Sekitar
tahun 2018 aku memberanikan diri ikut ujian saringan masuk ke Kampus Salemba.
Itu berarti untuk yang kedua kalinya aku mengikuti ujian setelah tahun 2017
gagal. Bila dipikir-pikir lagi, aku terlihat cukup ngotot untuk bisa kembali
kuliah, meskipun telah gagal dalam ujian saringan pertama yang diselenggarakan
pada tahun 2017. Entah kenapa, tapi sepertinya memang ada dorongan dari
berbagai arah.
Kalau kuingat-ingat
lagi, pikiran untuk kembali kuliah menguat ketika mess tempatku menginap di
Jakarta akan dikosongkan oleh kantor. Pengosongan mess itu terkait kondisi
keuangan perusahaan yang tidak bagus dan kisruh antar pemiliknya. Persoalan
yang cukup menyebalkan sebenarnya bagiku. Persoalan mismanajemen dan kegagapan
para pemiliknya dalam menghadapi perubahan zaman malah berdampak parah bagi
para karyawannya.
Dari
kondisi itu, pikiran untuk kembali kuliah menguat dalam benakku. Entahlah. Bila
ku melihat pasar media saat ini, semuanya memang telah berubah drastis.
Digitalisasi, internet dan semacamnya, perlahan namun pasti telah menggerus
pasar media konvensional. Bisnis berubah dan sebagai dampaknya, pendapatan
perusahaan media konvensional juga turun dengan sangat mencemaskan.
Orang-orang
saat ini tidak lagi mengandalkan koran ketika mencari informasi. Mereka bisa
mendapatkannya dari internet, dari google, dari youtube, dan semacamnya. Lantas
bila sumber informasi sudah berlimpah, muncul pertanyaan dariku, masih
relevankah tugas-tugas kewartawanan?
Beberapa
pihak memang mengatakan peran wartawan masih penting. Salah satu kunci penting
tugas kewartawanan adalah dalam proses penyaringan berita dan liputan
investigasi. Di tengah keberlimpahan informasi yang ada sekarang ini, demikian
kata orang-orang, masyarakat umum perlu mendapatkan informasi yang “benar”.
Dalam artian, bebas dari hoaks, bisa diandalkan dan akuntabilitasnya baik.
Untuk bisa seperti itu, maka harus ada orang-orang yang “paham” mengenai
penyaringan sumber informasi yang benar-benar penting bagi khalayak.
Selain itu,
poin penting lainnya dari tugas kewartawanan adalah menjadi pengawas sebuah
kekuasaan dominan, atau dalam hal ini, pemerintahan. Di sini, peranan
jurnalisme investigatif ambil bagian. Dan untuk melaksanakan tugas investigasi,
katanya, tidak semua orang bisa melakukannya. Tidak semua orang, di tengah
keterbukaan informasi yang berlimpah seperti sekarang ini, paham teknik
jurnalistik dan juga tidak semua orang memiliki insting mencari berita dan
memiliki jaringan narasumber yang luas.
Setidaknya
dua hal itu yang sering kudengar bila mempertanyakan relevansi wartawan di era
digital dan internet seperti sekarang ini. Dua hal yang sebenarnya masih
kuragukan. Kanal informasi kini telah terbuka lebar dari berbagai lini.
Seandainya dari 100 kanal informasi mengenai peristiwa A yang ada, sebanyak 70
di antaranya terbuka lebar sedangkan 30 di antaranya telah disaring oleh
perusahaan media jurnalistik. Apakah secara bisnis hal itu bisa menguatkan industri
jurnalistik? Bila dari 100 kanal tersebut ternyata iklan banyak yang tersedot
ke 70 lini informasi (baik itu media sosial, website dan lain-lain), sedangkan
di lini yang 30, iklan memang masih ada namun mengalami penurunan yang
signifikan, apakah kondisi seperti itu bisa menguatkan peranan industri media
jurnalistik dalam menyuguhkan informasi yang “benar” kepada pembacanya? Sepertinya,
bisnis punya logikanya sendiri dalam permainan ini dan ia tidak melihat hal-hal
yang sifatnya idealis muluk-muluk. Bisnis murni rasional dan dengan demikian,
ia kejam karena tidak melihat apapun selain laba.
Sebagai
tambahan, apakah cara berpikir menyaring dan menyuguhkan informasi yang “layak”
kepada pembaca masih relevan bagi jurnalisme di tengah banjir informasi dari
berbagai lini seperti sekarang? Internet dan digitalisasi telah memungkinkan
setiap orang kini mengungkapkan mana informasi yang layak dan tidak bagi
dirinya sendiri. Bukan tanpa alasan bila ilmuwan-ilmuwan sosial kini
memunculkan konsep-konsep echo chamber,
post-truth, ketika membicarakan
digitalisasi dan internet. Kini, setidaknya orang-orang telah dimungkinkan
untuk menyeleksi dan mempercayai sendiri informasi yang paling menyenangkan
buat diri mereka. Terlepas dari apakah informasi itu benar secara faktual atau menyesatkan
sekalipun.
