Kosong. Kilasan cahaya melesat seperti tangkapan kamera dengan
shutter speed yang rendah pada malam hari. Metal dan logam yang padat melumer
dalam tangkapan lensa. Dan orang-orang pada malam hari, orang-orang yang
bergegas di sepanjang trotoar, yang hendak menyeberang dengan cemas, yang
menunggu di sebuah stasiun, yang tercenung dengan tatapan nanar, menjadi
semakin buram.
Aku ingin tahu apa yang ada di langit. Andai saja hamparan luas
langit bisa mengungkap imajinasi-imajinasi yang melayang dari benak orang-orang
yang hilir-mudik di atas tanah. Andai saja langit bisa memamerkannya dengan
jelas, seperti apa motif mereka, harapan mereka, ketakutan, keinginan mereka.
Andai saja hal-hal seperti itu bisa diketahui layaknya menonton untaian kata-kata
yang berterbangan pada malam hari. Hidup seperti ular yang melenggak-lenggok di
antara semak belukar.
Aku ingin tahu seperti apa hamparan langit yang luas tak terkira
menampung harapan-harapan dari kerumunan orang yang berada di bawahnya. Aku
ingin tahu bagaimana langit melihat harapan-harapan itu retak karena terbentur
oleh kesialan-kesialan. Apakah langit tertawa, ataukah meratapinya, ataukah
langit malah sudah sedemikian muaknya sehingga tidak menunjukkan perasaan
apapun.
Apakah langit melihat bagaiman orang-orang di bawahnya
memikirkan bagaimana bisa berada di kota ini? Dengan kerumunan besarnya, bisa
membangun kota ini menjadi sedemikian rupa megah sekaligus depresif? Dengan
setumpuk peraturannya, adat istiadat, norma, orang-orang itu menghidupi sebuah
kota.
Malam di kota adalah gelap yang dihiasi oleh kerlap-kerlip
cahaya buatan. Selayaknya buatan, ada ongkos yang harus dibayar oleh
orang-orang. Ongkos yang bisa saja dibayar dengan merelakan harga dirinya habis
ditelan kegelapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar