Kamis, 30 Desember 2010

White Rainbow (2007)

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Childrens Music
Artist:Prism of Eternal Now
Seperti sebuah meditasi epik dalam dunia mistik yang berkabut. Tetapi disini, dunia mistik bukanlah dunia yang dibangun oleh mantra dan cerita folklor yang disampaikan turun-temurun melalui keintiman komunikasi verbal. Adalah ambiens yang menjadi power dalam mengonstruksi makna dalam dunia White Rainbow yang disuguhkan Prism of Eternal Now. Ini semua hanyalah masalah resonansi yang statis dan meditatif: minim bisikan, minim lenguhan, minim vokalisasi verbal.

Dalam dimensi White Rainbow, mungkin sudah saatnya manusia menjadi penjelajah dari imajinasinya sendiri. Mengarungi jagat kekacauan yang melodius. Terbawa larut dalam tabla, synth, delay, string dan layer-layer tebal dari sebuah ambiens...untuk kemudian mengarungi galaksi psikadelik seorang diri secara eksistensial. Ada baiknya juga bila asap herbal hijau itu dibiarkan mengepul dan memasuki otak. Biarkan urat syarat mengendur karenanya, dan mulai rasakan sensitifitas inderawi mencoba menyentuh tepian alam semesta.

Di sini, White Rainbow ibarat menjadi sebuah perjalanan meditatif yang berdurasi 71 menit. Bahkan menjadi perjalanan meditatif yang juga memiliki makna spirituil, bila dibekali oleh asap herbal hijau. Dengan begitu, mungkin akan lebih terasa seperti apa struktur rohani dari sembilan lagu yang ada di White Rainbow.


====================================================
Prism of Eternal Now merupakan proyek solo dari Adam Forkner. Seorang 'scenester' dari Portland, AS, yang bergulat dengan musik-musik beraroma 'spacey psych'. Sebelumnya beliau pernah aktif juga di band Yume Bitsu dan Surface of Eceon. Lalu, pernah juga menjadi engineer dan produser dari artis-artis yang berada di bawah perusahaan rekaman bertitel K Records Dub Narcotic Studio. Salah satu artis yang pernah ditangani oleh Forkner adalah Kinski, sebuah band psychedelic/noise/ambient yang berasal dari Seattle.

White Rainbow ini merupakan rilisan Forkner yang ketiga dibawah nama pseudo Prism of Eternal Now. Dan entah proyek apalagi yang diprakarsai oleh beliau...

===================================================
Track List:

1. Pulses - 7:48
2. Middle - 5:02
3. For Terry - 6:22
4. Mystic Prism - 5:14
5. April 25th 11:14PM - 14:45
6. Warm Clicked Fruit - 9:07
7. Guitars - 6:29
8. Waves - 6:44
9. Awakening - 9:38

===================================================
i promise will let my self floating in the great sky with shitload of green herbal smoke fullfil my heart: http://www.megaupload.com/?d=G6PJ9NN1

Selasa, 14 Desember 2010

Suarasama - Fajar di Atas Awan



Oleh:
John Mulvey

2008/07/08 - It begins with a flutter of guitar, a dusting of cymbals. Then a female, faintly ethereal vocal arrives, accompanied by bells. At first, it sounds like she might be distant kin to the acid folk scene which still percolates away in the US; there’s a very vague resemblance to Meg Baird and Espers, perhaps. But then again, she’s not singing in English, and there’s something discreetly exotic about the song, “Dawn Over The Clouds”.

That’s the English translation of the song’s title, I should say. Actually, it – and its parent album – are called “Fajar Di Atas Awan” – and they are the work of a bunch of ethnomusicologists from Sumatra called Suarasama. Since it turned up about a week ago, I’ve been obsessing over “Fajar Di Atas Awan”, and also wondering how I would describe this incredible, tranquil, deep record on Wild Mercury Sound.

Given my dilettante-ish knowledge of global music, I can’t pretend to have much experience of the sounds of Indonesia, let alone the specific ones of Sumatra. I could say, in a generally rather crude way, that the beauty of this record is that it has a mystique, a spiritual imperative, that aligns it to other ‘world music’ (rotten patronising phrase, but you know what I mean) which can be appreciated by fans of psychedelia; I’m thinking of Tinariwen here, for a start.

According to the sleevenotes, “Irwansyah Harahap is the main composer in the group. In his compositions he has explored various different musical concepts and aesthetics in world music, such as African, Middle Eastern, Indian, Sufi Pakistani, Eastern European, Southeast Asian, as well as North Sumatran (the Bataks and Malay) traditional music.”

Again, I’m struggling to parse this. I can spot a little of the Sufi Pakistani tradition in there – if that refers to qawwali singers like Nusrat Fateh Ali Khan. But the acoustic guitar leads, the graceful melodies and so on, seem incredibly close to Western folk tradition, at times, though it’s impossible to tell whether that’s by accident or design.

But in general, the whole thing blends so harmoniously that trying to separate the trace elements seems not only unnecessary, but even a little vulgar. The Drag City press release references Sandy Bull (who we’ve been listening to a lot of late), John Fahey and the collaborations of Ravi Shankar and Andre Previn, which all make certain sense: there’s that same elegant elision of Eastern and Western scales and techniques, providing a really enveloping, devotional music. I’m reminded, too, of some of the Anatolian psych collected on the Turkish edition of the “Love, Peace And Poetry” compilation series; artists who delicately adjust Eastern melodic and rhythmic strategies, rather than the appropriation of them that we’re more used to.

The press release also references Ghost and Six Organs Of Admittance, and I can definitely see affinities with the latter. It should be noted, though, that “Fajar Di Atas Awan” was first released ten years ago, and that this reissue is coming out on the same label as Six Organs. Knowing Ben Chasny’s voracious appetite for music, it’s certainly plausible that Suarasama might have been a potent, semi-secret influence on the whole generation of fingerpickers, underground mystics and so on in the free folk/psych world.

But I can’t recommend this record enough. I’ve just taken a cursory trip round the web to try and find anywhere where you can hear Suarasama, with no joy. But if you do manage to track it down (the reissue isn’t due ‘til August), let me know what you think, as ever.

(Sumber lihat di sini)

Senin, 13 Desember 2010

All the Rage


Sometimes i think about the rage that printed on mass media based on profit-making isn't "rage" after all...it's more like an attractive icon that have a possibility to attract bigger audience and advertiser for mass media itself in order to expanding the capital. There is no such thing as rebellion when it printed in headlines or whatever. Rage is only prevail on the streets. When all the particulars and workers around the globe: united.

Kamis, 09 Desember 2010

the Pains of Being Pure at Heart

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Indie Music
Artist:the Pains of Being Pure at Heart
Ini mengingatkan saya pada era kejayaan shoegazer awal semacam Ride, Pale Saints, dan (tentu saja) yang begitu disanjung: My Bloody Valentine. Seperti layaknya musik-musik pop di era itu, kamu akan mendengarkan struktur lagu yang straight forward. Bermain tanpa tetek bengek apa-apa. Hanya distorsi yang kadang raw menjurus noise. Dan disisi yang lainnya, ada juga itu kocokan-kocokan ala Swedish pop yang soundnya clean. Terus, tidak dilupakan juga, vokal yang datar, mengawang-awang, dan kadang hampir tidak terdengar, karena tertutup oleh layer-layer distorsi gitar. Haha, gaya yang sangat klasik! Tapi saya suka. Gaya-gaya yang tidak dipusingkan oleh apa-apa. Hanya bermain musik.

The Pains of Being Pure at Heart (TPOBPAH) adalah band yang datang dari New York scene dan didirikan pada tahun 2007. Mereka terdiri dari Kip Berman (guitar vocals), Peggy Wang (vocals keyboards), Alex Naidus (bass), dan Kurt Feldman (drums). Album self-titled ini sendiri keluar di tahun 2009, setelah sebelumnya mereka mengeluarkan EP bertitel Higher Than the Stars di tahun yang sama. Di album self-titled ini ada sepuluh lagu yang ditawarkan. Seperti yang kamu harapkan dari band-band tipikal indie-pop/shoegaze, tentu ada melankoli dan noise disana-sini. Dan gaya-gaya seperti inilah yang bagi saya jadi kelebihan dari TPOBPAH (terlepas dari tipikalitasnya). Saya kira, saya tidak perlu mendeskripsikan satu persatu dari setiap lagu yang ada di album ini. Hoream. Tapi, secara umum, bolehlah saya katakan, kalau musiknya bisa dikategorikan bagus, dan layak didengarkan. Indie pop that blend with shoegazing noise and raw distortion.

With TPOBPAH all you have to do is just relax and shine :D

========================================================
the Pains of Being Pure at Heart song title:
1. Contender 2:40
2. Come Saturday 3:17
3. Young Adult Friction 4:08
4. This Love Is Fucking Right! 3:15
5. The Tenure Itch 3:46
6. Stay Alive 4:56
7. Everything With You 2:59
8. A Teenager In Love 3:24
9. Hey Paul 2:03
10. Gentle Sons 4.32

you can visit: http://www.mediafire.com/?tnngzjmwmmy

Minggu, 28 November 2010

Balada Pengembara Wakatobi

                                                        (FOTO: KOMPAS/PRIYOMBODO)

Anak-anak bermain ayunan tali di pantai di Kampung Waha, Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Sabtu (30/10). Wakatobi merupakan pusat segitiga karang dunia dan diresmikan sebagai taman nasional pada tahun 1996 dengan total area mencapai 1,39 juta hektar.


Oleh: Budi Suwarna

Betapa molek Wakatobi. Namun, sebagian besar penduduknya barangkali tidak sempat menghiraukan keindahan kepulauan itu. Pasalnya, sepanjang usia, mereka sibuk mengembara atau ”buang diri”.

Buat penduduk Wakatobi—baik suku Bajo, Buton, maupun Ciacia—mengembara merupakan episode wajib dalam perjalanan hidup mereka. ”Kalau tidak mengembara, kita malu, tidak punya cerita,” ujar Sahrudin (34), warga Kabupaten Wakatobi (kependekan dari Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko), Sulawesi Tenggara.

Ketika usia tujuh tahun pada tahun 1983, anak muda dari suku Buton ini telah diajak ibunya mengembara ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Mereka menyusul ayahnya yang pergi mengembara sejak Sahrudin lahir. ”Itulah pertama kali saya bertemu Bapak,” ujarnya.

Tidak lama hidup bersama, dia ditinggal ibunya yang bekerja di pabrik kayu lapis. Sementara ayahnya merantau ke Singapura. Sahrudin pun harus tinggal bersama tetangganya. Setelah tiga tahun, dia dibawa pulang ke rumah neneknya di Tomia. Ayah-ibunya merantau lagi dan Sahrudin tidak selalu tahu di mana mereka berada.

”Kami hanya bertitip kabar lewat tetangga yang kebetulan merantau. Kabar itu akan disampaikan berantai. Kadang, setelah enam bulan, kabar baru sampai. Maklum, dulu belum ada handphone,” ujarnya.

Ketika berusia 20 tahun, Sahrudin memulai pengembaraannya sendiri. ”Kami menyebutnya ’buang diri’, menyerahkan diri kepada nasib. Nanti di perantauan jadi pengusaha, buruh, atau penjahat, terserah saja.”

Pembajak kapal

Dan, pengembaraan Sahrudin ternyata penuh warna. Dia pernah bekerja di bengkel sambil meneruskan sekolah di Kendari, menjadi penjaga rumah di Jakarta, dan menjadi buruh tambang timah. Dia kemudian pulang tahun 2003 dan hidup tenang di Tomia hingga sekarang. Selama di pengembaraan, dia sempat bertemu orang-orang sepulau dengan berbagai profesi, dari buruh hingga perompak.

Kisah Sadar (30) tak kalah berwarna. Dia lahir di sope-sope (rumah perahu) ketika ayahnya sakai (mengembara) di tengah lautan. ”Sejak saat itu saya hidup di perahu dan belajar hidup dari lautan luas,” ujar Sadar, anak suku Bajo atau suku laut yang kini tinggal di permukiman Bajo di Mola, Wangi-Wangi.

Ketika Sadar berusia tujuh tahun, ayahnya mendorong dia mengembara untuk melihat dunia. Dia dititipkan ke sebuah kapal pengangkut hasil bumi. Di sana, dia mendapat peran sebagai tukang masak dan pelayan nakhoda. Selama setahun ikut kapal itu, dia melihat Poso, Manado, Maluku, Tanjung Pinang, Malaysia, Singapura, dan Brunei.

Setelah setahun, Sadar pulang ke rumah. Ketika itu, ayahnya bertanya, ”Apa saja yang kau lihat di pengembaraan?”

Sadar menceritakan apa yang dia lihat, termasuk semua hambatan selama di pengembaraan. ”Saya bilang, ’saya belum mengerti navigasi alam’,” katanya.

Hari itu juga ayahnya membawa Sadar ke laut. Dia mengajarinya memahami cuaca, membaca rasi bintang, cuaca, angin, dan mengenali arus laut. ”Begitulah orang Bajo mengajari anaknya memahami dunia. Semua ilmu diturunkan dengan bahasa tutur,” ujar Sadar.

Sejak berusia 13 tahun, dia mengembara di darat selama bertahun-tahun. Dia mencari ilmu di sekolah hingga mampu meraih gelar sarjana Jurusan Bahasa Inggris dari Universitas Hasanuddin. Sekarang, Sadar menjadi peneliti suku Bajo, sukunya sendiri.

Ditinggal suami

Tradisi mengembara ini melahirkan kisah lain yang tidak kalah menarik. Salah satunya tentang nasib perempuan di kampung yang ditinggal suami ”buang diri”.

Di Kulati, Pulau Tomia, yang didiami orang-orang Buton, ada Wa Jania (40) yang telah 10 tahun ditinggal suami mengembara. ”Sejak dia pergi, tak pernah ada kabar. Mungkin dia sudah kawin lagi,” katanya kesal.

Wa Jania pun harus membesarkan empat anaknya seorang diri di sebuah rumah berlantai tanah, berdinding papan pinjaman tetangga. Untuk makan sekeluarga, dia mengandalkan kebun singkong dan meti (daerah pasang-surut) tempat gurita, kerang, dan bulu babi ditemukan.

Perempuan senasib Wa Jania mudah ditemukan di Tomia. Aminudin (42), warga Kulati, mengatakan, di sekitar rumahnya ada 10 perempuan yang ditinggal suami. ”Ada yang sudah 20 tahun ditinggal dan anak-anaknya tidak tahu wajah bapaknya.”

Barangkali, inilah kisah pahit dari tradisi mengembara meski, kata Sahrudin, soal ini dianggap jamak dan merupakan bagian dari perjalanan hidup keluarga-keluarga suku pengembara.

”Meski ditinggal orangtua merantau, hubungan kami tetap dekat,” ujarnya.

Orang-orang Bajo, Buton, dan Ciacia merupakan potret rakyat jelata yang tangguh dalam menghadapi kehidupan keras tanpa mengeluh.

(Sumber tulisan dari Kompas)

Jumat, 26 November 2010

Method of Destruction: Get A Real Job!


Standing on a corner. Frozen to the bone. You have to make a living. But you'd rather be at home.Your eyes start getting heavy. Still you forge on. Wake up and face the world.

GET A REAL JOB!

Standing on a corner. Frozen to the bone. You have to make a living. But you'd rather be at home.Your eyes start getting heavy. Still you forge on. Wake up and face the world.

AND GET A REAL JOB
GET A REAL JOB

You get a little older. Your bones are brittle and weak. Dizzy in the morning. Your pulse is sounding weak. You hate to go to work. Just living for a job. Wake up and smell the coffee. And get a real job!

GET A REAL JOB
GET A REAL JOB
GET A REAL JOB
GET A REAL JOB

Soon you will retire. Or maybe have a stroke. You cannot feel your finger tips. Because some veins have closed. But still you drive a hack or push a hotdog cart. Now it's too late for you. To get a real job!

(Get A Real Job by Method of Destruction)

***

Waktu sekolah dulu memang suasananya berbeda. Di jaman itu, ketika mendengarkan Method of Destruction (MOD) yang berjudul Get a Real Job ini, saya tidak memiliki perasaan apa-apa. Saya hanya senang dengan tempo lagunya yang agresif. Tempo yang memacu adrenalin saya sebagai seseorang yang berada dalam fase pubersitas dan cinta mati pada thrash metal. Tetapi, perasaan mendengarkan band yang berasal dari New York ini menjadi berbeda, ketika saya berada di umur yang ke-25 seperti sekarang.

Saya hanya bisa ketawa masam pagi ini. Ketawa masam, ketika mengingat bagaimana perawakan tambun sang vokalis MOD Billy Milano. Saya membayangkan, mungkin saja Billy Milano sekarang tertawa terkekeh-kekeh sambil memegang bir melihat saya mendengarkan kembali lagunya setelah kurang lebih delapan tahun terlupakan. Mungkin dia akan berkata, "Now you get the point? I'm sure now you understand exactly what i was singing about!"

Hahah. The man...Billy Milano.

Dialah vokalis dengan selera humor paling sinis dan sarkastis yang pernah saya tahu selama ini. Di album "Loved by Thousand...Hated by Millions", dia menghina dan menertawakan peristiwa bunuh dirinya vokalis Nirvana, Kurt Cobain. Dia menulis catatan eksplanasi sinis dan sarkas yang ditujukan kepada Cobain dalam lagu berjudul 'Buckshot Blues':


"Suicide must never be taken lightly, I have personally felts its effects. However, only a drugged out moron that is so assbackwards and spineless would kill himself because life is cruel. Well...i got some news, life isn't cruel when you have ten million fucking dollars. Kurt Cobain was obviously a drugged out idiot who made as much sense as his lyrics, Fuck him and Seattle - Die! Die! Die!"

Dia menyinggung tentang puncak karir Cobain yang penuh gelimangan harta dan pujian dengan kondisi keterasingan manusia modern yang kepuasan batinnya tetap berkarat, tidak perduli seberapa banyak dia telah mengumpulkan kekayaan dan kesuksesan.  Life isn't cruel when you have ten million fucking dollars.

Billy Milano adalah seorang trasher komedian yang paling tidak pernah tedeng aling-aling bila menghina orang lain. Dan saya rasa, saat ini lawakannya telah tertuju tepat ke kehidupan saya yang terlalu lama berada di kampus, dan tidak punya pekerjaan apa-apa selain merokok di kamar dan bakar weed.

Mendengarkan lagu 'Get A Real Job' ini sepertinya telah merubah pagi saya menjadi sebuah komedi :D

***
Mungkin bila tertarik mengetahui lagu 'Get A Real Job' bisa unduh lagunya di sini.

Kamis, 25 November 2010

How Does It Feel?


(Picture taken from here)



Brief questions. Just pick one answer that most suitable to your daily philosophy.


How does it feel...to have an adorable tiny weed in your soft hands?

  1. it feels like holding galaxy and get sucked by something called black hole
  2. it feels like in endless sea, turned into dolphins and jump with shinny cute smile on my face like :)
  3. it feels like grasping the essential truth of the universe; an essence of what lies within smoke that pushing human nature to its most prolific realm of dimension.
  4. it feels like....just smile and wave...smile and wave....
  5. all the options mentioned above is cheerfully suitable for every convenient usage.




Senin, 22 November 2010

Heart Ache and Dethroned

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Childrens Music
Artist:Jesu
Oh yes...ternyata kamu balik lagi...make kover mirip-mirip Weezer segala lagi...tapi ga papa deh...saya masih mau tidur sambil dengerin kamu kok. Dah lama nih ga dibuai sama ambiens beraroma metallic shoegazer. Sare ah.

===========================
Lullabies to heavily heaven:
http://www.tinydl.com/musics-and-clips/1059178980-jesu-heartache-dethroned-2010.html

Si Tangan Tak Terlihat

Saya teringat beberapa perbicangan tentang pasar bebas beberapa waktu lalu. Tentang bagaimana doktrin yang ada di dalam term pasar bebas itu terus-menerus dikumandangkan, dan secara perlahan kita mengamininya. Salah satu doktrinnya adalah mengenai keharmonisan.

Minggu, 21 November 2010

Si Tangan Tak Terlihat

Saya teringat beberapa perbicangan tentang pasar bebas beberapa waktu lalu. Tentang bagaimana doktrin yang ada di dalam istilah pasar bebas itu terus-menerus dikumandangkan, dan secara perlahan kita mengamininya. Salah satu doktrinnya adalah mengenai keharmonisan. Bagaimana setiap pertentangan-pertentangan yang ada dalam sebuah 'pasar' akan terselesaikan begitu 'sang tangan tak terlihat' seperti turun dari khayangan dan mengambil tindakan. Oleh sebab itu, mereka-mereka yang berpartisipasi didalam pasar tidak perlu dikekang. Sebaliknya mereka haruslah dibebaskan, karena dengan begitu, setiap orang dapat memuaskan hasratnya. Bila sekiranya hasrat itu terlampau destruktif, maka otomatis 'tangan tak terlihat' itu akan mengoreksinya. Membersihkannya dengan krisis, menyeleksi mereka-mereka yang mengalami destruktif akut, dan memulainya lagi dengan mereka yang lolos dari seleksi 'tangan tak terlihat'. Setelah itu, segalanya akan kembali "harmonis". 

Aku ingat seseorang berkata, "tetapi siapakah pasar itu?" 

Pertanyaan orang itu membuatku juga bertanya-tanya, terdiri dari apakah gerangan dibalik sesuatu bernama pasar bebas itu? Pastinya, 'gerangan' yang ada didalam pasar itu bukanlah hantu-hantu yang tidak terlihat, seperti si 'tangan tak terlihat' itu. Mereka seperti para sekumpulan pemegang saham, para spekulan finansial, para ceo korporasi multi industri, dan sepertinya, penjual sorabi eceran kembali dikecualikan dalam urusan ini.

Tidak ada yang harmonis bila melihat komposisi partisipan pasar bebas seperti itu. Sebagai pemilik yang mengantongi sarana produksi terkuat, mereka bisa menghajar siapapun yang menghalanginya meningkatkan laba. 'Proses seleksi alam' tidaklah senatural anugerah alam itu sendiri. Si Tangan Tak Terlihat itu tidaklah netral seperti didalam angan-angan. Dia tidaklah seadil seperti khayalan ratu adil yang dicita-citakan para patriot nasionalis yang putus asa. Tetapi dia mengerlingkan mata kepada pemberi kredit terkuat, dan memberi tatapan Medusa kepada mereka-mereka yang gagal bayar.

Pasar bebas bukan masalah suatu keadaan yang harmonis karena ada Tangan Tak Terlihat. Tetapi tentang adanya logika yang mengharuskan yang lain tumbang, sementara yang terkuat terus melaju. Dan munculnya logika ini terletak dalam hubungan sosial masyarakat itu sendiri. Hubungan sosial yang melalui perjalanan sejarah mendasarkan dirinya pada kepemilikan individual atas sarana produksi untuk akumulasi kapital. Hubungan sosial yang mengharuskan adanya kerja paksa orang lain yang diperhalus melalui bentuk upah agar proses akumulasi kapital terus berlangsung dengan skala yang meningkat.

Tidak ada doktrin hukum besi yang eksis diluar hubungan sosial manusia seperti Tangan Tak Terlihat. Interaksi dan pertentangan diantara merekalah yang memoles hukum-hukum yang dilihat sebagai keniscayaan itu. Tidak ada yang sakral. Semuanya hanyalah hasil proses sejarah yang ditulis oleh darah dan api. Dan manusia-manusia yang tersebar di jalanan yang paling kumuh, manusia-manusia yang kepuasan batinnya berkarat oleh desakan reproduksi hidupnya, dan cemas akan jaminan hari esok yang tidak secerah iklan asuransi, menjadi saksi atas peradaban pasar bebas yang mengharuskan penundukkan sejumlah besar massa manusia dari jenis-jenis mereka, ketimbang partisipasi dari mereka. Tidak ada yang harmonis dalam kebajikan pasar bebas.

Keterlambatan


(Gambar oleh Robert E. Harney)


Seringkali gerutuan itu datang atas sikap saya yang selalu menunda-nunda. Mereka melihat diri ini terlalu santai. Terlalu menganggap remeh segalanya, tanpa menaruh perhatian yang serius. Padahal, itulah yang terpenting: perhatian. Di sisi lain, saya pun 'awas' terhadap kekurangan ini. Tetapi, sikap bebal itu sepertinya memang ada didalam diri saya. Pada akhirnya, keterlambatan menjadi kata yang familiar bagi saya. Semenjak makna yang dikandungnya sering saya jumpai dimana-mana dalam keseharian.



Rabu, 20 Oktober 2010

Bermusik Alternatif

"In music the passions enjoy themselves"
(Friedrich Nietzche)

"Hak-milik perseorangan pekerja atas alat-alat produksinya merupakan landasan industri berskala-kecil, dan industri berskala kecil merupakan suatu kondisi keharusan bagi perkembangan produksi masyarakat dan individualitas bebas dari pekerja itu sendiri."
(Karl Marx)



Mungkin, bila dipikir-pikir lagi, bermusik saat ini bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dan relatif lebih mudah. Maksudnya, bila kita lihat berbagai macam kecanggihan software yang ada sekarang, misalnya; mulai dari software untuk membuat sampul cd, memperbanyak cd, hingga software untuk merekam lagu yang kita buat. Lalu melihat juga sarana upload maupun download yang tersebar di dunia maya, sepertinya jalur untuk memproduksi karya musik semakin mudah. Software-software serta sarana di dunia maya itu sepertinya telah membuat hambatan produksi hingga distribusi karya musik menjadi lebih ringan.

Selasa, 19 Oktober 2010

Tentang, ehm, "Bermusik Alternatif"

"In music the passions enjoy themselves"
(Friedrich Nietzche)

"Hak-milik perseorangan pekerja atas alat-alat produksinya merupakan landasan industri berskala-kecil, dan industri berskala kecil merupakan suatu kondisi keharusan bagi perkembangan produksi masyarakat dan individualitas bebas dari pekerja itu sendiri."
(Karl Marx)



Mungkin, bila dipikir-pikir lagi, bermusik saat ini bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan dan relatif lebih mudah. Maksudnya, bila kita lihat berbagai macam kecanggihan software yang ada sekarang, misalnya; mulai dari software untuk membuat sampul cd, memperbanyak cd, hingga software untuk merekam lagu yang kita buat. Lalu melihat juga sarana upload maupun download yang tersebar di dunia maya, sepertinya jalur untuk memproduksi karya musik semakin mudah. Software-software serta sarana di dunia maya itu sepertinya telah membuat hambatan produksi hingga distribusi karya musik menjadi lebih ringan.

Berbeda dengan tahun-tahun terdahulu. Tahun-tahun sebelum pertengahan 90an, ketika dunia digital belum menyentuh banyak kalangan. Bermusik masih merupakan sesuatu yang dipandang mewah. Mungkin bila kita ingin serius bermusik di era itu, yang terpikirkan dalam benak, biasanya adalah masalah merekam lagu. Kebanyakan mereka yang hidup di era itu pasti tidak membayangkan akan ada suatu alat yang memungkinkan seorang musisi untuk bisa memproduksi lagunya sendiri dan menyebarkan kepada khalayak dengan sendiri pula. Oleh sebab itu, mengapa hingga pertengahan 90'an, industri rekaman komersial dipandang sebagai kebutuhan bagi mereka yang memiliki hasrat untuk bermusik; karena industri rekamanlah pihak yang memiliki kemampuan untuk masalah produksi dan distribusi. Selain itu, cara kerja industri musik yang khas kapitalisme juga menawarkan sebuah tawaran yang menggiurkan: yakni kekayaan dari hasil profit penjualan sebuah album (bagaimanapun juga, porsi kekayaan yang didapat sang musisi masih jauh lebih kecil daripada kekayaan yang masuk ke pihak industri rekaman itu).

Namun, sekarang sepertinya sudah berbeda. Kita bisa melihat akhir-akhir ini begitu berlimpah musisi-musisi yang memproduksi karyanya dengan usaha sendiri. Sebutlah, mulai dari Sindentosca, Kekal, Koil, Bongripper, dan lain-lain. Kualitas rekaman dari band yang berusaha sendiri itu pun tidak buruk-buruk amat. Malah bisa dikatakan sangat baik untuk sesuatu yang diusahakan sendiri. Lalu, untuk masalah distribusi pun setidaknya mereka bisa atasi sendiri. Mereka bisa mengopi karya kedalam cd dengan mudah, dan juga mencetak sampul albumnya dengan usaha sendiri, lalu menyebarkannya ke khalayak. Walaupun, misalnya ada juga  diantara band-band independen itu tidak mengeluarkan bentuk fisik berupa cd karena masalah pendanaan misalnya, tetapi mereka masih bisa menyebarkan versi mp3nya di dunia maya (dan terkadang, menjadi dikenal karenanya). Mereka bisa menyebarkan lagunya yang berbentuk mp3 sekaligus sampul albumnya yang berbentuk file semacam jpeg. Cara seperti itu relatif meminimalkan biaya produksi serendah-rendahnya bagi musisi/band yang bersangkutan.

Selain itu, di dunia maya sendiri, banyak situs-situs yang memuat fitur untuk mengupload dan mendownload sebuah lagu. Belum lagi situs-situs berbasis komunitas, khususnya komunitas musik, yang juga menyediakan review dan download sebuah karya lagu. Hal seperti itu juga membuat distribusi musik menjadi lebih ringan.

Musisi didalam Industri Musik
Diatas segala kemudahan-kemudahan yang disediakan oleh software-software itu, ada satu hal yang penting, yakni hubungan antara musisi dan produser sebagai agen industri rekaman. Ketika seorang musisi atau band memutuskan untuk merilis karyanya sendiri, maka hubungan antara musisi dan produser menghilang. Mungkin bisa dibilang juga, itu berarti hubungan ketergantungan antara musisi kepada industri rekaman komersial menjadi hilang. Sebelumnya, hubungan antara musisi dan produser industri musik ini merupakan hubungan yang esensial sekaligus 'panas' dalam sebuah proses bermusik. Khususnya dalam konteks industri musik yang berbasiskan kapitalisme.

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, ketika produksi dan distribusi masih menjadi hambatan yang besar bagi musisi dalam berkarya saat itu, maka bergabung dengan industri rekaman komersial menjadi pilihan utama. Seketika pilihan ditetapkan oleh musisi untuk bergabung kedalam industri rekaman, maka ada beberapa konsekuensi yang harus diterima. Konsekuensi itu diantaranya, dan yang paling 'panas', adalah masalah yang biasa disebut 'kompromi' antara keinginan musisi dan industri rekaman yang berbasiskan kapitalisme. Seperti yang sudah diketahui oleh khalayak, industri rekaman di era kapitalisme tidak semata-mata bermurah hati memproduksi dan mendistribusikan sebuah karya lagu dari suatu musisi/band saja, tetapi juga berusaha meraih laba. Dan meraih laba ini diambil dari komponen variabelnya, yaitu dari curahan kerja para musisi yang direkrutnya, dan juga curahan kerja pihak yang berada di sektor-sektor lainnya, seperti sektor packaging dan distribusi. Musisi itu menjadi sekadar 'alat' bersama-sama dengan pekerja di sektor lainnya, menjadi kendaraan untuk mengatasi pencarian laba.

Khusus untuk curahan kerja pihak musisi, pihak industri biasanya memberi jatah sekian jam bagi band untuk merampungkan karyanya, yakni dengan memberi jatah sekian jam untuk bisa merekam lagu. Oleh karena itu, tekanan waktu rekaman bisa menjadi hal yang frustratif baik bagi musisi, dan produser pihak rekaman. Di satu sisi, dalam sekian jam sang musisi dituntut untuk bisa merampungkan karyanya sekaligus memutar otak bila ternyata ada lagu yang harus dirombak atas permintaan produser, di sisi yang lain, produser pun harus mempertimbangkan lagu yang bisa dijual dan tekanan batas-waktu yang ada untuk merampungkan karya tersebut. Dari kondisi itu, kita akan melihat ada dua kepentingan yang bertolak bertolak belakang, namun selalu bersatu dalam ketegangan-ketegangan di dalam sebuah proses pembentukan komoditi; disatu sisi kita akan melihat musisi yang berurusan dengan karyanya, yakni membuat lagu, dan kita juga akan melihat bagaimana produser mempertimbangkan karya musisi itu tidak semata-mata demi kualitas musik semata, tetapi juga untuk tujuan nilai-tukarnya di pasaran.

Dalam hal mempertimbangkan lagu inilah seringkali musisi harus mengalah kepada produser. Bagaimanapun juga, yang memiliki kuasa tentunya adalah industri rekaman yang telah membiayai ongkos produksi dan distribusi para musisi itu (sekaligus merubah musisi itu menjadi alat utamanya dalam skema pencarian laba). Belum lagi tekanan-tekanan seperti target penjualan sebuah album yang harus dipenuhi oleh musisi/band tersebut bila mereka ingin terus bertahan di perusahaan rekaman itu. Oleh sebab itu juga mengapa bergabung dengan industri rekaman berbasis kapitalisme memiliki konsekuensi berupa tidak bebasnya para musisi untuk berkreatifitas. Pertentangan-pertentangan kepentingan seperti itu biasanya 'memanasi' proses kreativitas sebuah musisi dalam industri musik.

Menghindari Keterasingan Dengan Menjadi Produser Independen
Hubungan-hubungan yang selalu berada dalam ketegangan seperti itu, dan dalam banyak kasus, seringkali membuat banyak musisi/band harus mengalah, sepertinya tidak ditemui, ketika sebuah musisi/band memutuskan merilis karyanya sendiri melalui sarana-sarana produksi dan distribusi bermusik yang mudah didapatkan akhir-akhir ini. Tidak ada tekanan waktu akibat ketegangan dengan kepentingan nilai-tukar, bila si musisi/band merekam karyanya melalui software semacam cube. Bahkan, bila misalnya musisi/band bersangkutan memutuskan untuk tidak merekam sendiri melalui software, melainkan memutuskan untuk merekam di studio tertentu dengan biaya sendiri, tekanan yang ada juga bukan dalam konteks pertentangan dengan kepentingan penjualan seperti yang ada dalam industri musik komersial itu. Melainkan sekadar tekanan batas waktu yang tersedia sesuai dengan kemampuan finansial si musisi/band tersebut dalam menyediakan waktu untuk merekam karya mereka di studio.

Lalu untuk masalah distribusi pun, saat ini sudah banyak tersedia situs-situs komunitas musik di internet yang menyediakan review sebuah karya musisi, dan sarana untuk mengunduh karya-karyanya tersebut. Atau bila tidak menyebarkannya melalui internet, sang musisi/band bisa membuat albumnya sendiri dengan menyediakan kepingan cd sendiri dan mencetak kovernya dengan swadaya pula. Bahan baku untuk membuat cd seperti itu saat ini bisa didapatkan dengan mudah.

Bila dulu, sebelum kemudahan yang dibawa akibat perkembangan digital hadir, salah satu pikiran kenapa sang musisi ingin bergabung dalam industri rekaman komersial adalah, bahwa industri rekaman itu sanggup untuk menyebarkan karya mereka seluas mungkin. Maka, sepertinya dengan perkembangan teknologi distribusi musik yang mudah didapatkan seperti sekarang juga sanggup untuk membuat pola distribusi musik seperti layaknya yang pernah dilakukan oleh industri rekaman itu. Dalam artian tersebar ke khalayak luas, asalkan kita mengetahui tempat yang tepat, dan memiliki relasi dalam komunitas-komunitas tertentu.

Intinya adalah, dengan adanya kemudahan teknologi produksi dan distribusi musik sekarang ini, menurut saya, memungkinkan seorang musisi/band menjadi seorang produser independen. Seseorang yang memiliki bahan baku dan alat produksinya sendiri. Dan dengan begitu, seseorang yang bisa menjalani dan mengetahui keseluruhan proses berkarya mereka mulai dari pembuatan lagu, pengemasan lagu, hingga distribusi lagu.

Mungkin menjalani keseluruhan proses itu akan membutuhkan waktu yang lebih lama, ketimbang ketika kita menyerahkan urusan produksi dan distribusi itu kepada pihak industri rekaman. Bila ditangani oleh pihak industri rekaman, semua proses itu memang bisa dipersingkat, bahkan kuantitas karya yang dihasilkan juga bisa lebih besar. Tetapi intinya bukan masalah cepat-lambat atau kecil-besar. Intinya adalah bagaimana kita tidak menjadi suatu alat belaka yang bisa ditunggangi untuk kerakusan orang lain akan laba. Dengan menghindarkan diri menjadi hanya sekadar alat dalam cara kerja industri rekaman berbasiskan kapitalisme, berarti juga berusaha untuk meminimalisir keterasingan dalam berkarya. Keterasingan seperti, salah satunya adalah, ketika sebuah karya tiba-tiba saja harus dirombak total, karena bukan demi kualitas musik itu sendiri, tetapi pertimbangan abstrak yang seringkali diterjemahkan dengan nama: kepentingan pasar. Sedangkan musisi tidak mempunyai kuasa untuk menolak masukannya itu, karena seketika karya itu nantinya dikemas untuk dijual, karya itu bukan menjadi milik mereka seutuhnya, tetapi juga industri rekaman yang telah bermurah hati "membantu" mereka berkarya.

Atau keterasingan, ketika seseorang disekat-sekat dalam pembagian kerja yang memotong-motong "roh" mereka dalam sebuah hubungan sosial, sehingga nampak tidak berhubungan satu sama lainnya. Musisi hanya tahu beberapa hal: membuat musik dan merombaknya atas permintaan produser (bukan diri musisi sendiri), pergi ke sana atau ke sini untuk urusan tur. Untuk urusan pengemasan, distribusi, dsb: biarkan pihak lain yang mengurusnya, karena itu bukan urusan musisi. Dengan kata lain, nantinya produk yang mereka hasilkan pun bukan seutuhnya dalam kendali mereka, tetapi sebagian besar beralih ke pihak industri rekaman itu.        

Dengan terbukanya kemungkinan menjadi produser independen, maka penyekatan seperti itu nampaknya menjadi hilang. Mereka menghasilkan sesuatu dengan jerih payah mereka sendiri, dan mereka mengetahui secara tepat seperti apa jerih payah yang mereka alami itu dalam proses berkaryanya itu. Dengan begitu, karya yang dihasilkan, tidak serta-merta menjadi sesuatu yang berada di luar mereka, dan oleh karenanya menjadi asing bagi diri mereka sendiri. Karya mereka menjadi curahan jiwa-raga sang musisi/band seutuhnya. Karya itu menyatu dengan pembuatnya.    


Catatan:
Keadaan musisi dan cara produksi independen yang dilukiskan diatas, terlepas dari masalah pemenuhan kebutuhan hidup pokok setiap musisi. Biasanya, konsekuensi yang seringkali dihadapi bagi musisi independen adalah mereka harus mencari kerja utama untuk menafkahi dirinya sendiri (dan keluarganya bila ada). Seringkali kerja utamanya itu di dunia yang sangat berjauhan dengan musik, dan pada saat yang bersamaan, menyita hampir seluruh waktu si musisi yang bersangkutan. Berbeda dengan mereka yang bergabung kedalam industri musik. Biasanya mereka dapat memenuhi nafkahnya dengan total berkonsentrasi di dunia itu. Masing-masing memiliki konsekuensinya sendiri. Namun demikian, itu bukan berarti tidak ada juga musisi yang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya dari produksi musik independen seperti itu. Dan tulisan ini bukan mengarah ke arah itu (mungkin di kesempatan yang lain). Intinya, tulisan ini ingin berkutat dalam pikiran, bahwa sebenarnya masih ada cara lain untuk bisa berkarya tanpa berlandaskan kepada cara produksi yang bergantung kepada eksploitasi kerja orang lain. Tidak tertutup kemungkinan, cara lain dalam bermusik itu bisa menjadi cara yang umum digunakan nantinya, seketika cara produksi kapitalisme saat ini mulai rapuh karena kontradiksi-kontradiksi yang menjadi pembawaannya sejak lahir semakin menguat dan akhirnya pecah.

Senin, 04 Oktober 2010

Ruang Kosong

Ada ruang kosong melihat semuanya berlalu. Kehilangan selalu sebab utama rasa sedih ini menguat. Kembali menyeruak bersama kesadaran yang muncul tentang bagaimana begitu banyak waktu tersia-siakan. Waktu yang berada didepan seolah-olah tidak akan menyisakan apapun. Semua potensi yang baik telah tersia-siakan diwaktu yang sudah lampau. Bagaimana ku memulai lagi? Sumber daya apa yang masih tersisa untukku? seandainya ku tahu, seandainya ku bisa mengerti kehidupan ini. Oh, betapa yang sudah berlalu begitu merisaukan...terkadang meninggalkan pikiran tentang bagaimana dirimu akan berakhir sendiri dan mati dengan cara yang sepi. Ah, aku tidak mengerti kehidupan ini. Seandainya saja aku bisa mengetahui rahasia yang ada didalamnya....

Minggu, 26 September 2010

George's Secret Key to the Universe


"Semua saling jatuh ke arah satu sama lain di alam semesta"
(Lucy & Stephen Hawking)

Kandang di halaman belakang rumah ternyata kosong melompong. Freddy, si babi berwarna pink telah hilang. George kecil tentu saja cemas mengetahui piaraannya telah raib. Sedangkan hanya babi itulah teman bermainnya selama ini.

Sabtu, 25 September 2010

Kunci Rahasia George ke Alam Semesta

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Science Fiction & Fantasy
Author:Lucy & Stephen Hawking
"Semua saling jatuh ke arah satu sama lain di alam semesta" (Lucy & Stephen Hawking)

Kandang di halaman belakang rumah ternyata kosong melompong. Freddy, si babi berwarna pink telah hilang. George kecil tentu saja cemas mengetahui piaraannya telah raib. Sedangkan hanya babi itulah teman bermainnya selama ini. George memang tidak tumbuh dalam lingkungan yang sama dengan anak-anak seusianya. Kedua orang tuanya adalah aktivitis lingkungan radikal yang menjalani gaya hidup primitivisme. Dalam artian, kedua orang tua George seminimal mungkin menggunakan teknologi dalam kehidupan sehari-harinya. Mulai dari makanan sehari-hari yang diolah langsung dari alam tanpa perantaraan teknologi masak dan bumbu penyedap, hingga penolakan terhadap pemakaian komputer, dan penggunaan listrik. Alhasil bila malam tiba, rumah George hanya dihias oleh cahaya yang berasal dari lilin saja. Gaya hidup yang dijalani kedua orang tuanya itu membuat George terkucil dari lingkungannya, dan George sendiripun memendam perasaan kesepian. Keadaan terkucil dan kesepian itu diperparah lagi dengan hilangnya Freddy. Bagi George, hilangnya Freddy hanya akan membuat hidupnya semakin terasa membosankan, karena tidak ada teman dan hiburan lagi yang layak bagi dirinya.

Namun demikian, tepat dibelakang kandang, terdapat jejak kaki Freddy yang mengarah ke rumah tetangganya yang dikenal tak terurus dan misterius. Banyak mitos yang dialamatkan ke rumah itu, dan mitos itu tidaklah mengenakan untuk didengar. Namun, tergerak oleh keinginan untuk menemukan sumber kebahagiannya selama ini, George nekat untuk menerabas ke rumah yang tidak terurus itu. Berusaha menemukan Freddy kembali. Tak disangka, disitu George malah menemukan sebuah peristiwa yang mengubah perspektifnya. Dia mendapatkan pengetahuan mengenai rahasia alam semesta. Dari sinilah petualangan George dimulai. Petualangan dalam menguak misteri luasnya galaksi di alam semesta.


***
Stephen Hawking adalah nama yang membuat saya tergerak untuk membaca buku ini pada awalnya. Mas Hawking adalah seorang fisikawan yang diakui kehebatannya setelah Mas Einstein. Akhir-akhir ini dia baru saja menghebohkan publik luas, terutama kalangan agamawan, melalui statementnya dalam bukunya yang terbaru, yakni "the Grand Design". Dalam bukunya itu, Mas Hawking menyatakan, bahwa alam semesta terjadi dari serangkaian peristiwa hukum alam semesta , seperti daya tarik gravitasi. Karena adanya hukum gravitasi itu, setiap materi akan saling tarik-menarik, dan alam semesta akan tercipta dengan sendirinya. Mas Hawking menyebutkan, bahwa penciptaan yang spontanlah alasan mengapa sesuatu itu ada, mengapa alam semesta bisa ada. Tuhan tidak pada tempatnya harus dibawa-bawa dalam masalah penciptaan alam semesta ini. Bisa dibilang, dalam statementnya di "the Grand Design" itu, Mas Hawking "membangkitkan lagi dari kuburan abad medieval", suatu perdebatan antara ilmu pengetahuan dan agama.

Pertamanya, saya berniat mencari buku "the Grand Design" itu. Namun ternyata, harus dipesan terlebih dahulu, dan harganya pun cukup mahal. Tetapi, salah seorang pegawai toko buku itu menyorongkan novel Mas Hawking terbitan tahun 2007, yang ditulis bersama anaknya, Lucy Hawking, yakni "George's Secret Key to the Universe" atau "Kunci Rahasia George ke Alam Semesta" dalam bahasa Indonesia. Sebagai pengenalan terlebih dulu tentang Mas Hawking ini mungkin ada baiknya novel ini dibaca dulu, pikir saya.

Ternyata, novel untuk anak-anak ini sangat menarik. Hukum-hukum fisika dikemas dengan wajah yang ramah, dan mudah dicerna oleh orang awam. Didalam novel ini, kamu akan mendapatkan pengetahuan mengenai asal-usul alam semesta, materi-materi yang ada di alam semesta, pergerakan planet, hukum gravitasi, hingga, ini yang paling menarik, serba-serbi lubang hitam! Dalam seksi mengenai lubang hitam ini, dipaparkan sebuah fakta ilmiah baru mengenai lubang hitam. Dimana, tidak seperti anggapan orang kebanyakan mengenai lubang hitam, bahwa setiap benda yang masuk ke dalam lubang hitam akan terperangkap selama-lamanya. Ternyata, anggapan demikian tidak benar. Benda yang masuk kedalam lubang hitam bisa keluar, karena pengaruh fluktuasi dalam ruang dan waktu. Dengan fluktuasi tersebut, lubang hitam secara perlahan akan melepaskan benda-benda yang sebelumnya ditarik oleh daya gravitasi lubang hitam dalam bentuk radiasi. Pelepasan benda dalam bentuk radiasi itu akan tergantung dari ukuran massa lubang hitam itu sendiri. Semakin kecil massa lubang hitam, semakin cepatlah pelepasan benda itu terjadi. Sebaliknya, semakin besar massa lubang hitam itu, semakin lambat pelepasan benda dalam bentuk radiasi.

Bahkan, lubang hitam itu sendiri nyatanya tidaklah abadi. Seiring pelepasan benda-benda dalam lubang hitam dalam bentuk radiasi ini, perlahan lubang hitam itu akan menguap. Penguapan ini juga tentunya dipengaruhi oleh besar-kecilnya massa lubang hitam itu sendiri.

Edas. Mengagumkan ternyata, saudara-saudari....


***
Ada satu lagi cerita yang mengesankan dari buku ini. Yaitu, ketika membahas tentang asal-usul alam semesta. Salah satu tokohnya menyebutkan, bahwa kita - umat manusia - sesungguhnya merupakan "anak-anak bintang". Ungkapan ini bisa dibilang indah secara metafora, dan juga benar secara harfiah, bila kita melihatnya dari bagaimana alam semesta ini bisa terbentuk. Gunung, awan, pantai, diri kita (manusia), bulan, planet, hingga meteor, bisa terbentuk setelah melalui proses yang telah berlangsung jutaan bahkan miliaran tahun sebelumnya. Semuanya bermula, ketika setiap partikel-partikel yang ada di awan gas saling tarik-menarik dan membentuk suatu gumpalan awan gas yang padat, karena termampatkan oleh tarik-menarik antar partikel itu. Bersamaan semakin padat gumpalan awan gas itu, semakin panaslah dia. Sehingga pada akhirnya, menyebabkan lapisan terluar dari gumpalan awan gas yang padat itu meledak dan terlempar kesegala penjuru. Sedangkan lapisan inti dari gumpalan awan gas itu menjadi bintang, atau di bumi kita menyebutnya matahari. Lapisan-lapisan terluar dari gumpalan awan gas yang telah terlempar itu, dengan melalui proses yang memakan waktu triliunan tahun lamanya, perlahan membentuk sistem tata surya yang kita kenal selama ini.

Dilihat dari proses pembentukan alam semesta yang telah berlangsung lama itu, dapat dimengerti, ketika manusia dijuluki sebagai anak-anak bintang. Ada elemen-elemen dari bintang dalam diri manusia. Elemen-elemen yang tercipta dari ledakan awan gas di alam semesta bermiliar-miliaran tahun yang lalu. Sungguh menakjubkan.

Dari sinilah, saya baru 'ngeh' tentang bagaimana posisi manusia dan keterkaitannya dengan alam semesta. Bahwa manusia bukanlah spesies yang terisolasi, terpisah dari lingkungannya. Manusia itu sendiri adalah bagian dari hukum-hukum alam semesta. Kita terkoneksi dengan segala yang ada dilingkungan kita. Saling terpengaruhi. Kita dan lingkungan kita, memiliki satu genesis yang sama...yang tercipta dari suatu hukum alam semesta.

Brutal.

Kalau ada buku yang menggugah orang lain untuk mempelajari fisika dalam kaitannya dengan misteri alam semesta, dan juga buku yang mendidik manusia tentang siapa dirinya dan lingkungannya, saya kira buku ini patut disebut.

Kamis, 23 September 2010

Warp Riders

Rating:★★★★★
Category:Music
Genre: Childrens Music
Artist:the Sword
Tiba-tiba saja Ereth menemukan planet yang ditinggalinya selama ini, yaitu planet Archeron, berada dalam marabahaya. Sebagian dari planet Archeron hangus terbakar oleh tiga matahari yang menjadi bintang Archeron selama ini. Ereth lantas berkelana menuju galaksi antah berantah untuk menyelamatkan diri. Namun ditengah-tengah perjalanannya itu, Ereth bertemu dengan Choronomancer. Makhluk yang 'melampaui ruang dan waktu'. Dalam pertemuannya dengan Choronomancer itu, Ereth ternyata mendapatkan tugas yang penting bagi kelangsungan hidupnya dan juga kelestarian sukunya di planet Archeron, yaitu menyeimbangkan kosmos planet Archeron. Tugas yang diberikan oleh Chronomancer ini nyatanya bukan tugas yang mudah, karena dalam menuntaskannya, Ereth harus mengahadapi rintangan-rintangan. Dia harus berhadapan dengan ksatria mistis, penyihir misterius, android jaman purba, dan bajak laut galaksi. Kesemuanya itu harus dihadapi oleh Ereth, karena dengan begitu, Ereth dapat mengembalikan keseimbangan planet Archeron yang terancam hancur.

Goddammit. Absurd!

Itulah garis besar cerita yang ada dibalik album ketiga the Sword, "Warp Riders". Dalam album barunya ini, mereka melakukan perubahan yang cukup besar. Dimulai dari album yang digarap secara konseptual dengan memfokuskan tema pada genre fiksi, seperti cerita Ereth diatas. Dan pola kesepuluh lagu yang ada di "Warp Riders" , dimana polanya disetting untuk menggambarkan cerita mengenai perjalanan Ereth dalam menyelamatkan planetnya.

Sejauh ini, "Warp Riders" memang album yang absurd bila dilihat dari konsep. Coba saja kamu bayangkan, bagaimana jadinya perpaduan antara musik heavy metal, dan cerita fiksi yang berlatar luar angkasa. Belum lagi makhluk-makhluk absurd yang diceritakan di "Warp Riders" yang, bila dilihat dari logika ruang dan waktu sejarah, sangat-sangat absurd (mana ada Android di jaman purba?). Tetapi, mungkin fiksi memang begitu. Khalayan bebas, bung!

Walau absurd, tetapi dari segi musik, the Sword semakin berkembang dan berkualitas sangat baik. Dimulai dari sentuhan hard rock '70an lengkap dengan lick, groove, dan, tentu saja, heaviness! Kesemua unsur itu tertata dengan baik di album ini. Kamu akan merasakan musik yang memompa adrenalin, dan sound yang membuatmu serasa ingin bertingkah edan-edanan. Enerjik! Sejauh ini, "Warp Riders" merupakan rilisan yang terbaik dari the Sword. Riff-riffnya unik, agresif, dan sangat catchy untuk ukuran heavy metal. Sangat direkomendasikan bila kamu ingin mencari semangat yang dibungkus dengan sentuhan heavy metal, hard rock, dan riff-riff yang mematikan.

Aaaarrggghhh, i dig "Warp Riders" very much! nuff said.


===========================================================

Silahkan menuju link dibawah ini bila tertarik:
http://www.megaupload.com/?d=XQMS1CG8

Rabu, 15 September 2010

H +2

"Ga ada hubungannya lebaran sama pacaran...siapa cepat dia dapat," ujarnya sambil menghembuskan asap rokoknya yang terakhir.

Api rokok yang sudah menyentuh filternya itu lantas buru-buru dia matikan. Kemudian dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebungkus rokok. Sebatang rokok dia ambil lagi, lalu menyalakannya dengan menggunakan korek api batangan.

"Yah, mumpung masih dalam rangka bulan keramat umat muslim," ujarku "kait-kaitkan saja momentum itu dengan peristiwa jadiannya."

"Wasweswos...euweuh. Euweuh hubunganna!" bales dia lagi. Keukeuh.

Sayapun tidak ingin mendebatnya, karena memang dia betul. Tidak ada kaitannya hari raya Idul Fitri dengan seseorang yang disukai tiba-tiba sudah menjalin hubungan dengan orang lain. Kait-mengkaitkan itu hanya pikiran iseng saya saja. Pikir saya saat itu, mungkin yang sudah jadi pacarnya saat ini bisa menganggap momen ini sebagai berkah Ramadhan. Seperti di iklan-iklan itu, yang mengaitkan berkah Ramadhan dengan kuis berhadiah jutaan rupiah. Namun bedanya kali ini, hadiahnya lebih menarik dari doorprize berupa uang. Hadiahnya seseorang yang kamu sukai. Tidak ada yang lebih menyenangkan, ketika seorang individu bebas, yang memiliki pikiran dan hidupnya sendiri, mau masuk menuju kehidupanmu, dan berbagi kehidupannya denganmu. Membuka rahasia hidupnya kepadamu, tidak kepada orang lain.

Tapi, Iya tak tertarik melihat hal-hal sentimentil semacam itu. Pikiran dia simpel dan memiliki batas: tak ada hubungan antara perayaan Idul Fitri dan cerita bagaimana seseorang yang disukai tiba-tiba sudah memiliki hubungan dengan orang lain. Semua hanya masalah kecepatan. Perasaan sentimentil tak perlu dilebih-lebihkan melampaui beberapa "hukum pokok" yang ada di dunia ini, seperti hukum "kecepatan" itu, misalnya.

Namun, sebagai seseorang yang sedang sentimentil mengetahui bagaimana seseorang yang disukainya sudah bersama dengan orang lain, saya hanya ingin berbicara apa saja. Termasuk kait-mengaitkan masalah berkah Ramadhan ini. Walaupun memang omong kosong juga. Tetapi sebagai pelipur lara mungkin bisa berguna. Setidaknya sebagai bahan lelucon.

Sebagai hiburan bagi diri sendiri, hukum "kecepatan" yang dilontarkan Iya juga kuterima-terima saja. Tanpa beban, tanpa sesuatu apapun. Toh, bila dipikir-pikir, saya juga memang baru saja memulai. Kurang lebih dua minggu sebelum lebaran, aku baru saja bisa kenal. Namun setelah perkenalan itu, tidak ada tatap muka. Hanya sebatas melalui omong kosong "pesan elektronik".

Baru saja kenal, mungkin mulai perlahan dulu. Jangan langsung mengajak keluar, pikirku saat itu. Toh, akupun tidak bisa memulai bila aku merasa belum siap.

Tetapi, kadang semuanya selalu berjalan rancak. Ada saja kejutan disana-sini. Seperti yang kualami hari ini. Semuanya tiba-tiba lepas tak menentu.

"Hikmahnya...untung belum terlalu jauh," ujarku pada Iya.

"Tah eta pisan...untung belum terlalu jauh!" balasnya. Akhirnya sepakat dengan pikiranku.

Tentu saja Iya sepakat dengan pikiranku. Setelah menjalani hubungan selama empat tahun, sang pacar memutuskan secara sepihak hubungannya dengan Iya. Tentu saja Iya uring-uringan. Tentu saja Iya paham betul, ketika berkata, "tah eta pisan...untung belum terlalu jauh!"

Aku baru mengetahui Iya sudah putus minggu-minggu ini. Sedangkan kejadiannya sendiri sudah lewat dua bulan. Selama hampir sebulan penuh dia galau tak menentu. Malamnya selalu dihabiskan dengan berjam-jam mengeluh kepada Arya, seorang teman lainnya. Kubayangkan bagaimana keluhan Iya itu menjadi keluhan yang panjang. Terbayang bagaimana raut wajah Iya yang terlihat bolon, ketika dia duduk berhadap-hadapan dengan Arya. Terbayang suasana kamar Arya menjadi serius, sembari kepulan asap rokok mengepul disana-sini. Pasti akan menjadi keluhan yang tidak ada habisnya, kalau boleh disebut. Dan selama keluhan itu tidak ada habisnya, makin tidak berguna jadinya, karena terus-menerus diulang.

"Sekarang mah sudah rada mendinganlah. Ga kaya kemarin-kemarin," kata Iya, ketika kutanya keadaannya.

Hmm, masalah hubungan-hubungan semacam ini sebenarnya masalah yang cukup mengesalkan juga buatku. Walaupun selama ini aku mencoba menyederhanakan semuanya, namun, ketika gilirannya, ada saja hal yang membuatnya terlihat rumit. Mungkin, sebenarnya semuanya bisa berjalan dengan sederhana, namun kesederhanaan itu seringkali tertutupi oleh pikiran-pikiran tertentu yang tumbuh di dalam kepala. Membuatnya terlihat rumit. Sehingga membuatku kesal sendiri.

"Sabar ajalah," kata Iya, "lain kali, kalau ketemu seseorang lagi, langsung hajar aja. Ga usah nyari tetek bengek semacam timing-timing segala," katanya.

Aku hanya tersenyum. Tidak tahu harus berbicara apa lagi.

Dalam hati aku tak sependapat dengannya. Bagaimanapun, bila aku yang memulai...aku harus merasa yakin. Dengan begitu, aku bisa mantap memulai. Sehingga pada waktunya nanti, tak ada kebimbangan-kebimbangan yang tak perlu. Aku dapat menjalani keyakinanku.

Namun, tampaknya, seperti semua hal yang berjalan di dunia ini, konsekuensi-konsekuensi selalu ada bagi setiap pilihan dan tindakan. Seperti hari ini, ketika cuaca mendung, ketika waktu berputar sedemikian cepatnya, ketika sebuah niat tak lagi terealisasikan, ketika rasa cemas menggelayuti hati, ketika ada ruang kosong yang eksis dalam harapan yang menguap, ketika dia pada akhirnya pergi bersama orang lain.

Flood

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:Boris
Hanya ada ombak yang memisahkan apa yang seharusnya bisa disatukan. Dan pasir pantai yang terlihat dikejauhan sana...hamparan pasir putih itulah yang paling mungkin dijelang. Entah apa yang terhampar di teluk pantai disana. Mungkinkah suku asli yang tak diketahui...pulau yang tak pernah nampak dalam peta...kawasan yang terlupakan?

Begitu tenang laut ini setelah hantaman demi hantaman air laut dihadapi dalam badai semalam.

Kuingat-ingat lagi tentang kejadian semalam, tentang betapa alam dengan sekali gerak nyatanya dengan mudah menghancurkan kapal yang katanya kokoh itu. Dengan satu hempasan ombak yang menggila, kreasi umat manusia yang telah turun-temurun dilestarikan itu hancur dalam sekejap. Betapa ironis. Demi negara...demi keagungan nama raja dan ratu, kapal itu sedianya harus memberi bukti akan pencapaian kuasa manusia. Dengan ekspansi yang ditempuh kapal melintasi laut yang liar menuju teritori yang tak diketahui. Dengan mengangkut awak manusia yang sebelumnya telah diberkati utusan Tuhan yang menjelma dalam insan raja dan ratu untuk pencarian harta kekayaan di dunia yang gelap gulita...semuanya remuk dalam sekejap. Dalam satu hempasan badai laut gila. Bukti pencapaian manusia itu, dengan miris, sekarang hanya berupa serpihan-serpihan kayu yang terserak di berbagai penjuru laut...

Dari sekian kayu yang terserak, yang terpencar dilautan luas itu...pecahan kayu kapal ini, yang sekarang ku bergantung padanya, adalah salah satu bukti betapa buasnya laut dalam badai di kegelapan. Sekarang, kayu ini seumpama serpihan yang retak...dan juga rapuh...namun kayu ini juga yang menyelamatkanku, dan oleh dorongan arus laut, sekarang membawaku menuju teluk pantai yang sepi dan tak menentu itu....

Oh, betapa tenangnya ku terombang-ambing, walaupun rasa remuk disekujur tubuh dan haus tak terhingga menyelimuti diri ini...pecahan kayu kupeluk semakin erat. Tak ingin kuberpisah dengannya hingga ku bisa menepi. Ku mulai membayangkan bagaimana nanti aku di tepi pantai itu...apa yang kulakukan nanti, apa yang mungkin kutemui nanti?

Oh, betapa tenangnya alur air ini...kubersyukur kuterhindar dari badai laut gila itu...oh, laut...fantasi mulai muncul didalam kepala...tentang sesuatu yang indah...tentang sesuatu yang serupa denganmu...yang juga menghanyutkan sepertimu...Oh, laut...aku mulai membayangkan sesuatu menyerupaimu...sesuatu bernama...Boris.

========================================================
terbawa hanyut menuju bibir pantai:
http://www.megaupload.com/?d=ngedi81h

Sabtu, 04 September 2010

Industri Musik

Panas terik siang hari di musim shaum tentu bikin haus. Apalagi melihat perempuan itu melenggang dihadapanku siang itu. Membuat diri ini tambah haus. Haus dalam artian yang Budi Darma tulis dalam Olenka: haus ingin memperlakukan tubuh perempuan itu seperti selembar peta. Kemudian menuding-nuding bagian tubuhnya bagaikan seorang guru ilmu bumi menuding kota-kota di atas peta. Menelusur jalan yang menghubungkan satu kota dengan kota lain, satu danau dengan danau lain, satu bukit dengan bukit lain, satu dataran rendah dengan dataran rendah lain, kemudian berseru, "Hei, inilah jalan menuju surga!" [1]

Kamis, 02 September 2010

Hell is Full of Musical Amateurs

Panas terik siang hari di musim shaum tentu bikin haus. Apalagi melihat perempuan itu melenggang dihadapanku siang itu. Membuat diri ini tambah haus. Haus dalam artian yang Budi Darma tulis dalam Olenka: haus ingin memperlakukan tubuh perempuan itu seperti selembar peta. Kemudian menuding-nuding bagian tubuhnya bagaikan seorang guru ilmu bumi menuding kota-kota di atas peta. Menelusur jalan yang menghubungkan satu kota dengan kota lain, satu danau dengan danau lain, satu bukit dengan bukit lain, satu dataran rendah dengan dataran rendah lain, kemudian berseru, "Hei, inilah jalan menuju surga!"  [1]

Bagaimana tidak. Perawakannya sungguh sintal. Langsing teramat sangat. Lekukan tubuhnya...amboi. La Guitarra Espanola. Membuat pikiran ini bergerak liar ke arah yang tak menentu.

Siang itu dia berjalan dengan santai. Melenggok begitu halusnya. Soenggoehpoen. Para lelaki yang siang itu terlihat tenggelam dalam pekerjaan kantornya, mau tidak mau, harus mengalihkan pandangan pada perempuan itu. Kalau bisa, mengalihkan pandangannya selama mungkin. Begitupun dengan saya. Saya tidak ingin melepaskan pandangan saya kepada perempuan itu sedikitpun. Dia yang telah susah payah berdandan, akan mubazir bila tidak dinikmati olehku.

"Temenku juga ada tuh yang lebih kurus dari dia," tiba-tiba temanku, dia perempuan, nyeletuk.

Cukup kaget juga mendengar temanku berbicara seperti itu. Dari apa yang kulihat siang itu, tubuh perempuan yang kulihat itu sudah tergolong sangat "tipis". Tak terbayang lagi bila ternyata ada perempuan yang lebih "tipis" darinya.

"Temenku itu sama perusahaan rekamannya dikasih semacam treatment gitu. Buat ngelangsingin badan. Pokonya buat treatment tubuh. Termasuk dikasih suntikan pemutih wajah kaya gitu," ujar temanku lagi.

Dari sini, perhatian saya untuk perempuan sintal itu menjadi teralihkan kepada apa yang temanku itu bicarakan. Obrolannya menarik. "Wah, perusahaan rekaman temen kamu sampai segitunya? Terus temen kamu itu gimana, ngerasa terkekang ga jadinya?" tanyaku kemudian.

"Ya enggalah. Mereka sih seneng-seneng aja. Namanya juga cewek. Dibuat cantik, pasti seneng," jawab temanku lagi.

Pikiran saya langsung campur aduk disitu. Suntikan pemutih wajah, treatment untuk melangsingkan tubuh...semuanya berputar-putar didalam kepala. Waw, bukannya itu tugas orang-orang salon? Apa urusannya perusahaan rekaman yang harusnya mengurus musik, hingga harus mengkhawatirkan tubuh para musisinya? Lalu kenapa para musisi itu juga rela saja tubuhnya diperlakukan sedemikian rupa hanya untuk mengikuti strategi perusahaan rekaman demi meningkatkan penjualan sebuah album? Semua pertanyaan itu bermunculan di kepala.