Kemudian
investigasi...ini adalah proyek yang besar dan melelahkan. Aku sangsi bila
untuk ukuran koran, laporan investigasi bisa terus menerus disajikan setiap
hari layaknya straight news. Berita investigasi tidaklah main-main. Ia
memerlukan perencanaan yang matang, kerjasama tim (itu berarti sumber daya
manusia yang banyak) dan keberanian dari perusahaan media. Bahkan untuk
disajikan secara periodik seminggu sekali atau sebulan sekali - setidaknya bila
melihat kondisi di perusahaan tempatku bekerja sekarang - aku sangsi laporan
investigasi bisa dilakukan secara konsisten. Dan karena masih tidak jelas, aku
belum melihat seperti apa peluang jurnalisme di tengah digitalisasi dan
internet seperti sekarang.
Lalu, kalau
kita melihat kondisi tenaga kerja di dunia media juga semakin mencemaskan.
Dulu, ketika media massa konvensional masih mapan, wartawan seringkali dianggap
sebagai pekerjaan yang bergaji rendah (dan itu memang benar untuk sebagian
besar perusahaan media di Indonesia). Ada mitos-mitos yang muncul terkait gaji
kecil para wartawan ini: “kalau ingin kaya, jangan jadi wartawan”, “wartawan itu
miskin, tapi batinnya kaya”, “wartawan itu tidak mencari untung, tapi melayani
masyarakat”, dan bla-bla-bla lainnya yang mungkin muncul di kemudian hari.
Di antara
kekacauan yang terjadi dalam pola organisasi dan pasar, itulah yang membuatku
terpacu memilih kuliah sebagai...ya, mungkin bisa dibilang pelarian. Bila pasar
media sekarang sudah berubah drastis semenjak digitalisasi dan internet, kemudian
relevansi jurnalistik dipertanyakan, maka bagaimana dengan ilmu yang kupelajari
saat masih sarjana dahulu? Apakah dalam tahun-tahun ke depan ijazah sarjana
ilmu komunikasi yang kumiliki masih relevan? Di sini kupikir ilmu yang akan
kupelajari di Kampus Salemba bisa mengatasi persoalan relevansi itu. Ijazahnya
bisa kupakai sebagai modal bersaing di pasar tenaga kerja pada tahun-tahun ke
depannya.
Pikiran
seperti itu sebenarnya menyedihkan. Pikiran itu berlawanan dengan semua yang
ditulis Roem Topatimasarang dalam bukunya Sekolah
Itu Candu. Tidak ada alasan “pendidikan untuk pembebasan” dalam ceritaku.
Semua alasan semata-mata adalah persoalan persiapan untuk mengadu nasib di
pasar tenaga-kerja, bersaing dengan sesama pekerja lainnya untuk bisa terserap
di industri yang kapitalistik. Murni pragmatis.
Secara
gambaran besarnya, ironis juga bila aku melihat posisi lembaga pendidikan sebagai
penyokong industri sehingga aku harus berpikir ijazahnya bisa membawaku selamat
di persaingan pasar kerja. Terlebih lagi bila melihat kebijakan pemerintahan
sekarang ini yang akan mengembangkan sekolah vokasi. Dalam kerangka penyokong
industri, maka semua ilmu yang diajarkan harus diarahkan sesuai dengan
kebutuhan industri. Konsekuensinya, bila suatu ilmu dianggap tidak relevan
dengan industri, maka ia tidak berguna. Padahal, belum tentu demikian. Ilmu
seharusnya tidak melihat kebutuhan industri, namun ilmu seharusnya melihat
bagaimana dan seperti apa kontribusinya bagi peningkatan kualitas akal budi
manusia. Idealnya, lembaga pendidikan itu berdiri sebagai unit independen dari
kepentingan industri, bukannya dependen. Tapi...itu hanya cara pandang “seharusnya”.
Bila melihat cara pandang “nyatanya”, itu akan berbeda lagi ceritanya.
Sebenarnya,
kalau dibilang tersesat, mungkin sepertinya aku memang tersesat memandang semua
ini. Aku melihat diriku...seperti, di sinilah aku, berada di tengah skema besar
yang saling terkait. Tidak ada pertanyaan tentang kehendak bebas. Tapi, engkau
dipaksa, didorong, untuk bergumul di lumpur pekat, mencoba berbuat sesuatu yang
kau anggap terbaik supaya bisa membebaskan diri dari genangan lumpur. Meskipun,
belum tentu perbuatan-perbuatan itu adalah yang terbaik bagi dirimu.
Mungkin di
sinilah aku sebenarnya saat ini, berjalan di tengah kabut tebal yang
menghalangi pandangan. Hati sanubarimu berharap matahari meninggi dan cahayanya
mulai menggerus kabut yang mengelilingimu sedari tadi. Membuat pandanganmu menjadi
semakin terbuka dalam melihat jalan setapak yang mengarah ke sebuah tempat di
depan sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar