Kamis, 28 Mei 2009

Bahasa Daerah Terancam Punah? Biar Saja Punah Bila Tidak Praktis

Pusat Bahasa telah menghasilkan beberapa kesimpulan awal mengenai eksistensi bahasa daerah di Indonesia. Salah satunya adalah penemuan bahasa daerah yang ternyata telah punah karena minimnya penutur. Kesimpulan itu keluar setelah sebelumnya Pusat Bahasa melakukan penelitian mengenai bahasa daerah di Indonesia. Kesimpulan yang dikeluarkan Pusat Bahasa itu bisa dibaca di Kompas edisi 27 Mei 2009.

Terkait dengan adanya bahasa daerah yang telah punah itu, Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono berkomentar, seperti yang di ambil dari Kompas, hilangnya bahasa daerah akan menghilangkan akar kebudayaan suatu daerah. Selain itu, Sekretaris Jenderal Depdiknas Dodi Nandika juga berkomentar, kepunahan bahasa daerah merupakan kerugian besar bagi pertumbuhan suatu bangsa.

Di sisi lain, pakar capruk ga jelas: abo si eta tea, berpendapat hilangnya bahasa daerah tidak harus berarti hilangnya kebudayaan suatu daerah atau kerugian besar bagi pertumbuhan suatu bangsa. Hal itu bila dikaitkan dengan posisi bahasa daerah bagi penuturnya.

Bahasa adalah sekadar alat untuk berkomunikasi di antara manusia. Pikiran manusia adalah sesuatu yang abstrak, dan bahasa hadir untuk mengkonkretkan pikiran abstrak tersebut. Pikiran yang abstrak itu memang tidak akan utuh, ketika dikonkretkan dalam sebuah bahasa. Ada saja makna yang masih terdengar samar-samar. Contohnya: apa pengertian utuh dari pemikiran “aku cinta kamu”? atau apa pengertian utuh dari pemikiran mengenai “neoliberalisme” yang sedang hip akhir-akhir ini? Saya mah rieut. Tetapi dengan bahasa, manusia yang berkomunikasi setidaknya dapat ‘mendekati’ pengertian yang sama.

Nah, bila ada bahasa daerah yang punah, karena jumlah penuturnya minim hal itu bisa jadi disebabkan bahasa daerah itu terlalu ribet, ketika digunakan oleh penuturnya. Misalnya, bahasa Sunda halus yang konon bagi anak jaman sekarang terlalu rumit. Ada saja cerita bagaimana mayoritas anak muda sunda saat ini “blah-bloh” ketika berkomunikasi menggunakan bahasa sunda dengan orang sunda yang juga menjadi saksi hidup Bandung Lautan Api. Karena tingkatan bahasa sunda yang tidak banyak diketahui dan beberapa kata yang memang terdengar asing di telinga anak muda sunda saat ini, maka perlahan bahasa sunda “karuhun” itu mulai ditinggalkan. Sehingga hasilnya adalah seperti saat ini, bahasa sunda pasar. Campur sari dengan bahasa daerah lainnya atau bahasa “slank”. Tetapi itulah yang umum digunakan oleh kebanyakan orang sunda saat ini. Sebabnya, karena bahasa sunda pasar itu yang ternyata praktis dan mudah dimengerti. Walaupun, di satu sisi, ada saja “budayawan garda terdepan penjaga adat istiadat nenek moyang berumur 50 tahun ke atas” yang selalu mengeluh dan mengeluh tentang tiadanya kesadaran anak muda menjaga tradisinya. Budayawan-budayawan bangkotan itu seringkali mengeluh dengan berpijak dari perasaannya ketika melihat banyaknya pemakaian bahasa sunda pasar oleh mayoritas anak muda saat ini.

Saya pikir, sang budayawan bangkotan setidaknya harus belajar menerima kenyataan, bahwa bahasa sunda karuhun yang dia gemari itu ternyata tidak digemari oleh anak muda sunda di jaman sekarang. Jaman berubah, semuanya tidak akan sama lagi.

Dokumentasi dan Minat Baca

Daripada banyak mengeluh mengenai ketakutan akan hilangnya “akar tradisi dan adat istiadat suatu daerah” disebabkan punahnya bahasa daerah, lebih baik dilakukan sebuah langkah aktif. Setidaknya, ada dua masalah yang cukup penting terkait dengan masalah bahasa daerah ini, yakni dokumentasi dan minat baca.

