Para pemikir berdebat. Saling mengkritisi teori dan paradigma yang konon menentukan bagaimana dunia berjalan saat ini. Tak pelak beberapa bahkan menyerang ke jantung ontologi filsafat itu sendiri. Bahwa esensi makrokoskmos pun adalah sesuatu yang bodoh untuk dibicarakan, karena prinsip verifikasi esensi itu sendiri omong kosong alias meragukan. Beberapa pemikir lantas menjadi nihilistik: tidak ada keabsahan, apa yang riil adalah pengalaman yang bersifat temporer. Akan ada pemahaman yang lain. Cara pandang yang lain. Jadi inilah yang ditawarkan: biarkan dirimu bermain-main dan terbawa hanyut.
Dan inilah yang ada di benakku saat ini: bahwa mereka, para pemikir itu, hanyalah orang-orang yang tidak pernah memikirkan bagaimana cara mereka agar bisa makan. Untuk urusan itu, setidaknya mereka tidak perlu khawatir. Bahkan kedai seperti di pinggiran Kota Paris tempat mereka membicarakan berbagai macam ide-ide abstrak dengan gaya penuturan bahasa langit menunjukkan dari lapisan sosial mana mereka datang.
Dari tempat seperti demikian, mungkin tidak akan terdengar apa yang dibicarakan Usep tentang status pegawai kontraknya. Status yang menunjukkan bagaimana sistem pembagian kerja yang semakin mengkhusus itu, dalam mode produksi kapitalis, pada akhirnya menjadi pembunuh bagi manusia. Pembunuh, karena manusia bisa didepak kapan saja untuk digantikan dengan manusia yang lain. Pembunuh, karena dengan pola demikian, manusia menjadi impersonal: dia bukan apa-apa, selain operator berjiwa baut yang bisa dicari di toko material kapan saja setelah baut itu aus.
Usep masih ada hingga saat ini, dan permasalahannya masih relevan untuk diperbincangkan: mode produksi kapitalisme.
Menjadi hal yang memalukan bila pemikir yang bergulat dengan ide-ide besar,abstrak, dan 'keren', itu bila pada akhirnya hanya berleha-leha menikmati moccachino sambil mengagungkan dirinya sendiri sebagai bagian dari lapisan intelektual. Agen yang baginya berarti menandakan majunya sebuah peradaban. Sementara dirinya menjadi suatu bagian yang eksklusif, memisahkan diri dari orang-orang yang justru membutuhkan pertolongannya. Sungguh memalukan. Karena ide dan pengetahuan bukanlah dimaksudkan untuk membanggakan diri, tetapi untuk merubah realitas sosial yang timpang.
============
Dan inilah yang ada di benakku saat ini: bahwa mereka, para pemikir itu, hanyalah orang-orang yang tidak pernah memikirkan bagaimana cara mereka agar bisa makan. Untuk urusan itu, setidaknya mereka tidak perlu khawatir. Bahkan kedai seperti di pinggiran Kota Paris tempat mereka membicarakan berbagai macam ide-ide abstrak dengan gaya penuturan bahasa langit menunjukkan dari lapisan sosial mana mereka datang.
Dari tempat seperti demikian, mungkin tidak akan terdengar apa yang dibicarakan Usep tentang status pegawai kontraknya. Status yang menunjukkan bagaimana sistem pembagian kerja yang semakin mengkhusus itu, dalam mode produksi kapitalis, pada akhirnya menjadi pembunuh bagi manusia. Pembunuh, karena manusia bisa didepak kapan saja untuk digantikan dengan manusia yang lain. Pembunuh, karena dengan pola demikian, manusia menjadi impersonal: dia bukan apa-apa, selain operator berjiwa baut yang bisa dicari di toko material kapan saja setelah baut itu aus.
Usep masih ada hingga saat ini, dan permasalahannya masih relevan untuk diperbincangkan: mode produksi kapitalisme.
Menjadi hal yang memalukan bila pemikir yang bergulat dengan ide-ide besar,abstrak, dan 'keren', itu bila pada akhirnya hanya berleha-leha menikmati moccachino sambil mengagungkan dirinya sendiri sebagai bagian dari lapisan intelektual. Agen yang baginya berarti menandakan majunya sebuah peradaban. Sementara dirinya menjadi suatu bagian yang eksklusif, memisahkan diri dari orang-orang yang justru membutuhkan pertolongannya. Sungguh memalukan. Karena ide dan pengetahuan bukanlah dimaksudkan untuk membanggakan diri, tetapi untuk merubah realitas sosial yang timpang.
============
Karawang, 19 Mei 2010. Suatu hari dengan sawah yang terbentang luas dekat sebuah perkampungan, dan jalan bebas hambatan untuk arus modal di sisi lainnya yang jauh disana (namun lambat laun kupikir akan sampai juga ke bentangan sawah itu).
9 komentar:
you are a robot, man machine
you are nothing, but numerical data for a statistical purposes
timpang tindih
dari tadi saya cari kutipan soal pemikir yang pernah ditemukan di masa lalu tapi ngga ketemu, kira-kira ajalah: life is something that philosopher dealt in a book that no one read..
waktu jaman filsuf, era nya masih ada pola perbudakan. kehidupan filsuf sendiri malah ditopang sama budak, makanya kenapa filsuf bisa mikir yang 'aneh-aneh': karena mereka punya banyak waktu luang buat ngelakuin berbagai aktivitas. kalo sekarang kan beda, waktu manusia mayoritas diisi sama kerja, aktivitas yang produktif buat perkembangan dirinya sama buat bertahan hidup. tapi anehnya, mayoritas ga suka kerja. salah satu keluhannya: ga bisa ngelakuin aktivitas lain, terlalu banyak waktu yang dihabisin sm menyita tenaga hanya untuk bekerja di dalam kantor atau di lapangan. jadinya aneh. teknologi makin canggih, tapi kerja malah makin sibuk. waktu kerja bukannya semakin pendek, tapi makin brutal: kadang sampai kebawa-bawa kerumah. ada semacam perampokan tenaga-kerja dengan waktu kerja yang lebih dari porsi seharusnya.
klo misalnya ada perombakan besar-besaran di tatanan masyarakat soal pencurian waktu kerja lebih ini...saya sih yakin, mayoritas bakal "berurusan dengan buku tentang kehidupan yang dibaca oleh filsuf dimana tidak ada seorang pun yang ngebacanya" itu. hehe. soalnya ada waktu luang, setelah kerja yang benar-benar untuk dirinya sendiri (bukan untuk kerakusan orang lain) itu selesai.
kalau balik lagi ke quote yang di atas. apa yang saya tangkep dari quote itu mengandaikan klo pengetahuan hanya bisa diketahui oleh filsuf. dengan begitu filsuf jadi bagian dari elit, karena pengetahuannya tersebut. kata saya sih, semua orang bisa menggali pengetahuan, asalkan pertama-tama keterbatasan lingkungannya di ilangin (keharusan kerja sehari penuh seperti kuda atw penghilangan waktu-kerja lebih).dan juga klo udah terbebas dari ketakutannya akan pemenuhan kebutuhan hidup, dan ketergantungannya sm org lain yg punya alat produksi untuk pemenuhan kebutuhan idup itu. dengan kondisi kya gitu, sya yakin klo manusia bisa berkembang dan pd akhrnya semua jadi filsuf...ga ada istilah2 elit lagi. hahah, kedengeran muluk emg (tapi gua percaya aja deh).
oya, untuk masalah orang yang males atw berotak bebal seperti itu, menurut saya itu mah masalah personal...tapi ada dua kemungkinan ttg orang yg sperti itu: orang itu ngelakuin sesuatu yang ga disukainnya, jadinya bawaannya males atw ngebangkang. kemungkinan kedua, emg dasarnya tu orang males dan berotak bebal sampe ke ubun-ubun.
heu, ada komentar atw sanggahan lebih lanjut mungkin?
oya, makasih komentarnya, gan. cheersh :)
tumpang tindik
terjadi di sini yang ngga lagi kerja toward joy and pleasure
*geleng-geleng kepala*
mungkin mayoritas ngga suka kerja karena udah ngga nganggep kerja sebagai sarana ngembangin diri dan cuma buat bertahan hidup.. udah lupa kalau kerja harusnya buat senang-senang, ngga tau kenapa, gara-gara uang dan nilai barang? gara-gara target yang tambah tinggi? gara-gara pasar bebas yang ngebawa persaingan gila-gilaan? gara-gara spesifikasi spesialisasi?
sebenernya kutipannya bukan tentang eksklusivitas filsuf sih tapi soal bahasan tentang hidup yang berlarut-larut sementara hidupnya terus berjalan tapi ya bebaslah, hehe..
wuahahah...si sayah ga nangkep maksud. kagok lah ya, ngalor-ngidul namanya juga. ngeles :D
tanyanya ke bos yg py tanggungjawab sm pemilik saham atuh itu mah :)
Posting Komentar