waktu ada bapakbapak manggil saya "ujang" di angkot. Ahh no wonder gada cowok yang suka sama saya waktu itu hahahahahaha! *era sabenerna ieu teh :p
wahahahah. jiga kumahanya si acil pas smp? suka berantem ma cowo ga? dulu mah, ada temen saya yang suka berantem ma cowo. harfiah. ditabok segala. hahaha. guru olahraga pe didorong ke kolam renang. cewe kuli tea cil. serem.
kalo berantem sama cowok mah pas sd, pernah nendang kaki cowok sampe berdarah dan mukanya merah *kayak mau nangis* tapi smp mah gapernah, sudah merasa punya badan kecil, hehe :p wew gayya sekali itu teman cewek kamu, jadi apa sekarang diya? *penasaran aja :p
hmm, ga tau cil. dan ga mau tau juga. heheh.
addeuh, ada kisah yah bo? hihi :p
wahahaha. ga ada cil. haha, serem abis.
kirain :p
lho, abo bukannya suka yang radarada seremserem gitu? hihi :p
o iya gitu? yang kaya gimana gitu cil, yang serem-serem teh? wakaakakaka.
ahh pamali ngomongin itu di akses terbuka :p
Posting Komentar