Minggu, 30 Mei 2010

Berita, Media Massa, Konglomerasi (Bag. 1)

Berhubung pengangguran, iseng-iseng melototin tayangan dua stasiun televisi berita: si tivi 'merah' sama si tivi 'biru'. Soalnya isunya menarik, tentang empat tahun lumpur Lapindo. Iseng-iseng juga ngeliat gimana kedua tivi itu ngarahin beritanya. Soalnya jadi menarik kalau mengaitkan juga antara berita tentang lumpur Lapindo dengan gimana posisi kedua tivi itu berdasarkan kepemilikannya. Si tivi 'merah' dimiliki oleh klan saudagar yang berpengaruh saat ini: Bakrie. Sedangkan si tivi 'biru' dikuasai oleh dude with beard and mustache: Paloh.

Dilihat dari kepemilikan, khususnya kepemilikan tivi 'merah', asumsi saya untuk tivi 'merah' ini apes bila berurusan dengan segala sesuatu mengenai pemberitaan Lapindo. Soalnya, pemilik tivi 'merah', yaitu Bakrie, adalah pihak yang juga terkait dengan kasus Lapindo. Semburan lumpur itu terjadi di wilayah bisnisnya.



Kalau melihat kaitan antara bisnis Bakrie, seperti Lapindo dengan tivi 'merah' itu, kira-kira apa yang mungkin terjadi? Khususnya bila menyangkut pemberitaan mengenai Lapindo? relasi-relasi kekuasaan seperti apa yang mungkin terjadi? Apakah pada akhirnya si tivi 'merah' mendapatkan 'kebebasan' dalam meliput berita tentang Lapindo tersebut, ataukah sebaliknya? Ga ada yang tahu, kecuali mungkin petinggi-petinggi tivi 'merah' dan klan Bakrie itu sendiri. Sebaliknya untuk seorang pengangguran, seperti saya, pada akhirnya hanya bisa melototin tayangan berita yang sudah jadinya saja.

Tapi...lebih baik melototin tayangan beritanya saja dulu, daripada berbelit-belit ngomongin masalah kepemilikan yang berada di piramida paling atas. Lagipula, berita adalah komoditi utama media massa[1]. Konon, praktik media massa terkait erat dengan proses sosial yang berubah-ubah; dinamis dan tak statis. Maka supaya bisa iseng-iseng ngeliat proses sosial yang berubah-ubah tersebut, konon, ada poin yang bisa dijadiin pijakan untuk memahaminya, dan salah satu poinnya yaitu komoditi. Jadi, mari mencoba liat bagaimana penayangan berita empat tahun bencana lapindo di tivi 'merah' dan tivi 'biru' tersebut.

Pemberitaan si Tivi 'Biru' dan Tivi 'Merah'

Pertama-tama, saya tertarik kepada pemberitaan yang ditayangkan oleh tivi 'biru' pada Sabtu (29/05/10) sekitar pukul 13.00 WIB. Durasi pemberitaannya cukup lama, ada kira-kira dua puluh menit. Topik pemberitaannya adalah mengenai korban yang masih bertahan di Lapindo, korban yang belum menerima ganti rugi selama empat tahun, lalu semacam 'human interest' tentang awal mula bencana semburan lumpur, hingga bagaimana pemerintah berusaha menyelesaikan bencana tersebut. Saya pikir, tivi 'biru' secara topik cukup beragam. Mereka berusaha untuk menayangkan berita yang komprehensif mengenai bencana lumpur Lapindo ini. Lalu, saya pindahin itu saluran ke no. 1: si tivi 'merah'. Tayangannya bukan tentang lumpur Lapindo, tapi tentang suatu peristiwa di luar negeri. Tapi, ga lama kemudian...ini dia, berita tentang Lapindo. Berita di tivi 'merah' dibuka dengan topik sama seperti tivi 'biru'; tentang korban yang masih bertahan di sekitar wilayah bencana. Setelah itu, topik berganti mengenai bagaimana senangnya perasaan korban lumpur Lapindo, ketika tinggal di hunian baru yang disediakan oleh pihak Lapindo Berantas sebagai kompensasi atas kerugian yang didapat akibat semburan lumpur:

Reporter: Bagaimana perasaannya tinggal di tempat baru?
Pengungsi: Wah, sudah enak disini. Tempat yang dulu jauh beda dibandingin tempat yang sekarang. Jauh lebih nyaman lah kalo di tempat sekarang.

