Kamis, 01 Maret 2018

Himne Untuk Kegelapan




Kosong. Kilasan cahaya melesat seperti tangkapan kamera dengan shutter speed yang rendah pada malam hari. Metal dan logam yang padat melumer dalam tangkapan lensa. Dan orang-orang pada malam hari, orang-orang yang bergegas di sepanjang trotoar, yang hendak menyeberang dengan cemas, yang menunggu di sebuah stasiun, yang tercenung dengan tatapan nanar, menjadi semakin buram.

Aku ingin tahu apa yang ada di langit. Andai saja hamparan luas langit bisa mengungkap imajinasi-imajinasi yang melayang dari benak orang-orang yang hilir-mudik di atas tanah. Andai saja langit bisa memamerkannya dengan jelas, seperti apa motif mereka, harapan mereka, ketakutan, keinginan mereka. Andai saja hal-hal seperti itu bisa diketahui layaknya menonton untaian kata-kata yang berterbangan pada malam hari. Hidup seperti ular yang melenggak-lenggok di antara semak belukar.

Aku ingin tahu seperti apa hamparan langit yang luas tak terkira menampung harapan-harapan dari kerumunan orang yang berada di bawahnya. Aku ingin tahu bagaimana langit melihat harapan-harapan itu retak karena terbentur oleh kesialan-kesialan. Apakah langit tertawa, ataukah meratapinya, ataukah langit malah sudah sedemikian muaknya sehingga tidak menunjukkan perasaan apapun.

Apakah langit melihat bagaiman orang-orang di bawahnya memikirkan bagaimana bisa berada di kota ini? Dengan kerumunan besarnya, bisa membangun kota ini menjadi sedemikian rupa megah sekaligus depresif? Dengan setumpuk peraturannya, adat istiadat, norma, orang-orang itu menghidupi sebuah kota.

Malam di kota adalah gelap yang dihiasi oleh kerlap-kerlip cahaya buatan. Selayaknya buatan, ada ongkos yang harus dibayar oleh orang-orang. Ongkos yang bisa saja dibayar dengan merelakan harga dirinya habis ditelan kegelapan.   

Tidak ada komentar: