Selasa, 14 Oktober 2008

TUJUAN: PANGRANGO




Oke2, sindikat pemuda luntang-lantung akan terus kembali dan kembali lagi. Kali ini menjelajah Gede dan Pangrango. Penjelajahan dimulai selama tiga hari, dari Jumat (10/9) hingga Minggu (12/9). Oke, nikmati foto-fotonya dan tunggu kabar penjelajahan selanjutnya...Papandayan mungkin? siapa tahu. Yang pasti, siapkan fisik yang prima dan mental yang kuat biar ga terlalu HeHoH! Cheersshh.

Dokumentasi Pangrango




Foto-foto ketika main ke Pangrango tahun 2008 kemarin. Lupa tanggal persisnya. Tapi ternyata di MP ini sudah lama berkubang dalam folder 'draft'. Baru sadar sekarang (23 Mei 2009).

Get Death or Die Trying (Adam Smith Style!)

Ah, mungkin ini kehidupanmu. Kehidupan ideal yang kau canangkan jauh-jauh hari. Engkau mengambil ijazah mu, setelah kurang lebih empat tahun kau berusaha meraihnya. Ada kebanggaan dan tentu patut untuk kau rayakan. Hal yang wajar. Orang tua mu bangga dan tetangga mu pun berhenti bertanya kapan kau lulus. Begitupun dengan keluarga besar mu. Satu urusan sudah selesai. Dan memang, pernah kubaca sebuah petatah-petitih. Begini bunyinya: setelah selesai satu urusan, maka selesaikanlah urusan yang lain.

Tetapi, masalahnya, apakah memang urusan itu telah sepenuhnya rampung? Buat saya, belum. Tapi, entah apa yang ada dibenakmu mengenai hal ini. Pastinya, ketika ijazah itu sudah ada ditanganmu, satu urusan berarti telah selesai untukmu. Sekarang saatnya memasuki tahap yang lain lagi. Mencari penyokong kehidupan mu sendiri. Kita mengenalnya mencari pekerjaan. Mati-matian kita menawarkan keahlian dan spesialisasi kita kepada yang membutuhkannya. Sekarang, kita memasuki lagi lebih dalam sebuah sistem yang sudah menjadi umum di mata kita. Kita menjual apa yang kita miliki dan kita akan mendapat imbalannya. Seperti gaji, contohnya. Ada penawaran disini. Menimang-nimang harga kita yang pantas dibeli untuk dipakai oleh mereka. Maka dari itu, mati-matian kita mencari kemapanan dalam pekerjaan. Karena kita telah merasa, bahwa segenap diri ini yang menjadi barang dagangannya. Ada urusan gengsi disini. Itupun lumrah, karena konon, manusia itu hidup juga untuk membuktikan kehadiran dirinya sendiri. Ada keinginan untuk self empowerment.

Untuk beberapa alasan itu juga, mengapa seringkali ada beberapa dari kita menanggalkan beberapa jati dirinya yang dikira-kira tidak laku untuk dijual. Walaupun, betapa kita merasa nyaman dengan jati diri yang tidak laku untuk dijual itu. Namun, dalam atmosfir penawaran, segala sesuatu sepertinya tidak pernah hadir secara utuh. Sebagai pelipur lara, beberapa dari kita menyembunyikannya dibalik alasan demi kedewasaan. Untuk kedewasaan, maka kita menanggalkan apa yang ada di diri kita. Sebenarnya itu bisa dipertanyakan kembali. Seperti apa batas kedewasaan itu? apakah batasnya adalah, ketika ada beberapa hal dari diri kita yang susah untuk dijual menjadi batasan kedewasaan? Tentu tidak, tetapi kebanyakan mengiyakannya. Diakui ataupun tidak.

Begitulah. Engkau mendapatkan pekerjaan. Sebuah pekerjaan yang mapan, dengan ukuran kemapanan yang dapat menyokong kehidupanmu sepenuhnya. Berikut hal-hal sekunder dan tersier. Bukan hanya primer, dimana primer ini benar-benar kebutuhan murni. Dimana bila tidak terpenuhi, kita benar-benar sekarat. Sedangkan lainnya hanya pelengkap saja. Hanya ‘keinginan’, bukan ‘kebutuhan’. Bisa menyusul. Tapi, kita memang punya keinginan, kan? Ya, terserahlah. Atur-atur. Pastinya, bila ada di antara kita yang bakal terbakar di neraka, saya tidak ingin mengikutinya terbakar di neraka juga.

Jadi, pekerjaan mapan sudah kau dapatkan. Orang tua mu, sekali lagi, bangga terhadapmu. Begitupun tetangga-tetanggamu. Keluarga besarmu juga. Kau pun terhindar dari pertanyaan-pertanyaan nista, seperti ‘udah dapat kerja belum?’, ‘Kerja dimana sekarang?’ untuk perkara satu ini, nampaknya semua senang. Kamu boleh bernafas lega. Mungkin kamu bisa ngaso dulu....

Bila kamu selesai ngaso, mungkin kita bisa melangkah ke urusan selanjutnya? Oh, oke. Sekarang saatnya urusan mencari pendamping…pendamping yang benar-benar legal. Ada prosedur segala macam. Mulai dari perkara meminang hingga mendaftar ke KUA. Itu perlu. Bila tidak, kasihan orang tua mu. Dipergunjingkan tetangga-tetangganya sendiri, karena mempunyai anak yang hidup tidak normal. Kumpul sama kebo. Belum disindir sama keluarga besar pas lebaran nanti. Tentu kau tidak mau hal seperti itu terjadi, bukan? Maka dari itu, ketika menimang-nimang calon pendamping hidup itu selesai, seperti apakah secara finansial dia bisa mendukung kehidupan setelah menikah nanti, maka terjadilah pernikahan. Kamu dan pasanganmu sekarang legal hidup bersama. Bahkan, bila kamu atau pasanganmu hamil, tetanggamu juga tidak akan berbicara yang aneh-aneh seputar kehamilanmu atau pasanganmu itu.

Hidup sudah menemukan kesempurnaannya sekarang. Kau punya pekerjaan mapan dan kau juga menikah. Syarat-syarat untuk bisa dibilang hidup normal dalam bermasyarakat sekarang terpenuhi sudah. Selanjutnya, hanya sesuatu yang disebut rutinitas. Kamu bangun pagi-pagi, sarapan bersama keluarga, berangkat ke kantor, pulang sore, tiba di rumah malam, dan karena kecapekan, kamu langsung tidur. Besok paginya begitu juga. Besok lusa pun begitu. Besok lusa-lusanya lagi masih seperti itu. Bulan depan juga, ketika bangun telat lebih limabelas menit dari jadwal, kamu sudah bisa memperkirakan bakal nyampe kantor telat setengah jam. Kamu hidup dalam jadwal yang membuatmu terpola. Kamu menjadi tidak biasa untuk berimprovisasi. Antisipasi demi antisipasi kamu susun, Penuh pertimbangan ini-itu dan hasilnya, tagihan demi tagihan menumpuk di sakumu. Tetapi, bukankah hidup selamanya berada dalam ketidakpastian?

Tidak terasa, tahun demi tahun terlewati. Kesepuluh anakmu sudah memiliki cucu semua. Sekarang, berbekal uang pensiun dari perusahaanmu, kamu kembali ke agama. Rajin solat, mengunjungi masjid dan mengaji. Sebagai bekal persiapan untuk dikubur nanti.

Sudah, kehidupanmu sudah bisa aku prediksi akan seperti apa.

Pertanyaannya sekarang, sebelum kita mati nanti, apakah kita bisa mempunyai kesempatan untuk mengenali keterasingan yang akan kita hadapi di dunia yang mekanistis ini? Bila kita beruntung bisa mengenali keterasingan kita sendiri, apakah kita juga mempunyai kekuatan untuk keluar darinya? Keluar dan mengenali seperti apa hidup ini, hidup yang jauh dari kutukan rutinitas yang mengalienasi ini? Hidup yang tidak sekadar mengikuti norma-norma mayoritas yang seringkali menihilkan eksistensi individunya sendiri. Tetapi, kehidupan yang bisa memberi kita makna. Bisakah kita mempunyai kekuatan untuk tidak hanya sekadar menjadi silent majority, yang terombang-ambing dalam kegalauan massa yang acapkali menggerogoti keotentikan dirikita sendiri sebagai individu? O, aku berharap aku mempunyai kekuatan seperti itu. Aku berharap betul.

Maka dari itu, semuanya…nyalakan rokok kalian dan mulai berdoa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Tengadahkan kepala kalian ke langit dan hembuskan asap rokok yang telah kalian isap. Lalu, teriakkan keras-keras: for those who about to rock, I salute YOU!