Demi masa, demikian yang tertulis di kitab suci, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Ada nada ancaman sekaligus peringatan di dalamnya. Dan memang dalam kitab itu secara berulang-ulang ditegaskan, segala sesuatu yang termaktub di dalamnya memanglah sebuah peringatan. Entah kenapa perulangan akan peringatan itu begitu di tekankan. Apakah memang manusia pada dasarnya bebal? Mudah sekali dibelokan ketika ia mengarungi kehidupan profan ini?
Dan terhadap teks-teks yang ada di kitab itupun telah banyak orang yang menafsirkannya. Dari sekian banyak tafsir yang dilakukan ada dua arus besar yang mendominasi, di antaranya adalah mereka yang menganggap, sudahlah, hidup memang begini. Tidak ada kuasa apapun bagi seorang manusia untuk melakukan apapun. Karena toh, ia memang tidak punya kuasa. Segala sesuatunya sudah di tetapkan. Toh kita hanya bisa melanjutkan hidup untuk kemudian mati.
Di sisi yang lain, berkata tidak. Sebenarnya hidup kita tidak begitu-begitu amat, katanya. Kita mempunyai kebebasan, sebuah freedom of choice. Pasti ada sebuah alasan kenapa kita harus dilahirkan. Dan untuk sebuah alasan ini lah, kita bertebaran di muka bumi. Mencari dalam ketidaktenangan, kesusahan dan lain-lain yang bersinonim dengan ketidaktentraman. Bagaimanapun, sebuah jalan menuju kebenaran hanya satu. Jalan setapak. Dan mereka yang bertebaran itu, suatu ketika akan menuju jalan itu. terlepas dari beribu-ribu jalan yang terbentang di muka bumi ini. Dan itulah sebuah alasan di balik alasan kenapa kita diberi kebebasan, katanya.
Dan saya tidak mau ikut nimrung dalam dua kubu pemikiran itu, walaupun pikiran ini lebih condong kepada sisi yang berkata tidak. Hanya saja, diantara waktu-waktu yang terasa cepat berlalu, ada kegetaran saat membaca kalam itu. Di satu sisi, ada rasa tidak berdaya. Sebuah kecemasan kenapa segala sesuatu harus berlalu dengan cepat. Merasa sia-sia mengingat hal-hal apa saja yang dilewati.
Mungkin hal ini menjadi alasan kenapa kalam itu terus mengulangi dirinya sebagai sebuah peringatan. Manusia tidak nyaman bila diberi peringatan, karena itu berarti secara tidak langsung kelemahan yang ada di dalam dirinya sendiri disingkapkan. Dan menyangkut kelemahan, ia tidak ingin diketahui oleh orang lain, bahkan diri sendiri. Diri sendiri pun takut padanya. Tetapi seringkali apa-apa yang disingkapkan itu begitu dalam. Ia menelanjangi kita. Membuat diri sangat tidak nyaman.
Sepertinya kebenaran itu tidak pernah kompromi dengan yang namanya waktu. Waktu boleh cepat berlalu, tapi kebenaran seakan-akan terus membayang tak perduli waktu itu telah lama berlalu. Kuatkah saya menghadapi kebenaran?
Dan terhadap teks-teks yang ada di kitab itupun telah banyak orang yang menafsirkannya. Dari sekian banyak tafsir yang dilakukan ada dua arus besar yang mendominasi, di antaranya adalah mereka yang menganggap, sudahlah, hidup memang begini. Tidak ada kuasa apapun bagi seorang manusia untuk melakukan apapun. Karena toh, ia memang tidak punya kuasa. Segala sesuatunya sudah di tetapkan. Toh kita hanya bisa melanjutkan hidup untuk kemudian mati.
Di sisi yang lain, berkata tidak. Sebenarnya hidup kita tidak begitu-begitu amat, katanya. Kita mempunyai kebebasan, sebuah freedom of choice. Pasti ada sebuah alasan kenapa kita harus dilahirkan. Dan untuk sebuah alasan ini lah, kita bertebaran di muka bumi. Mencari dalam ketidaktenangan, kesusahan dan lain-lain yang bersinonim dengan ketidaktentraman. Bagaimanapun, sebuah jalan menuju kebenaran hanya satu. Jalan setapak. Dan mereka yang bertebaran itu, suatu ketika akan menuju jalan itu. terlepas dari beribu-ribu jalan yang terbentang di muka bumi ini. Dan itulah sebuah alasan di balik alasan kenapa kita diberi kebebasan, katanya.
Dan saya tidak mau ikut nimrung dalam dua kubu pemikiran itu, walaupun pikiran ini lebih condong kepada sisi yang berkata tidak. Hanya saja, diantara waktu-waktu yang terasa cepat berlalu, ada kegetaran saat membaca kalam itu. Di satu sisi, ada rasa tidak berdaya. Sebuah kecemasan kenapa segala sesuatu harus berlalu dengan cepat. Merasa sia-sia mengingat hal-hal apa saja yang dilewati.
Mungkin hal ini menjadi alasan kenapa kalam itu terus mengulangi dirinya sebagai sebuah peringatan. Manusia tidak nyaman bila diberi peringatan, karena itu berarti secara tidak langsung kelemahan yang ada di dalam dirinya sendiri disingkapkan. Dan menyangkut kelemahan, ia tidak ingin diketahui oleh orang lain, bahkan diri sendiri. Diri sendiri pun takut padanya. Tetapi seringkali apa-apa yang disingkapkan itu begitu dalam. Ia menelanjangi kita. Membuat diri sangat tidak nyaman.
Sepertinya kebenaran itu tidak pernah kompromi dengan yang namanya waktu. Waktu boleh cepat berlalu, tapi kebenaran seakan-akan terus membayang tak perduli waktu itu telah lama berlalu. Kuatkah saya menghadapi kebenaran?
5 komentar:
moal kuat bo. mending berdamai dengan setan. haha...
daripada berdamai, mending 'in a relationship' jeung satan.
daripada berdamai, mending 'in a relationship' jeung satan.
tai! emang setan daek bobogohan jeung maneh? haha...
urang na si nu embung. ghoib teuing euy.
Posting Komentar