Setelah wawancara mengenai masalah hati ke hati (baca: perasaan) dengan korban tersebut, berita langsung berganti tema. Kali ini bukan tentang lumpur Lapindo lagi, tetapi mengenai para siswa SMK di Solo yang bisa merakit mobil sendiri. Rencananya pada bulan Agustus 2010 mobil tersebut akan diluncurkan. Mobil itu juga, konon, akan dinobatkan sebagai mobil nasional. Berita ini penting juga, berkaitan dengan investasi kapital dan kemungkinan lapangan pekerjaan baru....

Skip. Balik lagi tentang pemberitaan Lapindo.

Kalau dibandingin antara pemberitaan si tivi 'biru' dan 'merah' mengenai empat tahun bencana Lapindo, secara kuantitatif si tivi 'biru' kayanya cocok disebut sebagai stasiun tivi yang berusaha untuk menyajikan berita dengan komprehensif. Hal itu diliat dari beragamnya topik serta durasi pemberitaan yang cukup lama. Sedangkan si tivi 'merah' secara kuantitatif lebih sedikit mengangkat pemberitaan mengenai Lapindo: tidak lebih dari dua topik. Durasi pemberitaannya pun tidak sepanjang si tivi 'biru'. Lalu, bila dibandingkan secara kualitatif, yaitu diliat dari bobot isi berita, si tivi 'biru' bisa dibilang lebih baik dari si tivi 'merah'. Sebabnya, dalam pemberitaan si tivi 'biru' ada usaha untuk mempertanyakan masalah yang berlarut-larut di Lapindo. Mulai dari masalah pengungsi yang belum mendapat ganti rugi, hingga pihak yang seharusnya bertanggungjawab mengenai permasalahan yang ada di Lapindo. Sedangkan si tivi 'merah' secara isi cenderung deskriptif, dan lebih ditekankan kepada 'human interest' saja (dan itupun 'human interest' mereka yang sudah hidup enak). Dalam hal ini, saya kira pemberitaan tivi 'biru' lebih baik, dibandingkan tivi 'merah'.

Lantas, apakah dengan posisi demikian, artinya tivi 'biru' adalah stasiun terbaik, karena menyajikan berita yang cukup komprehensif? Saya melihatnya, pemberitaan dari kedua stasiun tivi itu berada di ranah persaingan bisnis. Jadi, menurut saya, tidak pada tempatnya dilihat mana yang lebih baik atau buruk dalam konteks pemberitaan yang dilakukan kedua stasiun tivi itu. Lagipula, belum tentu si tivi 'biru' adalah tivi yang berani dalam memberitakan segala sesuatunya. Apa jadinya bila Paloh itu sendiri adalah pemilik Lapindo Brantas? Apakah tivi 'biru' akan memberitakan dengan cukup komprehensif bencana itu, seperti sekarang? Belum tentu. Bisa jadi, pemberitaan tentang bencana Lapindo malah tidak ada sama sekali di tivi 'biru', dan sebaliknya, giliran si tivi 'merah' yang jadi buas memberitakan Lapindo, hingga membongkar sampai ke akar-akar yang boroknya. Siapa yang tau.

Dalam hal ini, saya membayangkan ibarat dua orang pengusaha saling bersaing dan menjadi rival sejak dulu kala, bukan masalah mana dari kedua pengusaha itu yang paling baik. Dan cara bermain bisnis, khususnya dalam hal bersaing dengan rival dalam berbisnis, dikenal jargon: know your enemy, atau diperbuas lagi menjadi: ketahui kelemahan lawan (Saya tidak tahu jargon ini ada di butir keberapa dari petuah bijak Sun Tzu di buku-buku kiat sukses berbisnis itu). Hanya saja menjadi lumrah dalam berbisnis untuk mengetahui kelemahan lawan, lalu memanfaatkannya agar mencapai keuntungan bisnis itu sendiri. Terbuka kemungkinan, bagaimana pemilik tivi 'biru' mengetahui kelemahan pemilik tivi 'merah' (mis. dengan posisi Bakrie yang memiliki saham di Lapindo Brantas dan juga tivi 'merah') lalu memanfaatkannya dengan membuat berita yang komprehensif seperti itu, dengan tendensi akhir menyudutkan tivi 'merah'. Bahkan berekspektasi lebih agar tivi 'merah' itu bangkrut sekalian, supaya tidak ada saingan lagi.

Komposisi Saham dan Pemberitaan (tivi 'merah')

Namun demikian, lepas dari masalah spekulasi persaingan bisnis, kalau saya ngeliat - secara sekilas - komposisi pemberitaan si tivi 'biru' dan tivi 'merah', dan juga bagaimana institusi kedua tivi itu dalam hal kepemilikan, saya melihatnya ada 'sesuatu'. Pertama, lihat dulu komposisi keluarga Bakrie dalam hal kepemilikan saham di Lapindo Brantas dan tivi 'merah'. Saham Lapindo Brantas, 100% dipegang oleh PT. Energi Mega Persada melalui anak perusahaannya, yaitu PT. Kalila Energy Ltd (84,24%), dan Pan Asia Enterprise (15,76%). PT. Energi Mega Persada sebagai pemilik saham Lapindo Brantas merupakan anak perusahaan Grup Bakrie. Grup Bakrie memiliki 63,53% saham, sisanya dimiliki komisaris EMP, Rennier A.R. Latief (3,11%), Julianto Benhayudi (2,18%), dan publik (31, 53%). Sedangkan Chief Executive Officer (CEO) Lapindo Brantas Inc. adalah Nirwan Bakrie yang merupakan adik kandung pengusaha bernama Aburizal Bakrie itu sendiri.


Lalu untuk komposisi kepemilikan saham tivi 'merah' terdiri dari PT. Visi Media Asia (49%), PT. Redal Semesta (31%), Good Response Ltd (10%) dan Promise Result Ltd (10%). Lihat komposisi PT. Visi Media Asia (VMA) sebagai pemilik saham terbesar. Porsi kepemilikan saham VMA saat ini terdiri dari Anindya N. Bakrie (lebih dari 50%), Rosan P. Roeslani lewat PT Recapital Advisor (20%), dan Erick lewat PT Metropolis Media Nusantara (dibawah 15%). Lihat lagi komposisi pemilik saham terbesar VMA; Anindya N. Bakrie. Anindiya Bakrie adalah anak pertama dari Aburizal Bakrie. Selain itu, sehari-harinya mengurus perusahaan telekomunikasi dan media (Bakrie Telecom, dan VIVA Media Group - antv, tvOne, dan vivanews.com) dan wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Media dan Telematika.

Apa yang didapat bila sekilas melihat komposisi kepemilikan saham di Lapindo Brantas, dan si tivi 'merah'? Kita akan melihat bagaimana semuanya mengerucut ke satu grup, yakni Bakrie. Disini terlihat bagaimana konglomerasi berlaku lewat kepemilikan saham.

Selanjutnya, setelah melihat komposisi pemilik saham, baik di Lapindo Brantas dan tivi 'merah', dimana ternyata dikuasai oleh grup yang sama (bahkan berkeluarga), selanjutnya dilihat sekilas bagaimana pemberitaan tivi 'merah' tentang bencana lumpur di Sidoarjo. Seperti yang sudah di tulis di atas, secara kuantitatif, porsi pemberitaan tivi 'merah', Sabtu (29/05/10), sekitar pukul 13.00 WIB, lebih sedikit mengangkat pemberitaan mengenai Lapindo: tidak lebih dari dua topik. Secara kualitatif, isi berita tivi 'merah' cenderung deskriptif, dan lebih ditekankan kepada 'human interest' saja.

Komposisi saham dan pemberitaan (tivi 'biru')

Selanjutnya beralih ke tivi 'biru'. Tivi Biru dimiliki oleh Media Group, suatu kelompok usaha media yang dipimpin oleh Surya Paloh. Pada awalnya, komposisi kepemilikan saham tivi 'biru' adalah Surya Paloh (75%), dan PT. Bimantara Citra Tbk. (25%). Sejak Juni 2003, Bimantara menjual sahamnya ke PT Centralindo Pancasakti Cellular. Porsi kepemilikan saham tivi 'biru' menjadi Surya Paloh (75%), dan PT Centralindo Pancasakti Cellular (25%). Namun demikian, Centralindo juga dikuasai oleh Surya Paloh. Dengan demikian, Secara de facto, Surya Paloh menguasai 100% saham tivi 'biru'.

Media Grup juga memiliki anak perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, yaitu PT Surya Energi Raya (PT SER). PT SER juga merupakan investor mitra Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Kabupaten Bojonegoro yakni PT Asri Dharma Sejahtera (ADS) dalam pengelolaan Participating Interest (PI) tambang minyak Blok Cepu. Selain Media Group, Surya Paloh juga merintis usaha Catering sendiri dan mendirikan PT Indocater. Selain itu ia menjabat sebagai Direktur Link Up Coy Singapore, yang bergerak di bidang perdagangan. Hampir sama dengan Bakrie, Paloh memiliki beberapa cabang usaha. Namun demikian, bedanya, tidak terdengar dan tidak terlihat apakah cabang usaha yang dimiliki Paloh berkaitan langsung dengan permasalahan yang ada di Sidoarjo itu.

Setelah melihat komposisi kepemilikan, lanjut ke pemberitaan teve 'biru' tentang empat tahun bencana lumpur Lapindo pada waktu penayangan yang hampir sama dengan tivi 'merah'. Seperti yang juga udah ditulis di atas, secara kuantitatif, tivi 'biru' menyajikan berita dengan cukup komprehensif diliat dari beragamnya topik serta durasi pemberitaan yang cukup lama. Secara kualitatif, atau bobot isi berita, dalam pemberitaan si tivi 'biru' ada usaha untuk mempertanyakan masalah yang berlarut-larut di Lapindo. Mulai dari masalah pengungsi yang belum mendapat ganti rugi, hingga pihak yang seharusnya bertanggungjawab mengenai permasalahan yang ada di Lapindo. Secara kuantitatif dan kualitatif, pemberitaan tivi 'biru' lebih beragam dan komprehensif dibandingkan tivi 'merah'.

Semacam Curhat

Pertanyaan lebih lanjut, apakah melihat kondisi kepemilikan tivi 'merah' dan tivi 'biru' menunjukkan 'sesuatu'? khususnya dalam hal pengaruhnya bagi pola pemberitaan tentang empat tahun bencana lumpur Lapindo? menurut saya ada, dan untuk membuktikannya memang perlu usaha lebih lanjut: analisis isi kuantitatif; untuk menangkap frekuensi pemberitaan dan kecenderungan pemberitaan, analisis isi kualitatif; untuk mengungkap isi pesan yang tersirat, penelitian organisasional menyangkut kondisi redaksional dan perusahaan, serta analisis ekonomi-politik media untuk melihat bagaimana faktor kepemilikan media mempengaruhi rutinitas media massa itu sendiri. Berbagai level penelitian itu sepertinya bisa dielaborasi untuk menggambarkan kondisi media dan pengaruh proses serta relasi sosial dalam pemberitaan secara lebih utuh dan menyeluruh. Saya sadar, tulisan saya ini adalah tulisan yang ompong; semata-mata didasarkan atas pengamatan sekilas, tanpa ada verifikasi melalui serangkaian tata cara penelitian yang ketat. Maklum, pengangguran.

Namun demikian, sekaligus sebagai penutup tulisan bagian kesatu ini, saya teringat mengenai definisi berita yang secara tidak langsung menggambarkan bagaimana media massa tidak terlepas dari pengaruh kepentingan-kepentingan:

Berita mengandung simbol dan imej yang maknanya dapat mempengaruhi khalayak. Namun demikian, dalam industri media, berita juga merupakan salah satu komoditi yang berfungsi untuk mendapatkan nilai-lebih atau profit. Mosco (2009) mencatat:

“Capital turns labor power into a newspaper article or column which, along with other stories and advertising, forms a packaged product. It sells the newspaper package in the marketplace and, if it succesful, earns a profit or surplus value, which it can then invest by expanding its newspaper business or by investing in any other venture that promises additions to capital.”

Di industri media, berita mengalami sebuah proses komodifikasi atau proses merubah dan menambahkan nilai pada barang dan jasa, yang sebelumnya diukur berdasarkan nilai-guna, menjadi komoditi yang diukur berdasarkan nilai-tukar. Dalam mode produksi kapitalis, tujuan proses komodifikasi tidak terbatas pada penciptaan nilai-tukar saja, tetapi juga pada penciptaan nilai-lebih atau profit. Adanya orientasi terhadap profit itu disebabkan oleh kekuatan kapital atas kontrol terhadap alat produksi, salah satunya, dalam perspektif komunikasi, seperti kepemilikan saham atas perusahaan media. Dengan kata lain, selain memiliki nilai-guna dalam hal memberi informasi kepada khalayak, berita sebagai sebuah nilai-tukar berada dalam kondisi yang juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi pemilik media dan penentu kebijakan.



[1] Bahkan dengan berita, audiens juga menjadi pekerja gratisan bagi media massa (kuantitas jumlah audiens benar-benar berguna bagi media massa untuk dijual kepada pengiklan).

2 komentar:

Anonim mengatakan...

bagian 2-nya mana bo?

silumantulen mengatakan...

hehe, saya sibuk dik. belum sempat.