Pertama yang kuingat adalah pertemuan dengan Giwang dalam sebuah peliputan. Dia baru bekerja di sebuah media ekonomi. Saat itu, dia berada dalam kondisi yang sama dengan ku: sama-sama baru, sama-sama tidak mengerti. Akan tetapi, ada satu yang menonjol dari Giwang, yakni keinginan tahuannya, kegigihannya, dan ketelitiannya.
Beberapa bulan selanjutnya kami di lapangan bersama. Menjajal dinas-dinas paling tertutup, mengulik isu paling susah dimengerti, atau sekedar leha-leha dirumah sambil mengoreh nomor telepon narasumber, karena menyerah tidak tahu harus menulis apa lagi.
Beberapa bulan berikutnya, Giwang pergi ke Jakarta, dan posisinya digantikan oleh Miftah. Bersama-sama, kami kembali melakukan rutinitas peliputan, hingga ritual menuangkan sebotol wiski bagi para kuli tinta di suatu malam. Suatu malam dimana sejumlah penyair saat itu juga melantunkan puisi-puisinya dalam sebuah acara kebudayaan. "Air didistribusikan dengan baik. Semua orang senang," ujarnya saat itu.
Saat ini, era seperti itu hanya ada dalam ingatan saja. Semuanya sudah berubah. Miftah sudah ditarik ke kantor pusat, sedangkan aku sendiri sudah dirotasi ke desk peliputan non-ekonomi. Beberapa teman di desk peliputan dulu pun sudah menghilang satu-persatu; Ane yang bekerja di majalah gaya hidup di Bandung, dan Tia yang pindah ke Jakarta.
Seperti biasa, perubahan adalah keniscayaan. Saatnya adaptasi dengan lingkungan baru, dan orang-orang baru. Tetapi, seperti yang sudah-sudah, ingatan tentang yang sudah lewat terkadang selalu terkenang. Ingatan tentang sebuah generasi, di suatu masa yang sudah terlewati.
2 komentar:
Uhuy ketemu blog si Abo, update terus ya akang, supaya juniormu bisa belajar dari cerita-cerita sang senior, hehe...
mari, silahkan membaca..
Posting Komentar