Sabtu, 30 Januari 2010

ACFTA

Sekilas pandang, posisi ruang tamu dari bagian villa itu memang terkesan mewah. Bagaimana tidak, duduk di ruang tamunya, mata dihadapkan langsung pada kolam renang yang terletak pas di depan ruang tamu. Selain itu, pemandangan dari ruang depan yang langsung menghadap ke gunung Krakatau yang menjulang tinggi ditengah laut seolah-olah mencuri pandangan mu dari kejauhan. Menggodamu.

Bagiku, tentu ini adalah kemewahan. Karena bukan sesuatu yang bisa ku nikmati setiap hari. Tetapi, buat Mahmud, perkara villa ini bukan sekadar kemewahan. Tidak seperti diriku yang langsung terkesima akan desain interior dan segala kemewahan yang ada di villa itu, perhatian Mahmud langsung tertuju pada kursi di ruang depan yang saat itu kududuki. Dia memegang kaki kursi, lalu menyusuri bagian demi bagian kursi itu dengan tangannya. Kemudian ia jongkok, dan melihat lebih dekat pada bagian sandaran kursi. Tentu saja aku penasaran. Lantas kuikuti juga arah pandangannya.   

Perhatiannya ternyata tertuju pada bahan anyaman sandaran kursi. Dia mengusap-usap bahan anyaman itu. “Terbuat dari plastik. Pasti buatan Cina,” katanya.

Saya tertawa mendengarkan perkataannya itu, karena kukira apa yang akan dikatakannya mengenai kursi itu adalah berkaitan dengan bentuknya yang mewah atau terlihat eksklusif. Tetapi dugaanku  ternyata meleset.

“Cina itu juara kalau masalah produk seperti ini. Membuat bahan furnitur seperti kursi ini dengan memakai bahan sintetis, kaya plastik. Kalau produk lokal, biasanya bahannya itu ‘kan anyaman rotan atau bambu,” katanya sambil mengelus-elus sandaran kursi yang kududuki.

Perbedaan bahan kursi antara Cina dan Indonesia itu pastinya membawa perbedaan juga kepada kualitas dan harga yang ditawarkannya. Dan khusus yang terakhir ini, harga yang ditawarkan, pikiran Mahmud terbang lebih tinggi.

“Dengan bahan seperti ini juga yang ngebuat industri lokal tumbang satu-persatu,” katanya lagi.

Dalam kesehariannya, Mahmud adalah seorang wirausahawan. Bagi dia, masalah Cina dan  produknya yang berjamuran dimana-mana sekarang ini tentunya sangat familiar. Makanya, berbeda dengan diriku yang begitu memasuki villa langsung terkesima dengan pemandangan “nampak luar”-nya yang terkesan elegan, sebaliknya Mahmud seperti memiliki semacam insting yang membuatnya tidak begitu saja terbuai oleh kemewahan yang terlihat didepan pelupuk mata.

Entahlah, tapi apa yang ada dalam pikiranku, insting seperti itu terasah dalam diri Mahmud, karena memang mau-tidak mau kelak akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya.

Setiap orang tentunya tahu, terkait kemajuan Cina dalam ekonomi, bagaimana produk-produk dari negara itu saat ini membanjiri perdagangan dunia. Negara yang pernah dipimpin oleh Sun Yat Sen itu, sedang mengalami surplus produksi beberapa tahun belakangan, dan siap untuk mengambil alih dominasi perdagangan dunia. Dan dengan harga produk-produknya yang murah, tentunya menjadi sesuatu yang menggiurkan di mata konsumen.

Tapi untuk orang-orang seperti Mahmud, hal ini tidak lain adalah fase yang menentukan hidup dan matinya. Sebab, hukum persaingan dalam perekonomian pasar bebas hanya mengenal mereka yang kuat. Siapa yang kuat mengimbangi lajunya, dia selamat. Sedangkan mereka yang lemah, akan menemui dirinya ternyata tidak memiliki apa-apa. Tidak ada solidaritas sosial dalam hukum persaingan pasar bebas. Dan ini juga yang membuat Mahmud mengeluhkan penguatan infrastrukur industri lokal yang masih centang-perenang, sehingga membuat ongkos produksi tetap mahal. Karena bila hal itu tidak dibenahi, maka tentu saja semakin banyak orang-orang yang berkeluh-kesah seperti Mahmud akan menemui kuburannya dalam iklim persaingan dengan Cina.

Mahmud sendiri sepertinya cukup yakin akan hal itu. Setidaknya dia sendiri memandang, kinerja pemerintah dalam memback up pengusaha lokal, tidak pernah dan tidak akan bisa maksimal. Di fajar pembukaan gerbang pasar bebas di Indonesia, mau tidak mau pemerintah sendiri justru akan kewalahan dengan tekanan asing. Dan cepat atau lambat, pada akhirnya pemerintah akan menyingkapkan dirinya sebagai institusi yang tak punya kuasa terhadap tekanan modal dengan sekadar menjadi alat permainan - dibalik jubah ‘deregulasi’-nya - bagi korporasi.

“Sekarang mah sebenarnya tinggal tunggu waktu aja sih. Tunggu perlahan-lahan ‘orang-orang lokal’ yang lemah tumbang satu-persatu,” katanya lagi, “dan sekarang mah buat saya, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakuin: lindungi dirimu, lindungi keluargamu, dan lindungi teman-temanmu.”

Tujuan yang terdengar mulia buat saya. Tetapi saya sendiri tidak yakin apakah ketiga hal itu bisa dilakukan, ketika diri sendiri saja tidak memiliki apa-apa. Bila begitu, bagaimana mau melindungi yang lain, yang diluar diri kita?


Kembang Api Penanda Permulaan Zaman Edan

Villa yang kudiami saat itu letaknya di Tanjung Lesung. Suatu daerah berupa pantai dekat Pandeglang. Saat itu menjelang tahun baru 2010. Sebelumnya keluarga besar memang berencana untuk merayakan pergantian tahun di Tanjung Lesung. Alhamdulillah rencana itu bisa terealisasi, dan keluarga besarku bisa berkumpul kembali.

Menjelang pukul dua belas malam, beberapa saudaraku yang tua dan muda berkumpul di jalan depan villa. Saudaraku yang masih kanak-kanak kebanyakan sudah terlelap tidur. Kami berencana untuk menyalakan kembang api yang sebelumnya dibeli di Bandung. Kurang lebih ada enam kotak kembang api yang kami bawa.

Mahmud membawa kotak-kotak kembang api itu ke tengah lapangan yang terletak di depan villa. Dia kebagian tugas untuk menyalakan kembang api. Saya sendiri mencari posisi yang enak untuk bisa memotret kembang api. Sedangkan yang lainnya ada yang duduk-duduk di trotoar, dan ada juga beberapa yang membantu Mahmud mempersiapkan kembang api untuk dinyalakan.

Tepat pergantian tahun, tempat kami ramai oleh letusan kembang api. Tidak hanya kami saja yang menyalakan kembang api, tetapi orang-orang di villa sebelah kami pun ikut menyalakannya. Lalu, café yang terletak kurang lebih satu kilo dari villa kami mengadakan juga acara menyalakan kembang api. Suasana begitu riuh oleh letusan kembang api. Langit malam dihias oleh corak-corak api yang berwarna-warni. Semua orang menengadah ke atas langit, ikut sorak-sorai bersamaan kembang api meletus di langit yang gelap itu. Namun keponakanku yang masih berumur 6 tahun nampaknya tidak senang dengan suasana seperti itu. Dia terus saja menangis, mungkin kaget dengan suara letusan kembang api yang baru didengarnya. Kedua orang tuanya kerepotan menenangkan keponakanku itu. Kemudian mereka langsung menggiring keponakanku itu ke kamar untuk membawanya tidur.

Letusan-letusan kembang api di pergantian tahun itu bagiku seperti menandakan permulaan jaman yang tidak jelas; antara harapan dan bayangan gelap yang entah nasib apa yang ada didalamnya. Letusan kembang api itu seakan-akan  menjadi sebuah perayaan yang menandai terjalinnya kerja sama perdagangan antara Asean dan Cina yang akan dimulai pada Januari 2010. Dan Indonesia sebagai salah satu anggota Asean, sudah pasti diharuskan untuk berpartisipasi di dalamnya. Terlepas dari tanggapan banyak pihak, bahwa Indonesia tidak siap untuk bersaing di pasar bebas.

Ku pernah membaca sebuah berita yang isinya mengatakan, bahwa diprediksi “banyak pengusaha yang akan berubah menjadi pedagang begitu FTA Asean-Cina diberlakukan”. Betapa memuakannya melihat bagaimana orang-orang memperhalus segala sesuatu. Isi berita itu sesungguhnya mengatakan secara tidak langsung, bahwa nantinya akan semakin banyak orang yang jatuh miskin akibat tak cukup kuat bertahan dalam iklim persaingan pasar bebas. Jadi, bukan sekadar masalah bagaimana kamu seperti beralih profesi, dari dokter umum, menjadi dokter gigi. Ini adalah proses pemiskinan sistematis, bukan proses alih profesi.

Dan baiklah, walaupun kita mengikuti alur pikiran sesuai berita tersebut, yang menyebutkan bahwa banyak pengusaha akan menjadi pedagang begitu FTA Asean-Cina berlangsung, lalu pada akhirnya pedagang akan menjadi apa? Gembel? Atau manajer? Yang mana untuk yang terakhir tidaklah mungkin. Satu yang jelas, sedikit goncangan akan terjadi sebagai proses seleksi antara mereka yang kuat dan yang dilemahkan, lalu selebihnya, bangsa ini akan menemukan dirinya (kembali) berada di bawah kendali kekuatan lain yang berada diluar dirinya. Cukup puas mendistribusikan produk, atau bekerja di bawah kendali kekuatan yang berada diluar dirinya, ketimbang menghasilkan sesuatu dengan jerih payahnya sendiri.



Bandung, 12 Januari 2010

Selasa, 19 Januari 2010

They Inspiring Me To Have Faith

Akhir-akhir ini saya terinspirasi oleh orang-orang. Bagaimana tindakan orang-orang tersebut, dalam titik tertentu, selalu membuat saya tercenung. Saya tidak akan menyebut nama orang-orang itu, tetapi saya akan menceritakan tindakan-tindakan apa saja yang sudah dilakukan oleh mereka. Karena memang itulah yang terpenting. Tindakan. Dalam konteks ini, nama hanyalah menunjukkan pembedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Tetapi tindakan…tindakan adalah aksi pembedaan yang memberikan pengaruh bagi lingkungan sekitarnya.

Ada orang ini, dia masih muda, dan berprofesi sebagai arsitek. Dia dikenal karena konsepnya mengenai tata ruang kota yang berlandaskan konsep ruang publik dan pemberdayaan ekonomi kreatif yang berbasis akar rumput. Semenjak pertama kali memperhatikan apa yang dia lakukan, ada satu hal yang terus menerus dia tekankan. “Masyarakat harus didorong untuk melakukan perubahan secara mandiri, tanpa bantuan pemerintah,” kurang lebih seperti itu apa yang dia tekankan.

Penekanannya itu tidak main-main. Dengan beberapa rekannya dia menggagas sebuah forum yang bertujuan untuk menampung kreatifitas masyarakat dan memberdayakan setiap potensi yang terdapat didalamnya. Sebuah festival pun dia rancang untuk menerjemahkan idenya tersebut ke tataran yang lebih populer. Helaran, nama festivalnya. Masyarakat Kota Bandung umumnya sudah mengenal festival itu.

Dalam perjalanannya, festival itu menjadi fenomena yang mengejutkan. Khususnya bila dilihat dari segi ekonomi. Bagaimana mereka yang bergerak di bidang sablon baju dan penjualan clothing menyumbangkan pendapatan yang nominalnya mencengangkan selama festival itu berlangsung. Beberapa media massa memberitakan juga bahwa kemandirian usaha sablon baju dan penjualan clothing itu sanggup menyerap tenaga kerja hingga sekian ribu. Semuanya ini dilakukan secara mandiri, tanpa ada bantuan dari pemerintah. Bahkan festivalnya itu sendiri pada awalnya tidak dibantu oleh pemerintah. Dalam hal inilah, kemudian ia dan forum yang digagasnya meramaikan media massa dengan wacana ‘ekonomi kreatif’.

Pemberdayaan ekonomi kreatif yang beranjak dari bawah (masyarakat) ini sebenarnya bila dilihat adalah kapitalisme yang dibalut dengan potensi lokal. Secara pola, ekonomi kreatif tidak ekstrim berbeda dengan ekonomi ala kapitalisme: ambil untung sekian di atas biaya produksi rata-rata.

Dalam kapitalisme, seperti halnya ekonomi kreatif, yang tersisa hanyalah masalah peluang. Siapa yang cukup jeli melihat peluang, dia bisa mendulang keuntungan. Maka dari itu, kenapa berak di toilet umum tiba-tiba bisa diklaim oleh yang mengaku ‘empunya’ toilet kudu ngebayar Rp 2.000,00. Dan konsep ekonomi kreatif kurang lebih berjalan seperti itu…lebih kepada masalah jeli memberdayakan potensi yang ada supaya bisa menghasilkan nilai-lebih. Komodifikasi dan eksploitasi.

Saya mempercayai, bahwa selain kehidupan yang dijalani saat ini: yakni kehidupan yang seolah-olah menjadi ‘common sense’ - ibarat Fukuyama meneriakkan ‘the end of history’ atas kemenangan kapitalisme pasca ambruknya Uni Soviet – pada satu titik, akan selalu ada peluang akan alternatif kehidupan yang lain. Walaupun mayoritas sudah terlanjur percaya bahwa dalam kapitalisme tidak ada jalan keluar.

Tetapi, dalam cara pandang mayoritas yang percaya kepada kapitalisme inilah saya berada. Dan sekaligus dalam atmosfir kapitalisme ini juga saya bisa menaruh respek dan terinspirasi dari tindakan seseorang yang telah saya bahas sebelumnya diatas. Okelah, pada satu waktu, dia juga menerjemahkan pernyataan masyarakat yang mandiri adalah pihak swasta yang membangun lingkungannya dengan tidak melupakan kelestarian alam dan ruang publik yang sehat. Dengan kata lain, lebih bertanggungjawab. Walaupun hal seperti itu seakan-akan mengulang konsep Corporate Social Responsibility (CSR). Dengan kata lain; tidak ada yang baru dan sekadar pernyataan normatif belaka. Karena tidak perduli betapa kamu berusaha sehumanis mungkin, selama landasannya adalah kapitalisme, maka pola hubungan akan berlandaskan pada hubungan yang ekonomistis. Karena satu-satunya tujuan kapitalisme adalah semata-mata mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Bukan ketulusan yang sebanyak-banyaknya.

Tetapi, apa yang terus menerus ia tekankan mengenai kemandirian yang tanpa campur tangan pemerintah itu membuatku menaruh harapan pada ide yang dia kumandangkan seperti adzan di media massa. Saya tidak meragukan dampak yang sedang berlangsung atas ide kemandirian ini. terdapat perubahan disana-sini. Di Bandung, berjamuran dimana-mana distro dan pagelaran budaya. Bersamaan dengan itu, tercipta pula lapangan pekerjaan. Walaupun, saya merasa, alur yang bergerak mengarah ke pola ekonomi kapitalisme. Dan dengan begitu, pada akhirnya, perubahan akan menjadi cerita yang anti-klimaks. Tidak ada perbedaan dengan yang sebelumnya.

Tetapi, saya diajarkan, bahwa selalu berambisi memulai dengan langkah-langkah besar untuk secepatnya meraih hasil tanpa diimbangi oleh kemampuan diri sendiri adalah sumber dari depresi dan faktor yang membuat seseorang cepat menyerah ditengah jalan. Memulai dengan langkah-langkah kecil, sebaliknya, memberimu ruang untuk terus mengukur kemampuan mu dan memperkecil jurang antara realitas dengan apa yang ada didalam benak. Langkah-langkah kecil selalu membuatmu untuk tetap berpijak di bumi yang rendah hati.

Dan ide mengenai kemandirian ini, walaupun bergerak ke arah yang itu-itu saja dan menghasilkan sesuatu yang sama sekali tidak baru. Tetapi saya memiliki optimisme. Sebuah harapan, bahwa ada seseorang diluar sana yang terinspirasi ide mengenai kemandirian ini mencernanya dengan cara yang berbeda. Dengan cara yang berada di luar bingkai kapitalisme. Dengan cara yang sanggup membawa perubahan kepada tataran yang lebih humanis.

They Inspiring Me To Have Faith

Akhir-akhir ini saya terinspirasi oleh orang-orang. Bagaimana tindakan orang-orang tersebut, dalam titik tertentu, selalu membuat saya tercenung. Saya tidak akan menyebut nama orang-orang itu, tetapi saya akan menceritakan tindakan-tindakan apa saja yang sudah dilakukan oleh mereka. Karena memang itulah yang terpenting. Tindakan. Dalam konteks ini, nama hanyalah menunjukkan pembedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Tetapi tindakan…tindakan adalah aksi pembedaan yang memberikan pengaruh bagi lingkungan sekitarnya.

Ada orang ini, dia masih muda, dan berprofesi sebagai arsitek. Dia dikenal karena konsepnya mengenai tata ruang kota yang berlandaskan konsep ruang publik dan pemberdayaan ekonomi kreatif yang berbasis akar rumput. Semenjak pertama kali memperhatikan apa yang dia lakukan, ada satu hal yang terus menerus dia tekankan. “Masyarakat harus didorong untuk melakukan perubahan secara mandiri, tanpa bantuan pemerintah,” kurang lebih seperti itu apa yang dia tekankan.

Penekanannya itu tidak main-main. Dengan beberapa rekannya dia menggagas sebuah forum yang bertujuan untuk menampung kreatifitas masyarakat dan memberdayakan setiap potensi yang terdapat didalamnya. Sebuah festival pun dia rancang untuk menerjemahkan idenya tersebut ke tataran yang lebih populer. Helaran, nama festivalnya. Masyarakat Kota Bandung umumnya sudah mengenal festival itu.

Dalam perjalanannya, festival itu menjadi fenomena yang mengejutkan. Khususnya bila dilihat dari segi ekonomi. Bagaimana mereka yang bergerak di bidang sablon baju dan penjualan clothing menyumbangkan pendapatan yang nominalnya mencengangkan selama festival itu berlangsung. Beberapa media massa memberitakan juga bahwa kemandirian usaha sablon baju dan penjualan clothing itu sanggup menyerap tenaga kerja hingga sekian ribu. Semuanya ini dilakukan secara mandiri, tanpa ada bantuan dari pemerintah. Bahkan festivalnya itu sendiri pada awalnya tidak dibantu oleh pemerintah. Dalam hal inilah, kemudian ia dan forum yang digagasnya meramaikan media massa dengan wacana ‘ekonomi kreatif’.

Pemberdayaan ekonomi kreatif yang beranjak dari bawah (masyarakat) ini sebenarnya bila dilihat adalah kapitalisme yang dibalut dengan potensi lokal. Secara pola, ekonomi kreatif tidak ekstrim berbeda dengan ekonomi ala kapitalisme: ambil untung sekian di atas biaya produksi rata-rata.

Dalam kapitalisme, seperti halnya ekonomi kreatif, yang tersisa hanyalah masalah peluang. Siapa yang cukup jeli melihat peluang, dia bisa mendulang keuntungan. Maka dari itu, kenapa berak di toilet umum tiba-tiba bisa diklaim oleh yang mengaku ‘empunya’ toilet kudu ngebayar Rp 2.000,00. Dan konsep ekonomi kreatif kurang lebih berjalan seperti itu…lebih kepada masalah jeli memberdayakan potensi yang ada supaya bisa menghasilkan nilai-lebih. Komodifikasi dan eksploitasi.

Saya mempercayai, bahwa selain kehidupan yang dijalani saat ini: yakni kehidupan yang seolah-olah menjadi ‘common sense’ - ibarat Fukuyama meneriakkan ‘the end of history’ atas kemenangan kapitalisme pasca ambruknya Uni Soviet – pada satu titik, akan selalu ada peluang akan alternatif kehidupan yang lain. Walaupun mayoritas sudah terlanjur percaya bahwa dalam kapitalisme tidak ada jalan keluar.

Tetapi, dalam cara pandang mayoritas yang percaya kepada kapitalisme inilah saya berada. Dan sekaligus dalam atmosfir kapitalisme ini juga saya bisa menaruh respek dan terinspirasi dari tindakan seseorang yang telah saya bahas sebelumnya diatas. Okelah, pada satu waktu, dia juga menerjemahkan pernyataan masyarakat yang mandiri adalah pihak swasta yang membangun lingkungannya dengan tidak melupakan kelestarian alam dan ruang publik yang sehat. Dengan kata lain, lebih bertanggungjawab. Walaupun hal seperti itu seakan-akan mengulang konsep Corporate Social Responsibility (CSR). Dengan kata lain; tidak ada yang baru dan sekadar pernyataan normatif belaka. Karena tidak perduli betapa kamu berusaha sehumanis mungkin, selama landasannya adalah kapitalisme, maka pola hubungan akan berlandaskan pada hubungan yang ekonomistis. Karena satu-satunya tujuan kapitalisme adalah semata-mata mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Bukan ketulusan yang sebanyak-banyaknya.

Tetapi, apa yang terus menerus ia tekankan mengenai kemandirian yang tanpa campur tangan pemerintah itu membuatku menaruh harapan pada ide yang dia kumandangkan seperti adzan di media massa. Saya tidak meragukan dampak yang sedang berlangsung atas ide kemandirian ini. terdapat perubahan disana-sini. Di Bandung, berjamuran dimana-mana distro dan pagelaran budaya. Bersamaan dengan itu, tercipta pula lapangan pekerjaan. Walaupun, saya merasa, alur yang bergerak mengarah ke pola ekonomi kapitalisme. Dan dengan begitu, pada akhirnya, perubahan akan menjadi cerita yang anti-klimaks. Tidak ada perbedaan dengan yang sebelumnya.

Tetapi, saya diajarkan, bahwa selalu berambisi memulai dengan langkah-langkah besar untuk secepatnya meraih hasil tanpa diimbangi oleh kemampuan diri sendiri adalah sumber dari depresi dan faktor yang membuat seseorang cepat menyerah ditengah jalan. Memulai dengan langkah-langkah kecil, sebaliknya, memberimu ruang untuk terus mengukur kemampuan mu dan memperkecil jurang antara realitas dengan apa yang ada didalam benak. Langkah-langkah kecil selalu membuatmu untuk tetap berpijak di bumi yang rendah hati.

Dan ide mengenai kemandirian ini, walaupun bergerak ke arah yang itu-itu saja dan menghasilkan sesuatu yang sama sekali tidak baru. Tetapi saya memiliki optimisme. Sebuah harapan, bahwa ada seseorang diluar sana yang terinspirasi ide mengenai kemandirian ini mencernanya dengan cara yang berbeda. Dengan cara yang berada di luar bingkai kapitalisme. Dengan cara yang sanggup membawa perubahan kepada tataran yang lebih humanis.

Sabtu, 09 Januari 2010

In Quest for 'Hasrat'

Beginilah jadinya. Berada di tengah kerumunan. Tak teridentifikasi…dan tanda pengenal yang kukenakan hanyalah menunjukkan bagaimana diri ini menjadi sebuah cadangan tenaga. Pasokan untuk kelangsungan hidup mereka. Hidup yang tidak ada sangkut pautnya dengan diriku. Dan orang yang hilir mudik dengan ekspresi hampa…aku berada di tengah mereka.

Perang yang ada seperti dalam hati. Gejolak batin seperti bara yang tak tuntas menemukan kanal pelepasannya. Sebenarnya siapa yang waras, seringkali ku bertanya pada diri sendiri. Bagaimanakah dunia harus dipahami…sementara orang-orang disisi kanan dan kiriku berbicara sesuatu yang tidak pernah ku mengerti. Bicara dan bicara tanpa jeda dalam rangkaian repetisi…sungguh membosankan.

Malam hari selalu memberiku kehangatan…dan juga kenyamanan. Jalanan sungguh sepi, dan para pedagang kaki lima sudah kembali tetirah. Ruas jalan sungguh lengang. Hanya ada satu-dua mobil yang melaju. Dan yang terpenting dari semuanya, tidak ada kerumunan. Orang-orang entah kemana. Menghilang. Hanya ada diriku dan kesunyian yang hangat dari sebuah malam. Tak ada lagi orang-orang yang berbicara sesuatu yang tidak kumengerti. Tidak ada lagi khotbah, betapa kebahagiaan adalah kulminasi dari etos dan loyalitas. Aku tidak pernah mengerti, mengapa tiba-tiba selalu ada mereka yang masuk kedalam kehidupanku, dan merenggut apa yang kumiliki.

Dan malam…pada akhirnya hanyalah pelarian. Pelarian dari ketidakmampuan ku sendiri. Ketidakberdayaan. Sesungguhnya tidak ada tempat untuk sembunyi...ditengah kerumunan, bahkan didalam keterasingan sebuah malam itu sendiri. Setiap diri telah menjadi target. Demi ekspansi, dan akumulasi. Kadang ku menghibur diriku sendiri, betapa bara tetaplah bara, walaupun didalam hati. Dan konon bara itu dapat membuatmu setidaknya tersenyum miris. Mentertawakan mereka yang mengingatkan ketidakmampuan dirimu sendiri. Bila itu terjadi, maka aku sungguh senang menyambut senyum yang lama kunantikan. Setidaknya aku ingin tersenyum, ketimbang menunjukkan ekspresi datar dari orang-orang yang berada dalam kerumunan itu.

Jumat, 08 Januari 2010

Sunset Mission

Beginilah jadinya. Berada di tengah kerumunan. Tak teridentifikasi…dan tanda pengenal yang kukenakan hanyalah menunjukkan bagaimana diri ini menjadi sebuah cadangan tenaga. Pasokan untuk kelangsungan hidup mereka. Hidup yang tidak ada sangkut pautnya dengan diriku. Dan orang yang hilir mudik dengan ekspresi hampa…aku berada di tengah mereka.

Perang yang ada seperti dalam hati. Gejolak batin seperti bara yang tak tuntas menemukan kanal pelepasannya. Sebenarnya siapa yang waras, seringkali ku bertanya pada diri sendiri. Bagaimanakah dunia harus dipahami…sementara orang-orang disisi kanan dan kiriku berbicara sesuatu yang tidak pernah ku mengerti. Bicara dan bicara tanpa jeda dalam rangkaian repetisi…sungguh membosankan.

Malam hari selalu memberiku kehangatan…dan juga kenyamanan. Jalanan sungguh sepi, dan para pedagang kaki lima sudah kembali tetirah. Ruas jalan sungguh lengang. Hanya ada satu-dua mobil yang melaju. Dan yang terpenting dari semuanya, tidak ada kerumunan. Orang-orang entah kemana. Menghilang. Hanya ada diriku dan kesunyian yang hangat dari sebuah malam. Tak ada lagi orang-orang yang berbicara sesuatu yang tidak kumengerti. Tidak ada lagi khotbah, betapa kebahagiaan adalah kulminasi dari etos dan loyalitas. Aku tidak pernah mengerti, mengapa tiba-tiba selalu ada mereka yang masuk kedalam kehidupanku, dan merenggut apa yang kumiliki.

Dan malam…pada akhirnya hanyalah pelarian. Pelarian dari ketidakmampuan ku sendiri. Ketidakberdayaan. Sesungguhnya tidak ada tempat untuk sembunyi...ditengah kerumunan, bahkan didalam keterasingan sebuah malam itu sendiri. Setiap diri telah menjadi target. Demi ekspansi, dan akumulasi. Kadang ku menghibur diriku sendiri, betapa bara tetaplah bara, walaupun didalam hati. Dan konon bara itu dapat membuatmu setidaknya tersenyum miris. Mentertawakan mereka yang mengingatkan ketidakmampuan dirimu sendiri. Bila itu terjadi, maka aku sungguh senang menyambut senyum yang lama kunantikan. Setidaknya aku ingin tersenyum, ketimbang menunjukkan ekspresi datar dari orang-orang yang berada dalam kerumunan itu.

Foto oleh Alexei Titarenko.