Tampilkan postingan dengan label urban. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label urban. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 Januari 2016

2016


Dari halaman depan Balai sudah terdengar dumelan Rul. “Bola api tai ledik,” katanya ketika dia nongol di pintu Balai sambil memandangi kami. 

Selasa, 27 Agustus 2013

Ride The Lightning (Pt II: Reflections)


Tulisan sebelumnya klik ini

Terlepas dari pikiran-pikiran yang muncul selama melihat James, dkk beraksi, bagaimanapun juga konser itu adalah yang terbaik yang pernah saya lihat sejauh ini. Banyak kenangan dan pikiran yang muncul saat melebur bersama ribuan metalhead di konser Metallica.

Sabtu, 24 November 2012

Menyedihkan



Seringkali asap ganja memenuhi kamar Roy yang redup dan pengap itu. Biasanya aku suka menghisap ganja dan berbicara apa saja di kamar Roy: mulai dari alasan, penyangkalan diri sendiri, melontarkan humor garing, atau sekadar melamun tak menentu karena efek ganja yang sudah semakin memberatkan. 

Senin, 17 Oktober 2011

Mathias

Suatu waktu datang orang itu. Mathias namanya. Kedatangannya sungguh seperti pejabat. Dia datang menggunakan mobil sedan bermerk Mercedez Benz. Entah tipe apa, tapi dilihat dari bentuknya pastilah mobil mahal. Sedan itu tidak dikendarai sendiri oleh Mathias, tetapi oleh supirnya. Supir Mathias ini berambut cepak dan memakai baju setelan safari berwarna biru tua. Tubuh supirnya itu tegap, atletis, dan mirip-mirip awak Kopassus. Nampaklah betul si Mathias ini seperti pejabat: datang dengan sedan yang biasa dikendarai oleh petinggi-petinggi dan dikawal pula.

Selasa, 06 September 2011

Ramadhan Tahun Ini

Secara personal, Ramadhan tahun ini terasa sedikit menenangkan bagiku. Bisa berada jauh dari rumah dan beraktivitas tanpa risau akan hal-hal mengenai pekerjaan yang belum kunjung didapat. Saban siang membaca buku Martin tentang Alan Badiou, nonton film sepuasnya dari laptop, ngobrol dengan saudara-saudara yang lama tak bersua, menghisap ganja sendirian di kamar pada malam hari, menunggu siaran bola Indonesia vs Iran bareng keluarga besar (berikut tidak jadi nonton, karena sinyalnya terganggu), bercanda dengan keponakan yang lucu-lucu. Semuanya terasa menyenangkan. Rumah almarhum Amih dan Apih di Tasikmalaya, tempatku tinggal selama Ramadhan, memang juara.

Selasa, 07 Juni 2011

Kehendak



“Oh so strange...hanging out everytime to reach the end. You never know how anything will change.”

-Pathetic Waltz, PS-


Kamis, 26 Mei 2011

Pelepasan Wisudawan

"...Of the endless trains of the faithless--of cities filled with the foolish; what good amid these, O me, O life? Answer. That you are here - that life exists, and identity; that the powerful play goes on and you may contribute a verse." (John Keating). 

***
Mungkin satu-satunya yang akan kukenang dari acara wisuda tadi adalah ketika pengambilan ijazah dari dekan fakultas (Fakultas Ilmu Komunikasi) dan peresmian dari rektor universitasku (Universitas Padjadjaran). Bagaimana tidak, sesaat setelah nama fakultas kami disebut oleh protokoler, suasana langsung terdengar riuh oleh sorak-sorai wisudawan yang berasal dari fakultasku itu. Sorak-sorainya tergolong tarkam juga bila dibandingkan fakultas lainnya yang ada di dalam ruangan itu. Buatku momen seperti itu lucu dan menyenangkan. Setidaknya fakultas ku menjadi sedikit eksis dan kelakuannya cukup ‘urakan’, kalau tak mau disebut tarkam :D

Kamis, 25 November 2010

How Does It Feel?


(Picture taken from here)



Brief questions. Just pick one answer that most suitable to your daily philosophy.


How does it feel...to have an adorable tiny weed in your soft hands?

  1. it feels like holding galaxy and get sucked by something called black hole
  2. it feels like in endless sea, turned into dolphins and jump with shinny cute smile on my face like :)
  3. it feels like grasping the essential truth of the universe; an essence of what lies within smoke that pushing human nature to its most prolific realm of dimension.
  4. it feels like....just smile and wave...smile and wave....
  5. all the options mentioned above is cheerfully suitable for every convenient usage.




Minggu, 21 November 2010

Keterlambatan


(Gambar oleh Robert E. Harney)


Seringkali gerutuan itu datang atas sikap saya yang selalu menunda-nunda. Mereka melihat diri ini terlalu santai. Terlalu menganggap remeh segalanya, tanpa menaruh perhatian yang serius. Padahal, itulah yang terpenting: perhatian. Di sisi lain, saya pun 'awas' terhadap kekurangan ini. Tetapi, sikap bebal itu sepertinya memang ada didalam diri saya. Pada akhirnya, keterlambatan menjadi kata yang familiar bagi saya. Semenjak makna yang dikandungnya sering saya jumpai dimana-mana dalam keseharian.



Senin, 04 Oktober 2010

Ruang Kosong

Ada ruang kosong melihat semuanya berlalu. Kehilangan selalu sebab utama rasa sedih ini menguat. Kembali menyeruak bersama kesadaran yang muncul tentang bagaimana begitu banyak waktu tersia-siakan. Waktu yang berada didepan seolah-olah tidak akan menyisakan apapun. Semua potensi yang baik telah tersia-siakan diwaktu yang sudah lampau. Bagaimana ku memulai lagi? Sumber daya apa yang masih tersisa untukku? seandainya ku tahu, seandainya ku bisa mengerti kehidupan ini. Oh, betapa yang sudah berlalu begitu merisaukan...terkadang meninggalkan pikiran tentang bagaimana dirimu akan berakhir sendiri dan mati dengan cara yang sepi. Ah, aku tidak mengerti kehidupan ini. Seandainya saja aku bisa mengetahui rahasia yang ada didalamnya....

Sabtu, 04 September 2010

Industri Musik

Panas terik siang hari di musim shaum tentu bikin haus. Apalagi melihat perempuan itu melenggang dihadapanku siang itu. Membuat diri ini tambah haus. Haus dalam artian yang Budi Darma tulis dalam Olenka: haus ingin memperlakukan tubuh perempuan itu seperti selembar peta. Kemudian menuding-nuding bagian tubuhnya bagaikan seorang guru ilmu bumi menuding kota-kota di atas peta. Menelusur jalan yang menghubungkan satu kota dengan kota lain, satu danau dengan danau lain, satu bukit dengan bukit lain, satu dataran rendah dengan dataran rendah lain, kemudian berseru, "Hei, inilah jalan menuju surga!" [1]

Minggu, 15 Agustus 2010

Di Persimpangan Kemungkinan

Tetapi apakah itu yang membayangi di depan sana? Apakah hanya sebuah tanda lain dari ketidakpastian? Suatu tanda dari ketidakjelasan lainnya? Tetapi ketidakjelasan itu juga yang sesegera mungkin harus disapa. Mau-tidak mau.

Sabtu, 17 Juli 2010

Teori

"The rational society subverts the idea of Reason."
Herbert Marcuse (1964)

Bila teori berangkat dari pengalaman di kehidupan nyata, kenapa dalam setiap perbincangan masih sering terdengar ucapan "ah, teori!", seperti itu? Ucapan tersebut secara tidak langsung, seperti menjelaskan kegagalan teori dalam menjelaskan kehidupan nyata.

Kamis, 15 Juli 2010

Kota

Kota bisa menjadi tempat yang asing bagi penghuninya. Padahal jajaran gedung yang menjulang serasa menembus langit beserta papan reklame yang terpasang di kiri dan kanan jalan perkotaan konon adalah simbol kemakmuran sebuah kota. Seperti yang pernah kudengar dari pepatah lama: "kemakmuran sebuah masyarakat dimana corak produksi kapitalis muncul, menampakkan dirinya dalam wujud “an immense collection of commodities" atau mengoleksi komoditi sebanyak-banyaknya.”

Keterlemparan

Seseorang pernah berkata, bahwa manusia dalam satu rangkaian hidupnya selalu mengalami keterlemparan keluar dari dunia yang dia diami. Dalam keterlemparan itu manusia akan berhadapan dengan sesuatu yang disebut 'ada'. Lalu orang itu berkata lagi, bahwa ketika sang manusia berhadapan dengan apa yang disebut 'ada', maka manusia sebenarnya mengalami sebuah momentum yang otentik dalam periode hidupnya.

Sabtu, 19 Juni 2010

Minggu, 13 Juni 2010

Di Bawah Bayang-Bayang Peradaban

Coba minggir, bang. Ini kepala oyag. Ada genangan wiski murah dalam otak, takutnya abang tiba-tiba kena muntahan odading sama gehu. Abang tau sendiri, ini gang sempit. Kita ribut, bisa-bisa keluar semua warga. Kerumunan warga, dengan atau tanpa kepala RT, sama aja, bang, kalau lagi beringas: bisa-bisa kita gosong dibakar api.

Sabtu, 06 Maret 2010

Kehampaan Hidup

Intinya adalah kehampaan hidup. Tetapi rasa-rasanya tidak cukup dengan sekadar menuliskannya secara langsung. Keinginan yang mendesak kuat adalah menjabarkannya, memetaforakannya, menganalogikannya...mendeskripsikannya begitu detail hingga kehampaan itu sendiri sirna. Tetapi, nampaknya mustahil. Kenyataannya, kehampaan itu sendiri seperti bergejolak didalam diri. Semakin menegaskan eksistensinya seiring penolakan yang bertambah masif.

Ada lubang dalam diri manusia, begitu dalam seperti rasa lapar yang tak kunjung kenyang. Kehampaan adalah rasa lapar yang tak sanggup kenyang. Semakin dipenuhi, semakin tak puas. Prosesnya sendiri tak pernah menjadi dinamika yang solutif: semakin mencari, semakin tak berhasil ditemui. Semakin kembali lagi ke titik awal: kehampaan itu sendiri.

Dan apakah yang bisa dicari untuk menghilangkan kehampaan? hubungan asmarakah? kekayaankah? prestisekah? atau apakah Tuhan, sesuatu yang hampa itu sendiri?





Selasa, 19 Januari 2010

They Inspiring Me To Have Faith

Akhir-akhir ini saya terinspirasi oleh orang-orang. Bagaimana tindakan orang-orang tersebut, dalam titik tertentu, selalu membuat saya tercenung. Saya tidak akan menyebut nama orang-orang itu, tetapi saya akan menceritakan tindakan-tindakan apa saja yang sudah dilakukan oleh mereka. Karena memang itulah yang terpenting. Tindakan. Dalam konteks ini, nama hanyalah menunjukkan pembedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Tetapi tindakan…tindakan adalah aksi pembedaan yang memberikan pengaruh bagi lingkungan sekitarnya.

Ada orang ini, dia masih muda, dan berprofesi sebagai arsitek. Dia dikenal karena konsepnya mengenai tata ruang kota yang berlandaskan konsep ruang publik dan pemberdayaan ekonomi kreatif yang berbasis akar rumput. Semenjak pertama kali memperhatikan apa yang dia lakukan, ada satu hal yang terus menerus dia tekankan. “Masyarakat harus didorong untuk melakukan perubahan secara mandiri, tanpa bantuan pemerintah,” kurang lebih seperti itu apa yang dia tekankan.

Penekanannya itu tidak main-main. Dengan beberapa rekannya dia menggagas sebuah forum yang bertujuan untuk menampung kreatifitas masyarakat dan memberdayakan setiap potensi yang terdapat didalamnya. Sebuah festival pun dia rancang untuk menerjemahkan idenya tersebut ke tataran yang lebih populer. Helaran, nama festivalnya. Masyarakat Kota Bandung umumnya sudah mengenal festival itu.

Dalam perjalanannya, festival itu menjadi fenomena yang mengejutkan. Khususnya bila dilihat dari segi ekonomi. Bagaimana mereka yang bergerak di bidang sablon baju dan penjualan clothing menyumbangkan pendapatan yang nominalnya mencengangkan selama festival itu berlangsung. Beberapa media massa memberitakan juga bahwa kemandirian usaha sablon baju dan penjualan clothing itu sanggup menyerap tenaga kerja hingga sekian ribu. Semuanya ini dilakukan secara mandiri, tanpa ada bantuan dari pemerintah. Bahkan festivalnya itu sendiri pada awalnya tidak dibantu oleh pemerintah. Dalam hal inilah, kemudian ia dan forum yang digagasnya meramaikan media massa dengan wacana ‘ekonomi kreatif’.

Pemberdayaan ekonomi kreatif yang beranjak dari bawah (masyarakat) ini sebenarnya bila dilihat adalah kapitalisme yang dibalut dengan potensi lokal. Secara pola, ekonomi kreatif tidak ekstrim berbeda dengan ekonomi ala kapitalisme: ambil untung sekian di atas biaya produksi rata-rata.

Dalam kapitalisme, seperti halnya ekonomi kreatif, yang tersisa hanyalah masalah peluang. Siapa yang cukup jeli melihat peluang, dia bisa mendulang keuntungan. Maka dari itu, kenapa berak di toilet umum tiba-tiba bisa diklaim oleh yang mengaku ‘empunya’ toilet kudu ngebayar Rp 2.000,00. Dan konsep ekonomi kreatif kurang lebih berjalan seperti itu…lebih kepada masalah jeli memberdayakan potensi yang ada supaya bisa menghasilkan nilai-lebih. Komodifikasi dan eksploitasi.

Saya mempercayai, bahwa selain kehidupan yang dijalani saat ini: yakni kehidupan yang seolah-olah menjadi ‘common sense’ - ibarat Fukuyama meneriakkan ‘the end of history’ atas kemenangan kapitalisme pasca ambruknya Uni Soviet – pada satu titik, akan selalu ada peluang akan alternatif kehidupan yang lain. Walaupun mayoritas sudah terlanjur percaya bahwa dalam kapitalisme tidak ada jalan keluar.

Tetapi, dalam cara pandang mayoritas yang percaya kepada kapitalisme inilah saya berada. Dan sekaligus dalam atmosfir kapitalisme ini juga saya bisa menaruh respek dan terinspirasi dari tindakan seseorang yang telah saya bahas sebelumnya diatas. Okelah, pada satu waktu, dia juga menerjemahkan pernyataan masyarakat yang mandiri adalah pihak swasta yang membangun lingkungannya dengan tidak melupakan kelestarian alam dan ruang publik yang sehat. Dengan kata lain, lebih bertanggungjawab. Walaupun hal seperti itu seakan-akan mengulang konsep Corporate Social Responsibility (CSR). Dengan kata lain; tidak ada yang baru dan sekadar pernyataan normatif belaka. Karena tidak perduli betapa kamu berusaha sehumanis mungkin, selama landasannya adalah kapitalisme, maka pola hubungan akan berlandaskan pada hubungan yang ekonomistis. Karena satu-satunya tujuan kapitalisme adalah semata-mata mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Bukan ketulusan yang sebanyak-banyaknya.

Tetapi, apa yang terus menerus ia tekankan mengenai kemandirian yang tanpa campur tangan pemerintah itu membuatku menaruh harapan pada ide yang dia kumandangkan seperti adzan di media massa. Saya tidak meragukan dampak yang sedang berlangsung atas ide kemandirian ini. terdapat perubahan disana-sini. Di Bandung, berjamuran dimana-mana distro dan pagelaran budaya. Bersamaan dengan itu, tercipta pula lapangan pekerjaan. Walaupun, saya merasa, alur yang bergerak mengarah ke pola ekonomi kapitalisme. Dan dengan begitu, pada akhirnya, perubahan akan menjadi cerita yang anti-klimaks. Tidak ada perbedaan dengan yang sebelumnya.

Tetapi, saya diajarkan, bahwa selalu berambisi memulai dengan langkah-langkah besar untuk secepatnya meraih hasil tanpa diimbangi oleh kemampuan diri sendiri adalah sumber dari depresi dan faktor yang membuat seseorang cepat menyerah ditengah jalan. Memulai dengan langkah-langkah kecil, sebaliknya, memberimu ruang untuk terus mengukur kemampuan mu dan memperkecil jurang antara realitas dengan apa yang ada didalam benak. Langkah-langkah kecil selalu membuatmu untuk tetap berpijak di bumi yang rendah hati.

Dan ide mengenai kemandirian ini, walaupun bergerak ke arah yang itu-itu saja dan menghasilkan sesuatu yang sama sekali tidak baru. Tetapi saya memiliki optimisme. Sebuah harapan, bahwa ada seseorang diluar sana yang terinspirasi ide mengenai kemandirian ini mencernanya dengan cara yang berbeda. Dengan cara yang berada di luar bingkai kapitalisme. Dengan cara yang sanggup membawa perubahan kepada tataran yang lebih humanis.