Kamis, 06 Juni 2019

Menari Di Dalam Pusaran Kabut (Pikiranmu)



Sekitar tahun 2018 aku memberanikan diri ikut ujian saringan masuk ke Kampus Salemba. Itu berarti untuk yang kedua kalinya aku mengikuti ujian setelah tahun 2017 gagal. Bila dipikir-pikir lagi, aku terlihat cukup ngotot untuk bisa kembali kuliah, meskipun telah gagal dalam ujian saringan pertama yang diselenggarakan pada tahun 2017. Entah kenapa, tapi sepertinya memang ada dorongan dari berbagai arah.

Kalau kuingat-ingat lagi, pikiran untuk kembali kuliah menguat ketika mess tempatku menginap di Jakarta akan dikosongkan oleh kantor. Pengosongan mess itu terkait kondisi keuangan perusahaan yang tidak bagus dan kisruh antar pemiliknya. Persoalan yang cukup menyebalkan sebenarnya bagiku. Persoalan mismanajemen dan kegagapan para pemiliknya dalam menghadapi perubahan zaman malah berdampak parah bagi para karyawannya.

Dari kondisi itu, pikiran untuk kembali kuliah menguat dalam benakku. Entahlah. Bila ku melihat pasar media saat ini, semuanya memang telah berubah drastis. Digitalisasi, internet dan semacamnya, perlahan namun pasti telah menggerus pasar media konvensional. Bisnis berubah dan sebagai dampaknya, pendapatan perusahaan media konvensional juga turun dengan sangat mencemaskan.

Orang-orang saat ini tidak lagi mengandalkan koran ketika mencari informasi. Mereka bisa mendapatkannya dari internet, dari google, dari youtube, dan semacamnya. Lantas bila sumber informasi sudah berlimpah, muncul pertanyaan dariku, masih relevankah tugas-tugas kewartawanan?

Beberapa pihak memang mengatakan peran wartawan masih penting. Salah satu kunci penting tugas kewartawanan adalah dalam proses penyaringan berita dan liputan investigasi. Di tengah keberlimpahan informasi yang ada sekarang ini, demikian kata orang-orang, masyarakat umum perlu mendapatkan informasi yang “benar”. Dalam artian, bebas dari hoaks, bisa diandalkan dan akuntabilitasnya baik. Untuk bisa seperti itu, maka harus ada orang-orang yang “paham” mengenai penyaringan sumber informasi yang benar-benar penting bagi khalayak.

Selain itu, poin penting lainnya dari tugas kewartawanan adalah menjadi pengawas sebuah kekuasaan dominan, atau dalam hal ini, pemerintahan. Di sini, peranan jurnalisme investigatif ambil bagian. Dan untuk melaksanakan tugas investigasi, katanya, tidak semua orang bisa melakukannya. Tidak semua orang, di tengah keterbukaan informasi yang berlimpah seperti sekarang ini, paham teknik jurnalistik dan juga tidak semua orang memiliki insting mencari berita dan memiliki jaringan narasumber yang luas.

Setidaknya dua hal itu yang sering kudengar bila mempertanyakan relevansi wartawan di era digital dan internet seperti sekarang ini. Dua hal yang sebenarnya masih kuragukan. Kanal informasi kini telah terbuka lebar dari berbagai lini. Seandainya dari 100 kanal informasi mengenai peristiwa A yang ada, sebanyak 70 di antaranya terbuka lebar sedangkan 30 di antaranya telah disaring oleh perusahaan media jurnalistik. Apakah secara bisnis hal itu bisa menguatkan industri jurnalistik? Bila dari 100 kanal tersebut ternyata iklan banyak yang tersedot ke 70 lini informasi (baik itu media sosial, website dan lain-lain), sedangkan di lini yang 30, iklan memang masih ada namun mengalami penurunan yang signifikan, apakah kondisi seperti itu bisa menguatkan peranan industri media jurnalistik dalam menyuguhkan informasi yang “benar” kepada pembacanya? Sepertinya, bisnis punya logikanya sendiri dalam permainan ini dan ia tidak melihat hal-hal yang sifatnya idealis muluk-muluk. Bisnis murni rasional dan dengan demikian, ia kejam karena tidak melihat apapun selain laba.

Sebagai tambahan, apakah cara berpikir menyaring dan menyuguhkan informasi yang “layak” kepada pembaca masih relevan bagi jurnalisme di tengah banjir informasi dari berbagai lini seperti sekarang? Internet dan digitalisasi telah memungkinkan setiap orang kini mengungkapkan mana informasi yang layak dan tidak bagi dirinya sendiri. Bukan tanpa alasan bila ilmuwan-ilmuwan sosial kini memunculkan konsep-konsep echo chamber, post-truth, ketika membicarakan digitalisasi dan internet. Kini, setidaknya orang-orang telah dimungkinkan untuk menyeleksi dan mempercayai sendiri informasi yang paling menyenangkan buat diri mereka. Terlepas dari apakah informasi itu benar secara faktual atau menyesatkan sekalipun.

Kemudian investigasi...ini adalah proyek yang besar dan melelahkan. Aku sangsi bila untuk ukuran koran, laporan investigasi bisa terus menerus disajikan setiap hari layaknya straight news. Berita investigasi tidaklah main-main. Ia memerlukan perencanaan yang matang, kerjasama tim (itu berarti sumber daya manusia yang banyak) dan keberanian dari perusahaan media. Bahkan untuk disajikan secara periodik seminggu sekali atau sebulan sekali - setidaknya bila melihat kondisi di perusahaan tempatku bekerja sekarang - aku sangsi laporan investigasi bisa dilakukan secara konsisten. Dan karena masih tidak jelas, aku belum melihat seperti apa peluang jurnalisme di tengah digitalisasi dan internet seperti sekarang.

Lalu, kalau kita melihat kondisi tenaga kerja di dunia media juga semakin mencemaskan. Dulu, ketika media massa konvensional masih mapan, wartawan seringkali dianggap sebagai pekerjaan yang bergaji rendah (dan itu memang benar untuk sebagian besar perusahaan media di Indonesia). Ada mitos-mitos yang muncul terkait gaji kecil para wartawan ini: “kalau ingin kaya, jangan jadi wartawan”, “wartawan itu miskin, tapi batinnya kaya”, “wartawan itu tidak mencari untung, tapi melayani masyarakat”, dan bla-bla-bla lainnya yang mungkin muncul di kemudian hari.

Di antara kekacauan yang terjadi dalam pola organisasi dan pasar, itulah yang membuatku terpacu memilih kuliah sebagai...ya, mungkin bisa dibilang pelarian. Bila pasar media sekarang sudah berubah drastis semenjak digitalisasi dan internet, kemudian relevansi jurnalistik dipertanyakan, maka bagaimana dengan ilmu yang kupelajari saat masih sarjana dahulu? Apakah dalam tahun-tahun ke depan ijazah sarjana ilmu komunikasi yang kumiliki masih relevan? Di sini kupikir ilmu yang akan kupelajari di Kampus Salemba bisa mengatasi persoalan relevansi itu. Ijazahnya bisa kupakai sebagai modal bersaing di pasar tenaga kerja pada tahun-tahun ke depannya.

Pikiran seperti itu sebenarnya menyedihkan. Pikiran itu berlawanan dengan semua yang ditulis Roem Topatimasarang dalam bukunya Sekolah Itu Candu. Tidak ada alasan “pendidikan untuk pembebasan” dalam ceritaku. Semua alasan semata-mata adalah persoalan persiapan untuk mengadu nasib di pasar tenaga-kerja, bersaing dengan sesama pekerja lainnya untuk bisa terserap di industri yang kapitalistik. Murni pragmatis.

Secara gambaran besarnya, ironis juga bila aku melihat posisi lembaga pendidikan sebagai penyokong industri sehingga aku harus berpikir ijazahnya bisa membawaku selamat di persaingan pasar kerja. Terlebih lagi bila melihat kebijakan pemerintahan sekarang ini yang akan mengembangkan sekolah vokasi. Dalam kerangka penyokong industri, maka semua ilmu yang diajarkan harus diarahkan sesuai dengan kebutuhan industri. Konsekuensinya, bila suatu ilmu dianggap tidak relevan dengan industri, maka ia tidak berguna. Padahal, belum tentu demikian. Ilmu seharusnya tidak melihat kebutuhan industri, namun ilmu seharusnya melihat bagaimana dan seperti apa kontribusinya bagi peningkatan kualitas akal budi manusia. Idealnya, lembaga pendidikan itu berdiri sebagai unit independen dari kepentingan industri, bukannya dependen. Tapi...itu hanya cara pandang “seharusnya”. Bila melihat cara pandang “nyatanya”, itu akan berbeda lagi ceritanya.
              
              Sebenarnya, kalau dibilang tersesat, mungkin sepertinya aku memang tersesat memandang semua ini. Aku melihat diriku...seperti, di sinilah aku, berada di tengah skema besar yang saling terkait. Tidak ada pertanyaan tentang kehendak bebas. Tapi, engkau dipaksa, didorong, untuk bergumul di lumpur pekat, mencoba berbuat sesuatu yang kau anggap terbaik supaya bisa membebaskan diri dari genangan lumpur. Meskipun, belum tentu perbuatan-perbuatan itu adalah yang terbaik bagi dirimu.

Mungkin di sinilah aku sebenarnya saat ini, berjalan di tengah kabut tebal yang menghalangi pandangan. Hati sanubarimu berharap matahari meninggi dan cahayanya mulai menggerus kabut yang mengelilingimu sedari tadi. Membuat pandanganmu menjadi semakin terbuka dalam melihat jalan setapak yang mengarah ke sebuah tempat di depan sana.   

Tidak ada komentar: