Empat puluh lima hari melaksanakan job training ini merupakan sebuah pengalaman yang cukup berbekas bagi saya. saya memiliki kesempatan untuk menulis di sepuluh rubrik yang ada, yakni Cover Story, Headline, Megapolitan Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Lifestyle, Bisnis, Bandung Square, Music and Movie, Healthy, dan Bandung Ekspres Junior. Dalam kurun waktu tersebut, tulisan berita yang dimuat sebanyak 74 dan karya foto (foto berita dan bukan) sebanyak 94. Ada juga berita yang tidak dimuat sebanyak tiga berita.
Selama pelaksanaan job, saya merasa dididik cukup keras. Sepertinya pihak redaksi BE kekurangan wartawan, sehingga kami diperlakukan seperti wartawan betulan. Kami ditugasi kesana-kemari. Bahkan bila ada peristiwa besar pun, kami turut ditugaskan. Contohnya, seperti kejadian jatuhnya pesawat Fokker di bandara Husein Sastranegara beberapa waktu lalu. Saya disuruh stand by di RS Salamun hingga sekitar pukul 22.00 WIB.
Saya masih ingat, saat itu pukul 17.00 WIB dan hujan deras mengguyur Kota Bandung. Awak redaksi terlihat cukup sibuk. Bukan pemandangan yang seperti biasanya di kantor saat itu. Air hujan yang menimpa atap kantor menimbulkan suara yang cukup berisik, sehingga kesibukan itu terlihat semakin menegangkan. Belakangan saya ketahui dari Kang Handri, ada pesawat militer jatuh. Baru saja saya beres mengetik berita tentang wacana relokasi Factory Outlet dari Dago ke Gedebage, Kang Handri menyuruh saya untuk merapat ke RS Salamun. Membantu wartawan BE yang sudah ada disana duluan, yakni Huyogo Gabriel Yohanes Simbolon atau biasa dipanggil Hugo.
Hujan masih deras mengguyur. Para redaktur beserta asisten redaktur yang ada di ruang kerja menatap saya. Tiba-tiba perut saya mules dan jantung berdegup cukup keras. Ini peristiwa besar, kata saya dalam hati. Terasa beberapa asisten redaktur ada yang enggan untuk melepas saya meliput. Mungkin karena menganggap saya adalah mahasiswa magang, bukan wartawan. Sehingga mereka kasihan untuk menugaskan saya ke RS Salamun. Apalagi hujan sangat deras mengguyur saat itu. Tetapi, sebenarnya saya tidak ingin dianggap berbeda dengan wartawan lainnya. Saya ingin dianggap sama, sehingga saya bisa merasakan dunia kewartawanan sesungguhnya. Pak Holis Sutandy, salah satu asisten redaktur, menawarkan saya jas hujan anti air yang dimilikinya sesaat setelah saya keluar dari ruangan redaksi. Tetapi saya tolak. Sebenarnya saya malu dan juga risih, saya tidak ingin dianak emaskan. Sialnya, saya juga tidak memiliki jas hujan. Namun, untunglah rekan saya Damar memiliki jas hujan. Langsung saja saya pinjam jas hujannya.
Hujan deras yang mengguyur saat itu membuatku kesal sekaligus repot. Tapi saya labrak saja. Yang penting, saya bisa secepatnya sampai di RS Salamun. Selama mengendarai motor, hujan menghalangi pemandangan saya. Jas hujan anti air milik Damar juga ternyata tidak anti air, tetap saja tembus. Dingin benar-benar menusuk badan. Setibanya di RS Salamun sekitar pukul 18.00 WIB, suasana terlihat riuh dan menegangkan. Puluhan wartawan berkumpul di depan pintu masuk RS Salamun. Ada yang menenteng kamera, ada yang sibuk menulis di notebooknya, dan juga ada yang sekadar mengobrol dengan sesama rekan wartawan. Di RS Salamun juga saya bertemu dengan rekan job lainnya dari PR Fm, yakni Hendro Susilo dan Ajeng Pinto.
