Selasa, 27 Agustus 2013
Ride The Lightning (Pt II: Reflections)
Tulisan sebelumnya klik ini
Terlepas dari pikiran-pikiran yang muncul selama melihat James, dkk beraksi, bagaimanapun juga konser itu adalah yang terbaik yang pernah saya lihat sejauh ini. Banyak kenangan dan pikiran yang muncul saat melebur bersama ribuan metalhead di konser Metallica.
Di suatu waktu, terbesit kenangan suatu masa di Simpang Dago sekitar tahun 2003. Di tempat itu, sebuah toko baju (bukan distro, tapi toko baju standar di sisi jalan) memutar lagu Metallica berjudul Harvester of Sorrow dari album ...And Justice For All.
Saya baru saja pulang sekolah dan kebetulan sedang lewat ke depan toko baju itu. Saat itu saya berpikir, toko baju itu keren. Memutar lagu cadas dengan volume yang keras. Apalagi, Simpang Dago adalah kawasan yang ramai dan padat penduduk. Diputarnya lagu Harvester of Sorrow dengan volume yang keras seolah-olah menambahkan kekacauan baru di tengah keramaian dan kepadatan penduduk itu.
Beberapa hari setelah melewati toko baju itu, saya langsung membeli kaset Metallica album ...And Justice For All. Dan saya terus memutarnya. Tidak seperti metalheads generasi awal, ...And Justice For All menjadi pintu gerbang saya untuk mendengarkan Metallica.
Selain kilasan memori, selama konser juga terbesit pikiran mengenai perjalanan hidup saya sejauh ini. Saat teman-teman jaman sekolah dulu telah meninggalkan kesenangan akan musik metal, dan menganggapnya sebagai fase yang sudah dilewati ketika masih muda, tidak demikian halnya denganku.
Hingga saat ini aku masih rajin mencari rilisan album-album metal terbaru, membeli kaos band favorit, hingga terkadang iseng merekam riff-riff metal buatan sendiri. Fashion metal menjadi kebiasaan yang membuat diriku nyaman. Di tempat kerja, kebiasaan fashion metal sulit kulepaskan. Begitu juga ketika bermain bersama teman, atau berkumpul dengan keluarga besar.
Aku merasa, kultur metal telah membentuk persepsi diriku dalam menjalani keseharian. Selain itu, kultur itu juga membuatku memiliki pegangan ketika berinteraksi dengan orang-orang. Seakan-akan, seperti "inilah diriku yang berbeda dengan dirimu, dan masyarakat pada umumnya."
Bila kamu menyebutnya sebuah statemen mengenai "keakuan", mungkin seperti itu adanya. Saya tidak perduli dengan pandangan orang lain mengenai hal ini, apakah terkesan egois atau kekanak-kanakan. Akan tetapi, saya pikir, statement dari diri sendiri (apapun bentuknya) diperlukan. Apalagi bagi mereka yang hidup di perkotaan, dimana kulturnya cenderung mereduksi aktualisasi individu.
Kota dibangun tidak semata-mata bertujuan memberikan orang kenyamanan untuk mencari tempat tinggal saja. Tapi juga sebagai sarana untuk memutar uang, dan ekspansi usaha. Ini berlaku, baik di tataran individu maupun korporasi. Dan dalam skema seperti itu, diperlukan banyak intensitas kerja.
Namun masalahnya, sebagian besar penduduk kota mengalami intensitas kerja yang jauh di atas normal, semenjak tidak semua penduduk kota berada di jajaran direksi, CEO, atau apapun yang berada di level piramida teratas.
Banyak penduduk kota yang mencurahkan sebagian besar waktunya untuk kerja dengan waktu lebih dari jam biasanya; pegawai sebuah bank baru saja menyelesaikan pekerjaannya pukul 8 malam setelah sebelumnya dia stand by di kantor dari jam setengah 8 pagi. Manajer sebuah perusahaan transportasi harus memastikan semuanya beres, sehingga pekerjaannya baru tuntas pukul setengah 9 malam.
Dalam kondisi demikian, tidak cukup waktu luang untuk diri sendiri. Kita terus disibukkan oleh kerja. Kerja yang mayoritas penduduk kota besar dimanapun tahu; bahwa bukan hasil kerjanya yang ia tunggu, akan tetapi upah setiap akhir bulan yang ia kejar. Buruh upahan.
Dan dalam kondisi demikian, mayoritas penduduk kota larut di dalamnya. Sebagian besarnya menganggap hal itu sebagai sesuatu yang "realistis". Dan dalam kondisi demikian pula, metal selama ini menjadi kebiasaan dalam keseharianku. Sebuah pegangan ketika individualitas larut dalam skema akumulasi kapital yang seolah-olah tak pernah berakhir.
Aku tidak bermaksud menghujat teman-teman yang tidak "memetalan" lagi. Kehidupan yang dijalani orang tentunya berbeda-beda, dan kita harus menghormatinya. Lagipula, soal metal ini sebenarnya sepele dibandingkan persoalan lain, seperti politik, ekonomi, atau sosial. Ini sangat individual dan subyektif.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
abo, si anak metal. hehe..saya suka baca tulisan ini bo..
kamu lupa nulis blog siah hey
Posting Komentar