(FOTO: KOMPAS/PRIYOMBODO)
Anak-anak bermain ayunan tali di pantai di Kampung Waha, Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Sabtu (30/10). Wakatobi merupakan pusat segitiga karang dunia dan diresmikan sebagai taman nasional pada tahun 1996 dengan total area mencapai 1,39 juta hektar.
Oleh: Budi Suwarna
Betapa molek Wakatobi. Namun, sebagian besar penduduknya barangkali tidak sempat menghiraukan keindahan kepulauan itu. Pasalnya, sepanjang usia, mereka sibuk mengembara atau ”buang diri”.
Buat penduduk Wakatobi—baik suku Bajo, Buton, maupun Ciacia—mengembara merupakan episode wajib dalam perjalanan hidup mereka. ”Kalau tidak mengembara, kita malu, tidak punya cerita,” ujar Sahrudin (34), warga Kabupaten Wakatobi (kependekan dari Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko), Sulawesi Tenggara.
Ketika usia tujuh tahun pada tahun 1983, anak muda dari suku Buton ini telah diajak ibunya mengembara ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Mereka menyusul ayahnya yang pergi mengembara sejak Sahrudin lahir. ”Itulah pertama kali saya bertemu Bapak,” ujarnya.
Tidak lama hidup bersama, dia ditinggal ibunya yang bekerja di pabrik kayu lapis. Sementara ayahnya merantau ke Singapura. Sahrudin pun harus tinggal bersama tetangganya. Setelah tiga tahun, dia dibawa pulang ke rumah neneknya di Tomia. Ayah-ibunya merantau lagi dan Sahrudin tidak selalu tahu di mana mereka berada.
”Kami hanya bertitip kabar lewat tetangga yang kebetulan merantau. Kabar itu akan disampaikan berantai. Kadang, setelah enam bulan, kabar baru sampai. Maklum, dulu belum ada handphone,” ujarnya.
Ketika berusia 20 tahun, Sahrudin memulai pengembaraannya sendiri. ”Kami menyebutnya ’buang diri’, menyerahkan diri kepada nasib. Nanti di perantauan jadi pengusaha, buruh, atau penjahat, terserah saja.”
Pembajak kapal
Dan, pengembaraan Sahrudin ternyata penuh warna. Dia pernah bekerja di bengkel sambil meneruskan sekolah di Kendari, menjadi penjaga rumah di Jakarta, dan menjadi buruh tambang timah. Dia kemudian pulang tahun 2003 dan hidup tenang di Tomia hingga sekarang. Selama di pengembaraan, dia sempat bertemu orang-orang sepulau dengan berbagai profesi, dari buruh hingga perompak.
Kisah Sadar (30) tak kalah berwarna. Dia lahir di sope-sope (rumah perahu) ketika ayahnya sakai (mengembara) di tengah lautan. ”Sejak saat itu saya hidup di perahu dan belajar hidup dari lautan luas,” ujar Sadar, anak suku Bajo atau suku laut yang kini tinggal di permukiman Bajo di Mola, Wangi-Wangi.
Ketika Sadar berusia tujuh tahun, ayahnya mendorong dia mengembara untuk melihat dunia. Dia dititipkan ke sebuah kapal pengangkut hasil bumi. Di sana, dia mendapat peran sebagai tukang masak dan pelayan nakhoda. Selama setahun ikut kapal itu, dia melihat Poso, Manado, Maluku, Tanjung Pinang, Malaysia, Singapura, dan Brunei.
Setelah setahun, Sadar pulang ke rumah. Ketika itu, ayahnya bertanya, ”Apa saja yang kau lihat di pengembaraan?”
Sadar menceritakan apa yang dia lihat, termasuk semua hambatan selama di pengembaraan. ”Saya bilang, ’saya belum mengerti navigasi alam’,” katanya.
Hari itu juga ayahnya membawa Sadar ke laut. Dia mengajarinya memahami cuaca, membaca rasi bintang, cuaca, angin, dan mengenali arus laut. ”Begitulah orang Bajo mengajari anaknya memahami dunia. Semua ilmu diturunkan dengan bahasa tutur,” ujar Sadar.
Sejak berusia 13 tahun, dia mengembara di darat selama bertahun-tahun. Dia mencari ilmu di sekolah hingga mampu meraih gelar sarjana Jurusan Bahasa Inggris dari Universitas Hasanuddin. Sekarang, Sadar menjadi peneliti suku Bajo, sukunya sendiri.
Ditinggal suami
Tradisi mengembara ini melahirkan kisah lain yang tidak kalah menarik. Salah satunya tentang nasib perempuan di kampung yang ditinggal suami ”buang diri”.
Di Kulati, Pulau Tomia, yang didiami orang-orang Buton, ada Wa Jania (40) yang telah 10 tahun ditinggal suami mengembara. ”Sejak dia pergi, tak pernah ada kabar. Mungkin dia sudah kawin lagi,” katanya kesal.
Wa Jania pun harus membesarkan empat anaknya seorang diri di sebuah rumah berlantai tanah, berdinding papan pinjaman tetangga. Untuk makan sekeluarga, dia mengandalkan kebun singkong dan meti (daerah pasang-surut) tempat gurita, kerang, dan bulu babi ditemukan.
Perempuan senasib Wa Jania mudah ditemukan di Tomia. Aminudin (42), warga Kulati, mengatakan, di sekitar rumahnya ada 10 perempuan yang ditinggal suami. ”Ada yang sudah 20 tahun ditinggal dan anak-anaknya tidak tahu wajah bapaknya.”
Barangkali, inilah kisah pahit dari tradisi mengembara meski, kata Sahrudin, soal ini dianggap jamak dan merupakan bagian dari perjalanan hidup keluarga-keluarga suku pengembara.
”Meski ditinggal orangtua merantau, hubungan kami tetap dekat,” ujarnya.
(Sumber tulisan dari Kompas)
5 komentar:
pengin ke sana lagiiiiiii
ya tinggal ke sana lagilah :D
mahal kalau harus bayar sendiri
gipsinya laut nih bo, jd salah juga kalau penulis ini bilang pengembara wakatobi, rumah mereka? ya laut.. salut
enya..hehe, unik oge kebiasaanna..
Posting Komentar