Seperti telah ditulis di atas, bahasa hanyalah sebuah alat untuk berkomunikasi. Seperti manusia yang selalu mengalami perubahan, begitupun dengan bahasa. Seiring perubahan yang terjadi dalam diri manusia, tidak tertutup kemungkinan sebuah bahasa akan hilang atau sebaliknya, berkembang. Maka dari itu, pengenalan akan kegiatan dokumentasi menjadi penting disini. Salah satu contoh kecilnya, sebutlah kamus bahasa daerah. Kamus berperan penting untuk mendokumentasikan kosakata-kosakata yang terdapat dalam bahasa daerah. Biarlah bahasa daerah musnah, karena jumlah penuturnya berkurang atau tidak ada, asalkan kosakata bahasa daerah tersebut sudah tercetak dalam sebuah kamus, sehingga dapat menjadi pengetahuan bagi generasi selanjutnya. Dengan begitu, walaupun sebuah generasi baru itu tidak lagi paham mengenai bahasa daerah yang sudah atau hampir punah, namun generasi itu masih bisa mengetahui tentang eksistensi sebuah bahasa daerah yang dulu pernah ada.

Dokumentasi itu tidak hanya dalam bentuk kamus saja, bisa juga dalam bentuk karya sastra dan kebudayaan. Kiprah Pusat Bahasa yang berhasil memetakan 442 bahasa dari 2.185 daerah, seperti yang diberitakan juga oleh Kompas, merupakan hal yang patut diapresiasi. Walaupun masih jauh dari sempurna, karena nyatanya masih ada sekitar 304 bahasa daerah di Indonesia belum selesai dipetakan.

Kesadaran akan pentingnya dokumentasi dikalangan masyarakat menjadi hal yang penting di sini. Untuk menumbuhkan kesadaran dokumentasi tersebut, maka yang perlu dilakukan pertama kali adalah menumbuhkan minat dan cinta membaca. Siapapun tahu, dengan membaca, maka cakrawala dunia terbuka. Para nelayan di pulau Madura bisa mengetahui sebuah gua bernama Hira di daratan Arab jauh di sana, karena ia pernah membaca terjemahan kitab al quran yang salah satu isinya menceritakan tempat yang biasa dipakai Nabi Muhammad untuk merenung. Seorang mahasiswa dari Indramayu mengetahui ada sebuah aliran kristen bernama Mormon di daratan Amerika sana, setelah sebelumnya dia membaca laporan seorang wartawan yang meliput mengenai kelompok yang mempunyai dua kitab suci ini di sebuah majalah.

Intinya, punahnya bahasa daerah disebabkan tidak ada lagi penutur bukanlah sebuah masalah. Tetapi masalah sebenarnya adalah ketika tidak ada lagi kesadaran serta pengetahuan mengenai pentingnya dokumentasi dan membaca. Dua hal itulah yang berpotensi menyebabkan hilangnya akar sebuah kebudayaan daerah. Bukan penutur yang tidak ada lagi.

12 komentar:

kania laksita mengatakan...

gw ga bisa ngomong bahasa daerah mana pun... huh. hehehe.

ndoro ndro mengatakan...

puguh peda eweuh penutur na!
rada ngetes bo ah. hehe...

abo si eta tea mengatakan...

tah eta. jigana missed di masalah redaksi ieu mah.

jadi, maksudna...hilangnya bahasa teh emang penyebab utama na ga ada penutur. urang sepakat pisan.
nah, tapi di media massa atau di obrolan sehari-hari, banyak pihak yang menyesalkan hilangnya bahasa gara-gara ga ada penutur. penutur ga bisa disalahin terus-terusan, da bahasa mah sifatnya dinamis. gimana situasi si manusia yang berkomunikasi (mun dijelaskeun beuki panjang, hoream).
Nah, di tulisan ieu teh, argumen urang teh, bahasa yang dah hampir punah di dokumentasikan. biar bisa jadi sumber pengetahuan jang batur. argumen urang, lebih dititik beratkeun ka masalah dokumentasi dan minat baca. sebabna, pan rada kurang dua hal eta teh di masyarakat indo mah. belum berkembang.

biarin aja, bahasa hampir punah gara-gara penutur makin sedikit. tapi, bahasa yang hampir punah itu kalau bisa didokumentasikan. gitu. kabayang teu?

kania laksita mengatakan...

budaya bersifat dinamis dan ada hal-hal yang ga bisa terelak jaman ya bo?

abo si eta tea mengatakan...

yup.
menurut lo gmn, Kan? ada pendapat lain?

kania laksita mengatakan...

kalo kata gw, sebenernya gw setuju ama ide di postingan lo..kalo dipikir2, susah juga mengharapkan anak muda (contohnya anak muda bersuku Sunda) masih menguasai bahasa Sunda yang lemes. karena, dari temen2 gw aja cuma segelintir yang bisa sunda lemes (itupun akibat habit di rumah), sisanya? kasar semua...
berlaku untuk ancient culture yang laen. sering disebut sebagai heritage, yg berarti warisan, berarti belum tentu bisa diterapkan skr...

serba salah juga ya, di satu sisi, sayang banget ketika mendapati budaya harus terkikis jaman, di sisi lain, dunia memang dinamis dan tidak bisa dielakkan karena itu terjadi dengan tidak disadari...

memang benar kata lo, penutur tidak bisa disalahkan. yang susah tu di Indonesia sebenernya memberikan pengetahuan kepada (terutama anak kecil) masyarakat berpendidikan tentang budaya. selama ini, kita selalu disetani untuk melestarikan budaya, tapi pengetahuan tentang budaya itu sendiri menurut gw masih belum kena. praktik, iya. tapi yg penting di balik budaya kita (termasuk bahasa) itu kan ideologinya yang bisa memberi banyak pelajaran. PENGETAHUAN itulah yang masih belum dijadikan umum d sini. orang yang berminat, mencari tahu sendiri, orang yang ga berminat, sebodo amat yang penting gw idup di indonesia toh walopun budayanya punah...

pengemasan pengetahuannya mungkin bo...mengingat minat baca di negara kita juga dianggap budaya 'nerdy' ato 'geeky', hahaha, jadi emang kudu dicekokin terutama anak2 yang masi sekolah. gimana caranya mereka tertarik terhadap pelajaran mengenai budaya asli indonesia...kumaha nya? lieur oge...

panjang amat komen gw, tapi ngalor ngidul...hahahahaa...asik nih dijadiin bahan diskusi!

kania laksita mengatakan...

pengetahuannya bukan berarti untuk harus melestarikan ya bo...
tapi menguasai makna di balik budaya itu yang akan membuat kita(juga mereka) mampu bercerita kembali mengenai falsafah budaya kita. gw bilang bukan untuk harus melestarikan karena berbicara pada konteks: budaya-budaya yang hampir punah.
bingung juga dilestarikan mo seperti apa, contoh bahasa Sunda yang lo bilang hampir punah itu. heheheeee....

abo si eta tea mengatakan...

he. ini yang selama ini gua yakinin. walaupun, ada pertentangan sebenernya kalau ngobrol di konteks 'dokumentasi'. menganggap dunia berjalan dinamis, maka kita melihat ke depan. sedangkan dokumentasi, sebaliknya.

tapi, ngeliat ke depan terus juga ga akan seimbang tanpa melihat ke belakang. jadi dokumentasi teh seolah-olah ngasih semacam pegangan...dan pengetahuan itu tadi.

makanya...jangan pernah remehkan jurusan perpus! hehe.

afwan albasit mengatakan...

seueurna mah urang indonesia teh sok isin ngocoblak nganggo basa indung. gengsi saurna mah bilih disebat urang kampung. janten we budaya teh teu kawaris ka putra putu da sepuhna oge nan sok ngajak nyarios putrana nganggo basa urang dayeuh (indonesia).padahal basa urang dayeuh ge teu acan puguh leres jeung henteuna.tah, nu mawi abdi mah sareng kulawargi nuju dimana-mana oge nyarios mah ku basa indung we. iwal ti upami abdi mayunan jalmi nu teu tiasa bahasa indung abdi, nembe nganggo bahasa persatuan....sanes kitu kang???!!!

afwan albasit mengatakan...

tah pamikiran sapertos kitu nu kedah dilereskeun heula upami pamarentah hoyong yen bahasa indung nu aya di sakuriling nusantara teh moal ilang..mung sanes eta hungkul ketang, seueur keneh ihwal ilangna basa indung (abdi nyebat ilangna basa indung, sanes penutur). pokokna mah abdi setuju pisan sareng kang abo,,kedah seueur didokumentasikeun...

astri arsita mengatakan...

Memang penelitiannya bagaimana sih bo sampai mereka bisa berkesimpulan begitu? Sering denger sih katanya bahasa daerah mau punah, tapi aku enggak terinformasi dengan baik soal penelitiannya itu.... *wondering.

Kalau saya pribadi berpendapan bahasa adalah alat komunikasi. Tujuan komunikasi itu menyampaikan pesan dan diharapkan efektif, sehingga makna dan maksud komunikator dapat tersampaikan dengan baik. Jadi, selama bahasa yang digunakan sukses menjadi alat komunkasi yang efektif sih aku setuju setuju saja. Toh, bahasa pun harus disesuaikan dengan komunikatee-nya kan.

Dan bukankah bahasa dibuat untuk memudahkan manusia berkomunikasi?

Mengenai ide abo aku setuju, sebagai salah satu cara menghargai apa yang pernah ada, bukti sejarah lah.... Sok atuh bo, segera buat tim untuk melakukannya, bikin proposal, siapa tahu dapat dana. Jadi sekalian 'berbuat baik" dapat 'kebaikan'. hehehehe...

abo si eta tea mengatakan...

ga tau proses penelitiannya gimana, cil...yang tau mah langsung kesimpulannya weh. Hehe