Temannya temanku ini berada dalam sebuah band. Seluruh personilnya adalah kaum hawa. Nama bandnya kurasa tidak perlu disebut disini. Pastinya, setelah lebaran usai, band temannya temanku itu dijadwalkan akan melakukan launching album perdananya. Nah, dalam kepentingan launching itulah, perusahaan rekamannya mengeluarkan dana tambahan untuk treatment para personilnya agar terlihat lebih kurus, terawat, dan cantik. Setidaknya menurut temanku begitu.

"Mereka sekarang sudah berubah banyak sih," kata temanku melanjutkan, "sekarang lagi banyak gaul sama artis yang sudah terkenal. Soalnya kalau ga gitu, mereka ga akan diliat ma orang."

Disini saya tak bisa menahan ketawa. Sungguh puas saya ketawa. Bersamaan dengan itu, saya teringat dengan band saya sendiri. Saya bersyukur selama ini tidak perlu mengkhawatirkan masalah tetek bengek penjualan seperti itu.  Saya bersyukur bisa bermain musik dengan kawan-kawan band saya dengan lepas. Aku beruntung bisa menemukan orang-orang yang memiliki visi yang sama. Semenjak awal, kami tidak berencana memperkaya diri sendiri dengan uang dari band ini. Kami tidak berniat menjadi 'musisi profesional'. Jadinya tidak ada tuntutan yang aneh dan macam-macam seperti itu. Kami hanya ingin memainkan doom metal sekeras mungkin, hingga batas kemampuan diri kami sendiri. Walaupun, ritme bermusik kami tidak intens, tetapi kami masih memiliki hasrat. Karena yang terpenting dari musik memang itu, hasrat.

Ini bukan berarti menghakimi, bahwa band temannya temanku itu adalah band yang personilnya tidak memiliki hasrat semua. Ya, mungkin mereka memiliki hasrat. Bisa juga mereka hanya 'merasa' memiliki hasrat. Tetapi, sejujurnya, masalah hasrat itu akan selalu kuragukan. Masalahnya, beberapa temanku yang 'go pro' dalam bermusik dengan cara masuk ke dunia industri, selalu mengeluh dan mengeluh tentang cara kerja industri musik. Selalu saja mengeluh bila mereka berkunjung ke tempatku. Sampai bosan aku dibuatnya. Keluhan mereka terutama berkutat di masalah bagaimana pihak label rekaman terlalu mencampuri urusan aransemen lagu. Bahkan hingga reffrain pun diotak-atik sedemikian rupa dengan satu tujuan: mencari bagian yang gampang diingat oleh pendengar. Karena dengan begitu, diharapkan nama band akan teringat juga, dan selanjutnya, bisa mendongkrak penjualan album.

Keluhan yang didasari oleh gagasan yang absurd buat saya sejujurnya, dan sangat jauh dari kata berhasrat...

Walaupun demikian, temanku itu parahnya tidak ada yang mencoba memikirkan, bahwa ada yang tidak beres dari cara kerja industri seperti itu. Mereka menganggapnya, bahwa hal seperti itu sudah selayaknya diterima bagi mereka yang ingin 'concern' di dunia musik profesional. Bagiku, parahnya mereka seakan-akan dimakan oleh mitos-mitos seperti 'tenggang rasa'. Bahwa, dalam membikin musik kita tidak boleh egois, tetapi kita juga harus memikirkan selera pendengar.

Ini omong kosong. Logika seperti ini adalah logika bagian pemasaran, bukan musisi.

Dari jaman Viking pun, musik hadir sebagai ekspresi jiwa seseorang. Bukan masalah tenggang rasa dari pedagang kepada selera konsumen. Untuk masalah pendengar, mereka akan mengikuti dengan sendirinya. Bila pendengar merasa ada 'hubungan' dengan musik yang dibuat oleh musisi, mereka juga akan mengikutinya.

Terlepas dari banyak atau sedikit kuantitas pendengar.

Masalahnya, 'musisi-musisi profesional' itu selalu membayangkan dalam pikiran mereka, bahwa pendengar adalah sekelompok orang dengan kuantitas yang besar. Selalu saja dikejar-kejar oleh fantasi akan keberhasilan dan kesuksesan. Karena dengan kuantitas pendengar yang banyak, itu berarti musik mereka diterima luas. Padahal, saya yakin, dibalik alasan itu, adalah kekayaan berupa uang yang mereka cari.

Memang apa sih sukses? apa berhasil? Saya yakin, jawaban yang utama adalah menimbun uang, uang, dan uang lebih banyak lagi.   

Manggung dalam sebuah tempat parkir kecil yang hanya dihadiri oleh sekitar 20 orang pengunjung, pasti bukan kriteria kesukesan para musisi. Manggung di sebuah studio kecil di daerah buah batu dengan penonton sekitar 15 orang juga pasti akan jauh dari definisi sukses dalam bermusik. Setidaknya begitu yang ada di benak musisi profesional. Tetapi, bagiku lebih baik seperti itu. Tidak ada yang lebih menyenangkan, ketika kamu memainkan lagumu sendiri dengan ditonton oleh mereka yang mengetahui kita selayaknya seorang teman lama. Karena penonton bukan sekadar angka statistik, penonton adalah mereka yang mengapresiasi cara kerja kamu. Terhubung dengan karya kamu. Merekalah yang akan melebur bersama dirimu di tempat konser. Karena merekalah, keakraban tercipta. Dan pertemanan baru tumbuh.

Manggung gratisan di sebuah studio kecil dengan dihadiri orang yang tidak lebih dari angka dua puluh, memang dekat dengan kemiskinan. Dalam artian, tidak ada uang yang didulang dalam jumlah besar disini. Menjalani hidup dengan cara seperti itu menjadi suatu siksaan tersendiri bila tidak diiringi dengan pemasukan di wilayah lainnya. Dan ini juga yang sering dikeluhkan teman-temanku yang ingin menjadi musisi profesional. Selain memikirkan selera pendengar, mereka juga harus memikirkan perut sendiri, dan orang-orang didekatnya. Oleh sebab itulah mereka manut-manut didikte oleh orang-orang label rekaman. Untuk cari kerjaan lain, sudah tidak bisa. Karena mereka harus total di musik. Sudah terikat kontrak. Atau alasan lain lagi, mereka tidak punya ijazah kuliah untuk bisa masuk ke dalam sebuah perusahaan bonafid. Macam-macamlah alasannya. Namun poinnya, mereka harus memikirkan bagaimana bertahan hidup. Untuk alasan ini, saya tidak akan berkata apa-apa. Toh, dari pernyataan itu juga, saya mengaku kalah duluan. Ngotot memaksa mereka untuk jadi musisi independen juga pada akhirnya menjadi tiran bila sudah begini.

Lagipula, saya bukanlah orang yang akan membayar seluruh tagihan mereka.

Hanya saja, ini semua ironis dan menyedihkan buatku. Melihat bagaimana kehidupan kita dibentuk oleh suatu cara yang berorientasi hanya kepada peningkatan kekayaan melalui angka statistik dengan menihilkan sisi kreatifitas manusia. Nilai-tukar menjadi prioritas utama, dibandingkan nilai-guna. Dan parahnya, kita semua menganggapnya sebagai sebuah kewajaran. Sebuah batu ujian bila kita ingin 'sukses'. Sebuah pembuktian dari mitos mengenai kerja keras...yeah right, kerja keras untuk memperkaya bos mu. Pada akhirnya, kita yang tidak memiliki kuasa, dengan terpaksa dan ikhlas harus menerima apa-apa yang didiktekan oleh yang memiliki akses. Kita menjadi pion yang bisa digerakan oleh mereka yang telah berbaik hati menampung kita agar kita bisa makan, dan mereka bisa memperkaya diri sendiri. Dan kitapun larut: "sedari dulu dunia memang sudah berjalan seperti ini."

Well, terserahlah.

Bila melihat lagi ke kehidupanku akhir-akhir ini...yah, saya masih sangat miskin dalam artian yang sebenarnya, dan saya juga masih bermain musik dengan gaya bermusik yang buruk. Gitarku juga masih gitar murah, dan senarnya sudah karatan. Tidak ada pencari talenta yang tertarik dengan musik yang kumainkan. Tidak ada perempuan juga yang tertarik melihat band kami. Tetapi semuanya masih berjalan. All is well. Kami masih datang kedalam studio. Menghidupi musik kami, walaupun pada akhirnya kami tidak akan mendapatkan apa-apa bila dikaitkan dengan kesuksesan dalam bentuk kekayaan timbunan uang Tetapi, setidaknya untuk hal ini saya merasa beruntung. Masih bisa bertemu kawan-kawan yang memiliki visi sama. Menikmati momen bermusik, walaupun hanya sebentar. Tetapi, karena sebentar itulah kami menikmatinya. Bagaimanapun, semuanya tidak akan abadi. Oleh sebab itulah, semuanya perlu dinikmati. Carpe diem, seize the day.

Aku juga sepertinya harus bersyukur dengan keadaan bandku yang jauh dari kata profesional. Karena aku tidak perlu memikirkan bentuk tubuhku yang tidak enak dilihat ini. Bagaimanapun juga, bentuk tubuhku yang tidak enak dilihat ini bisa menurunkan tingkat penjualan album.


[1] diambil dari Budi Darma, Olenka, Jakarta: Balai Pustaka, 2009.