Senin, 11 Mei 2009

Eh, Dia Lagi

Lelaki itu kembali lagi ke rumah. Kali ini rambutnya nampak jelas memutih. Dia terlihat tua sekarang. Fisiknya memang banyak berubah. Terutama kondisinya yang tidak fit seperti dulu saat masih muda. Namun demikian, ada satu hal yang tidak pernah berubah dari dirinya, yaitu perilakunya yang pendiam. Aku membayangkan dia sebagai lelaki pembawa kesunyian. Berada di dekatnya, seperti berada di gunung Pangrango: tidak terdengar suara angin maupun binatang. Semuanya begitu sunyi. Dan kesunyian lelaki itu seolah-olah tidak lekang oleh waktu.

Terkadang, saya tidak tahu harus marah atau tidak dengan perilakunya itu. Hanya saja, ia selalu bergumul dengan pikirannya sendiri dan tingkah polahnya benar-benar sulit diprediksi. Berada di dekatnya, terkadang lelah hanya untuk menerka apa yang dipikirkan atau diinginkannya. Kalau mau diperbuas, semua yang ada didirinya bisa disebut misteri.

Selain itu, seringkali dia memaksakan kehendaknya. Dan kehendaknya itu, seringkali tidak pas benar dengan apa yang ku mau. Di masa remaja, seringkali kali aku kesal luar biasa bila lelaki itu datang ke rumah. Lebih baik ku bergabung dengan teman-teman sekolah, daripada di dalam rumah dekat dengan dirinya. Namun demikian, terkadang kehendaknya yang terasa memaksa pada awalnya itu, setelah digugu, ternyata terasa manfaatnya. Dan itu yang membuatku kesal.

Itu dulu, waktu jaman sekolah. Sekarang, sebenarnya bukan kesal yang mendominasi, walaupun kadarnya tidak hilang sepenuhnya. Hanya saja, akhir-akhir ini terasa ada cara pandang baru yang tumbuh, ketika berhadapan dengan lelaki itu. Sulit juga untuk dirunutkan seperti bagaimana cara pandang baru itu. Tetapi, garis besarnya adalah seputar kata “menerima”. Pasrah saja menerima apa yang dia lakukan. Lebih baik kuikuti kemauannya, walaupun berat di hati. Lebih baik mencoba memahaminya, walaupun seringkali kesal luar biasa. Lebih baik tidak memikirkan perilakunya yang seringkali tidak terduga itu. Menerima saja. 

Bagaimana pun, dia semakin jelas menua.

Di sisi lain, selalu ada rasa iba juga bila melihat kehidupan lelaki itu sekarang. Apalagi ketika melihat beberapa keinginannya tidak tercapai, karena fisiknya yang melemah termakan usia. Dan sepertinya tidak baik juga bila kehidupannya terus dibebani oleh kehidupanku. Walaupun, kenyataannya, kehidupanku masih jadi beban baginya. Uang kuliah saja masih dia yang bayar.

Mengikuti alurnya sajalah.

4 komentar:

senni tamara mengatakan...

iya booo...nurut ajah nuruut...hehe

abo si eta tea mengatakan...

lieur ah, sen. haha

ndoro ndro mengatakan...

jd inget buku na andrea hirata, aya carita bapa na si Ikal teh pendiem abis, tp si ikal bisa nemuin keindahan di balik diemnya itu...
anda lieur? mari mabok...

abo si eta tea mengatakan...

lah...mabok...mabok...mabok...