Minggu, 11 Agustus 2013
Gotong Royong? (I)
Warga negara Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kebiasaan bergotong royong. Dari mana istilah itu bisa muncul?
Aku sedang membaca buku John Ingleson yang berjudul Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial. Dalam salah satu bab, dia membahas mengenai dampak Depresi Ekonomi pada tahun 1930-an terhadap Hindia Belanda.
Bab itu menunjukkan bagaimana kebiasaan gotong royong masyarakat Indonesia muncul ketika sebuah krisis ekonomi global menerpa sebagian besar negara di dunia. Meski bab itu tidak menyebutkan, bahwa gotong royong pertama kali dimulai sejak era Depresi Ekonomi, akan tetapi menunjukkan, bahwa kebiasaan tersebut berakar cukup lama di Indonesia.
Tulisan ini tidak mencoba mengagung-agungkan secara berlebihan istilah "gotong royong", semenjak istilah tersebut bisa juga bermakna negatif, karena erat kaitannya dengan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang masih mendera bangsa ini. Lebih utamanya lagi, pengertian gotong royong dalam konteks tulisan Ingleson mendasarkan kepada asumsi pemerintah kolonial.
Tulisan ini hanya menulis ulang apa yang telah dilakukan oleh John Ingleson melalui penelitiannya tentang masyarakat Indonesia sebelum era kemerdekaan.
***
Depresi Ekonomi membawa dampak besar terhadap penurunan kesejahteraan masyarakat di sejumlah negara. Krisis itu berdampak sangat masif, baik di Eropa dan Amerika. Di Hindia Belanda sendiri, tingkat pengangguran melonjak drastis di semua "ras" kaum pekerjanya; mulai dari pekerja ras Eropa, Cina, sampai Pribumi.
Bagi pekerja ras Eropa, Ingleson bahkan mencatat bagaimana banyak pekerja Eropa turun menggelandang ke jalanan. Mereka tidak mengetahui bagaimana mengatasi kemiskinan yang tiba-tiba menyergapnya. Sejumlah pekerja Eropa ada yang mengemis, dan bahkan seorang janda asal Belanda harus menginap di penjara selama sebulan, karena mencuri untuk menafkahi kelima anaknya.
Berbagai skema jaminan sosial digalakan oleh pemerintah kolonial pada waktu itu untuk mengatasi problem pengangguran. Namun demikian, prioritas utamanya adalah mengurangi tingkat pengangguran di level pekerja ras Eropa.
Sejumlah pihak kemudian mendorong agar jaminan sosial itu diberlakukan dengan lebih adil, yakni memperhitungkan juga pekerja ras Cina dan Pribumi. Mengingat efek Depresi Ekonomi yang dahsyat, dan anggapan, bahwa penelantaran terhadap pengangguran di perkotaan-apapun rasnya-berpotensi menimbulkan gejolak sosial-politik dalam jangka panjangnya.
Dorongan itu membuahkan hasil. Sejumlah pekerja ras Cina dan Pribumi dimasukkan dalam skema jaminan sosial pemerintah kolonial. Meskipun, pada dasarnya, prioritas utama tetaplah pada pekerja ras Eropa.
Hal itu bisa dilihat dari paparan data Ingleson tentang proporsi jumlah pekerja ras Eropa yang masuk dalam jaminan sosial, dimana jumlahnya lebih besar ketimbang pekerja ras Cina dan Pribumi. Kemudian nominal santunannya pun seperti demikian. Dalam skema kerja sosial yang diupah, misalnya, pekerja ras Eropa mendapatkan upah yang lebih besar ketimbang pekerja ras pribumi, meski jenis pekerjaannya sama.
Terkait dengan keterlibatan pekerja ras pribumi dalam skema jaminan sosial pemerintah kolonial, ada hal menarik yang dipaparkan oleh Ingleson. Dia menulis, pemerintah kolonial berasumsi bahwa pekerja ras Pribumi masih mampu mengatasi efek Depresi Ekonomi. Hal itu dikarenakan ikatan komunal di pedesaan yang masih kental.
Selama terjadi Depresi Ekonomi, pekerja pribumi yang terkena pemecatan di perkotaan banyak yang pulang ke desa kampung halamannya. Ingleson mencatat data jumlah pekerja pribumi yang pulang ke desa mencapai ribuan jumlahnya. Dia juga mencatat aliran pekerja pribumi yang kembali ke desa di Pulau Jawa, dari Pulau Sumatra, karena telah terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Di desa-desa tersebut, para mantan pekerja banyak yang disantuni oleh kerabatnya. Banyak pula diantara mantan pekerja itu, tulis Ingleson, yang diberi pekerjaan kecil-kecilan di desa supaya bisa menyambung hidup. Meskipun dengan cara yang teramat sangat sederhana dan penghasilan yang tidak sebanding dengan pekerjaan yang didapatkan di kota dulu.
Pekerja ras pribumi, terutama yang telah mendapatkan pendidikan barat, menjalani jenis pekerjaan di desa yang jauh berbeda dari ilmu yang telah didapatkannya. Pekerjaan itu pada umumnya bertipe sangat rendah bila dibandingkan dengan keahlian yang telah didapatkan di sekolah barat.
Adanya fenomena penyantunan para penganggur pribumi oleh kerabat desa memunculkan asumsi pemerintah kolonial, bahwa pekerja ras pribumi relatif lebih tahan terhadap terpaan Depresi Ekonomi. Oleh sebab itu, pekerja ras pribumi tidak dijadikan prioritas yang tergolong "penting" untuk skema jaminan sosial pemerintah kolonial. Sebaliknya, pekerja ras Eropa tidak bisa disebut demikian, semenjak ikatan komunal yang dimiliki tidak sekental pekerja ras pribumi.
Bersambung...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar