Selasa, 27 Agustus 2013

Ride The Lightning (Pt I: Overview)


Bagaimana bila Metallica hanya membawakan lagu-lagu dari album Load hingga Death Magnetic saja saat main di Gelora Bung Karno, Minggu (25/8/2013) lalu? Akankah ada koor massal dari sekitar 60.000 penonton yang tumplek di sana? Saya meragukannya.

Saya hanya merasakan, koor yang terdengar pada saat itu seakan-akan menjadi kulminasi masa-masa yang telah dilewati oleh para metalheads di Indonesia hingga saat ini. Bagi para metalheads generasi awal, Metallica tentunya memberikan kesan tersendiri. Apalagi performa Metallica di era-era awal memang sangat “panas”. Album-album awal, mulai dari Kill ‘Em All, Master of Puppets, Ride The Lightning, …And Justice For All, hingga Self Titled (Black Album) selalu digadang-gadang sebagai album terbaik sekaligus klasik dalam karir Metallica.

Semenjak album Load keluar, Metallica mengalami perubahan musik yang signifikan. Akan tetapi, hal tersebut menimbulkan hujatan di kalangan fansnya. Pasalnya, karakter musik Metallica menjadi lebih ke arah heavy hard rock yang khas dengan riff-riff southern-nya. Album tersebut dianggap sebagai tindakan mencemari ‘kekeramatan’ Metallica selama ini sebagai the holy four horsemen of thrash and heavy metal.

Hujatan dari fans semakin bertambah, ketika album berikutnya, Reload, ternyata masih menjauh dari tipikal thrash metal di era-era awal, bahkan dianggap lebih buruk dari album Load. Kemudian, keluarnya album St. Anger juga tidak merubah apa pun. Penjualan albumnya bahkan anjlok cukup tajam. Di era-era itu, kekeramatan Metallica di kancah thrash metal seakan-akan redup.

Baru hingga Metallica mengeluarkan album Death Magnetic pada 2008, kekeramatannya mulai dilirik kembali. Meski tidak seperti era Kill ‘Em All hingga Black Album. Akan tetapi, karakter musiknya mulai mendekati semangat thrash metal era awal.

***

Saat Metallica main di GBK, Minggu itu, mereka memang lebih banyak memainkan lagu-lagu dari empat album awal. Sempat muncul dalam benak saya mengenai apa yang ada dalam benak mereka ketika menyusun playlist saat tur ke Asia.

Bila tujuannya semata-mata dipengaruhi niat mengembangkan “progresifitas” musik dengan dilandasi pula keegoisan musisi, mungkin album-album Load hingga Death Magnetic yang mayoritasnya akan dimainkan. Akan tetapi, bila ternyata sebagian besar lagu-lagu “hits” saja yang dimainkan, lantas apa pertimbangannya? Takut dilempari, penonton tidak puas, atau mempertimbangkan pasar, karena menanggap massa Asia hanya mengenal Metallica ketika album-album awal saja?

Diantara kemungkinan-kemungkinan tersebut, saya pikir, ada satu konsekuensi bila dilanggar, yakni massa akan meninggalkan Metallica, atau minimal keluhan-keluhan akan bermunculan di internet. Akan menjadi hal yang tidak lucu bila itu terjadi dalam rangkaian tur. Apalagi, tur bukanlah perkara murah, karena melibatkan banyak peralatan, kru, hingga logistik transportasi.

Bukan berarti sesuatu yang salah bila Metallica hanya membawakan lagu-lagu hitsnya saja. Mungkin mereka memang menikmati memainkan lagu-lagu lawasnya, dan kemungkinan yang saya tulis di atas, pada kenyataannya, berakhir hanya dalam dugaan belaka. Dari sisi fans sendiri, mungkin itu yang mereka cari; lagu-lagu yang pernah mengiringi perjalanan hidup mereka dulu. Mereka ingin bernostalgia.

Itu bisa saja terjadi, bila melihat umur penonton di GBK saat itu yang tidak hanya dihadiri oleh kaum muda berumur 20-27 saja. Akan tetapi, banyak juga penonton yang berumur hingga 40-an. Memang sesuatu hal yang luar biasa bila mempertimbangkan genre Metallica yang berada di ranah metal. Ranah tersebut seringkali diidentikan dengan ranahnya orang-orang muda saja. Konser Metallica saat itu memang sebuah pengecualian. 


Bersambung ke sini

Tidak ada komentar: