Sabtu, 03 Agustus 2013

Apa Yang Kami Biarkan Terbakar Sebelum Padam Secara Prematur II




“Kalau memang kita harus menunggu jadi redaktur, 
nanti ketika kita memang benar-benar ada di posisi itu, 
kita juga sudah keburu cape.”    


(Tulisan sebelumnya klik disini)

Kutipan di awal adalah secuil percakapan yang dilontarkan Ari di basement tempat parkir sebuah hotel. Saat itu, kami berempat tidak jemu-jemunya ngalor-ngidul membicarakan kelakuan beberapa redaktur yang “main mata” ke sana ke sini. Main mata sampai menjadikan wartawannya tak lebih seperti bola gundu yang bisa dilempar seenaknya.

Kegeraman muncul sampai pada pertanyaan kenapa orang-orang seperti itu masih dipertahankan. Bahkan masih diberikan tugas untuk mengedit tulisan-tulisan wartawan.

Era dimana kami bekerja sebagai wartawan memang sangat pragmatis. Hari ini, saya tidak mengerti untuk apa melakukan reportase setiap hari selain agar mengisi halaman-halaman yang tidak terisi oleh iklan. Semenjak 80 persen pemasukan media berasal dari iklan, advertorial menjadi panglima. Bukan lagi politik. Apalagi ideologi. Sementara sisanya tak lebih menjadi sebuah rutinitas. Beritapun akhirnya begitu-begitu saja; kering, analisanya dangkal, dan tidak menarik.

“Saya rindu ketika masih sering menulis opini. Seperti ada yang tersalurkan. Semacam ada aktualisasi diri. Menulis hari ini sudah sangat mekanistik,” seorang teman, Bambang, berkeluh kesah memikirkan kondisi kerjanya hari ini sebagai wartawan.

Kondisi kerja yang mekanistik itu masih diperparah lagi dengan kondisi kami, para kuli tinta, yang tak ubahnya seperti kacung bila berhadapan dengan hirarki organisasi. Harus siap menghadapi penugasan dari level atas.

Masih mending bila penugasan itu memang bermanfaat bagi kami. Akan tetapi tidak demikian bila penugasan itu sudah bercampur dengan kepentingan-kepentingan level atas yang bagi kami, para kuli merangkap kacung, tidaklah penting-penting amat; keluhan pemilik sahamlah, “proyek” redakturlah, kepentingan klienlah.

Muncul keinginan dari kami agar suatu saat (kalau bisa secepatnya) orang-orang level atas itu dibasmi. Niatnya agar ada pembenahan, karena toh, ada juga orang-orang di level tersebut yang memiliki gaya kerja yang masih berpegang kepada sifat dasar jurnalisme; kritisisme.

Tetapi, semuanya memang berakhir sebatas “tetapi”. Apa yang kami bicarakan menyangkut juga sebuah sistem. Sebuah jaringan kerja yang terorganisasi, sehingga cukup sulit diotak-atik.

Akan tetapi, bila tidak bisa membasmi dengan cara cepat, kami berpikir cara lainnya adalah dengan menunggu giliran kenaikan posisi. Tetapi (“tetapi”), itu pun tentunya memakan proses waktu yang lama.

Kami berandai-andai, bila kami yang menempati posisi redaktur, bisa memiliki kesempatan merubah kondisi kerja yang selama ini turut dibentuk oleh redaktur-redaktur tersebut. Tapi (“tapi”), untuk mencapai hal tersebut, diperlukan waktu sekitar 10 tahun. Entah apa yang akan terjadi dalam kurun waktu tersebut.

Bisa saja kami berubah seperti mereka. Dalam jangka sepuluh tahun ke depan pola berpikir kami akan berubah. Mungkin saja kami telah berkeluarga, belum lagi umur yang sudah tidak muda lagi. Akan banyak hal-hal lain yang akan kami pikirkan pada saat itu. Tidak seperti saat ini ketika kami semua masih bujangan yang hanya memikirkan diri dan keinginan kami sendiri.

Sangat besar kemungkinan kami akan menjadi seseorang yang lelah karena pikiran-pikiran tersebut, dan itu merubah kami menjadi orang-orang yang pragmatis. Pada akhirnya, kondisi kerja yang kami keluhkan pada saat ini masih sama persis keadaannya dalam waktu sepuluh tahun ke depan. Siapa yang tahu.

Tedi, wartawan senior yang saat ini berada di posisi riset dan dokumentasi, tergolong wartawan yang cukup berdedikasi pada jamannya. Dia dikenal memiliki visi untuk merubah kondisi kerja di tempat kami. Pada suatu waktu, dia sempat menduduki posisi yang memungkinkan untuk mewujudkan visinya tersebut. Akan tetapi, hal tersebut tidak berhasil dia lakukan. Visi yang dia miliki ternyata tidak mendapat dukungan besar dari orang-orang sekelilingnya.

“Satu hal yang menjadi tradisi tempat ini adalah bahwa orang-orangnya telah terbiasa hidup enak. Gaji besar, tunjangan besar, nama besar, dan semacamnya, telah membuat mereka hidup dengan nyaman. Namun pada akhirnya mereka terlena. Susah menerima hal-hal baru yang bisa merubah kebiasaan mereka selama ini,” ujarnya suatu waktu kepada kami berempat.

Tidak ada komentar: