Semester 2
telah terlewati dengan cukup susah payah. Kubilang susah payah karena
sebenarnya banyak urusan di luar perkuliahan yang harus dihadapi dan ditangani.
Di satu sisi, ada tuntutan pekerjaan dan segala problematika di dalamnya.
Kemudian, di sisi lain, ada tuntutan tugas-tugas perkuliahan yang harus
diselesaikan supaya uang Rp 13,5 juta per semesternya tidak tersia-siakan. Di
samping itu, persoalan pribadi pun tidak luput dari hal-hal yang harus diatasi.
Bila dipikir-pikir, semua itu terasa tidak mudah untuk dijalani. Tapi, entah
kenapa aku bisa melaluinya.
Meskipun
sudah bisa melewatinya, namun aku berpandangan masa bodoh dengan nilai
akhirnya. Aku tidak terlalu ngotot untuk masalah nilai. Biarkan ia menjadi
urusan belakangan. Aku tidak memasang target tinggi untuk nilai karena yang
penting semua tugas dan ujian sudah bisa dikerjakan dengan baik. Proses dan
pengetahuan yang terpenting. Bukan nilai akhir.
Ada
kesenangan juga sebenarnya ketika ku menjalani perkuliahan ini. Bertemu dengan
teman baru yang memiliki beragam latar belakang, ada obrolan-obrolan tentang
kehidupan yang belum tentu bisa kudapatkan dalam keseharian, dan juga ada
masa-masa bermain yang menyenangkan.
Bila
kupikir-pikir lagi, entah menakjubkan atau ironis, tapi dengan fakta bahwa aku
bisa mendapatkan kesenangan, pertemanan dan gaya hidup yang baru itu, aku harus
mengeluarkan uang sebesar Rp 64 juta (dan ada kemungkinan lebih besar nilainya
bila tesis tidak lancar). Hal seperti ini membuatku berpikir lagi, apakah
memang segala hal yang diraih di dunia ini harus didahului dengan uang? Apakah uang telah menjadi pintu masuk yang
krusial bagi setiap hal di kehidupan ini?
No pain no gain, kata
orang-orang. Tidak ada hasil yang memuaskan bila tidak ada usaha yang keras.
Bisa jadi, dari sudut pandang ini, uang yang kukeluarkan adalah suatu bentuk
usaha untuk tujuan yang ingin kucapai. Uang menjadi semacam tampakan luar dari
upaya manusia. Dalam kehidupan, ada hal-hal yang memang tidak tampak. Misalnya
saja, keinginan manusia. Keinginan tidak akan tampak bila hanya di dalam benak
saja. Keinginan tidak akan menjadi apa-apa ketika dia hanya berada di dalam
benak manusia. Keinginan tidak akan
terlihat oleh siapapun karena ia tidak berwujud. Namun ketika keinginan itu
diwujudkan melalui serangkaian upaya, maka keinginan itu kemudian tampak oleh
yang lainnya. Dan begitulah, engkau hadir di Kampus Salemba dan kehadiranmu
membawa kehidupan ke serangkaian cerita lainnya: engkau bertemu dengan
orang-orang baru, berbincang-bincang dengan topik yang ringan dan berat, menyempatkan minum kopi bersama di sebuah
warung pinggir jalan, menenggak minuman keras di sudut gedung perkotaan Jalan
Thamrin pada suatu malam bersama mereka. Semua itu berawal dari keinginan yang mewujud ke
dalam sebuah upaya, dimana didalamnya uang memegang peranan yang tidak kecil.
Ibarat katalisator, uang memungkinkan keinginan itu mewujud. Ia tidak sekadar
potensi di dalam benak sendiri saja.
Namun
bagaimana dengan mereka yang tidak mempunyai uang? Apakah keinginan itu akan
selamanya hanya menjadi potensi yang hanya diketahui dirinya sendiri saja?
Selamanya tidak akan terwujud bila ia belum juga menggenggam uang?
Kenyataannya, sebagian besar orang mengalami hal seperti itu. Banyak orang yang
bahkan mengubur keinginannya untuk kuliah karena tidak memiliki uang. Kemudian,
bila ditarik kepada peranan uang sebagai pintu masuk yang krusial untuk setiap
pengalaman hidup, maka tidak akan semua orang bisa mendapatkan suatu pengalaman
hidup. Dengan demikian, ketimpangan akses terhadap pendidikan itu tentu nyata
adanya.
Tentu saja,
dalam konteks dunia pendidikan ini, ada beragam cara untuk menghilangkan
halangan uang ini. Pemerintah dan lembaga swasta kerap mengucurkan dana
beasiswa. Tapi, aku sangsi bila jumlah beasiswa yang ada itu bisa mewujudkan
seluruh potensi orang-orang yang memang ingin kuliah.
Di titik
ini, aku merasa hidupku adalah sebuah anomali. Aku masih sering tidak
mempercayai bila kuliah yang kujalani ini dibiayai dari tabunganku sendiri.
Kuhitung-hitung, tabungan selama 6 tahun bekerja bisa membiayai kuliah di
universitas yang tergolong nomor satu di negeri ini. Di satu sisi, aku takjub
sendiri. Tapi di sisi lain, aku was-was juga. Setidaknya uang simpananku
terkuras oleh kuliah ini dan aku sebenarnya sudah berada di garis kemiskinan. Apalagi,
akhir-akhir ini pencairan gajiku sudah mulai terlambat. Aku seperti berjudi
dengan nasib. Dan di atas semua itu, muncul pertanyaan yang kerap
berputar-putar di dalam benak: sebenarnya, tujuan kuliah itu apa?
2 komentar:
Membahagiakan orang tua. Matak berat jeung mahal pisan ��
ayo segera bergabung dengan kami hanya dengan minimal deposit 20.000
dapatkan bonus rollingan dana refferal ditunggu apa lagi
segera bergabung dengan kami di i*o*n*n*q*q
Posting Komentar