Sabtu, 23 Mei 2009

Refleksi Job (Bag. 2)

Tidak beberapa lama, terlihat lagi ambulans datang dan bergerak menuju ke arah belakang RS Salamun. Hugo meminta saya untuk mengikuti dan memotret ambulan yang baru datang itu. Saya patuhi perintahnya dan segera balik lagi ke belakang RS Salamun. Namun demikian, ambulan itu tidak terkejar. Mobil itu keburu masuk ke dalam. Lagi-lagi saya terdiam di balik pagar. Berbeda dengan pertama kali saya mendatangi tempat itu, kali ini tidak seramai saat pertama kali. Sudah sepi dari kerumunan wartawan dan warga sekitar. Saya lalu berteduh di pos satpam yang terletak di dekat situ. Hari sudah gelap. Hujan tidak sederas seperti sore. Saat itu saya benar-benar kedinginan dan juga lapar. Saya melamun, memikirkan peristiwa-peristiwa yang terasa cepat dan menegangkan ini. Tiba-tiba Hugo menelepon. Dia akan kembali ke kantor. Sedangkan saya disuruh standby di RS Salamun dan mencari keluarga korban bernama Amalia itu. Jantung saya kembali berdegup kencang. Bagaimana saya mencarinya. Pintu masuk masih dijaga ketat.

    “Tidak tahu bagaimana caranya, pokoknya kamu cari keluarga korban itu!” kata Hugo lewat telepon. Saya iyakan perintahnya, walaupun dalam hati, saya bingung dan gugup luar biasa.

    Setelah menerima telepon itu, saya kembali ke pintu masuk depan RS Salamun. Waktu itu, saya meminjam motor Hendro. Jarak antara bagian belakang dan depan RS Salamun cukup jauh bila ditempuh dengan jalan kaki. Namun demikian, tidak akan terasa jauh bila ditempuh memakai motor. Tetapi, hujan gerimis saat itu, membuatku kerepotan juga ketika mengendarai motor. Pada akhirnya, saya harus merelakan seluruh badan saya basah kuyup.

    Saat itu sekitar pukul 20.00 WIB. Hugo sudah kembali ke kantor untuk menulis berita. Saya masih diam di RS Salamun bersama Hendro dan Pinto. Kang Handri menelepon saya. Menyuruh untuk diam di RS Salamun dan mewawancarai keluarga korban yang datang. Saya amini. Suasana malam itu di RS Salamun cukup berbekas bagi saya. Kebingungan dan ketegangan yang saya rasakan saat itu benar-benar sebuah pengalaman baru bagiku. Saya cukup kesal, karena tidak diperbolehkan masuk saat itu. Saya terus saja melihat pintu masuk yang dijaga oleh perwira TNI AU tersebut. Disela-sela penantian, Pinto bercerita padaku, ada seorang wartawan Kompas yang berhasil masuk ke RS Salamun. Saya tidak mengerti, bagaimana wartawan Kompas itu bisa melewati penjagaan perwira TNI AU di pintu masuk. Mungkin perkataan Hendro ada benarnya. Bila saja pakaian yang kukenakan saat itu tidak basah kuyup dan berantakan amat, mungkin aku bisa masuk.

    Tidak beberapa lama, terlihat ada beberapa keluarga korban yang datang. Keluarga korban yang sedang berjalan menuju pintu masuk RS Salamun itu langsung dikerubungi oleh wartawan. Blitz dan cahaya sorot dari kamera, ditambah riuh wartawan yang mengajukan pertanyaan, membuat suasana semakin hectic. Saya hanya diam saja dan mengikuti kerumunan wartawan itu. Saya hanya mendengarkan apa-apa saja yang dibicarakan oleh keluarga korban dan yang ditanyakan oleh wartawan. Ada perasaan takut untuk bertanya juga, ketika melihat wajah para keluarga korban yang sendu. Pikiran mereka pastinya sedang kacau, mengetahui ada orang terdekat meninggal karena kecelakaan. Dan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan para wartawan itu tidak akan mengurangi kesedihan mereka. Sekeras apa pun para wartawan mencoba untuk bersimpati.

    Sebenarnya, saya tidak ingin mengerjakan tugas mewawancarai keluarga korban ini. Selain akses yang sulit, suasana saat itu juga bagi keluarga korban tentunya merupakan suasana yang sulit. Mereka sedang berduka. Ada perasaan yang mengganggu pikiran saya, ketika saya misalnya mewawancarai mereka dan menggali perasaan mereka yang sedang berduka itu. Lalu setelahnya, dicetak di sebuah suratkabar untuk dibeli oleh pembaca. Walaupun bisa memakai alasan “it’s public right to get the information”, tetapi rasanya hanya seperti menjual kesedihan orang lain untuk meningkatkan tiras surat kabar. Menjual duka demi keuntungan koran. Pikiran seperti itu yang ada didalam benak selama peristiwa berlangsung.

    Tidak beberapa lama, Kang Handri menelepon. Menanyakan apakah saya sudah mendapat wawancara keluarga korban. Saya bilang saja belum, karena akses yang sulit. Kang Handri bertanya lagi mengenai berita apa saja yang didapat selama saya diam di RS Salamun. Saya bilang padanya, bahwa saya hanya mendapat statement dari gubernur yang menjenguk ke RS Salamun dan seseorang yang kebingungan mengenai daftar nama korban yang rupanya mirip dengan saudaranya. Kang Handri lalu menyuruh saya kembali ke kantor. Saat itu pukul 22.00 WIB. Hendro dan Pinto masih diam di RS Salamun. Saya lalu pamitan pada mereka dan segera merapat ke kantor untuk menulis berita.

    Di kantor, saya bertemu dengan Hugo yang masih menulis berita. Ada perasaan tidak enak juga padanya, mengingat saya tidak berhasil mewawancarai keluarga korban. Saya sampaikan pada Hugo, bahwa saya tidak berhasil mendapatkan keluarga korban. Hugo hanya memandang saya dan mengangguk. Dia lalu kembali mengetik. Saya tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Hugo tentang saya. Tetapi, saya sudah tidak memikirkan apa-apa. Saya hanya ingin menyelesaikan tulisan dan kembali ke rumah untuk istirahat. Saya belum istirahat betul dari pagi. Tubuh benar-benar lelah. Saat itu pukul 22.30 WIB. Tulisan diselesaikan, kira-kira pukul 23.00 WIB.

    Rekan saya, Damar, juga ternyata ditugaskan untuk meliput kecelakaan Fokker 27. Dia ditugaskan bersama wartawan BE, Donny Wahyu Ramdani, ke RSHS. Sama seperti saya, mereka tidak mendapat hasil apa-apa, kecuali statement dari pihak TNI AU. Damar mengatakan pada saya bahwa suasana di RSHS saat itu benar-benar tegang. Dia sendiri hingga takut. Mungkin karena saat itu pihak tentara yang memberikan statement, sehingga memberi pengaruh secara psikologis juga.

    Setelah merokok dan ngobrol sebentar dengan yang lainnya, saya lalu pulang dan tiba ke rumah sekitar pukul 01.00 WIB. Besoknya jam delapan pagi saya sudah berada di kantor lagi. Hari itu cukup sial juga, berita yang saya tulis mengenai statemen gubernur dan seseorang yang kebingungan mencari saudaranya tidak dimuat. Ada berbagai dugaan dalam benak saya mengapa berita tidak dimuat: ruang yang terbatas atau memang berita yang saya dapatkan tidak penting bagi koran tempat saya job training. Saya tidak memikirkan lebih jauh lagi mengapa berita yang saya tulis tidak dimuat. Saya cukup lelah untuk memikirkannya.

   Di kantor saat itu sudah ada asisten redaktur, Nanang Sungkawa. Hari itu giliran Pak Nanang yang piket pagi di kantor untuk memberikan proyeksi pada para wartawan dan mahasiswa job training. Saya beserta Pak Nanang dan Damar membicarakan tentang tindak lanjut dari kecelakaan Fokker 27. Pada awalnya, Pak Nanang menyuruh kami untuk mencari keluarga korban. Dalam hati, saya sudah malas mendengar tugas itu. Saya mencoba menelepon Amy, teman saya yang bertemu di RS Salamun kemarin malam. Telepon tidak di angkat-angkat olehnya. Entahlah, mungkin dia juga malas menerima telepon saya, karena mengetahui bahwa saya pasti ingin mengejar Amalia. Berkali-kali saya telepon tetap tidak diangkat. Akhirnya Pak Nanang menugaskan kami untuk mencari ahli penerbang yang bisa mengomentari kecelakaan ini. Dalam hati saya lega mendengarnya.

    Lebih baik mencari tahu mengenai sebab-musabab kecelakaan Fokker 27, daripada menggali duka para keluarga korban. Dari satu sisi, human interest yang ada dalam duka para keluarga korban itu tentunya memiliki daya jual. Tapi di sisi yang lain, saya ragu, apakah mengekspos duka keluarga korban merupakan hal yang etis untuk dilakukan.

    Akhirnya, saya dan Damar mengerjakan tugas yang diberikan oleh Pak Nanang. Damar langsung merapat ke ITB mencari pakar aeronautika, sedangkan saya merapat ke Universitas Nurtanio yang terletak dekat Bandara Husein Sastranegara. Saat itu saya mewawancarai dosen Fakultas Teknik Penerbangan Unnur, Godfried Suprianto. Berita mengenai kecelakaan Fokker 27 ini nantinya disatukan dengan tulisan Damar dan juga tulisan lainnya dari jaringan Jawa Pos Grup.    

....(Bersambung).

Tidak ada komentar: