Jumat, 04 Juni 2010

ngacapruk: a global tribe called metal

Ada antusiasme dan juga haru, ketika menonton film dokumenter mengenai kondisi metalhead dari dunia ketiga berjudul Global Metal (2008). Sebabnya, metal itu sendiri adalah kesenangan yang saya nikmati selama kurang lebih empat belas tahun ini. Melihat bagaimana metalhead secara eksistensial di negara-negara yang terdengar 'kaku' dan selintas tidak akan nyambung dengan metal, seperti Cina, India, dan Arab Saudi, memberikan semacam rasa 'sepenanggungan' juga. Terbayang, bagaimana mereka - para metalheads itu - akan dilihat secara aneh oleh orang-orang, ketika memasuki tempat ibadah, karena dandanan mereka begitu 'mengerikan': rambut gondrong, kucel, dan baju Slayer bertuliskan 'God Hates Us All'.

"kegamangan adat-istiadat", dalam beberapa hal, pastinya akan terdengar sama untuk metalheads yang dilingkupi tradisi 'timur' seperti itu: bagaimana dalam suatu masyarakat religius, kamu malah mengamini ide-ide mengenai satanisme; atau dalam sebuah keluarga yang menjunjung tinggi kesopanan, kamu malah memakai kaos yang gambarnya perempuan telanjang berdarah-darah dengan usus terburai dari perutnya, dan di atas gambar itu ada sebuah tulisan: Cannibal Corpse. Hell. Pasti saja ada 'persinggungan' disitu. Dan bagusnya, terlepas dari segala keabsurdan yang ada dalam metal, 'gaya hidup' yang berbeda dengan 'mayoritas' itulah yang selalu membuat metal terus saja hadir. 

Suku Global

Dalam dokumenter yang menyoroti kondisi serta perkembangan metalheads dari tujuh negara (Brazil, Jepang, India, Cina, UEA, Indonesia, Israel), ada sebuah pernyataan menarik yang keluar dari Sam Dunn, sang kreator Global Metal. Menurutnya, metal saat ini telah menjadi sebuah suku global (global tribe). Metal telah dan terus menyebar ke luar dunia aslinya, seperti Eropa, dan AS. Metal telah menjangkau wilayah-wilayah yang selama ini justru terdengar asing dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Metal melabrak batas kebudayaan yang dalam hal tertentu kontradiktif dengan originnya, namun sekaligus identik dengan originnya itu. Dunn lantas mengaitkan penyebaran metal ini dengan ungkapan yang seringkali didengungkan: sebagai efek globalisasi.

Pernyataan Dunn itu menarik untuk disimak, karena penyebaran metal itu sendiri, dalam konteks dunia ketiga, tidak serta merta muncul seperti sulap. Setidaknya ada kesempatan-kesempatan struktural, serta interaksi agensi yang membuat metal menjangkau wilayah-wilayah dunia ketiga. Dalam hal ini, terliberalisasinya perekonomian suatu negara, beserta investasi kapital yang segera menyusul, seringkali menjadi alasan bagaimana metal di suatu negara bisa eksis.

Lihat saja contoh mengenai perkembangan metal di Brazil. Satu sumber metalhead dari Brazil dalam dokumenter Global Metal, mengatakan, bahwa heavy metal lahir begitu kediktatoran militer di negara Samba tersebut usai. Sumber itu juga menyebutkan, bahwa kebebasan, serta akses informasi menjadi terbuka pasca 1985. Dengan begitu, segera menyusul dampak kultural dari kebebasan serta akses informasi yang terbuka lebar tersebut; seperti bagaimana metalheads lokal mulai merilis albumnya secara underground, dan dalam tataran yang lebih mainstream, diselenggarakannya festival musik Rock in Rio pada Desember 1985 yang menyedot penonton hingga satu juta orang.

Selain Brazil, kondisi metalheads di Cina juga menunjukkan fenomena yang unik. Baru pertengahan 90an, Cina terbuka secara perekonomian dengan dunia luar. Untuk urusan metal, seorang metalheads dari Cina mengatakan, bahwa baru sepuluh tahun perjalanan Heavy Metal di Cina. Hal itu berbarengan dengan mulai terbukanya perekonomian Cina terhadap perekonomian kapitalisme global.

Lalu, melihat perkembangan scene metal di Cina, dapat dilihat juga bagaimana interaksi orang lokal Cina yang bersentuhan dengan dunia luar memberi dampak pada perkembangan scene heavy metal. Seperti Kaiser Kuo, pentolan dari dedengkot band heavy metal Cina, yaitu Tang Dynasty (konon, 89% anak muda Cina mengetahui metal, karena sebelumnya mendengarkan Tang Dynasty). Masa kecil Kuo dihabiskan di New York. Pada masa remaja, sekitar tahun 1988, Kuo kembali ke Cina. Dari situ kemudian dia membentuk Tang Dynasty. Kuo juga mengatakan, informasi mengenai metal pada era '80 akhir seringkali datang dari anak-anak  pejabat duta besar di Cina, atau anak pengusaha perusahaan multinasional yang bertempat di Cina. Disini kita melihat, bahwa metal, dalam konteks dunia ketiga, datang juga dari mereka yang memiliki akses kekuasaan yang telah mapan; yang biasa tinggal di luar negeri, atau anak pejabat/pengusaha.

Bila melihat kedua kasus di Brazil serta Cina, setidaknya ada dua faktor yang mensyaratkan perkembangan metal di suatu negara dunia ketiga. Pertama, faktor struktur perekonomian negara yang terintegrasi dengan perekonomian kapitalisme global, serta kedua, adanya suatu kelas masyarakat yang mapan dan memiliki akses terhadap informasi dunia luar. Berbeda dengan bagaimana perkembangan heavy metal di Eropa serta Amerika sendiri, dimana awal mula kehadiran heavy metal tidak datang dari kelas yang mapan secara sosial. Seperti Black Sabbath, contohnya. Band ini lahir dari kelas pekerja. Semua personil awal band ini pada mulanya adalah pekerja pabrik.

Subsuku Metal Global: Bandung, Indonesia.

Melihat perkembangan metal di kedua negara itu, membuat saya berpikir tentang negara saya sendiri; Indonesia. Dibandingkan kedua negara itu, saya kira Indonesia memiliki tradisi musik populer yang panjang. Artefak yang berharga dari hal itu mungkin bisa dilihat majalah Aktuil yang lahir pada tahun 1967. Tepat dua tahun setelah kondisi ekonomi dan politik negara menjadi lebih berpaling pada kapitalisme global.

Namun saya kira untuk melihat perkembangan heavy metal underground di Indonesia, khususnya di Bandung, titik pentingnya ada di era '90an. Alasannya, pada era inilah musik heavy metal mulai menggeliat. Bagaimanapun juga Aktuil belum pernah mengangkat mengenai isu heavy metal yang benar-benar ekstrim. Lagipula, pada jaman awal mula Aktuil lahir, genre heavy metal ekstrim seperti itu belum lahir. Musik paling ekstrim pada jamannya, paling hanya 'hard rock' atau 'prog-rock' bila dikategorikan pada jaman sekarang. Sebaliknya pada era sembilan puluhan, nama-nama seperti Slayer, Sepultura, Metallica, Anthrax, sudah mulai berkibar dan sangat-sangat, ekstrim secara musikal.

Saya berpikir, bila ada penelitian yang menyangkut bagaimana ide-ide seperti heavy metal bisa masuk ke Indonesia, khususnya Bandung, sepertinya menarik. Terutama penelitian yang merefleksikan kekuatan produksi serta komposisi kelas suatu masyarakat (Bandung) kala itu. Bagaimana pun juga, bagi dunia ketiga, heavy metal bukanlah barang yang berasal dari 'masyarakat pada umumnya'. Tetapi ia adalah semacam cangkokan dari luar negeri. Mereka yang pada jaman itu bisa mengakses informasi mengenai heavy metal, kemungkinan besar adalah mereka yang berasal dari kelas yang mapan secara ekonomi. Jadi kemungkinan besar, pada saat itu heavy metal bersifat elitis, alih-alih 'merakyat'. Bayangkan saja, era '90an, TVRI jaya pisan, radio RRI pisan, internet belum sefamiliar seperti sekarang. Istilah sok indonesia, seperti 'unduh' atau 'unggah' - yeuh, keureut ceuli urang!- pasti belum sepopuler sekarang. Sebaliknya, Pak Pos masih sering berkeluyuran di sekitar komplek untuk membagi-bagikan surat. Melihat keterbatasan-keterbatasan seperti itu, kemungkinan besar mereka yang bersentuhan dengan dunia heavy metal, minimal pernah merasakan, bagaimana naik pesawat terbang ke luar negeri.

Dengan penelitian mengenai heavy metal yang dilihat dari kekuatan produksi dan komposisi kelas masyarakat pada saat itu, saya kira akan berguna bagi metalheads lokal untuk meredefinisikan kembali heavy metal yang seringkali dianggap sebagai "perlawanan individual terhadap norma-norma mainstream" itu.

Soalnya, bagi dunia ketiga, heavy metal bisa dikatakan sebagai 'anak kandung kapitalisme', dan disisi lain, bentuk perlawanan dari heavy metal itu sendiri yang sering didengung-dengungkan, tiada lain hanya "pertunjukkan" belaka. Dimana layaknya sebuah pertunjukkan, setelah usai, mereka boleh melanjutkan hidupnya kembali seperti semula. Dibahasakan lebih simpel; bentuk perlawanan dari heavy metal adalah bentuk perlawanan yang kontraproduktif dan melulu konsumtif.  

Kontraproduktif, dilihat dari bagaimana bentuk perlawanan heavy metal pada akhirnya selalu menjadi bagian dari kapitalisme, dan hanya eksis di atas panggung. Konsumtif, karena kita semua tahu, metal akan selalu terkait dengan komoditi. Mulai dari band itu sendiri, rilisan-rilisan, t-shirt, hingga pernak-pernik omong kosong lainnya. Kita semua tahu sama tahu, terkait masalah komoditi, kita seringkali terjebak pada masalah 'pride', semacam unjuk kekuatan siapa yang paling metal dilihat dari kaos band yang dikenakannya, atau musik dari band apa saja yang sudah didengarkannya. Dimana, cara seperti itu, pada titik yang satu membuat kita malah semakin terekstraksi kedalam pola konsumtif. 'Konsumsi komoditi metal'. Walaupun, pada titik yang lain, berhenti mengkonsumsi 'komoditi metal' juga sama dengan omong kosong, karena dengan mengkonsumsi band yang kita cintai, adalah salah satu cara menikmati metal. Kita senang membeli cd band yang kita sukai, begitupun dengan kaosnya, emblemnya, atau pernak-pernik lainnya. Dari situ seringkali kita mempunyai pemahaman tersendiri tentang siapa kita dan bagaimana kita memandang diri kita dalam dunia profan ini.

Dari poin ini, saya pikir bila ada sebuah dokumen yang menunjukkan konteks historis heavy metal yang merefleksikan pola produksi serta komposisi susunan kelas masyarakat yang menopangnya, kita mempunyai semacam cermin yang menunjukkan dari mana kita berasal. Dengan bekal cermin itu, konteks perlawanan yang ada dalam heavy metal setidaknya bisa diperbaharui dan dibawa ke level lain. Level yang tidak sekadar menjadikan perlawanan seperti pertunjukan sirkus saja, tetapi perlawanan yang riil; dalam tataran ide dan praksis yang berorientasi perubahan ke tataran sistem yang lebih humanis.   

Ya, heavy metal hanyalah musik dan kesenangan belaka, buat apa muluk-muluk ngomongin perubahan segala...

Tapi benarkah hanyalah musik dan kesenangan belaka?       

Tidak ada komentar: