Jumat, 02 Agustus 2013

Apa Yang Kami Biarkan Terbakar Sebelum Padam Secara Prematur I



Dalam dunia media massa cetak, posisi redaktur berfungsi untuk mengevaluasi berita-berita yang dikumpulkan oleh wartawan dari lapangan. Dalam beberapa hal, redaktur juga bisa bertugas menyusun sebuah rancangan peliputan. Biasanya, berangkat dari peristiwa-peristiwa yang ada di lapangan, redaktur menugaskan wartawannya untuk mengembangkan sebuah peristiwa melalui angle-angle tertentu.

Untuk tugas perancangan liputan ini, seringkali banyak dinamika yang terjadi, dan bermuara kepada pertentangan antara wartawan dan redakturnya. Salah satu contohnya adalah bila rancangan peliputan yang ditugaskan kepada wartawan itu tidak hanya murni bertujuan mengembangkan peristiwa dilapangan saja. Namun ternyata memuat “kepentingan” pribadi si redaktur juga.

Bisa saja seorang redaktur menugaskan wartawannya untuk meliput acara instansi atau perusahaan tertentu. Dari segi nilai berita, ternyata wartawan di lapangan merasa bahwa acara tersebut tidak memenuhi kriteria, karena terlalu berbau seremonial atau, dalam beberapa kasus, acara itu ternyata lebih menjunjung suatu tokoh tertentu secara politis.

Dalam alam berpikir wartawan, hal seperti itu nantinya akan lebih menyerupai “kampanye gratis nan terselubung”, ketimbang berita konvensional yang sesungguhnya, yakni paparan fakta yang berimbang dalam memotret sebuah peristiwa. Bagi wartawan yang berpikir seperti itu, penugasan liputan dari redaktur adalah sebuah masalah.

Terdapat bermacam-macam cerita mengenai bagaimana hal seperti itu akhirnya menimbulkan konflik antara wartawan dan redaktur. Seorang wartawan media nasional akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempatnya bekerja, karena sudah jemu berita yang dihasilkannya selalu dijadikan sebagai alat bargaining oleh redakturnya.

Berita yang dihasilkan oleh wartawan itu ternyata dipakai oleh redakturnya untuk menonjolkan citra tertentu tentang suatu tokoh yang sudah menjalin “hubungan khusus” dengan sang redaktur. Hubungan tersebut, kenapa disebut khusus, karena itu melibatkan juga limpahan uang atau aset yang cukup besar dari si tokoh (yang menjadi salah satu pelaku dalam pemberitaan) kepada sang redaktur. Akan tetapi, dilihat dari sudut manapun, kasus itu jelas telah membuat wartawan semata-mata sebagai alat oleh redakturnya sendiri. Alat untuk memuluskan kepentingan egoistik sang redaktur.

Sebenarnya, bila dilihat secara pola keorganisasian, wartawan pada dasarnya memang sebuah alat. Sebagai seseorang yang sehari-harinya dilapangan mengumpulkan berita untuk perusahaannya, wartawan menjadi ujung tombak yang berkontribusi dalam membentuk kemasan sebuah berita agar sesuai dengan kebijakan perusahaan.

Akan tetapi, dalam konteks ini ada perbedaan mengenai definisi sebuah alat, ketika itu diliputi oleh kepentingan diluar keorganisasian yang justru sifatnya lebih egoistik dan memperkaya diri sendiri secara tidak etis.


Bersambung...

Tidak ada komentar: