Senin, 23 April 2012

Langit Terbuka Luas, Mengapa Tidak Pikiranmu? Pikiranku?

Kalau ada yang jeli, mereka pasti langsung ngeh dengan judul di atas. “Langit Terbuka Luas”? Bukankah itu adalah judul lagu Pure Saturday?

Ya, itu adalah lagu Pure Saturday, dan saya memang sengaja memasang judul itu. Alasannya, setidaknya lagu itu cocok dengan keadaan yang ku alami akhir-akhir ini. Judul lagu Pure Saturday itu pas dengan yang ingin ku tulis saat ini: saatnya untuk pikiranku, untuk diriku…dan entah, apakah para personil Pure Saturday sendiri memang memaksudkan isi lagunya seperti demikian, atau tidak. 

Pastinya,  saya hanya ingin berbagi kisah mengenai perjalanan diri. Sebuah ‘perjalanan jauh’ secara metafora. Sebuah kisah mengenai langkah yang berderap di bawah luasnya langit, dan jalan tak berujung, dimana satu-satunya kepastian hanyalah kematian.

***

Peradaban telah menjadi seperti sekarang setelah melalui proses evolusi. Sebuah perubahan yang berlangsung secara perlahan dan selektif. Selama bermiliar tahun, organisme beradaptasi dengan lingkungan eksternal dan memunculkan suatu bentuk organisme baru. Organisme baru yang pada gilirannya menghidupi lingkungan eksternal yang telah mengubahnya.

Poinnya, organisme yang tak adaptif adalah yang memastikan dirinya punah dan menjadi fosil di kedalaman tanah. Sementara mereka yang berhasil beradaptasi, berubah menjadi bentuk baru yang entah seperti apa.

Begitupun dengan diri yang telah berjalan dengan jarak yang cukup jauh ini. Perubahan demi perubahan telah terjadi. Banyak hal yang telah ditemui, dirasai, dan dikenali dalam perjalanan. Semua itu campur aduk, hingga pada suatu titik, kau bermetamorfosa menjadi sesuatu yang dibentuk oleh hal-hal di luar dirimu. Kau terbawa larut dengannya.

Dalam proses perubahan itu, ada yang hilang, dan ada juga yang baru kemudian hadir. Namun, karena diri ini adalah manusia yang dianugerahi akal, kurasa ada sensasi tertentu ketika terbawa larut dalam proses perubahan seperti itu. Sensasi itu adalah memori.

Saya tidak yakin apakah manusia purba atau bahkan binatang tak berakal seperti monyet memiliki sensasi seperti memori. Apakah monyet memiliki sisi sentimental ketika dia merasakan suatu perubahan, sisi sentimental mengenai eksistensi dirinya ketika dia bergelantungan di atas pohon pada masa lampau? Saya tidak yakin. Tetapi, saya memiliki sensasi seperti itu.

Saat menapaki jalan jauh yang tampak seolah-olah tak berujung, tiba-tiba saja langkahku melambat karena distraksi oleh suatu imaji. Dalam benakku, muncul proyeksi sesosok manusia yang datang dari waktu lampau. Sebuah sensasi tentang seseorang yang membawa ku terhenyak, dan terdiam.

Seseorang itu terlihat sedang memandang langit. Kemudian terlihat dia sedang  melepaskan pandangan ke arah perbukitan. Kemudian duduk di sisi pematang sawah. Terlihat juga dia sedang tersenyum, atau menundukkan kepala. Seseorang itu memiliki hati yang lapang walaupun masalah merundunginya dari tujuh arah mata angin.

Awan putih dan birunya langit menjadi payung bagi dirinya. Dia berjalan, menyusuri jalan setapak, dan selalu antusias setiap kali melihat hal yang menarik perhatiannya. Dia mulai mencari tahu dan berusaha keras memahami sesuatu yang menarik perhatiannya itu. Tiada hal yang lebih berhasrat baginya ketimbang memahami salah satu dari berjuta teka-teki alam semesta yang dia tinggali. Sosok manusia itu utuh dengan dirinya, sunyi, mencoba berdamai dengan dirinya sendiri, dan mencari cara untuk rujuk dengan alam.

***
Seketika melihat proyeksi sosok manusia itu, langkah terhenti. Bersamaan dengan itu pula, muncul pokok pikiran dalam benak: mungkin aku telah lupa, mungkin aku harus belajar kembali, berdamai kembali.
 

Di dunia ini, mungkin aku telah terlarut untuk mencari pengakuan, dan menjadi pengemis, Berusaha keras meminta, hanya untuk memuaskan dahaga kekosongan yang tak mampu ku isi sendiri. Namun, pada akhirnya, hanya candu yang kudapatkan. Candu yang memberi kenikmatan sekejap, namun dengan dosis yang terus-menerus, sehingga akhirnya melemahkan diriku sendiri.

Aku lupa caranya menjadi sederhana, aku lupa caranya memberi, aku lupa caranya memahami. Sama seperti aku kehilangan kemampuanku akibat candu yang semakin membuat lubang hitam keterasingan semakin menganga: semakin diisi, semakin tak puas, dan semakin terpuruklah ia.
 

Aku terhenyak. Aku berhenti berjalan. Saat ini, aku hanya membalikkan badan dan melihat ke jalan yang sudah ku lewati. Aku mencoba duduk sejenak. Berdiam diri. Membuka bekal, dan mengalihkan pandangan ke jejak langkah kaki di belakang. Aku ambil nafas dalam, dan menghembuskannya dengan perlahan.
 

Telah sampai di mana diri ini? Apa yang telah terjadi, dan di atas segala-galanya, apa yang telah berubah serta hilang dari diriku? Apa yang kulihat?
 

Mungkinkah seorang manusia dilahirkan sendirian sehingga rentan merasa terasing, dan dampaknya, dia begitu tak kuat berdiri dengan kedua kakinya? Lalu, bila demikian adanya, lantas apa yang bisa diharapkan dari seseorang yang tak bisa bertahan seperti itu? Bagaimanakah cinta bisa dibagi, bila kemampuan untuk berbagi memang tidak dimiliki? Darimanakah kemampuan untuk berbagi itu berasal?

Mungkin perubahan selalu mengandaikan adanya yang hilang…atau yang terlupakan. Bila kedua kemungkinan itu memang benar adanya…di tempat tetirahku saat ini, aku hanya ingin mencari yang sempat terlupakan. Yang kurindukan saat ini adalah diriku sendiri. Diriku yang terlupakan. Mungkin aku akan kembali mencarinya. Kuharap aku tidak lupa.        

2 komentar:

aira mengatakan...

Diburu waktu, manusia sekarang mandul untuk sekedar "mengingat yang terlupakan"

Anonim mengatakan...

langit terbuka luas, mengapa tidak dengan hatimu? hihihi.