Minggu, 28 November 2010

Balada Pengembara Wakatobi

                                                        (FOTO: KOMPAS/PRIYOMBODO)

Anak-anak bermain ayunan tali di pantai di Kampung Waha, Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Sabtu (30/10). Wakatobi merupakan pusat segitiga karang dunia dan diresmikan sebagai taman nasional pada tahun 1996 dengan total area mencapai 1,39 juta hektar.


Oleh: Budi Suwarna

Betapa molek Wakatobi. Namun, sebagian besar penduduknya barangkali tidak sempat menghiraukan keindahan kepulauan itu. Pasalnya, sepanjang usia, mereka sibuk mengembara atau ”buang diri”.

Buat penduduk Wakatobi—baik suku Bajo, Buton, maupun Ciacia—mengembara merupakan episode wajib dalam perjalanan hidup mereka. ”Kalau tidak mengembara, kita malu, tidak punya cerita,” ujar Sahrudin (34), warga Kabupaten Wakatobi (kependekan dari Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko), Sulawesi Tenggara.

Ketika usia tujuh tahun pada tahun 1983, anak muda dari suku Buton ini telah diajak ibunya mengembara ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Mereka menyusul ayahnya yang pergi mengembara sejak Sahrudin lahir. ”Itulah pertama kali saya bertemu Bapak,” ujarnya.

Tidak lama hidup bersama, dia ditinggal ibunya yang bekerja di pabrik kayu lapis. Sementara ayahnya merantau ke Singapura. Sahrudin pun harus tinggal bersama tetangganya. Setelah tiga tahun, dia dibawa pulang ke rumah neneknya di Tomia. Ayah-ibunya merantau lagi dan Sahrudin tidak selalu tahu di mana mereka berada.

”Kami hanya bertitip kabar lewat tetangga yang kebetulan merantau. Kabar itu akan disampaikan berantai. Kadang, setelah enam bulan, kabar baru sampai. Maklum, dulu belum ada handphone,” ujarnya.

Ketika berusia 20 tahun, Sahrudin memulai pengembaraannya sendiri. ”Kami menyebutnya ’buang diri’, menyerahkan diri kepada nasib. Nanti di perantauan jadi pengusaha, buruh, atau penjahat, terserah saja.”

Pembajak kapal

Dan, pengembaraan Sahrudin ternyata penuh warna. Dia pernah bekerja di bengkel sambil meneruskan sekolah di Kendari, menjadi penjaga rumah di Jakarta, dan menjadi buruh tambang timah. Dia kemudian pulang tahun 2003 dan hidup tenang di Tomia hingga sekarang. Selama di pengembaraan, dia sempat bertemu orang-orang sepulau dengan berbagai profesi, dari buruh hingga perompak.

Kisah Sadar (30) tak kalah berwarna. Dia lahir di sope-sope (rumah perahu) ketika ayahnya sakai (mengembara) di tengah lautan. ”Sejak saat itu saya hidup di perahu dan belajar hidup dari lautan luas,” ujar Sadar, anak suku Bajo atau suku laut yang kini tinggal di permukiman Bajo di Mola, Wangi-Wangi.

Ketika Sadar berusia tujuh tahun, ayahnya mendorong dia mengembara untuk melihat dunia. Dia dititipkan ke sebuah kapal pengangkut hasil bumi. Di sana, dia mendapat peran sebagai tukang masak dan pelayan nakhoda. Selama setahun ikut kapal itu, dia melihat Poso, Manado, Maluku, Tanjung Pinang, Malaysia, Singapura, dan Brunei.

Setelah setahun, Sadar pulang ke rumah. Ketika itu, ayahnya bertanya, ”Apa saja yang kau lihat di pengembaraan?”

Sadar menceritakan apa yang dia lihat, termasuk semua hambatan selama di pengembaraan. ”Saya bilang, ’saya belum mengerti navigasi alam’,” katanya.

Hari itu juga ayahnya membawa Sadar ke laut. Dia mengajarinya memahami cuaca, membaca rasi bintang, cuaca, angin, dan mengenali arus laut. ”Begitulah orang Bajo mengajari anaknya memahami dunia. Semua ilmu diturunkan dengan bahasa tutur,” ujar Sadar.

Sejak berusia 13 tahun, dia mengembara di darat selama bertahun-tahun. Dia mencari ilmu di sekolah hingga mampu meraih gelar sarjana Jurusan Bahasa Inggris dari Universitas Hasanuddin. Sekarang, Sadar menjadi peneliti suku Bajo, sukunya sendiri.

Ditinggal suami

Tradisi mengembara ini melahirkan kisah lain yang tidak kalah menarik. Salah satunya tentang nasib perempuan di kampung yang ditinggal suami ”buang diri”.

Di Kulati, Pulau Tomia, yang didiami orang-orang Buton, ada Wa Jania (40) yang telah 10 tahun ditinggal suami mengembara. ”Sejak dia pergi, tak pernah ada kabar. Mungkin dia sudah kawin lagi,” katanya kesal.

Wa Jania pun harus membesarkan empat anaknya seorang diri di sebuah rumah berlantai tanah, berdinding papan pinjaman tetangga. Untuk makan sekeluarga, dia mengandalkan kebun singkong dan meti (daerah pasang-surut) tempat gurita, kerang, dan bulu babi ditemukan.

Perempuan senasib Wa Jania mudah ditemukan di Tomia. Aminudin (42), warga Kulati, mengatakan, di sekitar rumahnya ada 10 perempuan yang ditinggal suami. ”Ada yang sudah 20 tahun ditinggal dan anak-anaknya tidak tahu wajah bapaknya.”

Barangkali, inilah kisah pahit dari tradisi mengembara meski, kata Sahrudin, soal ini dianggap jamak dan merupakan bagian dari perjalanan hidup keluarga-keluarga suku pengembara.

”Meski ditinggal orangtua merantau, hubungan kami tetap dekat,” ujarnya.

Orang-orang Bajo, Buton, dan Ciacia merupakan potret rakyat jelata yang tangguh dalam menghadapi kehidupan keras tanpa mengeluh.

(Sumber tulisan dari Kompas)

Jumat, 26 November 2010

Method of Destruction: Get A Real Job!


Standing on a corner. Frozen to the bone. You have to make a living. But you'd rather be at home.Your eyes start getting heavy. Still you forge on. Wake up and face the world.

GET A REAL JOB!

Standing on a corner. Frozen to the bone. You have to make a living. But you'd rather be at home.Your eyes start getting heavy. Still you forge on. Wake up and face the world.

AND GET A REAL JOB
GET A REAL JOB

You get a little older. Your bones are brittle and weak. Dizzy in the morning. Your pulse is sounding weak. You hate to go to work. Just living for a job. Wake up and smell the coffee. And get a real job!

GET A REAL JOB
GET A REAL JOB
GET A REAL JOB
GET A REAL JOB

Soon you will retire. Or maybe have a stroke. You cannot feel your finger tips. Because some veins have closed. But still you drive a hack or push a hotdog cart. Now it's too late for you. To get a real job!

(Get A Real Job by Method of Destruction)

***

Waktu sekolah dulu memang suasananya berbeda. Di jaman itu, ketika mendengarkan Method of Destruction (MOD) yang berjudul Get a Real Job ini, saya tidak memiliki perasaan apa-apa. Saya hanya senang dengan tempo lagunya yang agresif. Tempo yang memacu adrenalin saya sebagai seseorang yang berada dalam fase pubersitas dan cinta mati pada thrash metal. Tetapi, perasaan mendengarkan band yang berasal dari New York ini menjadi berbeda, ketika saya berada di umur yang ke-25 seperti sekarang.

Saya hanya bisa ketawa masam pagi ini. Ketawa masam, ketika mengingat bagaimana perawakan tambun sang vokalis MOD Billy Milano. Saya membayangkan, mungkin saja Billy Milano sekarang tertawa terkekeh-kekeh sambil memegang bir melihat saya mendengarkan kembali lagunya setelah kurang lebih delapan tahun terlupakan. Mungkin dia akan berkata, "Now you get the point? I'm sure now you understand exactly what i was singing about!"

Hahah. The man...Billy Milano.

Dialah vokalis dengan selera humor paling sinis dan sarkastis yang pernah saya tahu selama ini. Di album "Loved by Thousand...Hated by Millions", dia menghina dan menertawakan peristiwa bunuh dirinya vokalis Nirvana, Kurt Cobain. Dia menulis catatan eksplanasi sinis dan sarkas yang ditujukan kepada Cobain dalam lagu berjudul 'Buckshot Blues':


"Suicide must never be taken lightly, I have personally felts its effects. However, only a drugged out moron that is so assbackwards and spineless would kill himself because life is cruel. Well...i got some news, life isn't cruel when you have ten million fucking dollars. Kurt Cobain was obviously a drugged out idiot who made as much sense as his lyrics, Fuck him and Seattle - Die! Die! Die!"

Dia menyinggung tentang puncak karir Cobain yang penuh gelimangan harta dan pujian dengan kondisi keterasingan manusia modern yang kepuasan batinnya tetap berkarat, tidak perduli seberapa banyak dia telah mengumpulkan kekayaan dan kesuksesan.  Life isn't cruel when you have ten million fucking dollars.

Billy Milano adalah seorang trasher komedian yang paling tidak pernah tedeng aling-aling bila menghina orang lain. Dan saya rasa, saat ini lawakannya telah tertuju tepat ke kehidupan saya yang terlalu lama berada di kampus, dan tidak punya pekerjaan apa-apa selain merokok di kamar dan bakar weed.

Mendengarkan lagu 'Get A Real Job' ini sepertinya telah merubah pagi saya menjadi sebuah komedi :D

***
Mungkin bila tertarik mengetahui lagu 'Get A Real Job' bisa unduh lagunya di sini.

Kamis, 25 November 2010

How Does It Feel?


(Picture taken from here)



Brief questions. Just pick one answer that most suitable to your daily philosophy.


How does it feel...to have an adorable tiny weed in your soft hands?

  1. it feels like holding galaxy and get sucked by something called black hole
  2. it feels like in endless sea, turned into dolphins and jump with shinny cute smile on my face like :)
  3. it feels like grasping the essential truth of the universe; an essence of what lies within smoke that pushing human nature to its most prolific realm of dimension.
  4. it feels like....just smile and wave...smile and wave....
  5. all the options mentioned above is cheerfully suitable for every convenient usage.




Senin, 22 November 2010

Heart Ache and Dethroned

Rating:★★★
Category:Music
Genre: Childrens Music
Artist:Jesu
Oh yes...ternyata kamu balik lagi...make kover mirip-mirip Weezer segala lagi...tapi ga papa deh...saya masih mau tidur sambil dengerin kamu kok. Dah lama nih ga dibuai sama ambiens beraroma metallic shoegazer. Sare ah.

===========================
Lullabies to heavily heaven:
http://www.tinydl.com/musics-and-clips/1059178980-jesu-heartache-dethroned-2010.html

Si Tangan Tak Terlihat

Saya teringat beberapa perbicangan tentang pasar bebas beberapa waktu lalu. Tentang bagaimana doktrin yang ada di dalam term pasar bebas itu terus-menerus dikumandangkan, dan secara perlahan kita mengamininya. Salah satu doktrinnya adalah mengenai keharmonisan.

Minggu, 21 November 2010

Si Tangan Tak Terlihat

Saya teringat beberapa perbicangan tentang pasar bebas beberapa waktu lalu. Tentang bagaimana doktrin yang ada di dalam istilah pasar bebas itu terus-menerus dikumandangkan, dan secara perlahan kita mengamininya. Salah satu doktrinnya adalah mengenai keharmonisan. Bagaimana setiap pertentangan-pertentangan yang ada dalam sebuah 'pasar' akan terselesaikan begitu 'sang tangan tak terlihat' seperti turun dari khayangan dan mengambil tindakan. Oleh sebab itu, mereka-mereka yang berpartisipasi didalam pasar tidak perlu dikekang. Sebaliknya mereka haruslah dibebaskan, karena dengan begitu, setiap orang dapat memuaskan hasratnya. Bila sekiranya hasrat itu terlampau destruktif, maka otomatis 'tangan tak terlihat' itu akan mengoreksinya. Membersihkannya dengan krisis, menyeleksi mereka-mereka yang mengalami destruktif akut, dan memulainya lagi dengan mereka yang lolos dari seleksi 'tangan tak terlihat'. Setelah itu, segalanya akan kembali "harmonis". 

Aku ingat seseorang berkata, "tetapi siapakah pasar itu?" 

Pertanyaan orang itu membuatku juga bertanya-tanya, terdiri dari apakah gerangan dibalik sesuatu bernama pasar bebas itu? Pastinya, 'gerangan' yang ada didalam pasar itu bukanlah hantu-hantu yang tidak terlihat, seperti si 'tangan tak terlihat' itu. Mereka seperti para sekumpulan pemegang saham, para spekulan finansial, para ceo korporasi multi industri, dan sepertinya, penjual sorabi eceran kembali dikecualikan dalam urusan ini.

Tidak ada yang harmonis bila melihat komposisi partisipan pasar bebas seperti itu. Sebagai pemilik yang mengantongi sarana produksi terkuat, mereka bisa menghajar siapapun yang menghalanginya meningkatkan laba. 'Proses seleksi alam' tidaklah senatural anugerah alam itu sendiri. Si Tangan Tak Terlihat itu tidaklah netral seperti didalam angan-angan. Dia tidaklah seadil seperti khayalan ratu adil yang dicita-citakan para patriot nasionalis yang putus asa. Tetapi dia mengerlingkan mata kepada pemberi kredit terkuat, dan memberi tatapan Medusa kepada mereka-mereka yang gagal bayar.

Pasar bebas bukan masalah suatu keadaan yang harmonis karena ada Tangan Tak Terlihat. Tetapi tentang adanya logika yang mengharuskan yang lain tumbang, sementara yang terkuat terus melaju. Dan munculnya logika ini terletak dalam hubungan sosial masyarakat itu sendiri. Hubungan sosial yang melalui perjalanan sejarah mendasarkan dirinya pada kepemilikan individual atas sarana produksi untuk akumulasi kapital. Hubungan sosial yang mengharuskan adanya kerja paksa orang lain yang diperhalus melalui bentuk upah agar proses akumulasi kapital terus berlangsung dengan skala yang meningkat.

Tidak ada doktrin hukum besi yang eksis diluar hubungan sosial manusia seperti Tangan Tak Terlihat. Interaksi dan pertentangan diantara merekalah yang memoles hukum-hukum yang dilihat sebagai keniscayaan itu. Tidak ada yang sakral. Semuanya hanyalah hasil proses sejarah yang ditulis oleh darah dan api. Dan manusia-manusia yang tersebar di jalanan yang paling kumuh, manusia-manusia yang kepuasan batinnya berkarat oleh desakan reproduksi hidupnya, dan cemas akan jaminan hari esok yang tidak secerah iklan asuransi, menjadi saksi atas peradaban pasar bebas yang mengharuskan penundukkan sejumlah besar massa manusia dari jenis-jenis mereka, ketimbang partisipasi dari mereka. Tidak ada yang harmonis dalam kebajikan pasar bebas.

Keterlambatan


(Gambar oleh Robert E. Harney)


Seringkali gerutuan itu datang atas sikap saya yang selalu menunda-nunda. Mereka melihat diri ini terlalu santai. Terlalu menganggap remeh segalanya, tanpa menaruh perhatian yang serius. Padahal, itulah yang terpenting: perhatian. Di sisi lain, saya pun 'awas' terhadap kekurangan ini. Tetapi, sikap bebal itu sepertinya memang ada didalam diri saya. Pada akhirnya, keterlambatan menjadi kata yang familiar bagi saya. Semenjak makna yang dikandungnya sering saya jumpai dimana-mana dalam keseharian.