Minggu, 26 September 2010

George's Secret Key to the Universe


"Semua saling jatuh ke arah satu sama lain di alam semesta"
(Lucy & Stephen Hawking)

Kandang di halaman belakang rumah ternyata kosong melompong. Freddy, si babi berwarna pink telah hilang. George kecil tentu saja cemas mengetahui piaraannya telah raib. Sedangkan hanya babi itulah teman bermainnya selama ini.

Sabtu, 25 September 2010

Kunci Rahasia George ke Alam Semesta

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Science Fiction & Fantasy
Author:Lucy & Stephen Hawking
"Semua saling jatuh ke arah satu sama lain di alam semesta" (Lucy & Stephen Hawking)

Kandang di halaman belakang rumah ternyata kosong melompong. Freddy, si babi berwarna pink telah hilang. George kecil tentu saja cemas mengetahui piaraannya telah raib. Sedangkan hanya babi itulah teman bermainnya selama ini. George memang tidak tumbuh dalam lingkungan yang sama dengan anak-anak seusianya. Kedua orang tuanya adalah aktivitis lingkungan radikal yang menjalani gaya hidup primitivisme. Dalam artian, kedua orang tua George seminimal mungkin menggunakan teknologi dalam kehidupan sehari-harinya. Mulai dari makanan sehari-hari yang diolah langsung dari alam tanpa perantaraan teknologi masak dan bumbu penyedap, hingga penolakan terhadap pemakaian komputer, dan penggunaan listrik. Alhasil bila malam tiba, rumah George hanya dihias oleh cahaya yang berasal dari lilin saja. Gaya hidup yang dijalani kedua orang tuanya itu membuat George terkucil dari lingkungannya, dan George sendiripun memendam perasaan kesepian. Keadaan terkucil dan kesepian itu diperparah lagi dengan hilangnya Freddy. Bagi George, hilangnya Freddy hanya akan membuat hidupnya semakin terasa membosankan, karena tidak ada teman dan hiburan lagi yang layak bagi dirinya.

Namun demikian, tepat dibelakang kandang, terdapat jejak kaki Freddy yang mengarah ke rumah tetangganya yang dikenal tak terurus dan misterius. Banyak mitos yang dialamatkan ke rumah itu, dan mitos itu tidaklah mengenakan untuk didengar. Namun, tergerak oleh keinginan untuk menemukan sumber kebahagiannya selama ini, George nekat untuk menerabas ke rumah yang tidak terurus itu. Berusaha menemukan Freddy kembali. Tak disangka, disitu George malah menemukan sebuah peristiwa yang mengubah perspektifnya. Dia mendapatkan pengetahuan mengenai rahasia alam semesta. Dari sinilah petualangan George dimulai. Petualangan dalam menguak misteri luasnya galaksi di alam semesta.


***
Stephen Hawking adalah nama yang membuat saya tergerak untuk membaca buku ini pada awalnya. Mas Hawking adalah seorang fisikawan yang diakui kehebatannya setelah Mas Einstein. Akhir-akhir ini dia baru saja menghebohkan publik luas, terutama kalangan agamawan, melalui statementnya dalam bukunya yang terbaru, yakni "the Grand Design". Dalam bukunya itu, Mas Hawking menyatakan, bahwa alam semesta terjadi dari serangkaian peristiwa hukum alam semesta , seperti daya tarik gravitasi. Karena adanya hukum gravitasi itu, setiap materi akan saling tarik-menarik, dan alam semesta akan tercipta dengan sendirinya. Mas Hawking menyebutkan, bahwa penciptaan yang spontanlah alasan mengapa sesuatu itu ada, mengapa alam semesta bisa ada. Tuhan tidak pada tempatnya harus dibawa-bawa dalam masalah penciptaan alam semesta ini. Bisa dibilang, dalam statementnya di "the Grand Design" itu, Mas Hawking "membangkitkan lagi dari kuburan abad medieval", suatu perdebatan antara ilmu pengetahuan dan agama.

Pertamanya, saya berniat mencari buku "the Grand Design" itu. Namun ternyata, harus dipesan terlebih dahulu, dan harganya pun cukup mahal. Tetapi, salah seorang pegawai toko buku itu menyorongkan novel Mas Hawking terbitan tahun 2007, yang ditulis bersama anaknya, Lucy Hawking, yakni "George's Secret Key to the Universe" atau "Kunci Rahasia George ke Alam Semesta" dalam bahasa Indonesia. Sebagai pengenalan terlebih dulu tentang Mas Hawking ini mungkin ada baiknya novel ini dibaca dulu, pikir saya.

Ternyata, novel untuk anak-anak ini sangat menarik. Hukum-hukum fisika dikemas dengan wajah yang ramah, dan mudah dicerna oleh orang awam. Didalam novel ini, kamu akan mendapatkan pengetahuan mengenai asal-usul alam semesta, materi-materi yang ada di alam semesta, pergerakan planet, hukum gravitasi, hingga, ini yang paling menarik, serba-serbi lubang hitam! Dalam seksi mengenai lubang hitam ini, dipaparkan sebuah fakta ilmiah baru mengenai lubang hitam. Dimana, tidak seperti anggapan orang kebanyakan mengenai lubang hitam, bahwa setiap benda yang masuk ke dalam lubang hitam akan terperangkap selama-lamanya. Ternyata, anggapan demikian tidak benar. Benda yang masuk kedalam lubang hitam bisa keluar, karena pengaruh fluktuasi dalam ruang dan waktu. Dengan fluktuasi tersebut, lubang hitam secara perlahan akan melepaskan benda-benda yang sebelumnya ditarik oleh daya gravitasi lubang hitam dalam bentuk radiasi. Pelepasan benda dalam bentuk radiasi itu akan tergantung dari ukuran massa lubang hitam itu sendiri. Semakin kecil massa lubang hitam, semakin cepatlah pelepasan benda itu terjadi. Sebaliknya, semakin besar massa lubang hitam itu, semakin lambat pelepasan benda dalam bentuk radiasi.

Bahkan, lubang hitam itu sendiri nyatanya tidaklah abadi. Seiring pelepasan benda-benda dalam lubang hitam dalam bentuk radiasi ini, perlahan lubang hitam itu akan menguap. Penguapan ini juga tentunya dipengaruhi oleh besar-kecilnya massa lubang hitam itu sendiri.

Edas. Mengagumkan ternyata, saudara-saudari....


***
Ada satu lagi cerita yang mengesankan dari buku ini. Yaitu, ketika membahas tentang asal-usul alam semesta. Salah satu tokohnya menyebutkan, bahwa kita - umat manusia - sesungguhnya merupakan "anak-anak bintang". Ungkapan ini bisa dibilang indah secara metafora, dan juga benar secara harfiah, bila kita melihatnya dari bagaimana alam semesta ini bisa terbentuk. Gunung, awan, pantai, diri kita (manusia), bulan, planet, hingga meteor, bisa terbentuk setelah melalui proses yang telah berlangsung jutaan bahkan miliaran tahun sebelumnya. Semuanya bermula, ketika setiap partikel-partikel yang ada di awan gas saling tarik-menarik dan membentuk suatu gumpalan awan gas yang padat, karena termampatkan oleh tarik-menarik antar partikel itu. Bersamaan semakin padat gumpalan awan gas itu, semakin panaslah dia. Sehingga pada akhirnya, menyebabkan lapisan terluar dari gumpalan awan gas yang padat itu meledak dan terlempar kesegala penjuru. Sedangkan lapisan inti dari gumpalan awan gas itu menjadi bintang, atau di bumi kita menyebutnya matahari. Lapisan-lapisan terluar dari gumpalan awan gas yang telah terlempar itu, dengan melalui proses yang memakan waktu triliunan tahun lamanya, perlahan membentuk sistem tata surya yang kita kenal selama ini.

Dilihat dari proses pembentukan alam semesta yang telah berlangsung lama itu, dapat dimengerti, ketika manusia dijuluki sebagai anak-anak bintang. Ada elemen-elemen dari bintang dalam diri manusia. Elemen-elemen yang tercipta dari ledakan awan gas di alam semesta bermiliar-miliaran tahun yang lalu. Sungguh menakjubkan.

Dari sinilah, saya baru 'ngeh' tentang bagaimana posisi manusia dan keterkaitannya dengan alam semesta. Bahwa manusia bukanlah spesies yang terisolasi, terpisah dari lingkungannya. Manusia itu sendiri adalah bagian dari hukum-hukum alam semesta. Kita terkoneksi dengan segala yang ada dilingkungan kita. Saling terpengaruhi. Kita dan lingkungan kita, memiliki satu genesis yang sama...yang tercipta dari suatu hukum alam semesta.

Brutal.

Kalau ada buku yang menggugah orang lain untuk mempelajari fisika dalam kaitannya dengan misteri alam semesta, dan juga buku yang mendidik manusia tentang siapa dirinya dan lingkungannya, saya kira buku ini patut disebut.

Kamis, 23 September 2010

Warp Riders

Rating:★★★★★
Category:Music
Genre: Childrens Music
Artist:the Sword
Tiba-tiba saja Ereth menemukan planet yang ditinggalinya selama ini, yaitu planet Archeron, berada dalam marabahaya. Sebagian dari planet Archeron hangus terbakar oleh tiga matahari yang menjadi bintang Archeron selama ini. Ereth lantas berkelana menuju galaksi antah berantah untuk menyelamatkan diri. Namun ditengah-tengah perjalanannya itu, Ereth bertemu dengan Choronomancer. Makhluk yang 'melampaui ruang dan waktu'. Dalam pertemuannya dengan Choronomancer itu, Ereth ternyata mendapatkan tugas yang penting bagi kelangsungan hidupnya dan juga kelestarian sukunya di planet Archeron, yaitu menyeimbangkan kosmos planet Archeron. Tugas yang diberikan oleh Chronomancer ini nyatanya bukan tugas yang mudah, karena dalam menuntaskannya, Ereth harus mengahadapi rintangan-rintangan. Dia harus berhadapan dengan ksatria mistis, penyihir misterius, android jaman purba, dan bajak laut galaksi. Kesemuanya itu harus dihadapi oleh Ereth, karena dengan begitu, Ereth dapat mengembalikan keseimbangan planet Archeron yang terancam hancur.

Goddammit. Absurd!

Itulah garis besar cerita yang ada dibalik album ketiga the Sword, "Warp Riders". Dalam album barunya ini, mereka melakukan perubahan yang cukup besar. Dimulai dari album yang digarap secara konseptual dengan memfokuskan tema pada genre fiksi, seperti cerita Ereth diatas. Dan pola kesepuluh lagu yang ada di "Warp Riders" , dimana polanya disetting untuk menggambarkan cerita mengenai perjalanan Ereth dalam menyelamatkan planetnya.

Sejauh ini, "Warp Riders" memang album yang absurd bila dilihat dari konsep. Coba saja kamu bayangkan, bagaimana jadinya perpaduan antara musik heavy metal, dan cerita fiksi yang berlatar luar angkasa. Belum lagi makhluk-makhluk absurd yang diceritakan di "Warp Riders" yang, bila dilihat dari logika ruang dan waktu sejarah, sangat-sangat absurd (mana ada Android di jaman purba?). Tetapi, mungkin fiksi memang begitu. Khalayan bebas, bung!

Walau absurd, tetapi dari segi musik, the Sword semakin berkembang dan berkualitas sangat baik. Dimulai dari sentuhan hard rock '70an lengkap dengan lick, groove, dan, tentu saja, heaviness! Kesemua unsur itu tertata dengan baik di album ini. Kamu akan merasakan musik yang memompa adrenalin, dan sound yang membuatmu serasa ingin bertingkah edan-edanan. Enerjik! Sejauh ini, "Warp Riders" merupakan rilisan yang terbaik dari the Sword. Riff-riffnya unik, agresif, dan sangat catchy untuk ukuran heavy metal. Sangat direkomendasikan bila kamu ingin mencari semangat yang dibungkus dengan sentuhan heavy metal, hard rock, dan riff-riff yang mematikan.

Aaaarrggghhh, i dig "Warp Riders" very much! nuff said.


===========================================================

Silahkan menuju link dibawah ini bila tertarik:
http://www.megaupload.com/?d=XQMS1CG8

Rabu, 15 September 2010

H +2

"Ga ada hubungannya lebaran sama pacaran...siapa cepat dia dapat," ujarnya sambil menghembuskan asap rokoknya yang terakhir.

Api rokok yang sudah menyentuh filternya itu lantas buru-buru dia matikan. Kemudian dia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebungkus rokok. Sebatang rokok dia ambil lagi, lalu menyalakannya dengan menggunakan korek api batangan.

"Yah, mumpung masih dalam rangka bulan keramat umat muslim," ujarku "kait-kaitkan saja momentum itu dengan peristiwa jadiannya."

"Wasweswos...euweuh. Euweuh hubunganna!" bales dia lagi. Keukeuh.

Sayapun tidak ingin mendebatnya, karena memang dia betul. Tidak ada kaitannya hari raya Idul Fitri dengan seseorang yang disukai tiba-tiba sudah menjalin hubungan dengan orang lain. Kait-mengkaitkan itu hanya pikiran iseng saya saja. Pikir saya saat itu, mungkin yang sudah jadi pacarnya saat ini bisa menganggap momen ini sebagai berkah Ramadhan. Seperti di iklan-iklan itu, yang mengaitkan berkah Ramadhan dengan kuis berhadiah jutaan rupiah. Namun bedanya kali ini, hadiahnya lebih menarik dari doorprize berupa uang. Hadiahnya seseorang yang kamu sukai. Tidak ada yang lebih menyenangkan, ketika seorang individu bebas, yang memiliki pikiran dan hidupnya sendiri, mau masuk menuju kehidupanmu, dan berbagi kehidupannya denganmu. Membuka rahasia hidupnya kepadamu, tidak kepada orang lain.

Tapi, Iya tak tertarik melihat hal-hal sentimentil semacam itu. Pikiran dia simpel dan memiliki batas: tak ada hubungan antara perayaan Idul Fitri dan cerita bagaimana seseorang yang disukai tiba-tiba sudah memiliki hubungan dengan orang lain. Semua hanya masalah kecepatan. Perasaan sentimentil tak perlu dilebih-lebihkan melampaui beberapa "hukum pokok" yang ada di dunia ini, seperti hukum "kecepatan" itu, misalnya.

Namun, sebagai seseorang yang sedang sentimentil mengetahui bagaimana seseorang yang disukainya sudah bersama dengan orang lain, saya hanya ingin berbicara apa saja. Termasuk kait-mengaitkan masalah berkah Ramadhan ini. Walaupun memang omong kosong juga. Tetapi sebagai pelipur lara mungkin bisa berguna. Setidaknya sebagai bahan lelucon.

Sebagai hiburan bagi diri sendiri, hukum "kecepatan" yang dilontarkan Iya juga kuterima-terima saja. Tanpa beban, tanpa sesuatu apapun. Toh, bila dipikir-pikir, saya juga memang baru saja memulai. Kurang lebih dua minggu sebelum lebaran, aku baru saja bisa kenal. Namun setelah perkenalan itu, tidak ada tatap muka. Hanya sebatas melalui omong kosong "pesan elektronik".

Baru saja kenal, mungkin mulai perlahan dulu. Jangan langsung mengajak keluar, pikirku saat itu. Toh, akupun tidak bisa memulai bila aku merasa belum siap.

Tetapi, kadang semuanya selalu berjalan rancak. Ada saja kejutan disana-sini. Seperti yang kualami hari ini. Semuanya tiba-tiba lepas tak menentu.

"Hikmahnya...untung belum terlalu jauh," ujarku pada Iya.

"Tah eta pisan...untung belum terlalu jauh!" balasnya. Akhirnya sepakat dengan pikiranku.

Tentu saja Iya sepakat dengan pikiranku. Setelah menjalani hubungan selama empat tahun, sang pacar memutuskan secara sepihak hubungannya dengan Iya. Tentu saja Iya uring-uringan. Tentu saja Iya paham betul, ketika berkata, "tah eta pisan...untung belum terlalu jauh!"

Aku baru mengetahui Iya sudah putus minggu-minggu ini. Sedangkan kejadiannya sendiri sudah lewat dua bulan. Selama hampir sebulan penuh dia galau tak menentu. Malamnya selalu dihabiskan dengan berjam-jam mengeluh kepada Arya, seorang teman lainnya. Kubayangkan bagaimana keluhan Iya itu menjadi keluhan yang panjang. Terbayang bagaimana raut wajah Iya yang terlihat bolon, ketika dia duduk berhadap-hadapan dengan Arya. Terbayang suasana kamar Arya menjadi serius, sembari kepulan asap rokok mengepul disana-sini. Pasti akan menjadi keluhan yang tidak ada habisnya, kalau boleh disebut. Dan selama keluhan itu tidak ada habisnya, makin tidak berguna jadinya, karena terus-menerus diulang.

"Sekarang mah sudah rada mendinganlah. Ga kaya kemarin-kemarin," kata Iya, ketika kutanya keadaannya.

Hmm, masalah hubungan-hubungan semacam ini sebenarnya masalah yang cukup mengesalkan juga buatku. Walaupun selama ini aku mencoba menyederhanakan semuanya, namun, ketika gilirannya, ada saja hal yang membuatnya terlihat rumit. Mungkin, sebenarnya semuanya bisa berjalan dengan sederhana, namun kesederhanaan itu seringkali tertutupi oleh pikiran-pikiran tertentu yang tumbuh di dalam kepala. Membuatnya terlihat rumit. Sehingga membuatku kesal sendiri.

"Sabar ajalah," kata Iya, "lain kali, kalau ketemu seseorang lagi, langsung hajar aja. Ga usah nyari tetek bengek semacam timing-timing segala," katanya.

Aku hanya tersenyum. Tidak tahu harus berbicara apa lagi.

Dalam hati aku tak sependapat dengannya. Bagaimanapun, bila aku yang memulai...aku harus merasa yakin. Dengan begitu, aku bisa mantap memulai. Sehingga pada waktunya nanti, tak ada kebimbangan-kebimbangan yang tak perlu. Aku dapat menjalani keyakinanku.

Namun, tampaknya, seperti semua hal yang berjalan di dunia ini, konsekuensi-konsekuensi selalu ada bagi setiap pilihan dan tindakan. Seperti hari ini, ketika cuaca mendung, ketika waktu berputar sedemikian cepatnya, ketika sebuah niat tak lagi terealisasikan, ketika rasa cemas menggelayuti hati, ketika ada ruang kosong yang eksis dalam harapan yang menguap, ketika dia pada akhirnya pergi bersama orang lain.

Flood

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Other
Artist:Boris
Hanya ada ombak yang memisahkan apa yang seharusnya bisa disatukan. Dan pasir pantai yang terlihat dikejauhan sana...hamparan pasir putih itulah yang paling mungkin dijelang. Entah apa yang terhampar di teluk pantai disana. Mungkinkah suku asli yang tak diketahui...pulau yang tak pernah nampak dalam peta...kawasan yang terlupakan?

Begitu tenang laut ini setelah hantaman demi hantaman air laut dihadapi dalam badai semalam.

Kuingat-ingat lagi tentang kejadian semalam, tentang betapa alam dengan sekali gerak nyatanya dengan mudah menghancurkan kapal yang katanya kokoh itu. Dengan satu hempasan ombak yang menggila, kreasi umat manusia yang telah turun-temurun dilestarikan itu hancur dalam sekejap. Betapa ironis. Demi negara...demi keagungan nama raja dan ratu, kapal itu sedianya harus memberi bukti akan pencapaian kuasa manusia. Dengan ekspansi yang ditempuh kapal melintasi laut yang liar menuju teritori yang tak diketahui. Dengan mengangkut awak manusia yang sebelumnya telah diberkati utusan Tuhan yang menjelma dalam insan raja dan ratu untuk pencarian harta kekayaan di dunia yang gelap gulita...semuanya remuk dalam sekejap. Dalam satu hempasan badai laut gila. Bukti pencapaian manusia itu, dengan miris, sekarang hanya berupa serpihan-serpihan kayu yang terserak di berbagai penjuru laut...

Dari sekian kayu yang terserak, yang terpencar dilautan luas itu...pecahan kayu kapal ini, yang sekarang ku bergantung padanya, adalah salah satu bukti betapa buasnya laut dalam badai di kegelapan. Sekarang, kayu ini seumpama serpihan yang retak...dan juga rapuh...namun kayu ini juga yang menyelamatkanku, dan oleh dorongan arus laut, sekarang membawaku menuju teluk pantai yang sepi dan tak menentu itu....

Oh, betapa tenangnya ku terombang-ambing, walaupun rasa remuk disekujur tubuh dan haus tak terhingga menyelimuti diri ini...pecahan kayu kupeluk semakin erat. Tak ingin kuberpisah dengannya hingga ku bisa menepi. Ku mulai membayangkan bagaimana nanti aku di tepi pantai itu...apa yang kulakukan nanti, apa yang mungkin kutemui nanti?

Oh, betapa tenangnya alur air ini...kubersyukur kuterhindar dari badai laut gila itu...oh, laut...fantasi mulai muncul didalam kepala...tentang sesuatu yang indah...tentang sesuatu yang serupa denganmu...yang juga menghanyutkan sepertimu...Oh, laut...aku mulai membayangkan sesuatu menyerupaimu...sesuatu bernama...Boris.

========================================================
terbawa hanyut menuju bibir pantai:
http://www.megaupload.com/?d=ngedi81h

Sabtu, 04 September 2010

Industri Musik

Panas terik siang hari di musim shaum tentu bikin haus. Apalagi melihat perempuan itu melenggang dihadapanku siang itu. Membuat diri ini tambah haus. Haus dalam artian yang Budi Darma tulis dalam Olenka: haus ingin memperlakukan tubuh perempuan itu seperti selembar peta. Kemudian menuding-nuding bagian tubuhnya bagaikan seorang guru ilmu bumi menuding kota-kota di atas peta. Menelusur jalan yang menghubungkan satu kota dengan kota lain, satu danau dengan danau lain, satu bukit dengan bukit lain, satu dataran rendah dengan dataran rendah lain, kemudian berseru, "Hei, inilah jalan menuju surga!" [1]

Kamis, 02 September 2010

Hell is Full of Musical Amateurs

Panas terik siang hari di musim shaum tentu bikin haus. Apalagi melihat perempuan itu melenggang dihadapanku siang itu. Membuat diri ini tambah haus. Haus dalam artian yang Budi Darma tulis dalam Olenka: haus ingin memperlakukan tubuh perempuan itu seperti selembar peta. Kemudian menuding-nuding bagian tubuhnya bagaikan seorang guru ilmu bumi menuding kota-kota di atas peta. Menelusur jalan yang menghubungkan satu kota dengan kota lain, satu danau dengan danau lain, satu bukit dengan bukit lain, satu dataran rendah dengan dataran rendah lain, kemudian berseru, "Hei, inilah jalan menuju surga!"  [1]

Bagaimana tidak. Perawakannya sungguh sintal. Langsing teramat sangat. Lekukan tubuhnya...amboi. La Guitarra Espanola. Membuat pikiran ini bergerak liar ke arah yang tak menentu.

Siang itu dia berjalan dengan santai. Melenggok begitu halusnya. Soenggoehpoen. Para lelaki yang siang itu terlihat tenggelam dalam pekerjaan kantornya, mau tidak mau, harus mengalihkan pandangan pada perempuan itu. Kalau bisa, mengalihkan pandangannya selama mungkin. Begitupun dengan saya. Saya tidak ingin melepaskan pandangan saya kepada perempuan itu sedikitpun. Dia yang telah susah payah berdandan, akan mubazir bila tidak dinikmati olehku.

"Temenku juga ada tuh yang lebih kurus dari dia," tiba-tiba temanku, dia perempuan, nyeletuk.

Cukup kaget juga mendengar temanku berbicara seperti itu. Dari apa yang kulihat siang itu, tubuh perempuan yang kulihat itu sudah tergolong sangat "tipis". Tak terbayang lagi bila ternyata ada perempuan yang lebih "tipis" darinya.

"Temenku itu sama perusahaan rekamannya dikasih semacam treatment gitu. Buat ngelangsingin badan. Pokonya buat treatment tubuh. Termasuk dikasih suntikan pemutih wajah kaya gitu," ujar temanku lagi.

Dari sini, perhatian saya untuk perempuan sintal itu menjadi teralihkan kepada apa yang temanku itu bicarakan. Obrolannya menarik. "Wah, perusahaan rekaman temen kamu sampai segitunya? Terus temen kamu itu gimana, ngerasa terkekang ga jadinya?" tanyaku kemudian.

"Ya enggalah. Mereka sih seneng-seneng aja. Namanya juga cewek. Dibuat cantik, pasti seneng," jawab temanku lagi.

Pikiran saya langsung campur aduk disitu. Suntikan pemutih wajah, treatment untuk melangsingkan tubuh...semuanya berputar-putar didalam kepala. Waw, bukannya itu tugas orang-orang salon? Apa urusannya perusahaan rekaman yang harusnya mengurus musik, hingga harus mengkhawatirkan tubuh para musisinya? Lalu kenapa para musisi itu juga rela saja tubuhnya diperlakukan sedemikian rupa hanya untuk mengikuti strategi perusahaan rekaman demi meningkatkan penjualan sebuah album? Semua pertanyaan itu bermunculan di kepala.

Temannya temanku ini berada dalam sebuah band. Seluruh personilnya adalah kaum hawa. Nama bandnya kurasa tidak perlu disebut disini. Pastinya, setelah lebaran usai, band temannya temanku itu dijadwalkan akan melakukan launching album perdananya. Nah, dalam kepentingan launching itulah, perusahaan rekamannya mengeluarkan dana tambahan untuk treatment para personilnya agar terlihat lebih kurus, terawat, dan cantik. Setidaknya menurut temanku begitu.

"Mereka sekarang sudah berubah banyak sih," kata temanku melanjutkan, "sekarang lagi banyak gaul sama artis yang sudah terkenal. Soalnya kalau ga gitu, mereka ga akan diliat ma orang."

Disini saya tak bisa menahan ketawa. Sungguh puas saya ketawa. Bersamaan dengan itu, saya teringat dengan band saya sendiri. Saya bersyukur selama ini tidak perlu mengkhawatirkan masalah tetek bengek penjualan seperti itu.  Saya bersyukur bisa bermain musik dengan kawan-kawan band saya dengan lepas. Aku beruntung bisa menemukan orang-orang yang memiliki visi yang sama. Semenjak awal, kami tidak berencana memperkaya diri sendiri dengan uang dari band ini. Kami tidak berniat menjadi 'musisi profesional'. Jadinya tidak ada tuntutan yang aneh dan macam-macam seperti itu. Kami hanya ingin memainkan doom metal sekeras mungkin, hingga batas kemampuan diri kami sendiri. Walaupun, ritme bermusik kami tidak intens, tetapi kami masih memiliki hasrat. Karena yang terpenting dari musik memang itu, hasrat.

Ini bukan berarti menghakimi, bahwa band temannya temanku itu adalah band yang personilnya tidak memiliki hasrat semua. Ya, mungkin mereka memiliki hasrat. Bisa juga mereka hanya 'merasa' memiliki hasrat. Tetapi, sejujurnya, masalah hasrat itu akan selalu kuragukan. Masalahnya, beberapa temanku yang 'go pro' dalam bermusik dengan cara masuk ke dunia industri, selalu mengeluh dan mengeluh tentang cara kerja industri musik. Selalu saja mengeluh bila mereka berkunjung ke tempatku. Sampai bosan aku dibuatnya. Keluhan mereka terutama berkutat di masalah bagaimana pihak label rekaman terlalu mencampuri urusan aransemen lagu. Bahkan hingga reffrain pun diotak-atik sedemikian rupa dengan satu tujuan: mencari bagian yang gampang diingat oleh pendengar. Karena dengan begitu, diharapkan nama band akan teringat juga, dan selanjutnya, bisa mendongkrak penjualan album.

Keluhan yang didasari oleh gagasan yang absurd buat saya sejujurnya, dan sangat jauh dari kata berhasrat...

Walaupun demikian, temanku itu parahnya tidak ada yang mencoba memikirkan, bahwa ada yang tidak beres dari cara kerja industri seperti itu. Mereka menganggapnya, bahwa hal seperti itu sudah selayaknya diterima bagi mereka yang ingin 'concern' di dunia musik profesional. Bagiku, parahnya mereka seakan-akan dimakan oleh mitos-mitos seperti 'tenggang rasa'. Bahwa, dalam membikin musik kita tidak boleh egois, tetapi kita juga harus memikirkan selera pendengar.

Ini omong kosong. Logika seperti ini adalah logika bagian pemasaran, bukan musisi.

Dari jaman Viking pun, musik hadir sebagai ekspresi jiwa seseorang. Bukan masalah tenggang rasa dari pedagang kepada selera konsumen. Untuk masalah pendengar, mereka akan mengikuti dengan sendirinya. Bila pendengar merasa ada 'hubungan' dengan musik yang dibuat oleh musisi, mereka juga akan mengikutinya.

Terlepas dari banyak atau sedikit kuantitas pendengar.

Masalahnya, 'musisi-musisi profesional' itu selalu membayangkan dalam pikiran mereka, bahwa pendengar adalah sekelompok orang dengan kuantitas yang besar. Selalu saja dikejar-kejar oleh fantasi akan keberhasilan dan kesuksesan. Karena dengan kuantitas pendengar yang banyak, itu berarti musik mereka diterima luas. Padahal, saya yakin, dibalik alasan itu, adalah kekayaan berupa uang yang mereka cari.

Memang apa sih sukses? apa berhasil? Saya yakin, jawaban yang utama adalah menimbun uang, uang, dan uang lebih banyak lagi.   

Manggung dalam sebuah tempat parkir kecil yang hanya dihadiri oleh sekitar 20 orang pengunjung, pasti bukan kriteria kesukesan para musisi. Manggung di sebuah studio kecil di daerah buah batu dengan penonton sekitar 15 orang juga pasti akan jauh dari definisi sukses dalam bermusik. Setidaknya begitu yang ada di benak musisi profesional. Tetapi, bagiku lebih baik seperti itu. Tidak ada yang lebih menyenangkan, ketika kamu memainkan lagumu sendiri dengan ditonton oleh mereka yang mengetahui kita selayaknya seorang teman lama. Karena penonton bukan sekadar angka statistik, penonton adalah mereka yang mengapresiasi cara kerja kamu. Terhubung dengan karya kamu. Merekalah yang akan melebur bersama dirimu di tempat konser. Karena merekalah, keakraban tercipta. Dan pertemanan baru tumbuh.

Manggung gratisan di sebuah studio kecil dengan dihadiri orang yang tidak lebih dari angka dua puluh, memang dekat dengan kemiskinan. Dalam artian, tidak ada uang yang didulang dalam jumlah besar disini. Menjalani hidup dengan cara seperti itu menjadi suatu siksaan tersendiri bila tidak diiringi dengan pemasukan di wilayah lainnya. Dan ini juga yang sering dikeluhkan teman-temanku yang ingin menjadi musisi profesional. Selain memikirkan selera pendengar, mereka juga harus memikirkan perut sendiri, dan orang-orang didekatnya. Oleh sebab itulah mereka manut-manut didikte oleh orang-orang label rekaman. Untuk cari kerjaan lain, sudah tidak bisa. Karena mereka harus total di musik. Sudah terikat kontrak. Atau alasan lain lagi, mereka tidak punya ijazah kuliah untuk bisa masuk ke dalam sebuah perusahaan bonafid. Macam-macamlah alasannya. Namun poinnya, mereka harus memikirkan bagaimana bertahan hidup. Untuk alasan ini, saya tidak akan berkata apa-apa. Toh, dari pernyataan itu juga, saya mengaku kalah duluan. Ngotot memaksa mereka untuk jadi musisi independen juga pada akhirnya menjadi tiran bila sudah begini.

Lagipula, saya bukanlah orang yang akan membayar seluruh tagihan mereka.

Hanya saja, ini semua ironis dan menyedihkan buatku. Melihat bagaimana kehidupan kita dibentuk oleh suatu cara yang berorientasi hanya kepada peningkatan kekayaan melalui angka statistik dengan menihilkan sisi kreatifitas manusia. Nilai-tukar menjadi prioritas utama, dibandingkan nilai-guna. Dan parahnya, kita semua menganggapnya sebagai sebuah kewajaran. Sebuah batu ujian bila kita ingin 'sukses'. Sebuah pembuktian dari mitos mengenai kerja keras...yeah right, kerja keras untuk memperkaya bos mu. Pada akhirnya, kita yang tidak memiliki kuasa, dengan terpaksa dan ikhlas harus menerima apa-apa yang didiktekan oleh yang memiliki akses. Kita menjadi pion yang bisa digerakan oleh mereka yang telah berbaik hati menampung kita agar kita bisa makan, dan mereka bisa memperkaya diri sendiri. Dan kitapun larut: "sedari dulu dunia memang sudah berjalan seperti ini."

Well, terserahlah.

Bila melihat lagi ke kehidupanku akhir-akhir ini...yah, saya masih sangat miskin dalam artian yang sebenarnya, dan saya juga masih bermain musik dengan gaya bermusik yang buruk. Gitarku juga masih gitar murah, dan senarnya sudah karatan. Tidak ada pencari talenta yang tertarik dengan musik yang kumainkan. Tidak ada perempuan juga yang tertarik melihat band kami. Tetapi semuanya masih berjalan. All is well. Kami masih datang kedalam studio. Menghidupi musik kami, walaupun pada akhirnya kami tidak akan mendapatkan apa-apa bila dikaitkan dengan kesuksesan dalam bentuk kekayaan timbunan uang Tetapi, setidaknya untuk hal ini saya merasa beruntung. Masih bisa bertemu kawan-kawan yang memiliki visi sama. Menikmati momen bermusik, walaupun hanya sebentar. Tetapi, karena sebentar itulah kami menikmatinya. Bagaimanapun, semuanya tidak akan abadi. Oleh sebab itulah, semuanya perlu dinikmati. Carpe diem, seize the day.

Aku juga sepertinya harus bersyukur dengan keadaan bandku yang jauh dari kata profesional. Karena aku tidak perlu memikirkan bentuk tubuhku yang tidak enak dilihat ini. Bagaimanapun juga, bentuk tubuhku yang tidak enak dilihat ini bisa menurunkan tingkat penjualan album.


[1] diambil dari Budi Darma, Olenka, Jakarta: Balai Pustaka, 2009.

Rabu, 01 September 2010

Ghaust & Aseethe (Split)

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Childrens Music
Artist:Ghaust & Aseethe (Split)
Tentu saja saya tertarik begitu mendengar rilisan split antara Ghaust (Ina) dan Aseethe (USA). Pertama, mendengar nama Ghaust saja sudah membuat saya penasaran. Band ini lumayan hangat diperbincangkan oleh orang-orang disekeliling saya. Sebuah band instrumental berasal dari Jakarta yang memainkan musik tipe post-metal. Begitulah yang sering diobrolkan oleh orang-orang mengenai Ghaust.

Lalu, hal lain yang menarik perhatian saya terhadap rilisan ini adalah mengenai produser yang ada di balik rekaman Aseethe. Rekaman Aseethe di album split ini diproduseri oleh James Plotkin. Hold up there...Mas Plotkin cukup berbahaya juga bila melihat rekam jejaknya. Pertama kali saya mengetahui Mas Plotkin dari kolaborasinya bersama Mas O' Malley dalam Khanate. Sebuah band superb-absurd-chaotic-doom laden yang sekarang sudah bubar. Selain bersama Khanate, Mas Plotkin juga sudah cukup banyak berproyekan di band-band yang cenderung absurd, seperti OLD, dan Khylst. Wew. Jadinya saya penasaran juga mendengarkan Aseethe. Apalagi di album ini Aseethe menawarkan musik yang super panjang berdurasi sekitar 21 menit. Woohooo...my fav. kind of music indeed: long awaited doom metal!

Baiklah. Tulisan diatas adalah semacam perkiraan-perkiraan saya saja mengenai album split ini akan terdengar seperti apa. Sekarang, setelah penantian yang cukup lama, akhirnya CD pesanan saya tiba juga. Sekarang saya bisa benar-benar mendengarkan album ini seperti apa, dan mulai mereviewnya.

Ok. Dimulai dulu dengan Ghaust. Di album ini Ghaust memasukkan dua lagu. Pertama adalah lagu berjudul 'Return Fire', dan lagu satunya lagi, 'Akasia', yang diambil dari album self-titled sebelumnya. Bila mendengarkan 'Return Fire', saya kira Ghaust cukup banyak terpengaruh oleh tipikal hardcore dan metal. Tetapi, untuk bisa disebut sebagai 'doom', mungkin Ghaust jauh dari tipikal musik seperti itu. Bukan masalah tempo yang tidak lambat atau gimana (doom tidak berarti harus bertempo lambat). Hanya saja, selama mendengarkan lagu yang berdurasi 9 menit ini, saya semakin yakin, bahwa Ghaust pada dasarnya berada dalam tataran hardcore. Hanya saja, yang membuatnya berbeda adalah seteman gitarnya yang down-tuned, instrumental, dan durasinya yang panjang. Namun demikian, lagu 'Return Fire' ini menurut saya menjadi sedikit 'plain'. Pertama, karena terlalu banyak part yang bertebaran. Hal itu malah membuat struktur lagu terkesan datar-datar saja. Entah kenapa.

Lagu favorit saya dari Ghaust di album split ini malah di track keduanya, yakni 'Akasia'. Track ini diremix oleh Morgue Vanguard. Salah satu orang yang berada di balik proyek dark hip-hop bernama Trigger Mortis. 'Akasia' langsung menjadi track favorit saya begitu pertama kali mendengarkannya. Disitu kamu akan merasakan hawa industrial yang bangkit kembali dari kubur, setelah sekian lama genre ini terlupakan di Indonesia. Saya jadi teringat kembali Godflesh album Pure, ketika mendengarkan track ini. Di awal lagu, ritmik lagu berjalan dengan menghentak dan gahar. Pure industrial. Seperti mesin-mesin di pabrik yang berdentuman dengan berat, ketika saling beradu. Tetapi, di pertengahan lagu, ritmik lagu perlahan berubah menjadi lebih kalem dan ambiental. Suasana yang kalem itu terbawa hingga lagu 'Akasia' itu selesai, Polanya, seperti kamu mendengarkan remix lagu Isis berjudul 'HYM' dari JK Broadrick. Berat dan kasar di awal, tetapi lembut dan manis dibagian akhir. Heavy Shoegazer. Sedap.

Setelah lagu Ghaust beres, giliran track dari Aseethe. Tidak seperti Ghaust, di album ini Aseethe hanya memasukan satu lagu saja. Walaupun begitu, durasinya cukup panjang. Sekitar 21 menit. Sebanding bila disandingkan dengan dua lagu yang dimasukan oleh Ghaust. Buat saya, Aseethe sangatlah doom. Kamu seperti teringat kembali Bongripper, Kodiak, atau Aldebaran, ketika mendengarkan mereka. Musik berjalan lambat, dan monoton. Disaat yang bersamaan, the spirit from god of heaviness bertebaran dalam distorsi-distorsinya. Setelah itu, vokal yang harsh masuk mengisi musiknya. Yeah. I love doom metal, indeed. B(((O)))ng on!

Buat yang senang musik heavy, berdurasi panjang, dan 'eksperimental', album ini direkomendasikan.

Bersolek dan Nilai-Kerja

"Jika Anda pergi ke tukang cukur buat pangkas rambut, cuma perlu 15 menit. Jika Anda tidak suka potongan rambut standar di tukang cukur dan ingin mengekspresikan individualitas melalui gaya rambut aneh-aneh, maka Anda pun pergi ke salon. Di sana perlu 1 jam. Anda juga harus membayar empat kali lipat - dan ada alasannya. Memang harus lebih mahal pergi ke penata rambut, karena Anda menyita waktu seseorang lebih lama."
- Joseph Heath & Andrew Potter: the Rebel Sell -


Membaca omongan Heath & Potter diatas, tiba-tiba saja teringat teori nilai-kerjanya si Om Petromarks. "Bagaimana sebuah komoditi dinilai?" katanya, "dengan melihat waktu kerja rata-rata secara sosial yang diperlukan dalam membuat komoditi itu."