Terdengar kabar, bahwa wartawan tidak boleh masuk ke RS Salamun, sehingga mereka semua berkumpul saja di depan pintu masuk. Penasaran. Saya mencoba untuk masuk. Di pintu masuk, terlihat sekitar tiga orang perwira TNI AU sedang berjaga-jaga. Saya mencoba untuk tenang, semakin saya mendekati pintu masuk, perwira TNI AU itu lalu memelototi saya.
“Mau kemana?!”, kata salah seorang perwira menghentikan saya.
Sebenarnya, bila ditilik-tilik, perwira itu seumuran dengan saya. Terlihat dari raut wajahnya. Lalu, saat perwira tersebut menghentikan saya, terlihat juga raut ketakutan dari wajah mereka. Mungkin mereka sama kaget dan juga tegangnya seperti saya. Tetapi, karena terlihat takut itulah, saya pikir perwira itu tidak terlihat seperti TNI benar. Sama saja dengan saya. Manusia yang sedang tegang dan takut.
“Mau kedalam. Ketemu teman,” kata saya kepada perwira itu dengan tetap mencoba terlihat setenang mungkin. Perwira tersebut melihat saya dari ujung kaki hingga kepala. Lalu dia melihat tas saya yang besar.
“Itu dalamnya apa?! Kamera?!” katanya dengan intonasi yang cukup tinggi ala tentara. Saya langsung gugup. Saya diam cukup lama. Perwira itu kembali bertanya tentang isi tas saya.
“Iya, kamera,” saya jawab dengan bodoh.
Seharusnya tidak demikian jawabannya. Tapi sudah terlanjur. Perwira tersebut menanyakan apakah saya seorang wartawan. Saya amini, bahwa saya seorang wartawan. Sebenarnya ini pun jawaban yang bodoh, karena dengan begitu, saya tidak bisa memasuki RS Salamun.
Setelah ditolak masuk oleh perwira itu, saya kembali ke depan pintu masuk. Bergabung dengan wartawan lainnya dan juga rekan job, Hendro dan Ajeng.
“Seharusnya busana yang dikenakan tidak menyerupai wartawan, sehingga perwira itu tidak akan curiga,” kata Hendro saat itu.
Saya tidak mengerti maksud “busana yang tidak menyerupai wartawan”, tetapi bila saya melihat ke wartawan yang ada di sekitar, umumnya mereka membawa tas besar untuk kamera, pakaian kaos atau kemeja yang kasual, terlihat sibuk sendiri atau merenung. Sedangkan busana saya saat itu adalah busana dan celana panjang jeans biasa. Juga menggendong tas biasa. Namun bedanya, semua itu basah kuyup gara-gara perjalanan dari kantor ke RS Salamun.
Saya mencoba mengontak Hugo yang telah terlebih dahulu tiba di RS Salamun. Ternyata dia sudah ada di dalam rumah sakit. Hugo sudah dari sore di RS. Sekitar pukul 15.00 WIB. Sore itu penjagaan tidak seketat seperti yang saya alami, sehingga Hugo bisa leluasa memasuki RS Salamun. Sambil menunggu Hugo keluar, saya menjepret momen di sekitar RS Salamun dan mencoba mencari jalan masuk lainnya bersama Hendro, namun tidak berhasil. Saat itu, bersama Hendro, saya memutari rumah sakit. Ternyata bagian belakang RS Salamun menjadi tempat transit evakuasi jenazah dari Bandara Husein Sastranegara. Beberapa kali ambulans datang dan pergi mengantar mayat. Seperti di pintu masuk, bagian belakang RS Salamun itupun dijaga ketat. Ada wartawan juga berkumpul di situ. Melalui pagar yang dijaga ketat, saya melihat tenda tempat mayat diidentifikasi oleh tim forensik RSHS. Mayat-mayat tersebut dibungkus oleh kantong plastik. Saat berbincang-bincang dengan salah satu pegawai RS Salamun, pegawai itu mengatakan kondisi mayat benar-benar buruk. Kebanyakan badan sudah tidak utuh, karena terkoyak atau tercabik. Cukup mengerikan bila mendengar cerita pegawai itu.
Diam dibelakang RS Salamun tersebut hasilnya akan sama saja seperti menunggu di depan pintu masuk: tidak akan mendapat hasil apa-apa. Akhirnya saya dan Hendro sepakat untuk kembali lagi ke pintu masuk RS Salamun di bagian depan. Tidak beberapa lama, terlihat Hugo keluar dari pintu masuk. Ternyata kamera serta kartu identitas Hugo ditahan di pos penjaga. Sesaat setelah mengambil kamera dan kartu identitas, Hugo terlihat mencari-cari sesuatu. Dia lalu masuk ke bagian gawat darurat yang terletak di luar pintu masuk. Hugo terlihat berbincang-bincang dengan perawat ruang gawat darurat. Ternyata Hugo mencari seorang keluarga korban yang ada di sana. Namun apes baginya, karena keluarga korban tersebut sudah kembali lagi masuk ke bangsal tempat seluruh keluarga korban berkumpul di dalam RS Salamun. Sudah tidak memungkinkan lagi bagi Hugo untuk masuk ke dalam RS Salamun, setelah dia keluar. Akhirnya dia hanya diam di depan pintu masuk, sama seperti wartawan lainnya. Sayang sekali.
Belakangan diketahui, keluarga korban yang dicari oleh Hugo itu adalah seorang perempuan yang juga adalah teman SMP saya dulu. Namanya Amalia Fuji. Ironis bagi Amalia ini. Dia baru saja tunangan dengan salah satu korban kecelakaan Fokker 27. Hal itu saya ketahui, ketika bertemu dengan salah seorang kawan saya bernama Amythia Safitri di RS Salamun. Amy baru saja menjenguk Amalia. Hari itu saya tidak bertemu dengan Amalia. Pekerjaan saya saat itu hanya bulak-balik di depan pintu masuk RS Salamun.
....(Bersambung).
Selama pelaksanaan job, saya merasa dididik cukup keras. Sepertinya pihak redaksi BE kekurangan wartawan, sehingga kami diperlakukan seperti wartawan betulan. Kami ditugasi kesana-kemari. Bahkan bila ada peristiwa besar pun, kami turut ditugaskan. Contohnya, seperti kejadian jatuhnya pesawat Fokker di bandara Husein Sastranegara beberapa waktu lalu. Saya disuruh stand by di RS Salamun hingga sekitar pukul 22.00 WIB.
Saya masih ingat, saat itu pukul 17.00 WIB dan hujan deras mengguyur Kota Bandung. Awak redaksi terlihat cukup sibuk. Bukan pemandangan yang seperti biasanya di kantor saat itu. Air hujan yang menimpa atap kantor menimbulkan suara yang cukup berisik, sehingga kesibukan itu terlihat semakin menegangkan. Belakangan saya ketahui dari Kang Handri, ada pesawat militer jatuh. Baru saja saya beres mengetik berita tentang wacana relokasi Factory Outlet dari Dago ke Gedebage, Kang Handri menyuruh saya untuk merapat ke RS Salamun. Membantu wartawan BE yang sudah ada disana duluan, yakni Huyogo Gabriel Yohanes Simbolon atau biasa dipanggil Hugo.
Hujan masih deras mengguyur. Para redaktur beserta asisten redaktur yang ada di ruang kerja menatap saya. Tiba-tiba perut saya mules dan jantung berdegup cukup keras. Ini peristiwa besar, kata saya dalam hati. Terasa beberapa asisten redaktur ada yang enggan untuk melepas saya meliput. Mungkin karena menganggap saya adalah mahasiswa magang, bukan wartawan. Sehingga mereka kasihan untuk menugaskan saya ke RS Salamun. Apalagi hujan sangat deras mengguyur saat itu. Tetapi, sebenarnya saya tidak ingin dianggap berbeda dengan wartawan lainnya. Saya ingin dianggap sama, sehingga saya bisa merasakan dunia kewartawanan sesungguhnya. Pak Holis Sutandy, salah satu asisten redaktur, menawarkan saya jas hujan anti air yang dimilikinya sesaat setelah saya keluar dari ruangan redaksi. Tetapi saya tolak. Sebenarnya saya malu dan juga risih, saya tidak ingin dianak emaskan. Sialnya, saya juga tidak memiliki jas hujan. Namun, untunglah rekan saya Damar memiliki jas hujan. Langsung saja saya pinjam jas hujannya.
Hujan deras yang mengguyur saat itu membuatku kesal sekaligus repot. Tapi saya labrak saja. Yang penting, saya bisa secepatnya sampai di RS Salamun. Selama mengendarai motor, hujan menghalangi pemandangan saya. Jas hujan anti air milik Damar juga ternyata tidak anti air, tetap saja tembus. Dingin benar-benar menusuk badan. Setibanya di RS Salamun sekitar pukul 18.00 WIB, suasana terlihat riuh dan menegangkan. Puluhan wartawan berkumpul di depan pintu masuk RS Salamun. Ada yang menenteng kamera, ada yang sibuk menulis di notebooknya, dan juga ada yang sekadar mengobrol dengan sesama rekan wartawan. Di RS Salamun juga saya bertemu dengan rekan job lainnya dari PR Fm, yakni Hendro Susilo dan Ajeng Pinto.
Terdengar kabar, bahwa wartawan tidak boleh masuk ke RS Salamun, sehingga mereka semua berkumpul saja di depan pintu masuk. Penasaran. Saya mencoba untuk masuk. Di pintu masuk, terlihat sekitar tiga orang perwira TNI AU sedang berjaga-jaga. Saya mencoba untuk tenang, semakin saya mendekati pintu masuk, perwira TNI AU itu lalu memelototi saya.
“Mau kemana?!”, kata salah seorang perwira menghentikan saya.
Sebenarnya, bila ditilik-tilik, perwira itu seumuran dengan saya. Terlihat dari raut wajahnya. Lalu, saat perwira tersebut menghentikan saya, terlihat juga raut ketakutan dari wajah mereka. Mungkin mereka sama kaget dan juga tegangnya seperti saya. Tetapi, karena terlihat takut itulah, saya pikir perwira itu tidak terlihat seperti TNI benar. Sama saja dengan saya. Manusia yang sedang tegang dan takut.
“Mau kedalam. Ketemu teman,” kata saya kepada perwira itu dengan tetap mencoba terlihat setenang mungkin. Perwira tersebut melihat saya dari ujung kaki hingga kepala. Lalu dia melihat tas saya yang besar.
“Itu dalamnya apa?! Kamera?!” katanya dengan intonasi yang cukup tinggi ala tentara. Saya langsung gugup. Saya diam cukup lama. Perwira itu kembali bertanya tentang isi tas saya.
“Iya, kamera,” saya jawab dengan bodoh.
Seharusnya tidak demikian jawabannya. Tapi sudah terlanjur. Perwira tersebut menanyakan apakah saya seorang wartawan. Saya amini, bahwa saya seorang wartawan. Sebenarnya ini pun jawaban yang bodoh, karena dengan begitu, saya tidak bisa memasuki RS Salamun.
Setelah ditolak masuk oleh perwira itu, saya kembali ke depan pintu masuk. Bergabung dengan wartawan lainnya dan juga rekan job, Hendro dan Ajeng.
“Seharusnya busana yang dikenakan tidak menyerupai wartawan, sehingga perwira itu tidak akan curiga,” kata Hendro saat itu.
Saya tidak mengerti maksud “busana yang tidak menyerupai wartawan”, tetapi bila saya melihat ke wartawan yang ada di sekitar, umumnya mereka membawa tas besar untuk kamera, pakaian kaos atau kemeja yang kasual, terlihat sibuk sendiri atau merenung. Sedangkan busana saya saat itu adalah busana dan celana panjang jeans biasa. Juga menggendong tas biasa. Namun bedanya, semua itu basah kuyup gara-gara perjalanan dari kantor ke RS Salamun.
Saya mencoba mengontak Hugo yang telah terlebih dahulu tiba di RS Salamun. Ternyata dia sudah ada di dalam rumah sakit. Hugo sudah dari sore di RS. Sekitar pukul 15.00 WIB. Sore itu penjagaan tidak seketat seperti yang saya alami, sehingga Hugo bisa leluasa memasuki RS Salamun. Sambil menunggu Hugo keluar, saya menjepret momen di sekitar RS Salamun dan mencoba mencari jalan masuk lainnya bersama Hendro, namun tidak berhasil. Saat itu, bersama Hendro, saya memutari rumah sakit. Ternyata bagian belakang RS Salamun menjadi tempat transit evakuasi jenazah dari Bandara Husein Sastranegara. Beberapa kali ambulans datang dan pergi mengantar mayat. Seperti di pintu masuk, bagian belakang RS Salamun itupun dijaga ketat. Ada wartawan juga berkumpul di situ. Melalui pagar yang dijaga ketat, saya melihat tenda tempat mayat diidentifikasi oleh tim forensik RSHS. Mayat-mayat tersebut dibungkus oleh kantong plastik. Saat berbincang-bincang dengan salah satu pegawai RS Salamun, pegawai itu mengatakan kondisi mayat benar-benar buruk. Kebanyakan badan sudah tidak utuh, karena terkoyak atau tercabik. Cukup mengerikan bila mendengar cerita pegawai itu.
Diam dibelakang RS Salamun tersebut hasilnya akan sama saja seperti menunggu di depan pintu masuk: tidak akan mendapat hasil apa-apa. Akhirnya saya dan Hendro sepakat untuk kembali lagi ke pintu masuk RS Salamun di bagian depan. Tidak beberapa lama, terlihat Hugo keluar dari pintu masuk. Ternyata kamera serta kartu identitas Hugo ditahan di pos penjaga. Sesaat setelah mengambil kamera dan kartu identitas, Hugo terlihat mencari-cari sesuatu. Dia lalu masuk ke bagian gawat darurat yang terletak di luar pintu masuk. Hugo terlihat berbincang-bincang dengan perawat ruang gawat darurat. Ternyata Hugo mencari seorang keluarga korban yang ada di sana. Namun apes baginya, karena keluarga korban tersebut sudah kembali lagi masuk ke bangsal tempat seluruh keluarga korban berkumpul di dalam RS Salamun. Sudah tidak memungkinkan lagi bagi Hugo untuk masuk ke dalam RS Salamun, setelah dia keluar. Akhirnya dia hanya diam di depan pintu masuk, sama seperti wartawan lainnya. Sayang sekali.
Belakangan diketahui, keluarga korban yang dicari oleh Hugo itu adalah seorang perempuan yang juga adalah teman SMP saya dulu. Namanya Amalia Fuji. Ironis bagi Amalia ini. Dia baru saja tunangan dengan salah satu korban kecelakaan Fokker 27. Hal itu saya ketahui, ketika bertemu dengan salah seorang kawan saya bernama Amythia Safitri di RS Salamun. Amy baru saja menjenguk Amalia. Hari itu saya tidak bertemu dengan Amalia. Pekerjaan saya saat itu hanya bulak-balik di depan pintu masuk RS Salamun.
....(Bersambung).
3 komentar:
naha laporan job dikumpulken di MP? haha...
aing ngiluan ieu nepi jam 11 tp teu reportase. asa konyol euy...
daripada kertas laporan job didaur ulang jadi bungkus gorengan, mending di upload di ranah maya, brother! haha
wayahna loer. si sabar. tulisan urang ge teu naek. hehe
Posting Komentar