Sabtu, 04 September 2010

Industri Musik

Panas terik siang hari di musim shaum tentu bikin haus. Apalagi melihat perempuan itu melenggang dihadapanku siang itu. Membuat diri ini tambah haus. Haus dalam artian yang Budi Darma tulis dalam Olenka: haus ingin memperlakukan tubuh perempuan itu seperti selembar peta. Kemudian menuding-nuding bagian tubuhnya bagaikan seorang guru ilmu bumi menuding kota-kota di atas peta. Menelusur jalan yang menghubungkan satu kota dengan kota lain, satu danau dengan danau lain, satu bukit dengan bukit lain, satu dataran rendah dengan dataran rendah lain, kemudian berseru, "Hei, inilah jalan menuju surga!" [1]

Bagaimana tidak. Perawakannya sungguh sintal. Langsing teramat sangat. Lekukan tubuhnya...amboi. La Guitarra Espanola. Membuat pikiran ini bergerak liar ke arah yang tak menentu.

Siang itu dia berjalan dengan santai. Melenggok begitu halusnya. Soenggoehpoen. Para lelaki yang siang itu terlihat tenggelam dalam pekerjaan kantornya, mau tidak mau, harus mengalihkan pandangan pada perempuan itu. Kalau bisa, mengalihkan pandangannya selama mungkin. Begitupun dengan saya. Saya tidak ingin melepaskan pandangan saya kepada perempuan itu sedikitpun. Dia yang telah susah payah berdandan, akan mubazir bila tidak dinikmati olehku.

"Temenku juga ada tuh yang lebih kurus dari dia," tiba-tiba temanku, dia perempuan, nyeletuk.

Cukup kaget juga mendengar temanku berbicara seperti itu. Dari apa yang kulihat siang itu, tubuh perempuan yang kulihat itu sudah tergolong sangat "tipis". Tak terbayang lagi bila ternyata ada perempuan yang lebih "tipis" darinya.

"Temenku itu sama perusahaan rekamannya dikasih semacam treatment gitu. Buat ngelangsingin badan. Pokonya buat treatment tubuh. Termasuk dikasih suntikan pemutih wajah kaya gitu," ujar temanku lagi.

Dari sini, perhatian saya untuk perempuan sintal itu menjadi teralihkan kepada apa yang temanku itu bicarakan. Obrolannya menarik. "Wah, perusahaan rekaman temen kamu sampai segitunya? Terus temen kamu itu gimana, ngerasa terkekang ga jadinya?" tanyaku kemudian.

"Ya enggalah. Mereka sih seneng-seneng aja. Namanya juga cewek. Dibuat cantik, pasti seneng," jawab temanku lagi.

Pikiran saya langsung campur aduk disitu. Suntikan pemutih wajah, treatment untuk melangsingkan tubuh...semuanya berputar-putar didalam kepala. Waw, bukannya itu tugas orang-orang salon? Apa urusannya perusahaan rekaman yang harusnya mengurus musik, hingga harus mengkhawatirkan tubuh para musisinya? Lalu kenapa para musisi itu juga rela saja tubuhnya diperlakukan sedemikian rupa hanya untuk mengikuti strategi perusahaan rekaman demi meningkatkan penjualan sebuah album? Semua pertanyaan itu bermunculan di kepala.

Temannya temanku ini berada dalam sebuah band. Seluruh personilnya adalah kaum hawa. Nama bandnya kurasa tidak perlu disebut disini. Pastinya, setelah lebaran usai, band temannya temanku itu dijadwalkan akan melakukan launching album perdananya. Nah, dalam kepentingan launching itulah, perusahaan rekamannya mengeluarkan dana tambahan untuk treatment para personilnya agar terlihat lebih kurus, terawat, dan cantik. Setidaknya menurut temanku begitu.

"Mereka sekarang sudah berubah banyak sih," kata temanku melanjutkan, "sekarang lagi banyak gaul sama artis yang sudah terkenal. Soalnya kalau ga gitu, mereka ga akan diliat ma orang."

Disini saya tak bisa menahan ketawa. Sungguh puas saya ketawa. Bersamaan dengan itu, saya teringat dengan band saya sendiri. Saya bersyukur selama ini tidak perlu mengkhawatirkan masalah tetek bengek penjualan seperti itu. Saya bersyukur bisa bermain musik dengan kawan-kawan band saya dengan lepas. Aku beruntung bisa menemukan orang-orang yang memiliki visi yang sama. Semenjak awal, kami tidak berencana memperkaya diri sendiri dengan uang dari band ini. Kami tidak berniat menjadi 'musisi profesional'. Jadinya tidak ada tuntutan yang aneh dan macam-macam seperti itu. Kami hanya ingin memainkan doom metal sekeras mungkin, hingga batas kemampuan diri kami sendiri. Walaupun, ritme bermusik kami tidak intens, tetapi kami masih memiliki hasrat. Karena yang terpenting dari musik memang itu, hasrat.

Ini bukan berarti menghakimi, bahwa band temannya temanku itu adalah band yang personilnya tidak memiliki hasrat semua. Ya, mungkin mereka memiliki hasrat. Bisa juga mereka hanya 'merasa' memiliki hasrat. Tetapi, sejujurnya, masalah hasrat itu akan selalu kuragukan. Masalahnya, beberapa temanku yang 'go pro' dalam bermusik dengan cara masuk ke dunia industri, selalu mengeluh dan mengeluh tentang cara kerja industri musik. Selalu saja mengeluh bila mereka berkunjung ke tempatku. Sampai bosan aku dibuatnya. Keluhan mereka terutama berkutat di masalah bagaimana pihak label rekaman terlalu mencampuri urusan aransemen lagu. Bahkan hingga reffrain pun diotak-atik sedemikian rupa dengan satu tujuan: mencari bagian yang gampang diingat oleh pendengar. Karena dengan begitu, diharapkan nama band akan teringat juga, dan selanjutnya, bisa mendongkrak penjualan album.

Keluhan yang didasari oleh gagasan yang absurd buat saya sejujurnya, dan sangat jauh dari kata berhasrat...

Walaupun demikian, temanku itu parahnya tidak ada yang mencoba memikirkan, bahwa ada yang tidak beres dari cara kerja industri seperti itu. Mereka menganggapnya, bahwa hal seperti itu sudah selayaknya diterima bagi mereka yang ingin 'concern' di dunia musik profesional. Bagiku, parahnya mereka seakan-akan dimakan oleh mitos-mitos seperti 'tenggang rasa'. Bahwa, dalam membikin musik kita tidak boleh egois, tetapi kita juga harus memikirkan selera pendengar.

Ini omong kosong. Logika seperti ini adalah logika bagian pemasaran, bukan musisi.

Dari jaman Viking pun, musik hadir sebagai ekspresi jiwa seseorang. Bukan masalah tenggang rasa dari pedagang kepada selera konsumen. Untuk masalah pendengar, mereka akan mengikuti dengan sendirinya. Bila pendengar merasa ada 'hubungan' dengan musik yang dibuat oleh musisi, mereka juga akan mengikutinya.

Terlepas dari banyak atau sedikit kuantitas pendengar.

Masalahnya, 'musisi-musisi profesional' itu selalu membayangkan dalam pikiran mereka, bahwa pendengar adalah sekelompok orang dengan kuantitas yang besar. Selalu saja dikejar-kejar oleh fantasi akan keberhasilan dan kesuksesan. Karena dengan kuantitas pendengar yang banyak, itu berarti musik mereka diterima luas. Padahal, saya yakin, dibalik alasan itu, adalah kekayaan berupa uang yang mereka cari.

Memang apa sih sukses? apa berhasil? Saya yakin, jawaban yang utama adalah menimbun uang, uang, dan uang lebih banyak lagi.

Manggung dalam sebuah tempat parkir kecil yang hanya dihadiri oleh sekitar 20 orang pengunjung, pasti bukan kriteria kesukesan para musisi. Manggung di sebuah studio kecil di daerah buah batu dengan penonton sekitar 15 orang juga pasti akan jauh dari definisi sukses dalam bermusik. Setidaknya begitu yang ada di benak musisi profesional. Tetapi, bagiku lebih baik seperti itu. Tidak ada yang lebih menyenangkan, ketika kamu memainkan lagumu sendiri dengan ditonton oleh mereka yang mengetahui kita selayaknya seorang teman lama. Karena penonton bukan sekadar angka statistik, penonton adalah mereka yang mengapresiasi cara kerja kamu. Terhubung dengan karya kamu. Merekalah yang akan melebur bersama dirimu di tempat konser. Karena merekalah, keakraban tercipta. Dan pertemanan baru tumbuh.

Manggung gratisan di sebuah studio kecil dengan dihadiri orang yang tidak lebih dari angka dua puluh, memang dekat dengan kemiskinan. Dalam artian, tidak ada uang yang didulang dalam jumlah besar disini. Menjalani hidup dengan cara seperti itu menjadi suatu siksaan tersendiri bila tidak diiringi dengan pemasukan di wilayah lainnya. Dan ini juga yang sering dikeluhkan teman-temanku yang ingin menjadi musisi profesional. Selain memikirkan selera pendengar, mereka juga harus memikirkan perut sendiri, dan orang-orang didekatnya. Oleh sebab itulah mereka manut-manut didikte oleh orang-orang label rekaman. Untuk cari kerjaan lain, sudah tidak bisa. Karena mereka harus total di musik. Sudah terikat kontrak. Atau alasan lain lagi, mereka tidak punya ijazah kuliah untuk bisa masuk ke dalam sebuah perusahaan bonafid. Macam-macamlah alasannya. Namun poinnya, mereka harus memikirkan bagaimana bertahan hidup. Untuk alasan ini, saya tidak akan berkata apa-apa. Toh, dari pernyataan itu juga, saya mengaku kalah duluan. Ngotot memaksa mereka untuk jadi musisi independen juga pada akhirnya menjadi tiran bila sudah begini.

Lagipula, saya bukanlah orang yang akan membayar seluruh tagihan mereka.

Hanya saja, ini semua ironis dan menyedihkan buatku. Melihat bagaimana kehidupan kita dibentuk oleh suatu cara yang berorientasi hanya kepada peningkatan kekayaan melalui angka statistik dengan menihilkan sisi kreatifitas manusia. Nilai-tukar menjadi prioritas utama, dibandingkan nilai-guna. Dan parahnya, kita semua menganggapnya sebagai sebuah kewajaran. Sebuah batu ujian bila kita ingin 'sukses'. Sebuah pembuktian dari mitos mengenai kerja keras...yeah right, kerja keras untuk memperkaya bos mu. Pada akhirnya, kita yang tidak memiliki kuasa, dengan terpaksa dan ikhlas harus menerima apa-apa yang didiktekan oleh yang memiliki akses. Kita menjadi pion yang bisa digerakan oleh mereka yang telah berbaik hati menampung kita agar kita bisa makan, dan mereka bisa memperkaya diri sendiri. Dan kitapun larut: "sedari dulu dunia memang sudah berjalan seperti ini."

Well, terserahlah.

Bila melihat lagi ke kehidupanku akhir-akhir ini...yah, saya masih bermain musik dengan gaya bermusik yang buruk. Gitarku juga masih gitar murah, dan senarnya sudah karatan. Tidak ada pencari talenta yang tertarik dengan musik yang kumainkan. Tidak ada perempuan juga yang tertarik melihat band kami. Tetapi semuanya masih berjalan. All is well. Kami masih datang kedalam studio. Menghidupi musik kami, walaupun pada akhirnya kami tidak akan mendapatkan apa-apa bila dikaitkan dengan kesuksesan dalam bentuk kekayaan. Tetapi, setidaknya untuk hal ini saya merasa beruntung. Masih bisa bertemu kawan-kawan yang memiliki visi sama. Menikmati momen bermusik, walaupun hanya sebentar. Tetapi, karena sebentar itulah kami menikmatinya. Bagaimanapun, semuanya tidak akan abadi. Oleh sebab itulah, semuanya perlu dinikmati. Carpe diem, seize the day.

Aku juga sepertinya harus bersyukur dengan keadaan bandku yang jauh dari kata profesional. Karena aku tidak perlu memikirkan bentuk tubuhku yang tidak enak dilihat ini. Bagaimanapun juga, bentuk tubuhku yang tidak enak dilihat ini bisa menurunkan tingkat penjualan album.


[1] Budi Darma, Olenka, Jakarta: Balai Pustaka, 2009.


Tidak ada komentar: