Kamis, 11 Juli 2013

Pemburu Rente



Apa yang membuat seorang wartawan, "wartawan"?


Keuntungan menjadi wartawan adalah akses. Dia bisa masuk ke dalam lingkaran elit; para pemegang kekuasaan tertinggi di sebuah piramida tatanan masyarakat. Itu memang salah satu keistimewaan, karena wartawan bertugas untuk memberi kabar kepada orang banyak. Dengan tugas seperti itu, sudah sewajarnya bila wartawan diberikan akses terhadap para elit yang jumlahnya lebih sedikit dari total masyarakat yang ada.

Dari segi narasumber sendiri, akses itu bisa menjadi hal yang positif. Terutama bila pemberitaannya bagus. Minimal, citra diri akan meningkat [1]. Di sini, wartawan sesungguhnya memiliki keuntungan yang besar. Dengan modal pemberitaan, dia terkondisikan untuk bermain-main dalam sebuah efek pencitraan. Dan karena efeknya itulah, dia menjadi disegani dan membuat aksesnya terasa nyata.

Akan tetapi, dengan kesadaran akses yang besar tersebut, tak jarang pula wartawan memberlakukan pemberitaan dengan melenceng, dan ini menjadi fokus dari tulisan ini.

Seringkali seorang wartawan bermain-main mengamankan berita. Secara langsung maupun tidak langsung, mereka melakukan kongkalikong dengan narasumber terkait suatu isu yang pada ujungnya menjatuhkan dan menaikkan seseorang. Membuat agenda setting yang berdasarkan by request, dengan imbalan uang. Dalam hal tersebut, wartawan bisa menjadi sebuah alat.

Praktik seperti itu, beberapa orang menyebutnya sebagai tindakan tidak profesional. Sudah banyak pernyataan maupun sikap yang mengecam tindakan pragmatis dan oportunistik seperti itu. Panduan etika kewartawanan pun dibentuk oleh kalangan asosiasi kewartawanan untuk mengeliminir praktik tersebut.

Kalangan asosiasi itu memandang praktik kewartawanan seperti itu menjadi sebuah anomali dari sudut pandang etika (Meski sebenarnya hal itu merupakan keniscayaan di era dimana masyarakat modern berproduksi dengan menekankan kepada penimbunan material uang sebagai simbol kekayaan, demi kekayaan itu sendiri).

Lebih ironisnya, walaupun telah ada panduan etika mengenai kewartawanan, panduan itu tetaplah menjadi sebuah teks dalam halaman buku usang yang tidak dibaca oleh semua orang. Praktik wartawan "pemburu rente" tetap merebak di banyak tempat. Mereka keluar masuk dinas, perusahaan, dan lembaga-lembaga  hanya untuk mengemis "potongan kue" yang ada. Seringkali mengemis dengan berselimutkan ancaman terhadap narasumber yang menolak memberikan "potongan kue".

Para pemburu rente itu mengancam memberitakan narasumber dengan kesan yang negatif bila "potongan kue" itu tidak mereka dapatkan. Tidak masalah bila berita itu terkesan mengada-ada atau terlalu dipaksakan, karena faktanya, narasumber seringkali termakan oleh ancaman tersebut, dan terpaksa memberikan "potongan kue" itu kepada mereka - para pemburu rente.

Praktik itu tidak hanya dilakukan oleh wartawan "bodrek" (istilah slang untuk wartawan abal-abal/wartawan tanpa surat kabar), namun juga oleh wartawan media massa mainstream. Meski untuk wartawan yang jenis terakhir, praktik itu dilakukan dengan cara yang lebih halus, lebih "profesional".

(Bersambung)



 

[1] Meski seringkali ada juga narasumber yang menutupi akses-aksesnya, karena
mendapatkan pemberitaan yang negatif akibat tindak-tanduknya sendiri. Akan tetapi, lama-kelamaan itu justru membuat citra diri narasumber semakin negatif, karena dianggap menghambat hak istimewa wartawan mendapatkan sebuah informasi yang "penting" bagi masyarakat. Atas dasar itulah, dengan sengaja menutup(i) akses terhadap informasi akan menjadi langkah yang bisa dipandang sangat negatif dan salah. Sebuah blunder bagi seorang narasumber.

Tidak ada komentar: