Sabtu, 10 Agustus 2013

Bandung Hardcore


Saat masih tinggal di Jakarta awal '90-an dulu, aku sempat murung seharian. Orang tuaku memutuskan pindah ke Bandung. 

Dalam bayanganku saat itu, Bandung tak lebih sebagai kota yang sepi. Masih banyak hutan, pegunungan, dan daerah-daerah yang tidak tersentuh listrik. Total primitif (setidaknya dalam bayanganku sebagai bocah yang masih berumur di bawah 10 tahun). Berbeda dengan Jakarta yang gemerlap, dan ramai oleh manusia, serta jajaran gedung yang menjulang tinggi.

Akan tetapi, kehidupan sudah berjalan kurang lebih 20 tahun di Bandung saat ini. Momen-momen menyenangkan, menyedihkan, semuanya berputar. Ada waktu dimana kamu menemukan sesuatu yang menyita antusiasme yang besar. Sesuatu yang kamu baru alami pertama kalinya, dan itu memberi kesan yang mendalam terhadap hidupmu. 

Sekarang, saya tidak tahu apakah harus senang atau sedih dengan kondisi, bahwa saat ini saya masih berkehidupan di Bandung; bermain, bekerja, beristirahat, dan semacamnya. Tentu saja ada kenangan-kenangan indah di kota ini. Di samping segala macam permasalahannya yang bertumpuk-tumpuk. 

Tapi, ada satu hal yang mencuat dalam pikiran saya selama merasakan suasana Bandung, yakni bagaimana ide mengenai kehidupan yang abadi ternyata sangat buruk. Rasa-rasanya seperti film Bicentennial Man. Film akhir tahun 90 yang bercerita tentang sebuah robot yang memilih untuk bebas dan menjadi manusia, serta menerima konsekuensi, bahwa dia juga akan merasakan kematian seperti lazimnya manusia.   

Sebelum memutuskan menjadi manusia, Bicentennial hanyalah sebuah robot yang berfungsi melayani kebutuhan keluarga yang menjadi majikannya. Bertahun-tahun Bicentennial melayani kebutuhan keluarga majikannya. Bersamaan dengan itu, anggota-anggota keluarga yang dilayani Bicentennial beranjak tumbuh; ada yang semakin dewasa, menua, dan meninggal. 

Lingkungannya pun demikian; dari lingkungan yang masih sederhana, hingga yang sudah berteknologi canggih (banyak mobil-mobil beterbangan, arsitektur rumah yang futuristik, dan semacamnya yang mirip-mirip metropolis di film Star Wars). Namun demikian, Bicentennial masih begitu-begitu saja; menjadi robot yang tak mengalami perubahan apapun dan masih tetap melayani majikannya. 

Dari sudut pandang Bicentennial, sudah terlalu banyak peristiwa yang dia saksikan. Dimana peristiwa yang paling kuat di memorinya adalah tentang anggota keluarga yang ia layani selama ini meningggal satu persatu, karena kodrat sebagai insan. Ada rasa sepi yang sublim di kehidupan Bicentennial sebagai robot pelayan manusia.  

Aku tentunya bukan sebuah Bicentennial, meski kehidupan sehari-hariku berjalan tak ubahnya seperti kehidupan yang dijalani dia; melayani kepentingan pemilik saham. Hanya saja, ada satu perasaan yang sama dengan Bicentennial, ketika melihat perubahan yang terjadi di Bandung selama ini. Khususnya orang-orang yang selama ini bersinggungan dengan kehidupanku di Bandung. Ada mereka yang tumbuh dewasa, ada mereka yang menua, dan ada mereka yang meninggal. Ada rasa sepi yang sublim melihat perubahan-perubahan itu.

Namun demikian, tampaknya aku harus bersyukur dengan kondisiku sebagai manusia, bahwa aku tak perlu melihat semuanya dengan abadi. Kematian yang menjadi kodrat insani mencegahku merasakan penderitaan sebuah keabadian. Aku hanya perlu menjalani hari seperti biasa dan merasakan sedikit kesenangan duniawi sebelum kematian benar-benar menjelang.  

Tidak ada komentar: